“Sejak kapan kamu magang di perusahaan ini?”
Pertanyaan itu terlontar begitu Chiara memasuki ruangan. Bahkan sebelum ia memberikan salam ramah pada pria itu. Jantungnya terus berdetak lebih cepat hingga membuatnya menjeda jawaban sedikit lama.
“Baru seminggu lalu, Pak,” aku Chiara jujur. Kepalanya tertunduk, tak berani menatap atasannya yang dari auranya saja sudah mengerikan.
Semenjak menjadi pemagang di PT Melintang Raya, Chiara belum pernah sekalipun berhadapan dengan CEO-nya langsung. Hari ini ia berkesempatan bertemu karena mendadak dipanggil sosok pria 30 tahunan itu. Namun, bukan untuk memperkenalkan diri sebagai anak magang baru, melainkan disidang atas kesalahannya sendiri.
“Setelah ini, kamu balik ke meja dan ketik surat pengunduran diri,” titah Yanuar dengan dagu sedikit terangkat. “10 menit cukup, ‘kan?”
Dua iris Chiara melebar. “Lho, Pak, jobdesk saya bukan mengetik surat pengunduran—“
“Coba kamu lihat laporan data keuangan yang kamu buat di sini!” Yanuar melempar berkas ke meja, tepat di hadapan Chiara. “Banyak sekali typo bertebaran, mengetik huruf saja kamu bisa asal-asalan. Saya nggak butuh pekerja apalagi anak magang nggak becus kayak kamu!”
Napas Chiara tercekat. Ia sadar kesalahan itu ketika sang leader memberitahunya kemarin. Chiara pikir, data yang dibuatnya itu tidak akan diketahui pihak atasan, apalagi Yanuar selaku CEO perusahaan. Ternyata dugaannya melenceng.
Mau bagaimana lagi, itu memang kesalahannya. Namun, Chiara tak bisa menjelaskannya dengan jujur atas alasan yang sebenarnya terjadi. Dua hari kemarin, kepalanya penuh lantaran memikirkan biaya sewa indekos yang belum dibayar, mengingat ayahnya belum mengiriminya uang. Ditambah beasiswa yang didapat baru bisa turun bulan depan.
“Maaf, Pak, segera saya revisi secepatnya.” Gadis itu meraih berkas yang dilempar Yanuar tadi.
Helaan napas Yanuar terdengar berat dan panjang. Terkesan kesal bukan main atas ulah anak magang di perusahaannya. Perlahan pria itu bangkit dari kursi kerjanya, memasukkan sebelah tangan sebelum akhirnya berjalan mendekati tempat Chiara berdiri.
“Nggak perlu!” sambarnya telak. “Saya baru lihat di CV yang kamu lampirkan saat melamar menjadi pemagang di sini. Kamu gap-year dua tahun, itu tandanya pengalamanmu cukup banyak.”
Gadis itu menggerakkan kepala naik-turun, begitu pelan. “Iya, betul, Pak. Saya sempat kerja di pabrik, selebihnya pernah serabutan di toko bangunan ikut saudara,” terangnya.
“Kalau lagi ngomong sama orang, lihat lawan bicaramu. Bukan malah nunduk begitu!”
Tubuh Chiara berjengkit mendengar seruan berisi sindiran itu. Mau tak mau, ia mengikuti Yanuar dengan mengangkat wajah. Kemudian membalas tatapan dingin yang berbalut menyeramkan itu bersama keberanian yang tak seberapa.
“M-maaf.”
“Terus kenapa jadi berminat kuliah?” tanyanya. “Kebanyakan orang yang udah kerja, udah bisa dapat duit per bulan, merasa nggak perlu tuh kejar pendidikan. Tapi, kamu kenapa malah meninggalkan pekerjaan tetap di pabrik dan memilih lanjut kuliah di universitas negeri?”
Chiara membuang napas pelan. Malas sekali mendapati template pertanyaan yang sama seperti HRD. Pertanyaan klise seperti itu bukannya sudah jelas, ya.
