Kening Yanuar berkerut setelah menuntaskan mandinya. Ia memandang tempat tidur yang hanya berisikan bantal, guling, dan selimut. Tidak ada pakaian kerjanya di atas sana seperti setiap pagi. Rupanya Chiara tak hanya marah, gadis itu murka sampai melalaikan tugas sebagai asistennya.“Semalam main kabur ke kamar, paginya absen sama tugas? Emang dasar Bocah Tengil!”Sambil berdecak kesal, Yanuar pun mengambil kemejanya sendiri di walk in closet. Setelahnya, ia keluar untuk menyantap sarapan. Hal yang membuatnya asing adalah ketiadaan Chiara yang biasa ia temukan gadis itu di dapur.Justru hanya ada Leona yang asyik menikmati sarapan di meja makan. Selebihnya hanya ada embusan angin dan sinar matahari sebagai pelengkap pagi itu.“Sendirian?” sapanya seraya menarik kursi dan duduk di atasnya. “Chiara ke mana?”Leona menghentikan kunyahannya. “Lo nggak tahu atau pura-pura nggak tahu, sih, Kak?”Gerak tangannya yang hendak mengambil nasi hangat pun terhenti. Matanya melihat Leona yang menatap
“Shit! Malah di-reject!” umpat Yanuar. Lantas ia mencoba menelepon Chiara untuk ke sekian kalinya. Dan hasilnya sama, gadis itu tak bisa dihubungi malah sekarang nomornya tidak aktif sama sekali.Di atas meja sudah ada kiriman makanan dari satpam di lobi. Katanya, Chiara yang membawakan, tapi gadis itu tak memberitahunya lebih dulu. Lalu pergi begitu saja, seakan ada hal yang lebih penting dari pekerjaannya.Hal yang membuat Yanuar makin geram adalah makan siang yang dibawa Chiara bukan masakan rumahan, melainkan makanan dari warteg. Ia bisa mencium aromanya meski belum membukanya.“Kalau mau menghindar, nggak gini caranya!” keluhnya seraya meraih kotak makan itu. Ia memandanginya sejenak setelah dibuka, lalu mengambil sendok dan mencoba menyantapnya satu suapan. “Ini semisal gue sakit karena keracunan, gue siap tuntut itu bocah!”“Hei … hei … jangan main asal tuntut kali?” timpal Yabes yang sejak tadi sudah berada di ruang kerjanya. Pria itu masih berjibaku dengan berkas di tangan se
Sebelum gerimis menyerang kepalanya, Chiara bisa menyadari bayangan yang tampak di atas kepalanya sekarang. Kepalanya tertoleh ke atas dan mendapati sebuah payung berada tepat di kepala. Lalu ia mengarah pada tangan yang menggenggam erat gagang payung hingga wajah serius sekaligus dinginnya Yanuar yang terlihat jelas di depan mata.Perlahan pundaknya disentuh dan didorong entah ke mana. Sebab kesadarannya belum sepenuhnya pulih. Semua berjalan begitu cepat sampai ia menduduki kursi penumpang di samping tuannya yang sudah memasang sabuk pengaman.“Bengong terus dari tadi, kerasukan?”Mata Chiara mengerjap cepat, lalu ia membuang wajah ke sisi jendela demi menutupi reaksinya yang mungkin berlebihan. Mukanya panas dan bisa saja sudah memerah seperti buah delima. Sungguh memalukan!Begitu kendaraan mewah itu mulai berjalan, debar jantung Chiara mulai berangsur normal. Sejak memutuskan pilihannya, ia sudah menduga ini akan terjadi. Yanuar benar-benar mendatanginya sebelum gerimis berubah m
Lelah? Sudah pasti. Itu yang dirasakan Yanuar selepas menghadiri rapat dadakan yang ia minta melalui Yabes. Semua tim memberikan presentasi cukup baik, tapi baginya itu tak memenuhi kriterianya.Ia menghempaskan tubuh di sofa panjang yang tersedia di ruang kerja. Lipatan tangan menjadi bantalan kepala. Semula matanya memejam sebelum kehadiran Yabes menganggu jam istirahatnya yang sengaja diambil di sela waktu singkat seperti ini.“Lo tahu proyek kita jadi lamban banget begini karena apa?”Yanuar mendengkus usai membuka mata dan menangkap presensi bawahannya itu baru melempar berkas ke meja. Tampangnya terlihat buruk sekali, seakan beban di pundaknya makin berat saja.“Tanpa lo ngomong begini, bukannya udah jelas siapa biang keroknya?” Yanuar menimpali. Ia bangkit untuk duduk.Ada beberapa nama yang mencuat begitu proyek perusahaannya tersendat-sendat. Penyebabnya bermacam-macam, ada kuli proyek yang tersulut rumor tidak jelas sampai mogok kerja. Disusul preman yang meminta pajak liar
