Berkat sweater temannya yang bekerja di kafe, Chiara bisa menutupi kemeja putihnya yang basah. Kepercayaan dirinya kembali dan membuatnya berjalan tegap memasuki halaman rumah megah yang dikunjunginya sekarang. Pandangannya menyapu ke sekeliling, sedikit kikuk saat menginjak paving block di kediaman konglomerat.
“Tadi kata satpam di depan, disuruh masuk aja ke dalam,” gumam Chiara pelan. “Tapi ini emang nggak pa-pa ya nyelonong aja?”
Gadis itu ragu, tapi akhirnya memilih mengetuk pintu sampai berkali-kali karena belum ada sahutan dari dalam. Hingga kemudian ia baru sadar ada bel di dekat pintu. Sembari merutuki kebodohannya, Chiara menekan bel itu dan mendengar suara dari dalam. Tak lama seorang wanita paruh baya keluar dan mempersilakannya masuk.
Beberapa kali Chiara menganga melihat interior rumah itu. Cukup megah, bahkan bisa digunakan bermain bulutangkis kalau saja sofa dan peralatan di ruang tamu disingkirkan. Namun yang menarik, tak ada bingkai foto yang terpasang di dinding seperti rumah orang kaya lain yang cenderung menunjukkan bagaimana keharmonisan keluarga.
Chiara kemudian duduk di sofa empuk dengan pengharum ruangan aroma musk itu. Di hadapannya sudah ada wanita yang tak berhenti mengulas senyum ramah. Kalau saja wanita itu adalah bosnya nanti, barangkali hidup Chiara bisa tenang untuk sementara waktu.
“Ini langsung saja ya,” kata wanita itu. “Saya Sukma Wardana, Chiara. Sebenarnya saya nggak begitu mementingkan wawancara kayak di tempat lain. Soalnya waktunya mepet dan saya harus cari orang untuk menggantikan asisten yang tiba-tiba mengundurkan diri karena dilamar pacarnya di kampung.”
Chiara manggut-manggut mengerti. “Iya, Bu. Kebetulan saya juga pengen kerja dan butuh uang secepatnya,” akunya tanpa basa-basi.
“Bagus kalau begitu!” seru Sukma senang. “Hari ini kamu bisa langsung kerja kalau bisa.”
“Ini beneran, Bu?”
“Iya.” Sukma mengangguk. “Bisa masak dan bebersih, ‘kan?”
“Bisa, Bu. Cuma kalau masak, saya biasa buat makanan lokal. Jenis makanan bule begitu masih banyak belajar.”
Sukma mengibaskan tangan. “Kalem, anak saya justru lebih suka makanan lokal daripada yang roti sama keju begitu,” sahutnya tenang. “Nanti di dapur ada buku catatan, isinya daftar makanan kesukaan dan makanan yang kurang disenangi anak saya. Kamu bisa baca dan memerhatikan bahannya, ya, Chiara,” jelasnya sabar.
“Baik, Bu.” Chiara mengangguk patuh.
“Dan satu hal yang harus kamu tahu, kamu di sini kerja untuk putra sulung saya, Chiara. Saya tinggal di tempat lain bersama suami dan putri bungsu kami. Berhubung kamu masih mahasiswi dan kebetulan kuliah di Budhi Bakti, kamu tetap bisa menjalankan kuliah seperti biasa,” lanjut Sukma lembut. “Saya memberi keleluasaan untuk itu, tapi kalau wajib tinggal di rumah ini, nggak pa-pa, ‘kan?”
Suara lembut Sukma yang menggambarkan betapa baik hatinya wanita itu, membuat Chiara gugup. Sejak awal melihat informasi lowongan kerja tadi dari teman, Chiara tak tahu soal itu. Jika dipikir-pikir lagi, memang bukan masalah besar. Hanya saja, ia jadi membayangkan kerandoman hidupnya saat tinggal satu rumah bersama pria asing di rumah semegah ini.
