“Selamat ya, Mas. Akhirnya kamu mendapatkan pendamping baru. Kamu sudah bebas sekarang, tidak perlu lagi mengurus aku yang berpenyakitan.”
Deg!Jantungku seperti berhenti berdetak mendengar suara Nilam. Darimana dia tahu kalau aku sudah menikah lagi?“Sa-sayang. Apa maksudmu? Mas tidak mengerti.” Aku langsung menutup pintu kamar pengantin dan mengunci dari dalam, jangan sampai ada yang tiba-tiba masuk.“Jangan lupa ambil barang-barangmu di rumah. Aku tidak mau ada satupun barangmu yang tertinggal.”“Nil-”Tut ....Sambungan telepon langsung terputus sebelum aku selesai bicara.“Argh!”Kenapa Nilam bisa tahu soal pernikahan ini? Orang tuaku saja tidak tahu.Dia pasti akan menerima setelah kujelaskan. Aku tidak ingin kehilangannya, aku sangat mencintai Nilam.Kusambar kunci mobil tanpa memperdulikan mereka yang meneriaki ku. Saat ini aku hanya ingin mendatangi Nilam, takut jika dia berbuat hal konyol.Mobil milik Nilam masih terparkir di pekarangan rumah. Aku langsung turun, berlari menuju pintu masuk.Keningku mengernyit saat aku tidak bisa membuka pintu, menempelkan ibu jari bahkan memasukkan pin tidak membuat pintu rumah langsung terbuka.Dia menggantinya?Kriet!Pintu terbuka sebelum aku menekan bell. Nilam mendorong keluar dua koper besar dan bisa kupastikan itu adalah barang-barangku.“Kurang baik apa aku ini. Sudah kukemasi semua barang-barangmu agar kau tidak perlu berlama-lama di sini.”“Sayang ....”“Kenapa masih berdiri di situ? Pergilah. Pengantinmu pasti menunggu.”Suara Nilam terdengar begitu santai, tapi aku bisa melihat luka dari sorot matanya.“Sayang. Mas minta maaf.” Aku berniat meraih tangannya namun dia malah mundur seolah tak ingin kusentuh.“Maafmu kuterima tapi kehadiranmu tidak akan lagi kudamba. Semoga saja istri barumu bisa mendampingi saat kau melarat nanti. Dan jangan harap dia bisa sepertiku.”“Kenapa kamu bicara begitu! Kamu itu istriku, jelas kamu harus ada disampingku dalam kondisi apapun. Kalau Mas melarat kamu juga yang susah nanti.” Tanganku mengepal mendengar perkataannya.Baru sekarang aku melihat Nilam bicara sekasar ini. Dia seperti mendoakan aku kembali miskin seperti dulu. Aku jelas tidak akan mau, tidak mudah bagiku ada di posisi sekarang. Butuh waktu panjang dan juga perjuangan, dia tidak tahu bagaimana jatuh bangunnya aku karena dia hanya ada di rumah.Nilam menyeringai, “Sebelum menikah denganmu aku bekerja, bisa memiliki penghasilan sendiri dan setelah berpisah denganmu tidak sulit bagiku menjalani kehidupan seperti dulu. Kalau kau mengira aku tak bisa tanpamu, kau salah besar, Mas. Aku bisa tanpamu, Mas. Ingat, aku ini istri yang sudah kau jatuhi talak tiga. Apa perlu aku ingatkan, betapa kejamnya dirimu yang meninggalkan aku yang sedang berjuang melawan penyakit malah kau berikan talak.”“Saat itu Mas dalam keadaan kalut, ada masalah besar di kantor dan kamu malah terus ingin ditemani.”Dia menganggukkan kepalanya, kulihat matanya sudah berembun dengan bibir bergetar seperti menahan tangis, “Dalam keadaan apapun talak yang kau ucap tidak bisa ditarik lagi jadi silahkan pergi. Nikmati hari-hari manis bersama pengantimu sebelum nanti kau harus menelan pahitnya empedu,” ujarnya lalu melangkah masuk dan menutup pintu.Aku tidak tahu jika Nilam sudah pulang dari rumah sakit bahkan yang membuatku kaget dia juga tahu soal aku yang sudah menikah dengan Laras.Memang salah jika aku menikah lagi? Aku akan adil pada Nilam dan juga Laras, karena Nilam yang berulang kali keguguran membuatku tidak tega melihatnya jika harus hamil dan berujung hal yang sama. Aku menikahi Laras juga agar bisa memiliki keturunan. Perusahaanku harus ada yang menjalankan, karena aku tidak akan selalu muda.Baru saja aku berniat menekan bell, ponsel langsung berdering.