“Mau kejar impianlah, Pak. Saya mau sukses daripada jadi buruh pabrik bertahun-tahun,” akunya jujur. “Beda sama Bapak, nggak perlu kuliah pun tetap bisa dapat posisi kayak gini. Tinggal meneruskan apa yang dimiliki orangtua, tanpa pusing mikirin tugas kuliah.”
Kedua alis Yanuar bertaut. Napasnya terembus kasar kala mendengar si gadis berbicara tanpa ragu. “Kamu sedang meremehkan saya?”
Mendengkus samar, Chiara membalas, ”Bapak merasa diremehkan atau justru merasa ucapan saya tadi itu … benar?”
“Jaga bicaramu, ini kantor dan saya adalah atasanmu!” gertak Yanuar.
Chiara menipiskan bibir, menahan senyum. “Orang-orang juga tahu, Pak, ini kantor. Gedung sebesar ini, ruangan ber-AC, ditambah pernak-pernik mahal. Saya nggak bodoh, Pak.”
Mendengar itu Yanuar mendecakkan lidah. “Oke, kamu nggak bodoh, tapi sayangnya dari empat semester yang kamu lewati, hasilnya kosong. Anak SD aja lebih pinter ngetiknya daripada kamu!” Ia menarik salah satu sudut bibir, membuat lengkungan miring yang menunjukkan sikap remeh. “Sudah paham arah pembicaraan ini, Chiara? Saya nggak butuh pekerja seperti kamu, jadi lebih baik kamu cari perusahaan lain.”
Mata Chiara sontak melebar. Lalu mengerjap kaget usai benar-benar berhasil mencerna kata-kata Yanuar. Kepalanya lantas menggeleng sambil membayangkan akan seperti apa nasibnya nanti jika harus keluar dari perusahaan ini.
“Wah, yang benar aja, Pak? Masa sih, karena hal sepele Bapak memecat pemagang seperti saya?” kata Chiara tak terima. “Ini nggak adil, Pak. Beri saya kesempatan sekali lagi, saya mohon.”
Yanuar mengangkat tangan. Mengibaskannya dengan raut datar, seakan memberi isyarat agar Chiara berhenti merengek padanya. Namun, gadis itu masih saja berusaha hingga Yanuar angkat bicara.
“Kamu bisa kemas barang-barang di kubikel dan pulang lebih awal.” Ia mengedik pada pintu yang tertutup rapat. “Silakan, tutup pintu dari luar.”
Chiara mengikuti arah yang diberikan Yanuar. Saat menyadari ia baru diusir atasannya, lekas tubuhnya terduduk dan terus memohon. “Pak … saya butuh program magang ini,” ujarnya tegas, nyaris meraih lengan Yanuar untuk menahannya. “Saya juga butuh uang saku untuk hidup sehari-hari, Pak.”
Dalam pikirannya hanya satu; harus bertahan agar mendapatkan uang. Setidaknya jika magang selama tiga bulan, sesuai kontrak yang ada, Chiara bisa memastikan tempat tinggalnya nanti selama berkuliah. Ia tidak perlu memaksa ayahnya bekerja keras, apalagi menunggu beasiswanya. Tak peduli gengsi dan malu, Chiara harus mendapatkan kesempatan itu dari Yanuar langsung.
“Ah, kamu butuh pekerjaan? Mungkin kamu bisa kembali bekerja di pabrik dan mengambil cuti?” beo Yanuar santai, tak terpengaruh sama sekali. “Ah, kebetulan kantor sedang buka lowongan di bagian cleaning service. Kenapa kamu nggak coba memasukkan lamaran ke sana?”
Kembali ke pabrik dan mengambil cuti? Wah, sudah gila rupanya pria itu. Memang mudah bersilat lidah, apalagi jika orang kaya yang melakukannya. Semua itu membuat benak Chiara mendidih, raut melasnya kini lenyap dan diganti dengan senyum miring menyebalkan. Kesabaran Chiara sudah mencapai batasnya, keinginan melempar bogem mentah sudah di ujung buku-buku jarinya sekarang.
Lantas perlahan kepalanya terangkat dan menatap Yanuar dengan sorot mata tajam. “Apa Bapak terbiasa mengoceh seperti ini pada karyawan dan sesuka hati memecat mereka karena satu kesalahan?”