Rupanya tak hanya mendapat upah di muka, tapi Chiara juga berkesempatan mendapatkan tempat tinggal tanpa harus menyewa indekos? Rejeki nomplok seperti apa sampai harus ditolak mentah-mentah? Tentu saja ia tidak akan menolaknya.
“Tinggal di rumah sebesar ini, Bu?” tanyanya melongo. Tatapnya pun memendar ke sekeliling, merasa ngeri dengan istana yang akan ditinggalinya ke depan. Chiara sedang tidak bermimpi, ‘kan? “Bu Sukma serius dengan hal itu?”
“Iya, tapi kamu nggak akan sendirian kok. Saya memang nggak tinggal di sini, tapi tenang aja anak saya nggak galak. Dia mungkin sedikit cerewet soal makanannya yang harus higienis. Di sini juga ada satpam sama pekerja kebun, terus sopir pribadi. Nanti ada Mbok Asih sama anaknya yang biasa ke sini untuk bebersih seluruh rumah. Beda sama kamu yang khusus membenahi ruangan anak saya.” Sukma menjelaskan panjang lebar. “Nanti kamu bisa minta tolong atau tanya sesuatu ke mereka kalau ada apa-apa.”
Mengingat masa sewa indekosnya habis akhir bulan ini, Chiara tidak perlu mencari tempat baru atau memperpanjang lagi. Sekarang dan ke depannya, ia bisa menetap di rumah megah majikannya. Memang benar, rejeki itu tidak ke mana.
“Bu Sukma,” ujar Chiara lirih. “Terima kasih banyak, jujur saya sangat bersyukur dengan pekerjaan ini. Saya akan berusaha menjadi asisten yang baik di rumah ini.”
Sukma terkekeh pelan sambil menepuk lengan Chiara. “Saya akan di sini sampai anak saya pulang, biar kalian bisa saya kenalkan satu sama lain.” Sukma kini menggenggam tangan Chiara. Membuat kerutan samar muncul di kening si gadis. “Sekarang, kamu bisa nggak masakin makan malam?”
Sontak saja Chiara mengangguk cepat. “Bisa banget, Bu,” balasnya yang langsung bangkit dari duduk.
“Bahan-bahan sudah siap semua di dapur, kamu tinggal berkreasi aja. Tapi ingat ya, pelajari dulu buku catatan di sana, first impression itu perlu dan penting, Ra,” peringat Sukma.
Chiara mengangkat tangan dan berpose seperti memberi hormat pada Sukma. “Mengerti, Bu!” serunya antusias.
“Semangat!”
Dari upah, tempat tinggal, ditambah majikannya yang super baik hati, menang banyak Chiara hari ini. Semoga saja, anak Sukma yang katanya tidak galak, tapi lumayan cerewet itu bisa diajak kerjasama ke depannya. Mungkin dengan pekerjaan ini Chiara bisa menuntaskan pendidikannya tanpa meminta uang dari orang tua kalau semuanya berhasil berjalan baik.
***
“Ra, tolong kamu panggilkan anak saya di kamar buat makan malam, ya. Dia sudah pulang, bilangnya sih mandi, tapi udah setengah jam belum keluar-keluar.”
Sukma langsung memerintah Chiara begitu gadis itu kembali dari minimarket untuk membeli beberapa keperluan. Rencananya ia akan pulang ke indekos usai bertemu anak Sukma karena barang dan pakaiannya belum dibawa ke rumah megah ini. Baru besok pagi, ia akan kembali untuk menyiapkan sarapan sekaligus bebersih.
“Oh iya, Bu.” Usai mengangguk patuh dan melajukan beberapa langkah, Chiara kembali karena ragu. “Eh, iya Bu … ini memangnya nggak pa-pa kalau saya langsung masuk ke sana ya?”
Tentu ragu dan gugup dirasakannya sekarang. Ia harus pergi ke kamar anak majikan dan mengajaknya makan malam sesuai perintah. Bagaimana kalau sesuatu terjadi di dalam sana, dan Chiara disalahkan? Bisa gagal harapan-harapannya tadi.