“Mas ... kamu dimana? Cepat kembali.” Suara Laras begitu mendayu dari ujung telepon membuatku tidak tega untuk menolak.Kuhela napas panjang sebelum meninggalkan rumah itu. Rumah yang kuberikan pada Nilma sebagai hadiah untuk hari jadi pernikahan kami yang ketujuh tahun lalu.***Pikiranku terganggu, bayangan wajah Nilam berkelebat di dalam benak. Hatiku berdenyut nyeri membayangkan dia menangis sendirian karena ulahku.Sengaja aku tidak memberitahu siapapun karena menghindari agar Nilam dan orang tuaku tidak marah. Tapi kenapa bisa Nilam sampai tahu. Jika Nilam tahu, sudah pasti orang tuaku juga akan tahu cepat atau lambat.Kuhempaskan bokongku di kursi yang ada di teras. Orang-orang sibuk membereskan bekas resepsi.“Laki-laki busuk sepertimu memang tidak pantas mendapatkan wanita sebaik Nilam.”Aku terperanjat mendengar suara itu dan sontak menoleh, mengerutkan kening, mengingat siapa wanita di depanku ini.“Hatiku teriris melihat sahabatku dikhianati begini.”“Dea ....” Aku baru mengingatnya, “kau yang memberitahu Nilam soal ini?”Dea melemparkan amplop coklat tepat di wajahku, “Aku kembalikan uangmu itu. Andai tahu dari awal kau yang menikah, aku tidak akan sudi menjadi MUA untuk jalang itu. Tanganku malah kotor nantinya.”“Jaga ucapanmu!” pekik Laras yang tiba-tiba ada di sampingku.“Jangan bangga hanya karena sudah merebut suami orang, menghancurkan kebahagiaan orang lain. Ingat doa orang yang terzalimi itu mudah sekali terkabul. Kalian siap-siap saja.” Dea berbicara sakras sebelum pergi begitu saja.“Ya ampun, ternyata Laras itu merebut suami orang?”“Baru bangganya lagi dia pamerkan ternyata hasil curian.”“Masih punya harga diri dia sampai membuat pesta pernikahan ini.”“Kasihan sekali istri pertamanya.”“Sebentar lagi juga mereka menderita. Pelakor itu berteman akrab dengan karma.”Beberapa orang yang ada disana langsung mencibir “Diam kalian!” bentak Laras, “kalian di sini aku bayar ya.”“Cih. Kami tidak sudi bekerja untuk pelakor sepertimu, lagi pula belum ada uang yang kami terima. Anggap saja itu sumbangan untukmu yang suka mencuri,” ujar salah seorang wanita paruh baya bertubuh tambun.“Iya, betul. Ayo, mending kita pergi saja.”“Mas. Mereka menghinaku.” Laras bergelayut manja di lenganku.Aku mengurut pelipis yang terasa berdenyut, baru saja satu hari dan hal-hal seperti ini malah bermunculan membuat kepalaku seperti akan pecah.“Tidak usah didengarkan. Ayo masuk.” Aku merangkul pundaknya masuk ke dalam mobil.Niatnya memang kami mau ke hotel yang sudah disiapkan. Selain karena ingin anak, jujur aku memang tertarik pada Laras sejak dia pertama kali bekerja di kantorku. Dia selalu berpenampilan menarik, membuatku sulit menjauhkan pandangan darinya.“Mas, bulan madu kita ke Swiss ya.”