“Mengoceh?” ulang Yanuar dan refleks menegakkan tubuh di sisi meja.
Chiara bangkit, membenahi pakaiannya dan berjalan maju beberapa langkah agar bisa berhadapan langsung dengan “Iya, emang kenapa? Mengoceh kayak beo!” jeritnya tak segan-segan mengomentari. “Pantas aja banyak lowongan yang muncul di portal pencari kerja dari kantor ini, nggak heran, sih, atasannya aja begini. Nggak punya hati nurani dan etika!”
Kini Yanuar melototi Chiara. “Hei, hei, berani ya kamu bilang seperti itu?”
“Beranilah, emang situ siapa? Toh sekarang saya bukan anak magang di sini, jadi Bapak nggak bisa ngatur-ngatur saya lagi!”
Kalau sudah dibentak dan direndahkan seperti itu, mana bisa Chiara diam saja. Ia selalu punya keberanian lebih untuk melawan. Sekalipun orang yang ada di hadapannya sekarang adalah penguasa. Chiara tak peduli, sebab logikanya mendadak surut kalau sedang berapi-api.
Mendapati tatapan tajam dari si gadis, Yanuar sontak menunjuk, “Apa maksud kamu lihat-lihat seperti itu?”
“Mata-mata gue, terserah guelah mau lihat ke mana!” balasnya makin menyolot.
“Astaga, anak jaman sekarang sudah gila semua!” keluh Yanuar geram. “Pantas aja mentalnya macam krupuk, mlempem!”
Merasa tak terima dikatai gila, Chiara meraih berkas kerjanya. Lalu melempar ke arah Yanuar yang sedang berjalan kembali ke tempat duduk. Sayangnya berkas itu mendarat pas di bagian belakang kepala.
“Lebih gila lo, nggak bisa menghargai sesama manusia!” serunya puas sekali. “Rasain tuh!”
Entah seberapa keberanian yang Chiara miliki, tapi ketika Yanuar memutar tubuh dan mendekatinya, ia tampak biasa saja. Bahkan masih bisa terkekeh geli. Namun, tidak saat tangan kirinya dipegang dan dicengkeram kuat-kuat. Waktu itu ia bisa merasakan napas berat Yanuar yang menimpa wajahnya ketika ia mendongak.
Alis Chiara bertaut begitu merasakan sakit di pergelangan tangan. “Lepas … sakit!” ujarnya merintih. “Tahu sakit nggak, sih? Apa jangan-jangan lo budek ya?”
“Berisik, bocah tengil!”
“Bukan bocah tengil, lo aja yang aja ketuaan!”
“Masih berani jawab ya, kamu?”
Alih-alih melepaskan cengkeraman, Yanuar justru makin memangkas jarak. Menatap lekat nan dalam wajah menyebalkan gadis itu. Sampai ringisan yang tercetak jelas di raut Chiara berubah menjadi ketakutan.
Chiara boleh dianggap tengil, tapi ia masih punya otak yang bisa digunakan dengan baik. Tentu ketika sadar satu tangannya bebas bergerak, ia tak segan-segan mendaratkan tamparan telak di pipi Yanuar.
“Kurang ajar!” desisnya begitu tangannya yang lain terbebas. “Pergi dari sini dan jangan kembali lagi. Chiara Sagita, kamu … saya pecat!”
