“Jadwal gue setelah ini apa lagi, Bes?”Tanpa mendongak ke arah bawahannya, Yanuar melempar tanya sambil menatap foto yang dikirimkan Chiara belum lama ini. Istrinya itu sedang rajin-rajinnya pergi ke kelas yoga dan beberapa pertemuan dengan Lily dan juga Rein.Perubahan Chiara kedengaran bagus sekali. Terutama Mami yang senang bukan kepalang mendapati kabar itu. Sampai Yanuar baru menyadarinya sekarang karena kelewat sibuk dengan urusan kantor dan masalah yang terus datang.“Ada meeting online sama pegawai Kominfo untuk bahas masalah tambang yang sempat muncul di media dua hari lalu.”Kini Yanuar mengalihkan pandangan, beradu tatap dengan Yabes sambil membuang napas kasar. “Jadi, gue nggak dibolehin istirahat atau makan malam di rumah sama istri ya, Bes?”Yabes mengulum senyum samar. Rautnya berubah tak enak mendapati sarkasme yang dilontarkan atasan, tapi apa boleh buat. Semua sudah dirancang baik-baik dan mendapat persetujuan Yanuar secara langsung.“Kasih lima menit,” pinta Yanuar
Ada getar yang bisa Yanuar rasakan ketika menggenggam tangan Chiara. Ia mengeratkannya, berusaha menenangkan tiap detik hingga getaran itu perlahan redup dan akhirnya menghilang. Yanuar tak tahu apa yang tengah dipikirkan Chiara sekaligus disembunyikan istrinya itu sekarang. Yang jelas, mereka sempat cekcok sebentar sebelum berangkat ke rumah sakit seperti sekarang. Di perjalanan pun, tak ada perbincangan yang terjadi di antara keduanya. Mereka sama-sama bungkam sampai Yanuar membuka suara begitu merangkul pinggul Chiara menuju poli yang dituju. "Kamu kelihatan gugup, dan ... pucat," celetuk Yanuar sesaat setelah duduk di kursi begitu tiba di ruangan dokter. Chiara mengambil napas dan menggeleng kemudian. "Biasa kalau mau check up pasti ada gugupnya, Mas." Suara itu terdengar penuh kebohongan di telinga Yanuar, tapi ia tak mempermasalahkannya sekarang. Beberapa rangkaian pemeriksaan sudah dilewati Chiara dan Yanuar melihatnya saksama. Penuh perhatian lekat dan fokusnya pun sengaj
Rasanya beban-beban di pundak makin berat saja tiap kali ia pulang dari perkumpulan Rein dan yang lain. Tak hanya pundak, rupanya punggung hingga pinggulnya sudah menunjukkan rasa lelah sejak di perjalanan tadi. Perutnya kian membesar di usia kandungan pada bukan ke-7 ini, napasnya sering sesak setiap kali merebahkan diri.Apalagi selama melewati pertemuan tadi, Chiara tak begitu menikmati makanan. Ia hanya menyimak tiap kali perbincangan muncul. Walaupun isinya hanya itu-itu saja. Obrolan wanita berkelas yang membicarakan kekayaan keluarga hingga pasangan, dan sayangnya Chiara tak mampu melakukan hal sama.Memang apa yang harus ia pamerkan dari harta suaminya? Meskipun keluarga Yanuar jauh lebih di atas Rein dan yang lain, tetap saja Chiara tak bisa bercuap-cuap asal agar dianggap ada orang lain. Ia pikir, itu tindakan kekanakan dan kurang pantas.“Kita istirahat habis ini ya, Dek,” gumam Chiara sambil mengelus perutnya yang buncit. “Udah sampai rumah, nih.” Ia membuka pintu dan mela
"Chiara pecah ketuban, Nu."Satu pernyataan berbuah informasi penting itu berhasil membuat tubuh Yanuar kaku. Tangannya terhenti di udara ketika hendak meminum kopi hangat untuk menyegarkan diri dari kantuk."Sekarang udah di rumah sakit." Yabes yang berada di sampingnya menambahkan. "Kata Tante Sukma, Chiara udah masuk pembukaan delapan. Dokter menyarankan pindah ke ruang bersalin, tapi Chiara menolak karena bersikeras nunggu lo."Yanuar memejamkan mata sejenak. Mengingat janji mereka yang akan menyambut kelahiran bayi bersama. Tindakan Chiara tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena wanita itu masih berupaya keras.Bayangan Chiara yang merintih dan menahan sakit perutnya sekelebat terlintas di benak Yanuar. Sontak Yanuar bangkit dari duduk. "Kita ke rumah sakit sekarang," putusnya cukup mengejutkan Yabes. "Lagi pula pesawat kita delay lama."Seharusnya Yanuar dan Yabes sudah tiba di Kalimatan untuk keperluan dinas, tapi karena cuaca buruk, jadwal penerbangan berubah total. Ia menungg
