“Ra, sini ikut makan bareng.”
Langkah Chiara terhenti, niatnya hendak membereskan dapur akhirnya gagal total. Sukma mencegatnya dan mau tak mau, ia harus bergerak patuh. Meski setiap kakinya berpijak, mata tajam itu kelihatan sekali menggambarkan kebencian.
Mungkin karena sikapnya yang masuk ke teritori pibadi pria itu. Sampai melihat sesuatu yang seharusnya tidak dilihatnya. Mengingat kejadian itu, Chiara jadi malu sendiri. Ditambah sebelum datang ke rumah ini, mereka bertemu di depan kafe dan berdebat seperti musuh bebuyutan.
Chiara sudah sampai di dekat Suka, masih berdiri. Jujur ia bingung harus melakukan apa, entah itu duduk di kursi atau pamit pergi. “Bu, saya—“
“Mi, ngapain, sih ngajakin orang asing makan di meja bareng kita?” Yanuar mulai menunjukkan aksi protesnya. “Nafsu makanku hilang nih jadinya.” Ia meletakkan kedua alat makan di piring, menghasilkan bunyi cukup nyaring.
“Ah, kamu. Dari tadi aja makannya lahap, suka nggak sama makanannya?” tanya Suka lembut. “Chiara lho yang bikin.”
Yanuar menyeringai. “Nggak enak, ini keasinan!” serunya malas. “Yang buat kayak orang kebelet nikah!”
Dua tangan Chiara sontak mengepal di sisi tubuhnya. Pasang irisnya juga melirik Yanuar sekilas. Benar-benar tak habis pikir dengan sikap pria itu. Tidak di kantor, di luar rumah, bahkan di hadapan ibunya sekalipun, sikapnya sangat menyebalkan.
“Yanu, nggak boleh menghina makanan. Mami aja suka banget sama masakannya Chiara, bumbunya pas.”
Mendengar hasil kerjanya dipuji, amarah Chiara mulai menyusut. Setidaknya ada penawar kekesalannya sekarang. Ia pun melempar senyum lega dan penuh syukur pada Sukma.
“Terserah,” sahut Yanuar ketus yang kemudian bangkit dari kursi dan hendak berlalu.
“Mau ke mana kamu, Nu?”
“Ngerokok.” Kepala pria itu tertoleh sekejap, sebelum akhirnya melenggang pergi. “Engap lama-lama di sini.”
Memang kehadiran Chiara di sana sudah seperti asap tebal sampai membuat pria itu kesulitan bernapas? Benar-benar. Sorot mata Chiara berubah tajam, hingga akhirnya kembali melembut ketika lengannya ditarik pelan oleh Sukma.
“Ra, jangan didengar, ya. Yanu emang lumayan sensi kalau ketemu orang baru, dia dan kamu sama-sama butuh usaha lebih untuk beradaptasi.”
Chiara menggigit bibir, jadi khawatir. “Tapi, saya nggak akan dipecat, kan, Bu?”
“Mana mungkin, dia aja suka sama masakan kamu, Ra. Sini kamu duduk, temani saya makan,” pinta Sukma sambil menepuk kursi kosong di sampingnya. “Habis ini saya akan bujuk Yanu, jadi, kamu jangan khawatir.”
“M-makasih banyak, Bu Sukma.”
“Ayo dimakan.”
***
Chiara baru saja membereskan kamar tidurnya. Meletakkan beberapa makanan ringan yang dibelinya di minimarket tadi. Hendak merebahkan diri di ranjang, tapi niatnya segera diurungkan karena tak enak. Selagi duduk di ubin dingin, tubuhnya tersentak ketika mendengar perdebatan antara ibu dan anak di ruang tengah.
“Aku nggak mau, Mi!” kata Yanuar lantang. “Sekali nggak, tetap nggak jawabannya.”
Kenal betul suara berat yang menggelegar itu, Chiara menahan napas. Dadanya bergemuruh karena takut kalau ujung-ujungnya dipecat lagi dengan cara yang sama. Ia mengeratkan pegangan di ujung roknya sambil menenangkan diri agar tidak berpikir macam-macam.
Melalui celah pintu yang sengaja tak ditutup rapat, gadis itu bisa menangkap perbincangan di luar, meskipun samar-samar. Perlahan tubuhnya bergerak mendekati daun pintu, mulai mendengarkan dua orang itu berbicara. Sembari berharap agar tidak dipecat untuk kedua kali. Jika keberuntungannya tidak di sini, harus ke mana lagi ia mencari?