“Lo dapat makhluk begituan dari mana, sih?” keluh Yanuar sambil mengompres pipinya yang baru kena tampar. “Bisa-bisanya HRD kecolongan dan lolosin bocah gila itu ke perusahaan gue!” Sekretaris Yanuar, Yabes terkekeh pelan melihat atasannya terus mengeluhkan ini-itu. Padahal ia sudah mengajak Yanuar untuk pergi ke rumah sakit, tapi pria itu justru menolak mentah-mentah. Mungkin harga diri dan gengsi Yanuar lebih diprioritaskan sekarang, sampai mengobati memar di wajah pun diabaikannya. “Gue lihat sesuai standar perusahaan kita, Chiara cukup mumpuni,” ungkap Yabes. “Pengalamannya juga lumayan, cuma dia lagi apes aja waktu lo ambil salah satu kerjaan dia kemarin.” Yanuar masih ingat soal kejadian kemarin, saat ia baru tiba di kantor setelah menyelesaikan urusannya di Jambi. Ada beberapa tumpukan berkas di meja Yabes, lalu ia mengambilnya asal dan menemukan berkas anak magang di sana. Mengingat kekonyolan itu, Yanuar tersenyum tipis. “Syukurin!” teriaknya puas. “Pokoknya gue nggak mau
Berkat sweater temannya yang bekerja di kafe, Chiara bisa menutupi kemeja putihnya yang basah. Kepercayaan dirinya kembali dan membuatnya berjalan tegap memasuki halaman rumah megah yang dikunjunginya sekarang. Pandangannya menyapu ke sekeliling, sedikit kikuk saat menginjak paving block di kediaman konglomerat. “Tadi kata satpam di depan, disuruh masuk aja ke dalam,” gumam Chiara pelan. “Tapi ini emang nggak pa-pa ya nyelonong aja?” Gadis itu ragu, tapi akhirnya memilih mengetuk pintu sampai berkali-kali karena belum ada sahutan dari dalam. Hingga kemudian ia baru sadar ada bel di dekat pintu. Sembari merutuki kebodohannya, Chiara menekan bel itu dan mendengar suara dari dalam. Tak lama seorang wanita paruh baya keluar dan mempersilakannya masuk. Beberapa kali Chiara menganga melihat interior rumah itu. Cukup megah, bahkan bisa digunakan bermain bulutangkis kalau saja sofa dan peralatan di ruang tamu disingkirkan. Namun yang menarik, tak ada bingkai foto yang terpasang di dinding s
“Ra, sini ikut makan bareng.” Langkah Chiara terhenti, niatnya hendak membereskan dapur akhirnya gagal total. Sukma mencegatnya dan mau tak mau, ia harus bergerak patuh. Meski setiap kakinya berpijak, mata tajam itu kelihatan sekali menggambarkan kebencian. Mungkin karena sikapnya yang masuk ke teritori pibadi pria itu. Sampai melihat sesuatu yang seharusnya tidak dilihatnya. Mengingat kejadian itu, Chiara jadi malu sendiri. Ditambah sebelum datang ke rumah ini, mereka bertemu di depan kafe dan berdebat seperti musuh bebuyutan. Chiara sudah sampai di dekat Suka, masih berdiri. Jujur ia bingung harus melakukan apa, entah itu duduk di kursi atau pamit pergi. “Bu, saya—“ “Mi, ngapain, sih ngajakin orang asing makan di meja bareng kita?” Yanuar mulai menunjukkan aksi protesnya. “Nafsu makanku hilang nih jadinya.” Ia meletakkan kedua alat makan di piring, menghasilkan bunyi cukup nyaring. “Ah, kamu. Dari tadi aja makannya lahap, suka nggak sama makanannya?” tanya Suka lembut. “Chiara
