“Lo dapat makhluk begituan dari mana, sih?” keluh Yanuar sambil mengompres pipinya yang baru kena tampar. “Bisa-bisanya HRD kecolongan dan lolosin bocah gila itu ke perusahaan gue!”
Sekretaris Yanuar, Yabes terkekeh pelan melihat atasannya terus mengeluhkan ini-itu. Padahal ia sudah mengajak Yanuar untuk pergi ke rumah sakit, tapi pria itu justru menolak mentah-mentah. Mungkin harga diri dan gengsi Yanuar lebih diprioritaskan sekarang, sampai mengobati memar di wajah pun diabaikannya.
“Gue lihat sesuai standar perusahaan kita, Chiara cukup mumpuni,” ungkap Yabes. “Pengalamannya juga lumayan, cuma dia lagi apes aja waktu lo ambil salah satu kerjaan dia kemarin.”
Yanuar masih ingat soal kejadian kemarin, saat ia baru tiba di kantor setelah menyelesaikan urusannya di Jambi. Ada beberapa tumpukan berkas di meja Yabes, lalu ia mengambilnya asal dan menemukan berkas anak magang di sana. Mengingat kekonyolan itu, Yanuar tersenyum tipis.
“Syukurin!” teriaknya puas. “Pokoknya gue nggak mau lihat lagi muka dia di kantor.”
Yabes menoleh dari tempat duduknya di sofa panjang yang memang sengaja Yanuar tempatkan di ruang kerjanya. “Serius lo mau berhentiin dia karena salah ketik doang?” tanyanya memastikan.
Sesaat Yanuar terdiam, tak berselang lama pundaknya terangkat pelan. “Sebenarnya gue bisa pertimbangkan lagi, tapi itu bocah udah tampar gue,” katanya seraya mendengkus kesal. “Yang benar aja, anak magang tampar bosnya!”
“Ya, lo lagian senewen banget jadi orang, ngapain juga pegang tangan Chiara. Mana kelakuan lo udah kayak om-om mesum begitu.”
Sontak Yanuar meluruskan punggung dan memajukan tubuh dari sandaran kursinya. Menatap Yabes dengan sorot serius. “Om-om mesum apaan? Gue mau ngasih dia pelajaran. Eh, malah kena tampar.”
“Jangan bilang, sekarang lo tertarik sama bocah?” Pria itu menyipitkan kedua mata, menatap reaksi Yanuar penuh selidik.
Kedua alis tebal Yanuar bertaut. “Nggak usah ngelantur kalau ngomong.” Ia hendak melempar kompresannya kalau saja tak sadar masih berada di kantor.
“Siapa tahu, ‘kan?” goda Yabes, tak henti-hentinya. “Nggak pa-pa kali coba menjalin hubungan sama cewek yang jaraknya jauh di bawah lo. Gue tetap dukung, Nu.”
Yanuar menelan ludah kepayahan. Menjalin hubungan, ya? Ini sudah ribuan kali sepertinya, ia mendengar dua kata itu, atau setidaknya kalimat yang menyarankannya untuk melupakan masa lalu. Sayangnya, Yanuar belum mampu atau sebenarnya, ia sendiri yang belum mau? Entahlah.
“Na-Nu-Na-Nu. Ingat ini kantor, lo sekretaris gue, Bes,” peringatnya yang sengaja mengalihkan topik.
Kendati demikian, sebagai atasan Yabeswara, Yanuar tidak begitu mengatur sekretarisnya itu untuk memanggilnya sebagai sebutan ‘pak’ di depan namanya. Toh, mereka masih memiliki hubungan keluarga, meski tidak terlalu dekat. Namun, seringkali anak-anak kantornya merasa tidak adil ketika Yanuar memberikan hak istimewa pada Yabes seorang.
***
Chiara tak begitu membutuhkan alarm untuk bangun. Ketukan pintu yang berubah seperti gebrakan itu sukses membuatnya terjaga. Sudah beberapa hari ini, ibu kosnya terus menagih biaya sewa indekos. Padahal jatuh tempo masih akhir bulan nanti.