“Dengarkan Mami dulu, Nu. Please, sit down first.” Sukma menepuk-nepuk bagian sofa, mencoba membujuk sang putra agar menurut.
Menghela napas kasar, akhirnya Yanuar setuju. “Mi … usir dia,” pintanya. “Aku bisa kok urus rumah sendiri dan cari asisten yang lebih proper.”
“Mami nggak akan mengambil keputusan baru selain mempertahankan Chiara di rumah ini,” ujar Sukma tegas. “Kamu memang sudah dewasa, bisa urus semua sendiri. Itu juga jadi harapan Mami setiap hari, tapi semenjak nggak ada asisten rumah tangga di sini, semua kelihatan berantakan. Coba kalau kamu cari istri—“
“Mi,” potong Yanuar bersama sorot seriusnya. “Berkali-kali aku bilang, aku nggak mau bahas soal itu. Back to topic.”
Rahang Yanuar mengeras. Wajahnya mulai memerah dan disertai napas tersengal karena topik sensitif itu kembali merasuk dua telinganya. Lantas ia membuang muka demi menenangkan diri sesaat sebelum akhirnya membalas ucapan ibunya.
“Cukup, Mi. Jangan paksa aku untuk menikah,” katanya menegaskan. “Aku nggak butuh pasangan, jadi Mami nggak perlu melakukan apa pun.”
Sukma mengerjap pelan. Dua irisnya mulai berkaca-kaca, membuat pandangannya memburam. Diikuti tangan dan tubuh yang gemetar kalau saja Yanuar tak bergerak menggenggam.
Lantas Yanuar menatap ke arah ruang yang kini sedang ditempati Chiara. Bocah tengil yang sukses mengejutkannya di kamar. Ia bahkan harus menutupi bagian tubuhnya yang tak tertutupi atasan sama sekali. Setelah kejadian tamparan sebulan lalu dan dilanjut di depan kafe tadi, harga dirinya seperti baru dicoreng habis-habisan oleh gadis itu.
“Anak itu masih mahasiswi, mana bisa dia kerja di sini. Aku mencoba realistis aja, Mi,” tolaknya tanpa tedeng aling-aling. “Kalau Mami kasihan sama dia, kasih kerjaan lain aja. Asal jangan di sini.”
Alih-alih memenuhi permintaan sang putra, Sukma justru tertarik pada fakta terselubung yang diutarakan Yanuar. “Kamu tahu dari mana Chiara masih kuliah? Padahal Mami belum sempat jelaskan apa pun, lho,” ujarnya bingung, hingga tak lama senyum terulas di wajahnya. “Kalian sudah saling kenal?”
Yanuar hendak membalas dan menjelaskan semua yang telah terjadi di antaranya bersama Chiara. Namun, Sukma justru makin menunjukkan raut bahagia. Tak lama tangannya terangkat sejalan dengan kepala yang memutar ke arah pintu kamar Chiara. Wanita itu rupanya memanggil si Bocah Tengil.
“Chiara! Ke sini sebentar, Ra. Ada yang mau saya tanyakan.”
Benar saja, gadis dengan rambut lurus sebahu itu muncul di balik pintu. Sepasang mata coklat seperti kucing itu enggan membalas tatapan Yanuar. Berbeda sekali dengan gadis yang berani mengejek tubuhnya belum lama ini, nyala api keberanian yang berkobar sepertinya sudah surut.
Yanuar berdeham pendek ketika Chiara diam berdiri, padahal sudah diminta duduk. Mungkin juga gadis itu tak sudi menempatkan diri di sampingnya, takut diterkam? Memang wajahnya segarang apa sampai membuat si Bocah Tengil mendadak mlempem seperti kerupuk yang disiram air?
“Ada apa ya, Bu?” Chiara buka suara. Nadanya pelan, tak menyentak. Apalagi menyolot ketika berhadapan dengan Yanuar.
“Duduk dulu, Ra,” tawar Sukma ramah. Melihat reaksi Chiara yang sempat sekilas melirik was-was, Sukma pun menarik kesimpulan. “Jangan takut, Yanu nggak akan gigit. Dia bukan anjing galak. Aslinya baik dan lembut, kok, anaknya.”
“Mami ….” Yanuar nyaris tersedak mendengar Sukma.
“Ya?” Kening Chiara muncul kerutan samar. “Baik dan lembut, ya, Bu?” ulangnya ragu.