Nyeri di perutnya tak bisa ditahan. Belum lagi rasa tak enak yang dirasakannya di satu bagian tubuh. Ditambah situasi yang menasi yang menyudutkannya sekarang, ia tak bisa menahannya lagi hingga meluapkan segala sesuatunya melalui air mata.Tidak hanya sakit, tapi Chiara juga menanggung malu. Ia baru saja dibantu berdiri oleh si bos galak. Tak berhenti di sana, tubuhnya pun diangkat dan dibawa ke sebuah ruang di mana Sukma menunjuknya sebagai kamar yang akan ditempatinya selama bekerja nanti. “Kamu perlu sesuatu?” tanya Yanuar setelah merebahkan Chiara di ranjang. “Masih bisa berdiri buat ganti pembalut sendiri, ‘kan?”Dua netra Chiara mengerjap cepat. Kepalanya mencerna ucapan si pria. Lalu ia mengangguk ringan sambil meremas seprei kasurnya.“Emang sejak kapan ada cewek yang minta tolong digantiin pembalut sama orang lain?” protes Chiara blak-blakkan.Yanuar nyaris tersedak mendengarnya. Lantas menggeleng sambil mengibaskan sebelah tangan. Ia mengatupkan mulut untuk berusaha lebih
Chiara yakin, ia pasti sudah ditertawakan Yanuar diam-diam karena spontan melayangkan tanya bersama nada panik. Ya, tentu saja perasaan takut menjalari benaknya ketika ada seorang pria yang mendadak membuka pakaian. Namun, ketakutan itu berangsur hilang saat Yanuar menunjuk pada tanda kemerahan di punggung.Sambil cengar-cengir malu, Chiara pun angkat suara, “Sakit ya, Pak?”“Kalau mau tahu rasanya, coba sendiri,” jawab Yanuar ketus. “Buruan oleskan cream biar ngerinya nggak makin menjadi-jadi.”“I-iya.”Chiara menelan ludah ketika tak sengaja menangkap bentuk perut Yanuar yang menarik perhatian. Kalau saja pria yang hendak disentuhnya itu adalah orang yang disukainya, mungkin saja ia akan jumpalitan. Lalu merasa panas dingin ketika kulit jarinya menyentuh punggung lebar itu. Sayangnya, ia tak merasakan apa pun.“Pelan-pelan!” pekik Yanuar seraya meringis. “Kamu bisa lembut sedikit, nggak? Kasar betul, sih?”Mendengkus kesal, Chiara memperhalus sentuhannya. Ia mematuhi keinginan sang
“Bang, bisa minggirin mobilnya? Gue mau lewat nih!” Yanuar berjengkit ketika kaca jendela mobilnya diketuk seseorang. Ia menurunkan kaca dan mengangguk memenuhi permintaan dari seorang gadis tadi. Ada senyum malu yang tertinggal sebelum gadis itu bergerak masuk ke indekos yang sama dengan Chiara. Mendapati sikap kaum wanita yang malu-malu salah tingkah bagi Yanuar seperti sebuah tradisi. Ia kerap mendapati gelagat seperti itu. Ia biasa menganggapnya sebagai dampak karena penampilannya yang tampan. Sayangnya, hal itu tak berlaku pada asisten barunya yang belum lama ini masuk ke dalam indekos. Waktu baru berjalan lima menit semenjak Chiara masuk. Masih ada sisa 25 menit lagi, tapi Yanuar terlanjur bosan. Ia pun turun dari mobil, menyandarkan setengah tubuhnya di badan kendaraan bagian depan. Tangannya merogoh korek api di saku celana, lalu menyalakannya untuk membakar ujung rokok sebelum dihisapnya. “Lama-lama kuping gue budek kalau terus-terusan tinggal di kosan kayak gini!” Keluha
“Sialan!”Chiara memaki dalam hati tiap kali mengingat soal jaket kulit yang dipakaikan Yanuar ke tubuh bagian bawahnya. Ia nyaris terbawa suasana sebelum pria itu menjelaskan niatnya semalam. Seharusnya ia sadar diri bahwasanya, semua orang kaya memiliki watak menyebalkan dan suka semena-mena. Sama seperti Bu Wati yang meremehkannya, Yanuar pun demikian.Sekarang ia sedang sibuk mengaduk nasi yang baru dituangkan ke wajan agar bisa tercampur baik dengan bumbu. Masih menyimpan kekesalan, Chiara berusaha fokus dalam menakar bahan-bahan masakannya agar tak menuai perkara lagi dengan tuannya. Kembali teringat sikap Yanuar, tangan Chiara makin bergerak agresif hingga menimbulkan suara di dapur.“Masaknya jangan pakai emosi, bisa hancur rasa makanannya nanti.” Suara berat Yanuar membuat jantung Chiara melonjak. Matanya melirik ke belakang dan mendapati pria yang sudah mengenakan kemeja rapi itu tengah mengisi gelas kosongnya dengan air.“Saya nggak mau makan masakan kamu lagi kalau gagal d