Mengembuskan napas pelan, gadis itu menyambar ponsel. Beberapa panggilan tak terjawab sekaligus pesan singkat muncul di bagian notifikasi. Salah satu kontak yang menyita perhatiannya adalah ayahnya sendiri.
“Bapak belum bisa kirim buat bayar kosanmu, maaf ya, Ra. Kemarin kakakmu minta buat biaya hidup di asrama selama pelatihan. Kamu bisa cari pinjaman dulu, bulan depan Bapak usahakan kirim dua kali lipat.”
Menelan ludah kepayahan, Chiara kembali merebahkan tubuh. Menatap langit-langit kamar dan mengasihani diri. Seandainya ia tidak dipecat dari tempatnya magang sebulan lalu, mungkin pikirannya tak sementok ini. Uang part time-nya saja hanya cukup untuk biaya hidup, bagaimana mungkin sewa indekosnya ikut tertanggung? Mau makan apa nanti?
“Ini semua gara-gara CEO gila itu!” keluhnya sebal. “Cuma salah ketik dikit udah kena pecat. Siapa sih yang angkat itu om-om jadi CEO perusahaan?”
Mengingat itu lagi Chiara jadi geregetan sendiri. Benaknya kian memanas. Apalagi tatapnya fokus pada group chat anak magang kampusnya di PT Melintang Raya yang ternyata masih menjadikannya anggota. Akibat rasa penasaran yang tinggi, ia pun mengetuk grup itu dan membaca beberapa pesan di dalamnya.
“Pak Yanuar itu hot banget, ya, badannya tinggi besar. Mana isinya otot semua lagi!”
“Sotoy banget lo! Emang udah pernah lihat semua isiannya?”
“Dih, nggak perlu dibuktikan kayak gitu juga udah kelihatan dari luar kali. Itu badan udah kayak gapura kabupaten. Kekar, nyaman banget buat dijadikan sandaran. Apalagi kalau peluk-peluk.”
Chiara berdecih saat mengingatnya. “Hat hot hat hot, apaan! Muka kayak dalaman kulkas aja pakai dipuja-puja anak magang. Mereka belum tahu aja aslinya Yanuar kayak apa. Kalau udah tahu, nyesel-nyesel dah tuh!”
Tak ingin berlama-lama menetap di grup itu, Chiara memilih keluar saja. Namun, belum lama ia mendepak dirinya sendiri, salah seorang kenalannya di kantor sebelumnya mengiriminya pesan. Lebih tepatnya informasi tentang pekerjaan dengan gaji lumayan.
“Lumayan ada upah dibayar di muka, langsung datang aja ke alamat rumah itu sore nanti, Ra, buat wawancara. Good luck, ya.”
Mata Chiara kontan berbinar. Menghitung besaran gaji yang ditawarkan, meski ia tahu jenis pekerjaan yang akan dijalaninya nanti tidak mudah. Ya, lebih baik begini daripada harus mencari pinjaman online atau mengemis di depan ibu kos.
“Seenggaknya kalau aku diterima di kerjaan ini, nggak perlu lagi part time di banyak tempat,” gumamnya pada diri sendiri.
***
Tangan Yanuar mengulurkan kartu ATM pada kasir untuk membayar tagihan es kopinya. Ia hendak menyesap minumannya, tapi terhenti begitu tatapnya terpatri pada sosok gadis yang keluar dari pintu khusus karyawan kafe. Berbeda dengan tampilan sebulan lalu, Chiara yang Yanuar lihat sekarang memakai kemeja putih dan rok span hitam selutut.
Bibirnya mencebik kala mengingat kejadian di ruang kerjanya dulu bersamaan dengan langkah buru-buru Chiara menuju pintu keluar. Kaki Yanuar ikut terayun mengikuti gerak gadis itu. Namun, matanya membelalak saat menangkap tubuh kecil Chiara terjatuh ke kubangan air di pelataran kafe.