Hal itu menuai pelototan dari Yanuar yang sejak tadi duduk manis. “Memangnya kenapa? Kamu nggak terima ucapan mami saya?”
“Bukan gitu.” Chiara menyambar sambil mengibaskan tangan. “Bukan nggak terima, tapi mustahil untuk dipercaya.”
Mata Yanuar makin lebar saja. “Wah, jadi kamu ngatain Mami berbohong?” sentaknya.
“Yanuar ….” Sukma memanggil, berharap putranya bisa menjaga sikap.
“Lihat, kan, Mi?” Yanuar menatap Sukma sambil menaikkan dagu tinggi-tinggi. “Kelakuannya aja begini, mana bisa dia kerja di sini? Udah, deh. Ganti aja sama asisten baru!”
Melihat kelakuan Yanuar yang kembali bersikap menyebalkan, Chiara menyipitkan mata. Memerhatikan dua manusia di depannya. Sesaat ia berpikir untuk tak percaya jika Sukma adalah ibu dari Yanuar. Bagaimana mungkin wanita berhati lembut dan super baik itu memiliki anak kurang ajar dan tak mampu menghargai rakyat kecil sepertinya?
Apa tadi pria itu bilang? Meminta Sukma untuk mencari asisten baru dan memecatnya begitu? Enak saja! Ia sudah pontang-panting mencari pekerjaan dan akhirnya diterima karena kebaikan hati Sukma, mana bisa usahanya itu diluluhlantahkan dalam sekejap. Pokoknya Chiara tidak terima diperlakukan tidak adil untuk kedua kalinya.
Sukma melempar tanya, “Sebenarnya kalian ini kenal di mana?”
“Dia mantan anak magang di kantor, bulan lalu aku pecat karena tampar bosnya,” balas Yanuar santai.
Sontak saja Sukma membelalak. “Tampar?” tanyanya. “Chiara tampar Yanuar?”
“Bohong,” sebut Chiara dengan nada lugas. “Saya nggak dipecat karena itu, Bu. Pak Yanuar bilang kalau laporan yang saya kerjakan salah ketik, tapi saya punya alasan atas itu. Jadi, bukan karena tamparan.”
Merotasikan kedua bola mata, Yanuar mengibaskan tangan. “Halah.”
Menyadari ada kesempatan besar untuk berbicara, Chiara pun memberanikan diri. “Saya nggak bohong, Bu. Tolong jangan pecat saya.”
“Nu.” Sukma berusaha menengahi. “Mami tahu kamu sudah cukup dewasa, bisa menyikapi ini semua. Jadi, tolong hal ini diurus sebaik mungkin. Mami minta, Chiara tetap di sini. Jangan lagi ada drama pemecatan tragis yang kamu lakukan,” pesannya seraya meraih tas tangan. “Papi minta Mami pulang sekarang, pamit ya, Nu. Baik-baik di rumah.”
“Mi, please.”
Sayangnya wanita itu terus melangkah menuju pintu utama dan mengabaikan panggilan anak sulungnya. Di ruang tengah, tinggallah Yanuar dan Chiara yang masih terdiam. Cukup betah dengan keheningan yang menyergap dan membuat keduanya canggung.
“Nggak capek berdiri kayak patung?” Suara berat Yanuar terdengar. “Sini duduk di sofa atau … lho kok nangis?”