“Neng ini nggak tahu apa pura-pura?”Lamunan Chiara diakhiri begitu Bi Asih kembali menyeletuk. Ia menelan ludah, berusaha mengingat-ingat sesuatu yang berkenaan dengan tuannya. Sejak menginjakkan kaki di rumah megah ini, tak sekalipun ia menangkap potret yang dimaksud Bi Asih sebagai sosok istri Yanuar.“Halah, anak muda jaman sekarang banyak yang pura-pura polos, aslinya mah agresif,” timpal Endah yang kesannya memandang remeh, bahkan tak menyukai keberadaan Chiara.“Saya benar-benar nggak tahu,” aku Chiara spontan. “Jadi, Pak Yanuar udah menikah dan punya istri—“Mendadak Endah memotong ucapan Chiara tanpa sesal atau bersalah, “Lo tenang aja, nggak akan ada nyonya besar yang suka ngomel di rumah ini kayak sinetron di tv, karena istri Pak Yanuar udah meninggal karena kecelakaan.”“Kecelakaan?”Jantung Chiara melonjak kaget. Tak menyangka sama sekali jika sosok pria yang baginya menyebalkan itu sempat memiliki istri dan harus merelakan orang terkasih pergi meninggalkannya. Mengerjap
"Chiara pecah ketuban, Nu."Satu pernyataan berbuah informasi penting itu berhasil membuat tubuh Yanuar kaku. Tangannya terhenti di udara ketika hendak meminum kopi hangat untuk menyegarkan diri dari kantuk."Sekarang udah di rumah sakit." Yabes yang berada di sampingnya menambahkan. "Kata Tante Sukma, Chiara udah masuk pembukaan delapan. Dokter menyarankan pindah ke ruang bersalin, tapi Chiara menolak karena bersikeras nunggu lo."Yanuar memejamkan mata sejenak. Mengingat janji mereka yang akan menyambut kelahiran bayi bersama. Tindakan Chiara tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena wanita itu masih berupaya keras.Bayangan Chiara yang merintih dan menahan sakit perutnya sekelebat terlintas di benak Yanuar. Sontak Yanuar bangkit dari duduk. "Kita ke rumah sakit sekarang," putusnya cukup mengejutkan Yabes. "Lagi pula pesawat kita delay lama."Seharusnya Yanuar dan Yabes sudah tiba di Kalimatan untuk keperluan dinas, tapi karena cuaca buruk, jadwal penerbangan berubah total. Ia menungg
Rasanya beban-beban di pundak makin berat saja tiap kali ia pulang dari perkumpulan Rein dan yang lain. Tak hanya pundak, rupanya punggung hingga pinggulnya sudah menunjukkan rasa lelah sejak di perjalanan tadi. Perutnya kian membesar di usia kandungan pada bukan ke-7 ini, napasnya sering sesak setiap kali merebahkan diri.Apalagi selama melewati pertemuan tadi, Chiara tak begitu menikmati makanan. Ia hanya menyimak tiap kali perbincangan muncul. Walaupun isinya hanya itu-itu saja. Obrolan wanita berkelas yang membicarakan kekayaan keluarga hingga pasangan, dan sayangnya Chiara tak mampu melakukan hal sama.Memang apa yang harus ia pamerkan dari harta suaminya? Meskipun keluarga Yanuar jauh lebih di atas Rein dan yang lain, tetap saja Chiara tak bisa bercuap-cuap asal agar dianggap ada orang lain. Ia pikir, itu tindakan kekanakan dan kurang pantas.“Kita istirahat habis ini ya, Dek,” gumam Chiara sambil mengelus perutnya yang buncit. “Udah sampai rumah, nih.” Ia membuka pintu dan mela
