Beberapa hari terakhir mulai memasuki musim penghujan. Langit mendung dengan awan putih tebal menyambut hari Chiara setiap keluar rumah saat hendak pergi ke kampus. Ia tak hanya harus terbiasa dengan pergantian musim, tapi juga pengingat yang kerap didengarnya setiap waktu. Misalnya saja seperti sekarang ini. Setelah menyajikan sarapan untuk tuannya di meja makan, ia diminta duduk menemani. Sekalipun Leona juga akan bergabung, tetap saja Yanuar menginginkannya duduk di sana. Lalu kata-kata muncul dari mulut pria itu. “Payungnya jangan lupa,” katanya. “Jaket atau hoodie udah kamu bawa, ‘kan?” Chiara hanya bergumam mengiyakan bersama anggukan pelan. Ia tak membalas tatapan sang tuan karena enggan merasakan debaran aneh di dada. Lantas ia memilih sibuk menyantap nasi goreng ke mulutnya. “Kalau hujannya deras, nanti sopir saya yang jemput. Kecuali saya lembur, baru saya ikut ke kampus kamu,” tambah Yanuar, mengulang kalimatnya beberapa hari terakhir ini. “Pak, kayaknya saya bisa pula
“Pak, kayaknya saya nggak bisa deh antar makanan lagi sampai ke ruangan Bapak begini setiap hari.”Yanuar menoleh cepat pada Chiara dari layar komputer di hadapannya. “Apa maksud kamu?”Alih-alih menjawab, Chiara malah menggaruk tengkuknya karena bingung. Dari sana Yanuar mengambil celah untuk melanjutkan bicara.“Kamu menolak perintah saya yang kelewat mudah begini?”“B-bukan kayak gitu, Pak.” Chiara mengibaskan tangan panik.“Terus apa?”Yanuar yang memang tak sabaran, akhirnya beranjak dari tempat duduk dan melangkah mendekati Chiara. Ia meminta gadis itu menempati sofa panjangnya untuk menjelaskan lebih detail inti perkaranya.“Apa tugas saya terlalu berat sampai kamu keberatan begini? Jangan-jangan kamu udah mulai mengikuti saran Lele ya?” cecar Yanuar dengan segala hal yang terlintas di pikiran. “Sejak kapan kamu pacaran sama Dimas?”“Dari mana Bapak tahu nama Dimas?” Tatapan Chiara berubah menyelidik. “Saya nggak pernah bilang soal Dimas ke Bapak padahal.”Mata Yanuar bergerak
Chiara masih bergeming di tempatnya berdiri sekarang. Bibir bawah pun digigitnya selama beberapa saat. Ketika mengetahui mobil yang biasa dibawa tuannya sudah berada di halaman rumah, hal itu jelas menandakan Yanuar sudah pulang.Mengingat ucapan pria tadi yang cukup lantang, sudah jelas Yanuar benar-benar pulang ke rumahnya dengan emosi yang mungkin masih mengendap. Namun ia tak bisa terus berdiri begini karena takut kena semprot. Lagi pula sikapnya tak sepenuhnya salah, karena mau berbohong atau jujur tentang kegiatannya bersama Dimas adalah haknya.“Chiara? Ngapain kamu bengong di sini?”Badannya sontak terlonjak saat tepukan yang dibarengi pertanyaan itu muncul mendadak. Ketika kepalanya menengok ke sumbernya, rupanya sosok Sukma sudah berada di sisinya. Menatapnya lembut selayaknya ibu pada anak gadisnya.“Eh, Bu Sukma,” sapanya ramah. “Ini tadi saya lagi lihat langit, lumayan mendung ternyata.”Wanita itu mengulum senyum, seperti tak menaruh curiga sama sekali atas alasannya. “Y
“Pak … tangan saya sakit!” serunya masih mencoba.Jantungnya tak karuan ketika Yanuar menutup pintu kamar rapat-rapat. Ia kelewat takut jika sudah begini, apa mungkin pria itu akan bertindak untuk menghukumnya hanya karena kebohongan kecil yang dibuatnya tadi? Jika iya, itu sangat tidak masuk akal.“Pak … Pak Yanuar, mau apa?” Suaranya terbata-bata. Gugup menyerang sanubari sekaligus memenuhinya sekarang.Chiara kembali dikejutkan dengan pergerakan Yanuar yang membuatnya mau tak mau harus melangkah mundur. Sampai punggungnya membentur dinding di dekat pintu. Mata Yanuar bagai sedang menyelami wajahnya, lalu tatapan itu turun perlahan ke bibirnya.Waktu bergulir kelewat cepat. Chiara tak bisa mengantisipasi hingga sesuatu yang kenyal nan basah menyentuh bibirnya. Tubuhnya membeku saat suara lenguhan sang pria hadir di sela momen itu. Tangannya sempat menggapai-gapai dan meraba tembok di belakangnya.“Panas ….”Iris Chiara melebar usai menuturkan kalimat aneh bin ajaib. Bagaimana bisa i