Nyeri di perutnya tak bisa ditahan. Belum lagi rasa tak enak yang dirasakannya di satu bagian tubuh. Ditambah situasi yang menasi yang menyudutkannya sekarang, ia tak bisa menahannya lagi hingga meluapkan segala sesuatunya melalui air mata.Tidak hanya sakit, tapi Chiara juga menanggung malu. Ia baru saja dibantu berdiri oleh si bos galak. Tak berhenti di sana, tubuhnya pun diangkat dan dibawa ke sebuah ruang di mana Sukma menunjuknya sebagai kamar yang akan ditempatinya selama bekerja nanti. “Kamu perlu sesuatu?” tanya Yanuar setelah merebahkan Chiara di ranjang. “Masih bisa berdiri buat ganti pembalut sendiri, ‘kan?”Dua netra Chiara mengerjap cepat. Kepalanya mencerna ucapan si pria. Lalu ia mengangguk ringan sambil meremas seprei kasurnya.“Emang sejak kapan ada cewek yang minta tolong digantiin pembalut sama orang lain?” protes Chiara blak-blakkan.Yanuar nyaris tersedak mendengarnya. Lantas menggeleng sambil mengibaskan sebelah tangan. Ia mengatupkan mulut untuk berusaha lebih
Chiara yakin, ia pasti sudah ditertawakan Yanuar diam-diam karena spontan melayangkan tanya bersama nada panik. Ya, tentu saja perasaan takut menjalari benaknya ketika ada seorang pria yang mendadak membuka pakaian. Namun, ketakutan itu berangsur hilang saat Yanuar menunjuk pada tanda kemerahan di punggung.Sambil cengar-cengir malu, Chiara pun angkat suara, “Sakit ya, Pak?”“Kalau mau tahu rasanya, coba sendiri,” jawab Yanuar ketus. “Buruan oleskan cream biar ngerinya nggak makin menjadi-jadi.”“I-iya.”Chiara menelan ludah ketika tak sengaja menangkap bentuk perut Yanuar yang menarik perhatian. Kalau saja pria yang hendak disentuhnya itu adalah orang yang disukainya, mungkin saja ia akan jumpalitan. Lalu merasa panas dingin ketika kulit jarinya menyentuh punggung lebar itu. Sayangnya, ia tak merasakan apa pun.“Pelan-pelan!” pekik Yanuar seraya meringis. “Kamu bisa lembut sedikit, nggak? Kasar betul, sih?”Mendengkus kesal, Chiara memperhalus sentuhannya. Ia mematuhi keinginan sang
“Bang, bisa minggirin mobilnya? Gue mau lewat nih!” Yanuar berjengkit ketika kaca jendela mobilnya diketuk seseorang. Ia menurunkan kaca dan mengangguk memenuhi permintaan dari seorang gadis tadi. Ada senyum malu yang tertinggal sebelum gadis itu bergerak masuk ke indekos yang sama dengan Chiara. Mendapati sikap kaum wanita yang malu-malu salah tingkah bagi Yanuar seperti sebuah tradisi. Ia kerap mendapati gelagat seperti itu. Ia biasa menganggapnya sebagai dampak karena penampilannya yang tampan. Sayangnya, hal itu tak berlaku pada asisten barunya yang belum lama ini masuk ke dalam indekos. Waktu baru berjalan lima menit semenjak Chiara masuk. Masih ada sisa 25 menit lagi, tapi Yanuar terlanjur bosan. Ia pun turun dari mobil, menyandarkan setengah tubuhnya di badan kendaraan bagian depan. Tangannya merogoh korek api di saku celana, lalu menyalakannya untuk membakar ujung rokok sebelum dihisapnya. “Lama-lama kuping gue budek kalau terus-terusan tinggal di kosan kayak gini!” Keluha
“Sialan!”Chiara memaki dalam hati tiap kali mengingat soal jaket kulit yang dipakaikan Yanuar ke tubuh bagian bawahnya. Ia nyaris terbawa suasana sebelum pria itu menjelaskan niatnya semalam. Seharusnya ia sadar diri bahwasanya, semua orang kaya memiliki watak menyebalkan dan suka semena-mena. Sama seperti Bu Wati yang meremehkannya, Yanuar pun demikian.Sekarang ia sedang sibuk mengaduk nasi yang baru dituangkan ke wajan agar bisa tercampur baik dengan bumbu. Masih menyimpan kekesalan, Chiara berusaha fokus dalam menakar bahan-bahan masakannya agar tak menuai perkara lagi dengan tuannya. Kembali teringat sikap Yanuar, tangan Chiara makin bergerak agresif hingga menimbulkan suara di dapur.“Masaknya jangan pakai emosi, bisa hancur rasa makanannya nanti.” Suara berat Yanuar membuat jantung Chiara melonjak. Matanya melirik ke belakang dan mendapati pria yang sudah mengenakan kemeja rapi itu tengah mengisi gelas kosongnya dengan air.“Saya nggak mau makan masakan kamu lagi kalau gagal d