Ada getar yang bisa Yanuar rasakan ketika menggenggam tangan Chiara. Ia mengeratkannya, berusaha menenangkan tiap detik hingga getaran itu perlahan redup dan akhirnya menghilang. Yanuar tak tahu apa yang tengah dipikirkan Chiara sekaligus disembunyikan istrinya itu sekarang. Yang jelas, mereka sempat cekcok sebentar sebelum berangkat ke rumah sakit seperti sekarang. Di perjalanan pun, tak ada perbincangan yang terjadi di antara keduanya. Mereka sama-sama bungkam sampai Yanuar membuka suara begitu merangkul pinggul Chiara menuju poli yang dituju. "Kamu kelihatan gugup, dan ... pucat," celetuk Yanuar sesaat setelah duduk di kursi begitu tiba di ruangan dokter. Chiara mengambil napas dan menggeleng kemudian. "Biasa kalau mau check up pasti ada gugupnya, Mas." Suara itu terdengar penuh kebohongan di telinga Yanuar, tapi ia tak mempermasalahkannya sekarang. Beberapa rangkaian pemeriksaan sudah dilewati Chiara dan Yanuar melihatnya saksama. Penuh perhatian lekat dan fokusnya pun sengaj
“Jadwal gue setelah ini apa lagi, Bes?”Tanpa mendongak ke arah bawahannya, Yanuar melempar tanya sambil menatap foto yang dikirimkan Chiara belum lama ini. Istrinya itu sedang rajin-rajinnya pergi ke kelas yoga dan beberapa pertemuan dengan Lily dan juga Rein.Perubahan Chiara kedengaran bagus sekali. Terutama Mami yang senang bukan kepalang mendapati kabar itu. Sampai Yanuar baru menyadarinya sekarang karena kelewat sibuk dengan urusan kantor dan masalah yang terus datang.“Ada meeting online sama pegawai Kominfo untuk bahas masalah tambang yang sempat muncul di media dua hari lalu.”Kini Yanuar mengalihkan pandangan, beradu tatap dengan Yabes sambil membuang napas kasar. “Jadi, gue nggak dibolehin istirahat atau makan malam di rumah sama istri ya, Bes?”Yabes mengulum senyum samar. Rautnya berubah tak enak mendapati sarkasme yang dilontarkan atasan, tapi apa boleh buat. Semua sudah dirancang baik-baik dan mendapat persetujuan Yanuar secara langsung.“Kasih lima menit,” pinta Yanuar
Chiara menoleh cepat pada meja di dekatnya usai Yanuar memberikan sesuatu di sana. "Itu apa, Mas?""Langsung aja datang ke sana, ya. Mami udah booking paket A buat kamu," jelas Yanuar sambil melangkah pelan mendekatinya. "Nggak perlu pakai taksi, biar sopir yang antar ke manapun kamu pergi."Chiara menjauhkan punggung dari sandaran kursi pijatnya dan menatap bingung Yanuar yang sudah duduk berlutut di depannya sekarang. "Paket A?" tanyanya bingung.Yanuar menganggukkan pelan, tangannya terulur menyentuh lutut Chiara dan memberi usapan lembut. "Pijat di salon, sekalian perawatan," jawabnya. "Kamu pasti capek setelah KKN kemarin. Belum lagi acara penyambutan kepulangan kamu itu."Chiara menyengir lebar, menyadari beberapa bagian tubuhnya memang sedikit pegal semalaman. Namun ia tidak berpikir untuk melakukan spa di salon seperti yang diujarkan Yanuar itu. Perlukah ia?"Emangnya harus, Mas?" Chiara menggaruk tengkuk tak enak. "Aku kan lagi hamil, boleh pijat-pijat gitu?""Boleh, Mami bil
Wajah Chiara sudah berseri-seri sejak berakhirnya malam perpisahan dengan warga desa. Tugasnya dan teman-teman akhirnya selesai. Bukan hanya sambutan di awal, tapi mereka mendapat banyak tanggapan positif di penghujung.Chiara baru saja selesai berkemas barang-barangnya, mengecek ulang isi koper kesekian kali. Kemudian menilik surat-surat yang dituliskan beberapa murid sekolah setelah ia mengisi kelas karya beberapa waktu lalu. Semua indah dan sulit dilupakan begitu saja, sebab mengukir kenangan manis di kepala.“Kerja bagus semuanya!” seru Tino di tengah kesibukan berkemas di posko. “Gue nggak tahu lagi mau apresiasi dengan cara apa, yang jelas gue bangga banget sama kelompok kita ini.”“Ya, gue setuju.” Abas menimpali dengan senyum haru. “Gue pikir, proker kita bakal ngebosenin dan kayak tradisi sebelumnya. Tapi ide-ide yang kita buat cukup cemerlang juga.”Chiara mengangguk setuju. Melihat semuanya menampilkan wajah lega dan penuh bangga, ia pun merasakannya dengan batin berbunga-b