“Ck, ceroboh,” komentarnya seraya menggelengkan kepala.
Yanuar meraih lengan itu dan membantunya berdiri. Suara ringisan keluar sebelum akhirnya muncul ucapan terima kasih. Sudut bibir Yanuar terangkat begitu tahu pandangan Chiara belum mengarah padanya.
Chiara pun akhirnya menoleh. “Lho … Kulkas?” tunjuk gadis itu dengan mata melotot.
Kepala Yanuar meneleng. “Kulkas?” ulangnya bingung. Tangannya yang masih bertaut memegang lengan Chiara akhirnya ditepis begitu saja. Membuat Yanuar mundur beberapa langkah.
“Jangan pegang-pegang kalau nggak mau kena tampar lagi!”
Mendengkus kesal, Yanuar nyaris saja ingin mendorong tubuh Chiara ke kubangan air lagi. Namun entah mengapa, pasang matanya ini sulit sekali teralihkan dari kemeja putih si gadis yang sudah basah kuyup dan kelihatan kotor karena lumpur. Apalagi sesuatu yang menyembul di balik sana.
Lantas Yanuar melepas jasnya buru-buru. “Nih, pakai!” titahnya sambil melemparnya tepat di kepala Chiara. “Biar mata-mata keranjang nggak jelalatan lihat badan kamu.”
Yanuar mulai melangkah untuk meninggalkan Chiara di sana, tapi gadis itu melesat begitu cepat. Kini mereka saling berhadapan. “Apa lagi, Bocah Tengil?” katanya sambil menahan napas.
“Bapak nggak usah sok baik!” maki Chiara bersama tatapan tajamnya. “Saya nggak butuh beginian!”
Jas yang belum lama ini dilepasnya sudah berada di lengan. Chiara sengaja memberikannya ketika ia terkejut mendengar penuturan lawan bicara. Ia akhirnya berdecak karena lagi-lagi pandangannya terjatuh pada satu titik yang sama.
“Astaga, bukannya terima kasih malah ngamuk,” sindirnya yang mengedik pada satu tempat. “Itu lihat baju kamu basah, kelihatan dalamannya.”
Refleks Chiara menunduk dan menyadari sesuatu. “Eh, eh! Bapak lihat ke arah mana? Ternyata mata Bapak sendiri yang jelalatan!” serunya panik sambil menutupi dada menggunakan totebag-nya. “Jangan lihat-lihat ke dada saya!”
Merotasikan kedua bola mata dengan malas, Yanuar menggeleng heran kemudian. “Emang ada apanya, sih? Rata dan kecil gitu,” ujarnya jelas meremehkan.
“Wah, kurang ajar si Om Kulkas mesum ini!” Chiara tak tinggal diam. “Jangan body shamming, mentang-mentang orang kaya bisa semena-mena,” kecamnya yang kemudian tatapannya tertuju pada bagian bawah Yanuar. “Kayak punya Bapak gede aja!”