Lirikan yang dilakukan Yanuar sejak tadi terlepas saat kepala Chiara tertoleh ke arahnya. Ia berdeham pendek dan meneruskan alat makannya di atas piring. Bersiap menyantap sisa nasi uduk yang dibuat Chiara sejak pagi buta.Nyaris tiap hari, Yanuar merasa ada banyak kejanggalan yang dirasakannya semenjak permintaan maaf itu pada Chiara. Ia pikir si gadis akan menuntutnya menjelaskan apa alasan ciuman itu, tapi malah tidak terjadi apa pun. Sepertinya Chiara sudah benar-benar melupakan momen tersebut, berbeda dengannya yang kalut di setiap malam.“Bapak kalau ada perlu apa-apa, tinggal bilang ke saya,” tukas Chiara di akhir kunyahannya. “Percuma Bapak lihatin saya dari tadi, saya nggak akan tahu apa inginnya Bapak.”Yanuar berdecih setelah matanya membulat akibat tertangkap basah. “Apa-apaan?” tampiknya merasa tertuduh. “Kamu kepedean banget ya jadi anak?”“Ya … daripada minder?” timpal Chiara santai. “Toh udah kelihatan jelas, emang Bapak mau ngomong apa, sih? Kayaknya ada sesuatu, tapi
“Sori banget, gue lupa atur ulang pemesanan kamar hotel waktu Chiara setuju ikut ke Bali,” sahut Yabes yang sama sekali tak memuaskannya. “Tapi, lo bisa sekamar sama dia kok. Selagi lo tahan nafsu dan nggak memandang Chiara sebagai perempuan yang berhasil buat lo turn on.”Yanuar paling benci pada kebiasaan Yabes yang tak teliti dalam pekerjaannya. Seperti sekarang, yang mungkin efeknya akan lebih besar dari yang ia duga.Terdengar kekehan pelan di sela ucapan Yabes. Membuat Yanuar makin jengkel. “Kalau aja lo ada di sini, udah abis lo sama gue. Kampret!” makinya.Selepas mengakhiri panggilan sepihak, ia menahan napas ketika memandang Chiara dari luar hotel melalui kaca. Bayangan gila muncul sekelebat di sana, cepat ia enyahkan sebelum melangkah menghampiri.Badannya membeku sewaktu Chiara mulai konfrontasi atas ucapannya yang kelewatan begitu memasuki kamar. Tak pernah ia duga gadis itu bakal tersiksa dan kesulitan memenuhi ucapannya. Setelah selama ini, ia merasa tak ada keluhan ata
Yanuar memandang lekat punggung mungil itu yang perlahan menghilang begitu memasuki kamar mandi. Ia menutup wajah seketika, menyadari panas yang dirasa. Mungkin telinganya sudah sangat memerah sekarang, seperti wajahnya yang bisa disamakan dengan kepiting rebus.Senyum tak berhentinya tercurah di sana. Bibirnya ia kulum saat merasa sisa jejak milik Chiara. Tak pernah ia bayangkan tingkahnya yang kembali seperti ABG ini. Padahal usianya sudah kepala tiga.“Astaga …” gumamnya seraya menyentuh dada. Jantungnya bergemuruh, menandakan rasa senang bukan kepalang.Di tengah kegilaannya, staff hotel mengetuk pintu. Membawakan pesanan yang disambut Yanuar dengan senyum aneh. Ia meletakkan minum serta camilan di meja. Lalu bergerak menuju kamar mandi dan memanggil Chiara yang sejak tadi belum keluar juga.Ketika gadis itu keluar, dapat Yanuar saksikan betapa keras usaha Chiara untuk menghindari tatapannya. Langkah si gadis bergerak lambat seakan menunggunya berjalan lebih dulu.“Ini jus Chiara
Langit malam yang penuh bintang malam itu berbeda dengan perasaan tak karuan Yanuar. Begitu pula Chiara yang sudah lantang meneriaki tuannya. Jujur, ia kelepasan. Semua yang terpendam dalam hati, mendadak meledak. Chiara kesulitan mengontrolnya, sebab sudah tak tahan melihat bagaimana hidup Yanuar yang terus menjadi kambing hitam."Apa Bapak mau diam aja terus menerus?" tanya Chiara setelah ada jeda cukup lama di antara mereka. "Pak?""Lebih baik kita kembali ke dalam, ada beberapa orang penting yang belum saya sapa," tukas Yanuar, tampak sengaja mengalihkan topik. "Kamu harus ikut saya, di sini lebih berbahaya kalau kamu sendirian."Yanuar mengulurkan tangan, mungkin berharap si gadis setuju menyambutnya. Namun, Chiara justru menatapnya lurus-lurus."Chiara …."Mata gadis itu menyipit seolah sedang sibuk menelisik. "Apa orang-orang di dalam ada hubungannya sama kejadian proyek Bapak yang tersendat itu?" Pasang iris tajam bak elang itu melebar. "Tahu dari mana kamu?" tanyanya. "Kamu