“Aku masih banyak pekerjaan. Dan-”“Mbak Nilam? Bisa tidak kamu jangan memikirkan dia kalau kita lagi berdua, Mas. Bikin kesel tahu.” Dia yang tadi bersandar mesra di pundakku langsung menjauh.“Iya, maaf.”“Aku maafin tapi belikan kalung ya. Aku bosan sama kalung ini.”Aku hanya mengangguk. Selama perjalanan menuju hotel hanya dia yang terus berceloteh, aku hanya menyahut sesekali karena masih merasa kalut dengan sikap Nilam.“Mas, ponsel kamu bunyi.”Aku terhenyak saat Laras menepuk pundakku. Segera kutepikan mobil dan menjawab telepon dari kakakku.“Kenapa, Mbak?”“Ke rumah sakit sekarang. Di rumah sakit dekat rumah,” ucap Mbak Dilla..“Siap-”Sambungan telepon diputus sepihak. Ingatanku langsung tertuju pada Nilam.“Turun, Ras.”“Loh, kenapa kamu minta aku turun di sini. Hotel masih jauh loh, Mas.”“Turun! Kamu pakai taksi, ini ada hal darurat.”“Hal apa yang lebih penting dari aku, Mas?” Dia sangat keras kepala.“Turun, Laras!” Nada suaraku meninggi membuatnya tersentak, “jangan membuatku marah.”Dengan perasaan tidak karuan, aku membelah jalan kota menuju rumah sakit. Aku takut sekali Nilam kembali drop.Kini aku sudah berdiri di depan ruangan yang disebutkan oleh Mbak Dilla, dengan cepat menerobos masuk. Keningku berkerut karena bukan Nilam yang kulihat melainkan ibu yang terbaring lemah di ranjang dengan mata tertutup rapat.“Ibu ….”“Ini ulahmu, Bagas!” ujar Mbak Dilla dengan tatapan tajam.“Kenapa aku, Mbak? Ini Ibu kenapa bisa di rumah sakit begini?”Ibu jarang sekali sakit, kalau pun sakit tidak pernah sampai dilarikan ke rumah sakit seperti ini.Mbak Dilla mencebik, “Masih tidak sadar?” Dia mengambil amplop dan melemparkannya padaku, “kau itu laki-laki macam apa hah? Istri sakit malah menikah lagi?” bentaknya.“Nilam-”“Bukan Nilam yang mengatakannya tapi ada yang mengirimkan foto-foto itu ke rumah,” potong Mbak Dilla, “aku tidak bisa menjadi tameng saat Ibu marah padamu nanti, karena kau pantas untuk itu!”Mataku terbelalak melihat foto-foto pernikahanku dan Laras yan
Sampai di gudang, api memang sudah bisa dipadamkan namun bangunan itu sudah hangus. Tidak ada satupun barang yang bisa diselamatkan.“Pihak kepolisan akan memeriksa lebih lanjut penyebab kebakaran, Pak,” ujar Heru.Kuhela napas panjang, “Urus semuanya. Kalau memang ada unsur kesengajaan dari orang, pastikan orang itu mendapatkan hukuman yang berat.”“Baik, Pak.”Aku melangkah meninggalkan tempat itu, berlama-lama di sini malah membuatku semakin merana. Meratapi nasib gedung dan isinya yang hangus dilalap si jago merah.Sampai di rumah entah pukul berapa karena ponselku mati total. Bahkan di sekitaran perumahan saja sudah sepi.“Sayang, buka pagarnya,” ucapku sambil menekan bell.Dari dalam Nilam pasti mendengar suaraku.Apa mungkin dia sudah tidur, apalagi kondisi kesehatannya kurang bagus. Apa dia tidak mendengar bell bunyi? Tanganku sampai gatal karena digigit nyamuk.Kembali kutekan bel berharap Nilam segera keluar.Aku bisa bernapas lega mendengar pintu terbuka, namun senyumku hil