Berkat sweater temannya yang bekerja di kafe, Chiara bisa menutupi kemeja putihnya yang basah. Kepercayaan dirinya kembali dan membuatnya berjalan tegap memasuki halaman rumah megah yang dikunjunginya sekarang. Pandangannya menyapu ke sekeliling, sedikit kikuk saat menginjak paving block di kediaman konglomerat. “Tadi kata satpam di depan, disuruh masuk aja ke dalam,” gumam Chiara pelan. “Tapi ini emang nggak pa-pa ya nyelonong aja?” Gadis itu ragu, tapi akhirnya memilih mengetuk pintu sampai berkali-kali karena belum ada sahutan dari dalam. Hingga kemudian ia baru sadar ada bel di dekat pintu. Sembari merutuki kebodohannya, Chiara menekan bel itu dan mendengar suara dari dalam. Tak lama seorang wanita paruh baya keluar dan mempersilakannya masuk. Beberapa kali Chiara menganga melihat interior rumah itu. Cukup megah, bahkan bisa digunakan bermain bulutangkis kalau saja sofa dan peralatan di ruang tamu disingkirkan. Namun yang menarik, tak ada bingkai foto yang terpasang di dinding s
“Ra, sini ikut makan bareng.” Langkah Chiara terhenti, niatnya hendak membereskan dapur akhirnya gagal total. Sukma mencegatnya dan mau tak mau, ia harus bergerak patuh. Meski setiap kakinya berpijak, mata tajam itu kelihatan sekali menggambarkan kebencian. Mungkin karena sikapnya yang masuk ke teritori pibadi pria itu. Sampai melihat sesuatu yang seharusnya tidak dilihatnya. Mengingat kejadian itu, Chiara jadi malu sendiri. Ditambah sebelum datang ke rumah ini, mereka bertemu di depan kafe dan berdebat seperti musuh bebuyutan. Chiara sudah sampai di dekat Suka, masih berdiri. Jujur ia bingung harus melakukan apa, entah itu duduk di kursi atau pamit pergi. “Bu, saya—“ “Mi, ngapain, sih ngajakin orang asing makan di meja bareng kita?” Yanuar mulai menunjukkan aksi protesnya. “Nafsu makanku hilang nih jadinya.” Ia meletakkan kedua alat makan di piring, menghasilkan bunyi cukup nyaring. “Ah, kamu. Dari tadi aja makannya lahap, suka nggak sama makanannya?” tanya Suka lembut. “Chiara
Nyeri di perutnya tak bisa ditahan. Belum lagi rasa tak enak yang dirasakannya di satu bagian tubuh. Ditambah situasi yang menasi yang menyudutkannya sekarang, ia tak bisa menahannya lagi hingga meluapkan segala sesuatunya melalui air mata.Tidak hanya sakit, tapi Chiara juga menanggung malu. Ia baru saja dibantu berdiri oleh si bos galak. Tak berhenti di sana, tubuhnya pun diangkat dan dibawa ke sebuah ruang di mana Sukma menunjuknya sebagai kamar yang akan ditempatinya selama bekerja nanti. “Kamu perlu sesuatu?” tanya Yanuar setelah merebahkan Chiara di ranjang. “Masih bisa berdiri buat ganti pembalut sendiri, ‘kan?”Dua netra Chiara mengerjap cepat. Kepalanya mencerna ucapan si pria. Lalu ia mengangguk ringan sambil meremas seprei kasurnya.“Emang sejak kapan ada cewek yang minta tolong digantiin pembalut sama orang lain?” protes Chiara blak-blakkan.Yanuar nyaris tersedak mendengarnya. Lantas menggeleng sambil mengibaskan sebelah tangan. Ia mengatupkan mulut untuk berusaha lebih