“Nggak pa-pa, paling anaknya juga lagi rebahan sambil main games,” tutur Sukma menenangkan sambil menepuk pundak Chiara.
“O-oh, baik Bu,” balas Chiara ragu.
Mendengar kata ‘main games’ berarti anak Sukma masih muda. Masih menikmati masa-masa memainkan game online tanpa perlu takut menyeramkannya masa depan. Nasibnya tentu jauh lebih baik daripada Chiara yang saat ini mulai terengah-engah menaiki anak tangga.
Tiba di depan pintu yang diberitahu Sukma, Chiara mengambil napas dan mengembuskannya pelan sebelum mengetuk pintu sebanyak dua kali. Lalu sahutan terdengar yang berisi perintah untuk masuk ke dalam. Bersama debaran jantung yang bergerak lebih cepat, Chiara mendorong pintu dan melangkah masuk. Sepanjang ia melihat rumah megah ini, tak ada foto di dinding yang memperlihatkan bagaimana gambaran anak majikannya.
Namun, ketika memasuki ruangan itu, Chiara sadar anak Sukma adalah seorang laki-laki dewasa. Bayangan dan dugaannya tadi jelas salah besar. Tampak jelas tergambar dari pemandangan kamar yang dipenuhi pernak-pernik kesukaan kaum laki-laki. Terlalu hanyut dengan suasana, Chiara sampai lupa tujuan.
“Permisi?” katanya yang urung mendapat balasan. “Saya diminta Bu Sukma untuk mengingatkan—“
Suara Chiara terjeda begitu mendengar pintu kamar mandi terbuka. Kepalanya refleks menoleh dan menangkap sosok anak majikannya hanya berbalut handuk yang menutupi setengah tubuhnya. Tak berhenti di sana, ia baru menyadari siapa orang di hadapannya kini.
“Bocah Tengil? Ngapain kamu di sini?”
“Ra, sini ikut makan bareng.” Langkah Chiara terhenti, niatnya hendak membereskan dapur akhirnya gagal total. Sukma mencegatnya dan mau tak mau, ia harus bergerak patuh. Meski setiap kakinya berpijak, mata tajam itu kelihatan sekali menggambarkan kebencian. Mungkin karena sikapnya yang masuk ke teritori pibadi pria itu. Sampai melihat sesuatu yang seharusnya tidak dilihatnya. Mengingat kejadian itu, Chiara jadi malu sendiri. Ditambah sebelum datang ke rumah ini, mereka bertemu di depan kafe dan berdebat seperti musuh bebuyutan. Chiara sudah sampai di dekat Suka, masih berdiri. Jujur ia bingung harus melakukan apa, entah itu duduk di kursi atau pamit pergi. “Bu, saya—“ “Mi, ngapain, sih ngajakin orang asing makan di meja bareng kita?” Yanuar mulai menunjukkan aksi protesnya. “Nafsu makanku hilang nih jadinya.” Ia meletakkan kedua alat makan di piring, menghasilkan bunyi cukup nyaring. “Ah, kamu. Dari tadi aja makannya lahap, suka nggak sama makanannya?” tanya Suka lembut. “Chiara
Nyeri di perutnya tak bisa ditahan. Belum lagi rasa tak enak yang dirasakannya di satu bagian tubuh. Ditambah situasi yang menasi yang menyudutkannya sekarang, ia tak bisa menahannya lagi hingga meluapkan segala sesuatunya melalui air mata.Tidak hanya sakit, tapi Chiara juga menanggung malu. Ia baru saja dibantu berdiri oleh si bos galak. Tak berhenti di sana, tubuhnya pun diangkat dan dibawa ke sebuah ruang di mana Sukma menunjuknya sebagai kamar yang akan ditempatinya selama bekerja nanti. “Kamu perlu sesuatu?” tanya Yanuar setelah merebahkan Chiara di ranjang. “Masih bisa berdiri buat ganti pembalut sendiri, ‘kan?”Dua netra Chiara mengerjap cepat. Kepalanya mencerna ucapan si pria. Lalu ia mengangguk ringan sambil meremas seprei kasurnya.“Emang sejak kapan ada cewek yang minta tolong digantiin pembalut sama orang lain?” protes Chiara blak-blakkan.Yanuar nyaris tersedak mendengarnya. Lantas menggeleng sambil mengibaskan sebelah tangan. Ia mengatupkan mulut untuk berusaha lebih