Kening Yanuar berkerut setelah menuntaskan mandinya. Ia memandang tempat tidur yang hanya berisikan bantal, guling, dan selimut. Tidak ada pakaian kerjanya di atas sana seperti setiap pagi. Rupanya Chiara tak hanya marah, gadis itu murka sampai melalaikan tugas sebagai asistennya.“Semalam main kabur ke kamar, paginya absen sama tugas? Emang dasar Bocah Tengil!”Sambil berdecak kesal, Yanuar pun mengambil kemejanya sendiri di walk in closet. Setelahnya, ia keluar untuk menyantap sarapan. Hal yang membuatnya asing adalah ketiadaan Chiara yang biasa ia temukan gadis itu di dapur.Justru hanya ada Leona yang asyik menikmati sarapan di meja makan. Selebihnya hanya ada embusan angin dan sinar matahari sebagai pelengkap pagi itu.“Sendirian?” sapanya seraya menarik kursi dan duduk di atasnya. “Chiara ke mana?”Leona menghentikan kunyahannya. “Lo nggak tahu atau pura-pura nggak tahu, sih, Kak?”Gerak tangannya yang hendak mengambil nasi hangat pun terhenti. Matanya melihat Leona yang menatap
“Shit! Malah di-reject!” umpat Yanuar. Lantas ia mencoba menelepon Chiara untuk ke sekian kalinya. Dan hasilnya sama, gadis itu tak bisa dihubungi malah sekarang nomornya tidak aktif sama sekali.Di atas meja sudah ada kiriman makanan dari satpam di lobi. Katanya, Chiara yang membawakan, tapi gadis itu tak memberitahunya lebih dulu. Lalu pergi begitu saja, seakan ada hal yang lebih penting dari pekerjaannya.Hal yang membuat Yanuar makin geram adalah makan siang yang dibawa Chiara bukan masakan rumahan, melainkan makanan dari warteg. Ia bisa mencium aromanya meski belum membukanya.“Kalau mau menghindar, nggak gini caranya!” keluhnya seraya meraih kotak makan itu. Ia memandanginya sejenak setelah dibuka, lalu mengambil sendok dan mencoba menyantapnya satu suapan. “Ini semisal gue sakit karena keracunan, gue siap tuntut itu bocah!”“Hei … hei … jangan main asal tuntut kali?” timpal Yabes yang sejak tadi sudah berada di ruang kerjanya. Pria itu masih berjibaku dengan berkas di tangan se
Sebelum gerimis menyerang kepalanya, Chiara bisa menyadari bayangan yang tampak di atas kepalanya sekarang. Kepalanya tertoleh ke atas dan mendapati sebuah payung berada tepat di kepala. Lalu ia mengarah pada tangan yang menggenggam erat gagang payung hingga wajah serius sekaligus dinginnya Yanuar yang terlihat jelas di depan mata.Perlahan pundaknya disentuh dan didorong entah ke mana. Sebab kesadarannya belum sepenuhnya pulih. Semua berjalan begitu cepat sampai ia menduduki kursi penumpang di samping tuannya yang sudah memasang sabuk pengaman.“Bengong terus dari tadi, kerasukan?”Mata Chiara mengerjap cepat, lalu ia membuang wajah ke sisi jendela demi menutupi reaksinya yang mungkin berlebihan. Mukanya panas dan bisa saja sudah memerah seperti buah delima. Sungguh memalukan!Begitu kendaraan mewah itu mulai berjalan, debar jantung Chiara mulai berangsur normal. Sejak memutuskan pilihannya, ia sudah menduga ini akan terjadi. Yanuar benar-benar mendatanginya sebelum gerimis berubah m
Lelah? Sudah pasti. Itu yang dirasakan Yanuar selepas menghadiri rapat dadakan yang ia minta melalui Yabes. Semua tim memberikan presentasi cukup baik, tapi baginya itu tak memenuhi kriterianya.Ia menghempaskan tubuh di sofa panjang yang tersedia di ruang kerja. Lipatan tangan menjadi bantalan kepala. Semula matanya memejam sebelum kehadiran Yabes menganggu jam istirahatnya yang sengaja diambil di sela waktu singkat seperti ini.“Lo tahu proyek kita jadi lamban banget begini karena apa?”Yanuar mendengkus usai membuka mata dan menangkap presensi bawahannya itu baru melempar berkas ke meja. Tampangnya terlihat buruk sekali, seakan beban di pundaknya makin berat saja.“Tanpa lo ngomong begini, bukannya udah jelas siapa biang keroknya?” Yanuar menimpali. Ia bangkit untuk duduk.Ada beberapa nama yang mencuat begitu proyek perusahaannya tersendat-sendat. Penyebabnya bermacam-macam, ada kuli proyek yang tersulut rumor tidak jelas sampai mogok kerja. Disusul preman yang meminta pajak liar