Chiara yakin, ia pasti sudah ditertawakan Yanuar diam-diam karena spontan melayangkan tanya bersama nada panik. Ya, tentu saja perasaan takut menjalari benaknya ketika ada seorang pria yang mendadak membuka pakaian. Namun, ketakutan itu berangsur hilang saat Yanuar menunjuk pada tanda kemerahan di punggung.Sambil cengar-cengir malu, Chiara pun angkat suara, “Sakit ya, Pak?”“Kalau mau tahu rasanya, coba sendiri,” jawab Yanuar ketus. “Buruan oleskan cream biar ngerinya nggak makin menjadi-jadi.”“I-iya.”Chiara menelan ludah ketika tak sengaja menangkap bentuk perut Yanuar yang menarik perhatian. Kalau saja pria yang hendak disentuhnya itu adalah orang yang disukainya, mungkin saja ia akan jumpalitan. Lalu merasa panas dingin ketika kulit jarinya menyentuh punggung lebar itu. Sayangnya, ia tak merasakan apa pun.“Pelan-pelan!” pekik Yanuar seraya meringis. “Kamu bisa lembut sedikit, nggak? Kasar betul, sih?”Mendengkus kesal, Chiara memperhalus sentuhannya. Ia mematuhi keinginan sang
“Bang, bisa minggirin mobilnya? Gue mau lewat nih!” Yanuar berjengkit ketika kaca jendela mobilnya diketuk seseorang. Ia menurunkan kaca dan mengangguk memenuhi permintaan dari seorang gadis tadi. Ada senyum malu yang tertinggal sebelum gadis itu bergerak masuk ke indekos yang sama dengan Chiara. Mendapati sikap kaum wanita yang malu-malu salah tingkah bagi Yanuar seperti sebuah tradisi. Ia kerap mendapati gelagat seperti itu. Ia biasa menganggapnya sebagai dampak karena penampilannya yang tampan. Sayangnya, hal itu tak berlaku pada asisten barunya yang belum lama ini masuk ke dalam indekos. Waktu baru berjalan lima menit semenjak Chiara masuk. Masih ada sisa 25 menit lagi, tapi Yanuar terlanjur bosan. Ia pun turun dari mobil, menyandarkan setengah tubuhnya di badan kendaraan bagian depan. Tangannya merogoh korek api di saku celana, lalu menyalakannya untuk membakar ujung rokok sebelum dihisapnya. “Lama-lama kuping gue budek kalau terus-terusan tinggal di kosan kayak gini!” Keluha
“Sialan!”Chiara memaki dalam hati tiap kali mengingat soal jaket kulit yang dipakaikan Yanuar ke tubuh bagian bawahnya. Ia nyaris terbawa suasana sebelum pria itu menjelaskan niatnya semalam. Seharusnya ia sadar diri bahwasanya, semua orang kaya memiliki watak menyebalkan dan suka semena-mena. Sama seperti Bu Wati yang meremehkannya, Yanuar pun demikian.Sekarang ia sedang sibuk mengaduk nasi yang baru dituangkan ke wajan agar bisa tercampur baik dengan bumbu. Masih menyimpan kekesalan, Chiara berusaha fokus dalam menakar bahan-bahan masakannya agar tak menuai perkara lagi dengan tuannya. Kembali teringat sikap Yanuar, tangan Chiara makin bergerak agresif hingga menimbulkan suara di dapur.“Masaknya jangan pakai emosi, bisa hancur rasa makanannya nanti.” Suara berat Yanuar membuat jantung Chiara melonjak. Matanya melirik ke belakang dan mendapati pria yang sudah mengenakan kemeja rapi itu tengah mengisi gelas kosongnya dengan air.“Saya nggak mau makan masakan kamu lagi kalau gagal d
“Neng ini nggak tahu apa pura-pura?”Lamunan Chiara diakhiri begitu Bi Asih kembali menyeletuk. Ia menelan ludah, berusaha mengingat-ingat sesuatu yang berkenaan dengan tuannya. Sejak menginjakkan kaki di rumah megah ini, tak sekalipun ia menangkap potret yang dimaksud Bi Asih sebagai sosok istri Yanuar.“Halah, anak muda jaman sekarang banyak yang pura-pura polos, aslinya mah agresif,” timpal Endah yang kesannya memandang remeh, bahkan tak menyukai keberadaan Chiara.“Saya benar-benar nggak tahu,” aku Chiara spontan. “Jadi, Pak Yanuar udah menikah dan punya istri—“Mendadak Endah memotong ucapan Chiara tanpa sesal atau bersalah, “Lo tenang aja, nggak akan ada nyonya besar yang suka ngomel di rumah ini kayak sinetron di tv, karena istri Pak Yanuar udah meninggal karena kecelakaan.”“Kecelakaan?”Jantung Chiara melonjak kaget. Tak menyangka sama sekali jika sosok pria yang baginya menyebalkan itu sempat memiliki istri dan harus merelakan orang terkasih pergi meninggalkannya. Mengerjap