Chiara yakin, ia pasti sudah ditertawakan Yanuar diam-diam karena spontan melayangkan tanya bersama nada panik. Ya, tentu saja perasaan takut menjalari benaknya ketika ada seorang pria yang mendadak membuka pakaian. Namun, ketakutan itu berangsur hilang saat Yanuar menunjuk pada tanda kemerahan di punggung.Sambil cengar-cengir malu, Chiara pun angkat suara, “Sakit ya, Pak?”“Kalau mau tahu rasanya, coba sendiri,” jawab Yanuar ketus. “Buruan oleskan cream biar ngerinya nggak makin menjadi-jadi.”“I-iya.”Chiara menelan ludah ketika tak sengaja menangkap bentuk perut Yanuar yang menarik perhatian. Kalau saja pria yang hendak disentuhnya itu adalah orang yang disukainya, mungkin saja ia akan jumpalitan. Lalu merasa panas dingin ketika kulit jarinya menyentuh punggung lebar itu. Sayangnya, ia tak merasakan apa pun.“Pelan-pelan!” pekik Yanuar seraya meringis. “Kamu bisa lembut sedikit, nggak? Kasar betul, sih?”Mendengkus kesal, Chiara memperhalus sentuhannya. Ia mematuhi keinginan sang
“Bang, bisa minggirin mobilnya? Gue mau lewat nih!” Yanuar berjengkit ketika kaca jendela mobilnya diketuk seseorang. Ia menurunkan kaca dan mengangguk memenuhi permintaan dari seorang gadis tadi. Ada senyum malu yang tertinggal sebelum gadis itu bergerak masuk ke indekos yang sama dengan Chiara. Mendapati sikap kaum wanita yang malu-malu salah tingkah bagi Yanuar seperti sebuah tradisi. Ia kerap mendapati gelagat seperti itu. Ia biasa menganggapnya sebagai dampak karena penampilannya yang tampan. Sayangnya, hal itu tak berlaku pada asisten barunya yang belum lama ini masuk ke dalam indekos. Waktu baru berjalan lima menit semenjak Chiara masuk. Masih ada sisa 25 menit lagi, tapi Yanuar terlanjur bosan. Ia pun turun dari mobil, menyandarkan setengah tubuhnya di badan kendaraan bagian depan. Tangannya merogoh korek api di saku celana, lalu menyalakannya untuk membakar ujung rokok sebelum dihisapnya. “Lama-lama kuping gue budek kalau terus-terusan tinggal di kosan kayak gini!” Keluha
“Sialan!”Chiara memaki dalam hati tiap kali mengingat soal jaket kulit yang dipakaikan Yanuar ke tubuh bagian bawahnya. Ia nyaris terbawa suasana sebelum pria itu menjelaskan niatnya semalam. Seharusnya ia sadar diri bahwasanya, semua orang kaya memiliki watak menyebalkan dan suka semena-mena. Sama seperti Bu Wati yang meremehkannya, Yanuar pun demikian.Sekarang ia sedang sibuk mengaduk nasi yang baru dituangkan ke wajan agar bisa tercampur baik dengan bumbu. Masih menyimpan kekesalan, Chiara berusaha fokus dalam menakar bahan-bahan masakannya agar tak menuai perkara lagi dengan tuannya. Kembali teringat sikap Yanuar, tangan Chiara makin bergerak agresif hingga menimbulkan suara di dapur.“Masaknya jangan pakai emosi, bisa hancur rasa makanannya nanti.” Suara berat Yanuar membuat jantung Chiara melonjak. Matanya melirik ke belakang dan mendapati pria yang sudah mengenakan kemeja rapi itu tengah mengisi gelas kosongnya dengan air.“Saya nggak mau makan masakan kamu lagi kalau gagal d