Kuhempaskan tubuh di ranjang, memandang nyalang pada langit-langit kamar.Aku masih di hotel hanya saja memesan kamar lain. Untuk malam ini ingin sendiri dan tidak mau diganggu oleh siapapun apalagi Laras.Dia bukannya simpati padaku malah sibuk memikirkan dirinya sendiri.Aku jadi merindukan Nilam, menginginkan dia ada di sampingku saat situasi seperti ini. Karena dia yang paling mengerti, tidak pernah merecoki saat aku ada masalah. Selalu setia mendengar keluhan yang aku ceritakan.Tidak pernah sekalipun Nilam protes dengan nafkah yang aku berikan saat dulu kami susah, berapapun itu dia terima dengan penuh senyuman. Bahkan selama menjadi istriku, tidak pernah kudengar sekalipun dia mengeluh dengan kondisi kami yang saat itu terpuruk.Sengaja aku memberikan nafkah hanya tiga puluh juta pada Laras, aku tidak bodoh. Aku tidak mau dia menghamburkan uang yang susah payah kukumpulkan. Berbeda saat dengan Nilam, aku menyerahkan semua kartu debit dan kartu kredit padanya. Aku percaya karena
“Dokter, sudah masuk jam praktek ‘kan?”Mbak Dilla tiba-tiba datang.“Iya. Mari, Bu Nilam.” Dokter itu tersenyum puas sambil menatapku.“Awas!” Mbak Dilla menarik tanganku agar tidak menghalangi jalan Nilam.Tanpa peduli padaku Nilam berjalan mengikuti dokter itu.“Mbak, kenapa membiarkan Nilam berduaan dengan dokter itu?” tanyaku kesal.“Apa urusanmu? Nilam itu mengobrol dengan dokternya, memang apa salahnya?” balas Mbak Dilla sengit.“Dia itu hanya mau mendekati Nilam, Mbak. Aku akan carikan dokter lain yang tidak genit.”“Apa pedulimu? Tidak usah ikut campur urusan Nilam. Kamu itu sudah bukan suaminya, jadi tidak perlu repot mengurus dia. Sampai kamu ikuti Nilam, awas saja!” Mbak Dilla mengaucngkan jari telunjuknya padaku sebelum beranjak pergi.“Aish! Kenapa malah keluargaku sendiri menyudutkan begini,” geramku.Niat hati ingin bertemu dan mengetahui kondisi Nilam, malah berujung seperti ini.Keluargaku sangat menyayangi Nilam. Apalagi Nilam hanya sebatangkara setelah neneknya men
“Kamu jangan menjanjikan apapun ke orang apalagi pakai nama aku!”“Ya maaf, Mas. Memang kamu tidak mau membuat ibu dan bapak senang? Hanya mobil loh, Mas. Uang kamu itu pasti banyak.”Aku menghela napas panjang, mengusap wajah dengan kasar. Sepertinya aku harus pastikan jika Laras bukan wanita yang matre, belum satu bulan menikah malah minta dibelikan mobil untuk orang tuanya. Nanti apa lagi?Banyak uang bukan berarti aku suka menghamburkannya. Nilam bahkan menyarankan aku untuk berinvestasi daripada harus membeli sesuatu yang tidak penting. Laras malah sebaliknya, dia merongrong.“Lebih baik sekarang cari tempat tinggal dulu saja. Memang kamu mau tetap di sini?” Langsung kualihkan pembicaraan.“Tapi aku yang pilih ya, Mas.” Senyumnya kembali merekah.“Iya. Aku ada rekomendasi tempat tinggal dari temanku.”Jangan harap aku akan membawamu tinggal di apartemen mewah seperti yang ad adalam benakmu. Aku ingin tahu apakah kau bisa menerima jika tinggal di tempat sederhana atau tidak.Tidak
POV Nilam[Nilam. Maaf, tapi kamu harus tahu ini.]Tanganku gemetar, mata sudah memanas membuat buliran air mata tak bisa lagi kutahan. Pulang dari rumah sakit malah aku mendapatkan kejutan tak terduga.Foto pernikahan Mas Bagas dan selingkuhannya sudah sangat menegaskan. Tidak ada lagi yang bisa kupertahankan.Memaksanya untuk bertahan hanya akan menyiksaku. Apapun alasan dia selingkuh tetap tidak bisa dibenarkan. Aku lebih baik mundur dan mempertahankan kewarasan daripada bertahan dengan menahan luka yang dalam. Aku tidak akan sanggup.Sekarang aku tahu, alasan dia menjatuhkan talak. Aku kira karena memang dia sedang dalam masalah makanya emosinya tidak mampu dikontrol namun ternyata ada wanita lain yang kini membuat kesetiaannya luntur.Tidak ada yang kumiliki lagi sekarang.Aku beranjak meraih fotoku bersama nenek yang berada di nakas. Kusentuh bingkai foto itu dengan lembut, “Dulu Nilam ditinggalkan ibu dan ayah lalu nenek juga ikut meninggalkan Nilam. Sekarang ... Mas Bagas jug