Menilik arloji di pergelangan tangan, Yanuar mendadak gusar. Mengingat Chiara yang diminta datang ke kantor belum menunjukkan tanda-tanda keberadaan. Lantas ia meminta Yabeswara, sekretaris sekaligus kawannya untuk menelepon salah satu pekerjanya di rumah.“Kata Mang Dar, Neng Chia udah pergi naik angkot sejak setengah jam yang lalu,” jelas Yabes.“Naik angkot?” ulang Yanuar sedikit syok. “Ngapain juga itu bocah naik angkot segala, sih?”Melihat sikap Yanuar yang berbicara sendiri, membuat Yabes makin curiga. Ia mendekati atasannya itu dan berujar, “Nu, kayaknya lo perlu jelasin sesuatu sama gue deh.”“Jelasin apaan?”“Asisten rumah tangga baru lo itu,” sebut Yabes tanpa tedeng aling-aling. “Jangan bilang Neng Chia yang dibilang Mang Dar tadi adalah Chiara Sagita, cewek yang lo pecat sebulan lalu.”Yanuar langsung membuang muka dan meninggalkan dehaman pendek. Dari dua gelagat aneh itu, Yabes seketika paham tentang apa yang sedang sahabatnya sembunyikan. Ia senyum geli saat pria itu
"Chiara pecah ketuban, Nu."Satu pernyataan berbuah informasi penting itu berhasil membuat tubuh Yanuar kaku. Tangannya terhenti di udara ketika hendak meminum kopi hangat untuk menyegarkan diri dari kantuk."Sekarang udah di rumah sakit." Yabes yang berada di sampingnya menambahkan. "Kata Tante Sukma, Chiara udah masuk pembukaan delapan. Dokter menyarankan pindah ke ruang bersalin, tapi Chiara menolak karena bersikeras nunggu lo."Yanuar memejamkan mata sejenak. Mengingat janji mereka yang akan menyambut kelahiran bayi bersama. Tindakan Chiara tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena wanita itu masih berupaya keras.Bayangan Chiara yang merintih dan menahan sakit perutnya sekelebat terlintas di benak Yanuar. Sontak Yanuar bangkit dari duduk. "Kita ke rumah sakit sekarang," putusnya cukup mengejutkan Yabes. "Lagi pula pesawat kita delay lama."Seharusnya Yanuar dan Yabes sudah tiba di Kalimatan untuk keperluan dinas, tapi karena cuaca buruk, jadwal penerbangan berubah total. Ia menungg
Rasanya beban-beban di pundak makin berat saja tiap kali ia pulang dari perkumpulan Rein dan yang lain. Tak hanya pundak, rupanya punggung hingga pinggulnya sudah menunjukkan rasa lelah sejak di perjalanan tadi. Perutnya kian membesar di usia kandungan pada bukan ke-7 ini, napasnya sering sesak setiap kali merebahkan diri.Apalagi selama melewati pertemuan tadi, Chiara tak begitu menikmati makanan. Ia hanya menyimak tiap kali perbincangan muncul. Walaupun isinya hanya itu-itu saja. Obrolan wanita berkelas yang membicarakan kekayaan keluarga hingga pasangan, dan sayangnya Chiara tak mampu melakukan hal sama.Memang apa yang harus ia pamerkan dari harta suaminya? Meskipun keluarga Yanuar jauh lebih di atas Rein dan yang lain, tetap saja Chiara tak bisa bercuap-cuap asal agar dianggap ada orang lain. Ia pikir, itu tindakan kekanakan dan kurang pantas.“Kita istirahat habis ini ya, Dek,” gumam Chiara sambil mengelus perutnya yang buncit. “Udah sampai rumah, nih.” Ia membuka pintu dan mela