“Neng ini nggak tahu apa pura-pura?”Lamunan Chiara diakhiri begitu Bi Asih kembali menyeletuk. Ia menelan ludah, berusaha mengingat-ingat sesuatu yang berkenaan dengan tuannya. Sejak menginjakkan kaki di rumah megah ini, tak sekalipun ia menangkap potret yang dimaksud Bi Asih sebagai sosok istri Yanuar.“Halah, anak muda jaman sekarang banyak yang pura-pura polos, aslinya mah agresif,” timpal Endah yang kesannya memandang remeh, bahkan tak menyukai keberadaan Chiara.“Saya benar-benar nggak tahu,” aku Chiara spontan. “Jadi, Pak Yanuar udah menikah dan punya istri—“Mendadak Endah memotong ucapan Chiara tanpa sesal atau bersalah, “Lo tenang aja, nggak akan ada nyonya besar yang suka ngomel di rumah ini kayak sinetron di tv, karena istri Pak Yanuar udah meninggal karena kecelakaan.”“Kecelakaan?”Jantung Chiara melonjak kaget. Tak menyangka sama sekali jika sosok pria yang baginya menyebalkan itu sempat memiliki istri dan harus merelakan orang terkasih pergi meninggalkannya. Mengerjap
Menilik arloji di pergelangan tangan, Yanuar mendadak gusar. Mengingat Chiara yang diminta datang ke kantor belum menunjukkan tanda-tanda keberadaan. Lantas ia meminta Yabeswara, sekretaris sekaligus kawannya untuk menelepon salah satu pekerjanya di rumah.“Kata Mang Dar, Neng Chia udah pergi naik angkot sejak setengah jam yang lalu,” jelas Yabes.“Naik angkot?” ulang Yanuar sedikit syok. “Ngapain juga itu bocah naik angkot segala, sih?”Melihat sikap Yanuar yang berbicara sendiri, membuat Yabes makin curiga. Ia mendekati atasannya itu dan berujar, “Nu, kayaknya lo perlu jelasin sesuatu sama gue deh.”“Jelasin apaan?”“Asisten rumah tangga baru lo itu,” sebut Yabes tanpa tedeng aling-aling. “Jangan bilang Neng Chia yang dibilang Mang Dar tadi adalah Chiara Sagita, cewek yang lo pecat sebulan lalu.”Yanuar langsung membuang muka dan meninggalkan dehaman pendek. Dari dua gelagat aneh itu, Yabes seketika paham tentang apa yang sedang sahabatnya sembunyikan. Ia senyum geli saat pria itu
“Pak, saya bisa telat datang ke kampus lho. Apalagi jalanan macet kalau pesan taksi online sekarang.”Persetan jika Yanuar menganggapnya sebagai gadis tukang mengeluh. Ia pun tak peduli tentang alasan pria itu mengkhawatirkan tanpa sebab. Yang jelas waktunya sudah mepet. Ia tak akan memiliki banyak waktu jika menunggu pria itu selesiai makan.Yanuar mengibaskan tangan seolah menenangkan kegelisahan Chiara. Bahkan ia meminta gadis itu duduk kembali ke sofa yang tengah didudukinya juga. Mau tak mau, Chiara menurut, meski kekesalanya makin bertambah banyak dalam benak“Tenang,” sahut Yanuar akhirnya setelah hampir menyantap seluruh isi bekal yang dibawa Chiara. “Saya yang akan antar kamu.”Pasang netra Chiara sontak membelalak. “Ini bukan saatnya bercanda, Pak,” tandasnya malas menatap sang tuan. “Saya pamit sekarang ya, Pak, lagian makanan Bapak juga udah habis.”Yanuar bergumam pendek. Wajahnya terangkat dari kotak bekal dan terpatri pada dua mata Chiara yang sedang memandang ke arah
“Mau sampai kapan, sih, lo berantem sama Junias terus?” Yabes melempar protes ketika bertemu Yanuar di lorong menuju lift.Yang ditanya hanya menghela napas berat. Lalu mengabaikan pertanyaan yang terselip aksi keluhan itu. Yanuar menekan tombol lift begitu tiba di depan pintu, lalu menunggu sampai terbuka. Sikapnya ini jelas akan menuai kekesalan Yabes yang sekarang mulai memutar tubuh dan menghadap ke arahnya.“Nggak habis pikir gue sama kelakuan lo, Nu.” Pria itu menggeleng tak habis pikir. “Makin hari bukannya makin bener, malah begini.”Yanuar mendengkus. “Lo ini belum tahu cerita aslinya, tapi udah sembarangan menghakimi.”“Terus apa yang bener?” tantang Yabes sambil melipat kedua tangan di depan dada. “Emang lo mau cerita?”Dari sekian banyak hal yang memenuhi pikiran. Juga hal yang menyebabkan dadanya sesak, Yanuar kerap memendamnya. Seperti halnya sekarang, setelah beradu mulut dengan Junias tadi, perasaannya makin tak karuan. Ada saja yang membuatnya emosi.Jika diminta berc