“Sejak kapan kamu magang di perusahaan ini?” Pertanyaan itu terlontar begitu Chiara memasuki ruangan. Bahkan sebelum ia memberikan salam ramah pada pria itu. Jantungnya terus berdetak lebih cepat hingga membuatnya menjeda jawaban sedikit lama. “Baru seminggu lalu, Pak,” aku Chiara jujur. Kepalanya tertunduk, tak berani menatap atasannya yang dari auranya saja sudah mengerikan. Semenjak menjadi pemagang di PT Melintang Raya, Chiara belum pernah sekalipun berhadapan dengan CEO-nya langsung. Hari ini ia berkesempatan bertemu karena mendadak dipanggil sosok pria 30 tahunan itu. Namun, bukan untuk memperkenalkan diri sebagai anak magang baru, melainkan disidang atas kesalahannya sendiri. “Setelah ini, kamu balik ke meja dan ketik surat pengunduran diri,” titah Yanuar dengan dagu sedikit terangkat. “10 menit cukup, ‘kan?” Dua iris Chiara melebar. “Lho, Pak, jobdesk saya bukan mengetik surat pengunduran—“ “Coba kamu lihat laporan data keuangan yang kamu buat di sini!” Yanuar melempar be
“Lo dapat makhluk begituan dari mana, sih?” keluh Yanuar sambil mengompres pipinya yang baru kena tampar. “Bisa-bisanya HRD kecolongan dan lolosin bocah gila itu ke perusahaan gue!” Sekretaris Yanuar, Yabes terkekeh pelan melihat atasannya terus mengeluhkan ini-itu. Padahal ia sudah mengajak Yanuar untuk pergi ke rumah sakit, tapi pria itu justru menolak mentah-mentah. Mungkin harga diri dan gengsi Yanuar lebih diprioritaskan sekarang, sampai mengobati memar di wajah pun diabaikannya. “Gue lihat sesuai standar perusahaan kita, Chiara cukup mumpuni,” ungkap Yabes. “Pengalamannya juga lumayan, cuma dia lagi apes aja waktu lo ambil salah satu kerjaan dia kemarin.” Yanuar masih ingat soal kejadian kemarin, saat ia baru tiba di kantor setelah menyelesaikan urusannya di Jambi. Ada beberapa tumpukan berkas di meja Yabes, lalu ia mengambilnya asal dan menemukan berkas anak magang di sana. Mengingat kekonyolan itu, Yanuar tersenyum tipis. “Syukurin!” teriaknya puas. “Pokoknya gue nggak mau
Berkat sweater temannya yang bekerja di kafe, Chiara bisa menutupi kemeja putihnya yang basah. Kepercayaan dirinya kembali dan membuatnya berjalan tegap memasuki halaman rumah megah yang dikunjunginya sekarang. Pandangannya menyapu ke sekeliling, sedikit kikuk saat menginjak paving block di kediaman konglomerat. “Tadi kata satpam di depan, disuruh masuk aja ke dalam,” gumam Chiara pelan. “Tapi ini emang nggak pa-pa ya nyelonong aja?” Gadis itu ragu, tapi akhirnya memilih mengetuk pintu sampai berkali-kali karena belum ada sahutan dari dalam. Hingga kemudian ia baru sadar ada bel di dekat pintu. Sembari merutuki kebodohannya, Chiara menekan bel itu dan mendengar suara dari dalam. Tak lama seorang wanita paruh baya keluar dan mempersilakannya masuk. Beberapa kali Chiara menganga melihat interior rumah itu. Cukup megah, bahkan bisa digunakan bermain bulutangkis kalau saja sofa dan peralatan di ruang tamu disingkirkan. Namun yang menarik, tak ada bingkai foto yang terpasang di dinding s
“Ra, sini ikut makan bareng.” Langkah Chiara terhenti, niatnya hendak membereskan dapur akhirnya gagal total. Sukma mencegatnya dan mau tak mau, ia harus bergerak patuh. Meski setiap kakinya berpijak, mata tajam itu kelihatan sekali menggambarkan kebencian. Mungkin karena sikapnya yang masuk ke teritori pibadi pria itu. Sampai melihat sesuatu yang seharusnya tidak dilihatnya. Mengingat kejadian itu, Chiara jadi malu sendiri. Ditambah sebelum datang ke rumah ini, mereka bertemu di depan kafe dan berdebat seperti musuh bebuyutan. Chiara sudah sampai di dekat Suka, masih berdiri. Jujur ia bingung harus melakukan apa, entah itu duduk di kursi atau pamit pergi. “Bu, saya—“ “Mi, ngapain, sih ngajakin orang asing makan di meja bareng kita?” Yanuar mulai menunjukkan aksi protesnya. “Nafsu makanku hilang nih jadinya.” Ia meletakkan kedua alat makan di piring, menghasilkan bunyi cukup nyaring. “Ah, kamu. Dari tadi aja makannya lahap, suka nggak sama makanannya?” tanya Suka lembut. “Chiara