Apa yang terjadi padanya bukan urusanku lagi. Biarlah dia menjalani kehidupan yang dia anggap akan membawa kebahagiaan itu, tanpa sadar membawanya terjerumus ke dalam jurang.Ting!Di tengah pembicaraan kami, ponselku berdenting. Pesan masuk dari dokter Ilyas.[Bu Nilam. Hari ini datang lebih awal ya, soalnya saya ada urusan. Jadi kemungkinan untuk sore hari tidak bisa.]“Bukan dari Bagas?” tanya Mbak Dilla.“Dokter Ilyas, Mbak.”Wajah ketus Mbak Dilla langsung penuh senyum, “Apa dia bilang?”“Jadwalnya dimajukan karena dokter Ilyas ada urusan.”“Ya sudah, ayo siap-siap.” Mbak Dilla tampak semangat.Setelah tahu masalahku dan Mas Bagas, Mbak Dilla tampak senang sekali jika aku pergi untuk kontrol. Aku tahu dia ingin aku dekat dengan dokter Ilyas, tapi aku sama sekali tidak ada niat untuk itu. Mungkin untuk beberapa waktu kedepan fokus hanya pada kondisi kesehatan.Dibilang trauma, ya bisa jadi. Takut jika pasanganku nanti sama seperti Mas Bagas, berkhianat dan membuat luka hatiku kemb
POV Bagas“Oke, kalau itu maumu. Jangan harap bisa bertemu dengan anak ini nanti,” ucapnya sambil mengelus perut.Aku terbelalak, “Ka-kamu hamil?”“Silahkan pergi!” Nilam langsung berdiri tanpa menjawab pertanyaanku.“Tidak. Mas tidak akan pergi. Jadi benar kamu hamil?”“Tidak percaya? Ya sudah.”“Mas percaya.”Aku buru-buru mengeluarkan dompet dan memberikan semua kartu padanya, menyisakan satu yang terselip di dompet. Kalau tidak ada itu bagaimana aku bisa hidup nanti. Ini saja aku menyerahkan padanya karena takut ancamannya benar, karena Nilam tidak akan main-main dengan ucapannya. Selama ini aku susah menemuinya, jangan sampai nanti tidak bisa juga menemui anakku.Rasanya aku sangat bahagia mendengar kabar itu. Semoga saja untuk kehamilannya kali ini tidak keguguran lagi.“Itu satu lagi.” Mata Nilam begitu jeli.“Kalau ini kamu ambil juga bagaimana Mas nanti?” Aku mencoba mengiba padanya.“Nanti aku berikan gaji. Kamu ‘kan kerja di kantor, jadi aku akan kasih upah sesuai sama peke
Setelah kejadian itu, Jelita memutuskan untuk berhenti kuliah, ia tidak akan sanggup. Baginya lebih penting menjaga mental karena ia seorang ibu, harus tetap dalam kewarasan agar bisa merawat bayinya.Hubungannya dan Devan semakin hari semakin memburuk, apalagi setelah Bu Irma tidak tinggal bersama mereka. Mereka bahkan sudah berpisah kamar beberapa minggu ini, tepatnya saat ibunya Devan pulang kampung.Devan mencoba untuk mendekat dan membuat suasana mencari tapi Jelita terus menghindar. Bukan soal masalah di kampus saja yang menjadi beban Jelita namun ada sangkutannya dengan hubungan mereka.Jelita duduk di teras, ia tidak fokus, bahkan tidak menanggapi putrinya yang meracau tidak jelas. Biasanya Jelita paling senang melihat Arunika berceloteh tapi kali ini, pikirannya kosong.Helaan napas terdengar jelas.“Aku nggak bisa begini terus.” Jelita bangkit, masuk ke dalam rumah.