Chiara baru menyeduh susu formula khusus ibu hamil. Selama berada di posko dua minggu ini, ia tak abai memikirkan kesehatan diri sekaligus perkembangan janin di kandungannya. Bahkan setiap malam, sebelum tidur, ia sengaja mengajak si jabang bayi mengobrol.Berbekal informasi yang dibacanya di internet, Chiara mengusahakan apa pun untuk menjadi seorang ibu di usianya yang masih terbilang muda. Walaupun memiliki suami yang jauh di atasnya dan lebih berpengalaman, ia lebih senang belajar mandiri.“Rasanya enak?” Venna bertanya begitu memasuki area dapur, tempat yang menjadi destinasi Chiara setiap pagi dan malam dan jumlahnya terbilang sering dikunjungi.Chiara mengulum senyum dan menjauhkan gelas dari bibir. Ia baru meminum setengah dan mengambil jeda untuk membalas Venna. “Kayak susu biasa,” balasnya.Aneh sekali mengatakan ‘biasa’. Padahal selama hidupnya, ia tak membiasakan diri mengonsumsi cairan putih dengan kandungan tinggi kalsium seperti itu. Mengingat ia lahir dan besar di kelu
Yanuar tak sepenuhnya ingat apa yang terjadi semalam. Ia berdecak sambil menyugar rambutnya dan mendengar sebuah benda terjatuh dari ranjang ke lantai. Setelah dilihat dengan rasa malas yang luar biasa, ia menemukan ponselnya tergeletak.“Shit!” makinya kesal karena juga menahan pusing yang mendera kepalanya.Suara gemeruyuk di perut pun ikut terdengar. Yanuar segera bangkit dan melompat dari tempat tidur, bergegas ke kamar mandi untuk menumpahkan isi perutnya. Kemalangan menimpanya lagi untuk kesekian kali.“Yanu?” Itu Mami. Si pemilik nama memejamkan mata usai membersihkan wajah dan mulutnya dari sisa kotoran. “Yanuar!”Kakinya bergerak keluar kamar mandi, meski berat. Hari masih pagi baginya, tapi Mami sudah berkunjung ke rumah di saat keadaannya cukup berantakan.“Astaga Yanu?” Suara itu terdengar bersamaan dengan pintu kamarnya yang terbuka dari luar. Lalu menampilkan sosok ibunya yang melotot lebar ke arahnya. “Kamu mabuk? Istri lagi di luar kota, kamu malah mabuk-mabukan?”Seb
“Dia nggak mau gue ke sana.”Hanya kekehan geli yang terdengar menyebalkan di telinga Yanuar begitu mengungkapkan satu fakta tentang istrinya. Belum lama ini ia langsung meminta Yabes putar balik arah mobil karena Chiara menolak niat baiknya.“Emang kalau KKN gitu nggak bisa banget diganggu?”Yabes yang fokus mengemudi itu melirik sejenak dengan sisa kekehan di bibir. “Ya, terkadang proker bikin pusing, sih. Tapi balik lagi aja ke orangnya,” jelasnya santai. “Ada kok yang hobinya nebeng nama, nggak jalanin proker bareng temannya.”Yanuar menghela napas panjang. Paham sekali Chiara tak masuk pada kriteria yang diucapkan Yabes di akhir kalimat. Ia tahu betul bagaimana sang istri yang kelewat ambisius. Saat dinyatakan hamil pun, Chiara tetap memilih kuliah dan menghabiskan waktu untuk belajar. Tak heran jika sekarang istrinya itu fokus sekali dengan program kampusnya.“Sama kayak lo lah,” imbuh Yabes saat mobil berhenti karena terhalang lampu merah lalu lintas. “Lo juga kebangetan fokusn