Ada getar yang bisa Yanuar rasakan ketika menggenggam tangan Chiara. Ia mengeratkannya, berusaha menenangkan tiap detik hingga getaran itu perlahan redup dan akhirnya menghilang. Yanuar tak tahu apa yang tengah dipikirkan Chiara sekaligus disembunyikan istrinya itu sekarang. Yang jelas, mereka sempat cekcok sebentar sebelum berangkat ke rumah sakit seperti sekarang. Di perjalanan pun, tak ada perbincangan yang terjadi di antara keduanya. Mereka sama-sama bungkam sampai Yanuar membuka suara begitu merangkul pinggul Chiara menuju poli yang dituju. "Kamu kelihatan gugup, dan ... pucat," celetuk Yanuar sesaat setelah duduk di kursi begitu tiba di ruangan dokter. Chiara mengambil napas dan menggeleng kemudian. "Biasa kalau mau check up pasti ada gugupnya, Mas." Suara itu terdengar penuh kebohongan di telinga Yanuar, tapi ia tak mempermasalahkannya sekarang. Beberapa rangkaian pemeriksaan sudah dilewati Chiara dan Yanuar melihatnya saksama. Penuh perhatian lekat dan fokusnya pun sengaj
“Jadwal gue setelah ini apa lagi, Bes?”Tanpa mendongak ke arah bawahannya, Yanuar melempar tanya sambil menatap foto yang dikirimkan Chiara belum lama ini. Istrinya itu sedang rajin-rajinnya pergi ke kelas yoga dan beberapa pertemuan dengan Lily dan juga Rein.Perubahan Chiara kedengaran bagus sekali. Terutama Mami yang senang bukan kepalang mendapati kabar itu. Sampai Yanuar baru menyadarinya sekarang karena kelewat sibuk dengan urusan kantor dan masalah yang terus datang.“Ada meeting online sama pegawai Kominfo untuk bahas masalah tambang yang sempat muncul di media dua hari lalu.”Kini Yanuar mengalihkan pandangan, beradu tatap dengan Yabes sambil membuang napas kasar. “Jadi, gue nggak dibolehin istirahat atau makan malam di rumah sama istri ya, Bes?”Yabes mengulum senyum samar. Rautnya berubah tak enak mendapati sarkasme yang dilontarkan atasan, tapi apa boleh buat. Semua sudah dirancang baik-baik dan mendapat persetujuan Yanuar secara langsung.“Kasih lima menit,” pinta Yanuar
Chiara menoleh cepat pada meja di dekatnya usai Yanuar memberikan sesuatu di sana. "Itu apa, Mas?""Langsung aja datang ke sana, ya. Mami udah booking paket A buat kamu," jelas Yanuar sambil melangkah pelan mendekatinya. "Nggak perlu pakai taksi, biar sopir yang antar ke manapun kamu pergi."Chiara menjauhkan punggung dari sandaran kursi pijatnya dan menatap bingung Yanuar yang sudah duduk berlutut di depannya sekarang. "Paket A?" tanyanya bingung.Yanuar menganggukkan pelan, tangannya terulur menyentuh lutut Chiara dan memberi usapan lembut. "Pijat di salon, sekalian perawatan," jawabnya. "Kamu pasti capek setelah KKN kemarin. Belum lagi acara penyambutan kepulangan kamu itu."Chiara menyengir lebar, menyadari beberapa bagian tubuhnya memang sedikit pegal semalaman. Namun ia tidak berpikir untuk melakukan spa di salon seperti yang diujarkan Yanuar itu. Perlukah ia?"Emangnya harus, Mas?" Chiara menggaruk tengkuk tak enak. "Aku kan lagi hamil, boleh pijat-pijat gitu?""Boleh, Mami bil
Wajah Chiara sudah berseri-seri sejak berakhirnya malam perpisahan dengan warga desa. Tugasnya dan teman-teman akhirnya selesai. Bukan hanya sambutan di awal, tapi mereka mendapat banyak tanggapan positif di penghujung.Chiara baru saja selesai berkemas barang-barangnya, mengecek ulang isi koper kesekian kali. Kemudian menilik surat-surat yang dituliskan beberapa murid sekolah setelah ia mengisi kelas karya beberapa waktu lalu. Semua indah dan sulit dilupakan begitu saja, sebab mengukir kenangan manis di kepala.“Kerja bagus semuanya!” seru Tino di tengah kesibukan berkemas di posko. “Gue nggak tahu lagi mau apresiasi dengan cara apa, yang jelas gue bangga banget sama kelompok kita ini.”“Ya, gue setuju.” Abas menimpali dengan senyum haru. “Gue pikir, proker kita bakal ngebosenin dan kayak tradisi sebelumnya. Tapi ide-ide yang kita buat cukup cemerlang juga.”Chiara mengangguk setuju. Melihat semuanya menampilkan wajah lega dan penuh bangga, ia pun merasakannya dengan batin berbunga-b