Berita soal Jelita sudah tersebar luas, setiap saat ponselnya berdenting tapi ia tidak berani untuk membukanya karena sudah jelas mereka hanya akan menghinanya saja.Jelita bahkan harus merasakan kupingnya panas karena di kelas banyak yang membicarakannya secara terang-terangan. Baginya menjelaskannya pun percuma karena memang itu faktanya, ia merebut calon suami ibunya sendiri.“Ta.” Recca menahan Jelita yang akan keluar dari kelas.“Aku mau pulan, Ca.” Ia melepas cekalan Recca dan buru-buru pergi.Ingin sekali ia menumpahkan tangisnya karena dadanya terasa sangat sesak. Dulu aibnya ditutup rapat-rapat oleh sang ibu, sekarang malah ada yang terang-terangan menyebarkan aib itu.Jelita sangat malu, ia bahkan tidak ingin lagi datang ke kampus karena dirinya menjadi bahan olok-olokan semua orang. Apa yang dirasakannya sekarang itu hasil perbuatannya, jadi jangan sampai menyalahkan orang lain.
“Siapa cowok tadi?” Devan menatap istrinya penuh selidik.Andai tadi ia tidak ditahan Jelita, mungkin laki-laki yang sudah lancang memeluk Jelita akan bonyok di tangan Devan.“Teman aku, kenapa sih. Nggak usah cemburu.” Jelita tampak tidak peduli, ia melewati begitu saja suaminya.“Teman dari mana? Nggak usah bohong.”“Nggak usah percaya kalau begitu, ribet amat.”Devan menahan tangan istrinya. “Kamu kenapa sih? Kalau ada masalah apa-apa itu cerita jangan simpan masalah sendiri.”“Masalahnya ada di kamu, Mas.”Kening Devan berkerut. “Aku? Aku kenapa?”Jelita menyeringai. “Kamu nggak pernah sadar ya, Mas.”“Kalau aku ada salah, bilang. Jangan diem begini, aku takut nggak menyadari kesalahan aku.” Devan mencoba untuk tidak tersulut emosi juga.Sudah seharusnya ia lebih sabar karena istrinya belum b
“Yakin mau tinggal di sini?” Lea menatap sang suami yang tengah memperhatikan kamar yang akan mereka tempati beberapa waktu kedepan.Sekarang mereka ada di kediaman orang tua Lea. Rumah mewah yang hanya ada dua orang dan beberapa art yang menempati. Anak-anaknya sudah memiliki keluarga masing-masing.Baru pertama kali Adnan menginjakkan kaki di kediaman mertuanya. Dulu saat melamar sang istri bukan di rumah ini. Hatinya menciut karena istrinya lebih kaya daripada dugaannya.Tapi semua itu membuat Adnan semakin semangat untuk bekerja, ia tidak mau istrinya hidup susah bersamanya, saat bersama orang tuanya saja Lea diberikan segalanya dan saat hidup dengan Adnan pun akan lelaki itu usahakan untuk apapun yang diminta Lea meski istrinya memang jarang ingin ini atau itu. Lea sudah kenyang dengan limpahan harta orang tuanya. Ia juga bukan wanita yang suka belanja dan menghamburkan uang.“Kalau memang ini yang bisa membuat hubungan kita dan ayah membaik,
Mata wanita itu mengerjap pelan, kepalanya masih terasa berdenyut. Sosok sang suami yang tertangkap retina matanya saat ia bangun.“Mas.”“Iya, sayang. Bagaimana perasaan kamu? Ada yang sakit?”“Lita ....” Hanya Jelita yang ada dalam ingatan Lea sekarang.“Devan menemani Lita, nggak usah khawatir.” Adnan menggenggam tangan Lea, berulang kali mengecupnya penuh cinta.“Aku kenapa tadi, Mas?”“Kata dokter, tekanan darah kamu rendah dan stres makanya bisa pingsan.”Kepanikan bertambah beberapa saat lalu, Jelita akan melahirkan dan Lea tiba-tiba pingsan. Tapi sekarang situasi sudah terkendali.“Mas, aku mau kesana.”“Devan di sana, kamu di sini. Kondisi kamu lemas begini.”“Tapi, Mas.”“Doakan anak kita baik-baik saja. Persalinannya pasti lancar.” Adnan menyelipkan anak rambut Lea k