“Neng ini nggak tahu apa pura-pura?”Lamunan Chiara diakhiri begitu Bi Asih kembali menyeletuk. Ia menelan ludah, berusaha mengingat-ingat sesuatu yang berkenaan dengan tuannya. Sejak menginjakkan kaki di rumah megah ini, tak sekalipun ia menangkap potret yang dimaksud Bi Asih sebagai sosok istri Yanuar.“Halah, anak muda jaman sekarang banyak yang pura-pura polos, aslinya mah agresif,” timpal Endah yang kesannya memandang remeh, bahkan tak menyukai keberadaan Chiara.“Saya benar-benar nggak tahu,” aku Chiara spontan. “Jadi, Pak Yanuar udah menikah dan punya istri—“Mendadak Endah memotong ucapan Chiara tanpa sesal atau bersalah, “Lo tenang aja, nggak akan ada nyonya besar yang suka ngomel di rumah ini kayak sinetron di tv, karena istri Pak Yanuar udah meninggal karena kecelakaan.”“Kecelakaan?”Jantung Chiara melonjak kaget. Tak menyangka sama sekali jika sosok pria yang baginya menyebalkan itu sempat memiliki istri dan harus merelakan orang terkasih pergi meninggalkannya. Mengerjap
Menilik arloji di pergelangan tangan, Yanuar mendadak gusar. Mengingat Chiara yang diminta datang ke kantor belum menunjukkan tanda-tanda keberadaan. Lantas ia meminta Yabeswara, sekretaris sekaligus kawannya untuk menelepon salah satu pekerjanya di rumah.“Kata Mang Dar, Neng Chia udah pergi naik angkot sejak setengah jam yang lalu,” jelas Yabes.“Naik angkot?” ulang Yanuar sedikit syok. “Ngapain juga itu bocah naik angkot segala, sih?”Melihat sikap Yanuar yang berbicara sendiri, membuat Yabes makin curiga. Ia mendekati atasannya itu dan berujar, “Nu, kayaknya lo perlu jelasin sesuatu sama gue deh.”“Jelasin apaan?”“Asisten rumah tangga baru lo itu,” sebut Yabes tanpa tedeng aling-aling. “Jangan bilang Neng Chia yang dibilang Mang Dar tadi adalah Chiara Sagita, cewek yang lo pecat sebulan lalu.”Yanuar langsung membuang muka dan meninggalkan dehaman pendek. Dari dua gelagat aneh itu, Yabes seketika paham tentang apa yang sedang sahabatnya sembunyikan. Ia senyum geli saat pria itu
“Pak, saya bisa telat datang ke kampus lho. Apalagi jalanan macet kalau pesan taksi online sekarang.”Persetan jika Yanuar menganggapnya sebagai gadis tukang mengeluh. Ia pun tak peduli tentang alasan pria itu mengkhawatirkan tanpa sebab. Yang jelas waktunya sudah mepet. Ia tak akan memiliki banyak waktu jika menunggu pria itu selesiai makan.Yanuar mengibaskan tangan seolah menenangkan kegelisahan Chiara. Bahkan ia meminta gadis itu duduk kembali ke sofa yang tengah didudukinya juga. Mau tak mau, Chiara menurut, meski kekesalanya makin bertambah banyak dalam benak“Tenang,” sahut Yanuar akhirnya setelah hampir menyantap seluruh isi bekal yang dibawa Chiara. “Saya yang akan antar kamu.”Pasang netra Chiara sontak membelalak. “Ini bukan saatnya bercanda, Pak,” tandasnya malas menatap sang tuan. “Saya pamit sekarang ya, Pak, lagian makanan Bapak juga udah habis.”Yanuar bergumam pendek. Wajahnya terangkat dari kotak bekal dan terpatri pada dua mata Chiara yang sedang memandang ke arah