Chiara baru menyeduh susu formula khusus ibu hamil. Selama berada di posko dua minggu ini, ia tak abai memikirkan kesehatan diri sekaligus perkembangan janin di kandungannya. Bahkan setiap malam, sebelum tidur, ia sengaja mengajak si jabang bayi mengobrol.Berbekal informasi yang dibacanya di internet, Chiara mengusahakan apa pun untuk menjadi seorang ibu di usianya yang masih terbilang muda. Walaupun memiliki suami yang jauh di atasnya dan lebih berpengalaman, ia lebih senang belajar mandiri.“Rasanya enak?” Venna bertanya begitu memasuki area dapur, tempat yang menjadi destinasi Chiara setiap pagi dan malam dan jumlahnya terbilang sering dikunjungi.Chiara mengulum senyum dan menjauhkan gelas dari bibir. Ia baru meminum setengah dan mengambil jeda untuk membalas Venna. “Kayak susu biasa,” balasnya.Aneh sekali mengatakan ‘biasa’. Padahal selama hidupnya, ia tak membiasakan diri mengonsumsi cairan putih dengan kandungan tinggi kalsium seperti itu. Mengingat ia lahir dan besar di kelu
Yanuar tak sepenuhnya ingat apa yang terjadi semalam. Ia berdecak sambil menyugar rambutnya dan mendengar sebuah benda terjatuh dari ranjang ke lantai. Setelah dilihat dengan rasa malas yang luar biasa, ia menemukan ponselnya tergeletak.“Shit!” makinya kesal karena juga menahan pusing yang mendera kepalanya.Suara gemeruyuk di perut pun ikut terdengar. Yanuar segera bangkit dan melompat dari tempat tidur, bergegas ke kamar mandi untuk menumpahkan isi perutnya. Kemalangan menimpanya lagi untuk kesekian kali.“Yanu?” Itu Mami. Si pemilik nama memejamkan mata usai membersihkan wajah dan mulutnya dari sisa kotoran. “Yanuar!”Kakinya bergerak keluar kamar mandi, meski berat. Hari masih pagi baginya, tapi Mami sudah berkunjung ke rumah di saat keadaannya cukup berantakan.“Astaga Yanu?” Suara itu terdengar bersamaan dengan pintu kamarnya yang terbuka dari luar. Lalu menampilkan sosok ibunya yang melotot lebar ke arahnya. “Kamu mabuk? Istri lagi di luar kota, kamu malah mabuk-mabukan?”Seb
“Dia nggak mau gue ke sana.”Hanya kekehan geli yang terdengar menyebalkan di telinga Yanuar begitu mengungkapkan satu fakta tentang istrinya. Belum lama ini ia langsung meminta Yabes putar balik arah mobil karena Chiara menolak niat baiknya.“Emang kalau KKN gitu nggak bisa banget diganggu?”Yabes yang fokus mengemudi itu melirik sejenak dengan sisa kekehan di bibir. “Ya, terkadang proker bikin pusing, sih. Tapi balik lagi aja ke orangnya,” jelasnya santai. “Ada kok yang hobinya nebeng nama, nggak jalanin proker bareng temannya.”Yanuar menghela napas panjang. Paham sekali Chiara tak masuk pada kriteria yang diucapkan Yabes di akhir kalimat. Ia tahu betul bagaimana sang istri yang kelewat ambisius. Saat dinyatakan hamil pun, Chiara tetap memilih kuliah dan menghabiskan waktu untuk belajar. Tak heran jika sekarang istrinya itu fokus sekali dengan program kampusnya.“Sama kayak lo lah,” imbuh Yabes saat mobil berhenti karena terhalang lampu merah lalu lintas. “Lo juga kebangetan fokusn