Lea menggeleng cepat. “Nggak. Lita asal ngomong aja itu.” “Periksa yuk.” Adnan meraih tangan istrinya. Dengan lembut Lea melepaskan tangan Adnan. “Nggak usah, aku nggak hamil, Mas.” Ia mengulum senyum meski hatinya perih. Berulang kali berharap dan berulang kali juga hatinya patah. Lea tidak mau lagi berharap, ia menerima kalau memang tidak akan pernah bisa punya anak meski dalam hatinya tetap ada ketakutan kalau nanti Adnan akan berputar haluan dan mencari wanita lain yang bisa memberikan keturunan. Adnan mengangguk, ia juga tidak mau memaksa istrinya. Ingatan lelaki itu sudah mulai berangsur kembali, ia ingat dulu Lea pernah menangis kecewa karena mengira dirinya hamil karena telat haid dua bulan ternyata hanya karena stres saja. “Ini, beneran buat aku? Nanti kalau habis baru mau.” Adnan mengalihkan pembicaraan. “Nggak. Buat Mas. Aku
“Tolong jangan pergi, Lita. Aku minta maaf.” Devan mulai takut kehilangan. Ia memang belum bisa mencintai istrinya itu tapi ia akan berusaha menjadi suami dan ayah yang baik. “Apa sekarang alesana Mas masih sama?” Devan menggeleng, ia masih memeluk erat istrinya. “Mas, lepas.” Jelita mencoba mendorong Devan. “Nggak mau. Kamu pasti mau ninggalin aku ‘kan?” Jelita memukul punggung suaminya, kesal. “Aku sesak ini, dedeknya kejepit.” Baru Devan mengurai pelukan setelah mendengar protes sang istri. “Maaf.” Wanita hamil itu tercengang karena melihat mata suaminya merah dan basah. Dia menangis? Apa Mas Devan benar-benar menyesalinya. Untuk saat ini Jelita belum bisa percaya, karena hatinya masih terluka karena alasan su
“Mau makan apa?”Jelita menggeleng. “Masih kenyang.”“Nanti kalau aku kerja, kamu ditemani bibik di rumah.”“Nggak bisa ya kalau aku ke rumah Ibu?”“Boleh banget. Senyamannya kamu saja.”Sebenarnya Jelita merasa aneh karena sikap Devan. Sebenarnya bukan pertama kalinya lelaki itu bersikap manis, dulu saja saat menjalin hubungan terlarang, Devan selalu manis dan romantis. Namun setelah menikah malah berubah.Seharian itu Devan tidak pernah beranjak dari samping sang istri.Jelita tampak fokus menikmati tayangan televisi sambil mengunyah keripik kentang.“Mas. Aku bosen di rumah.”“Kamu mau kemana?”“Jalan-jalan, sambil cari makan. Kayaknya kepiting enak.”“Ayo.” Devan berdiri, mengulurkan tangannya untuk membantu sang istri.Perhatian kecilnya membuat debaran
“Mau apa kamu kesini?” Lea berucap ketus.Meski begitu ia tetap menyalami mamanya Devan, bagaimanapun ia menghormati orang tua.“Lea. Mama kesini anter Devan.” Mama Irma memulai pembicaraan.“Ma, biarkan Devan yang bicara.” Lea tidak mau melibatkan orang tua dalam masalah yang ada.Devan tampak gelisah dalam duduknya. Ia tampak baik-baik saja, tidak ada memar di wajah.Saat perjalanan Lea sempat berpikir akan ada baku hantam antara suaminya Devan ternyata itu semua tidak terjadi. Hanya ketakutannya saja.“Silakan kalian bicara, Mama tunggu di luar ya.” Wanita paruh baya itu memilih untuk keluar rumah, membiarkan ruang untuk mereka bicara.Ada percikan cemburu dalam hati Adnan melihat jika istrinya begitu dekat dengan mamanya Devan. Sebenarnya wajar kalau sebelumnya mereka pernah akan menikah.“Aku kesini karena mau tanggung jawab pada Jelita.”Kening Adnan berkerut. “Maksud kamu?”“Izinkan aku kembali sama Jelita, Om. Aku mau rujuk sama dia.”Tiga orang itu terbelalak mendengar perkat