Chiara yakin, ia pasti sudah ditertawakan Yanuar diam-diam karena spontan melayangkan tanya bersama nada panik. Ya, tentu saja perasaan takut menjalari benaknya ketika ada seorang pria yang mendadak membuka pakaian. Namun, ketakutan itu berangsur hilang saat Yanuar menunjuk pada tanda kemerahan di punggung.
Sambil cengar-cengir malu, Chiara pun angkat suara, “Sakit ya, Pak?”
“Kalau mau tahu rasanya, coba sendiri,” jawab Yanuar ketus. “Buruan oleskan cream biar ngerinya nggak makin menjadi-jadi.”
“I-iya.”
Chiara menelan ludah ketika tak sengaja menangkap bentuk perut Yanuar yang menarik perhatian. Kalau saja pria yang hendak disentuhnya itu adalah orang yang disukainya, mungkin saja ia akan jumpalitan. Lalu merasa panas dingin ketika kulit jarinya menyentuh punggung lebar itu. Sayangnya, ia tak merasakan apa pun.
“Pelan-pelan!” pekik Yanuar seraya meringis. “Kamu bisa lembut sedikit, nggak? Kasar betul, sih?”
Mendengkus kesal, Chiara memperhalus sentuhannya. Ia mematuhi keinginan sang tuan agar tidak dipecat, apalagi diusir. Sebisa mungkin, Chiara berusaha melakukan yang terbaik sesuai dengan ucapannya belum lama ini.
“Udah selesai, Pak.”
Yanuar mengangguk, lalu memakai kembali atasannya. Sementara Chiara duduk lagi karena mengantisipasi, barangkali masih ada hal yang ingin dibicarakan Yanuar dengannya. Sampai kemudian, tiba-tiba Yanuar menggeliat lantaran ponsel di saku celananya bergetar.
Pada detik ke sekian, Chiara tak sengaja bersitatap dengan Yanuar saat pria itu akan menerima panggilan. Keduanya sontak membuang muka ke arah lain. Disusul Chiara yang berdeham guna mengenyahkan kecanggungan setelahnya.
***
“Pak, saya bisa kok naik taksi ke kosan. Jadi, Bapak nggak perlu antar saya begini malam-malam.”
Alih-alih menjawab, pria itu justru menyalakan musik dengan volume cukup kencang. Chiara yang melihatnya pun refleks menutup mulut sambil memegangi dada sangking terkejutnya. Menghela napas pendek demi mengatur detak jantung yang bergerak kencang, rupanya ia baru disadarkan akan satu hal. Diterima bekerja di rumah tuan muda Atmajaya membuatnya harus mengerahkan mental yang cukup besar.
Sekarang, mau tak mau Chiara hanya bisa memandang ke luar jendela. Pasang telinganya bekerja lebih keras untuk mendengar lagu Rock. Ia sempat melirik Yanuar yang santai melihat jalanan depan. Tak terpengaruh sama sekali pada keadaan di mobil selain suara musik yang sengaja dinyalakan.
“Buruan gih, jangan pakai lama,” titah Yanuar begitu mobilnya tiba di depan indekos Chiara. “Kalau lebih dari setengah jam, saya nggak segan-segan ninggalin kamu sendiri.”
Menelan ludah, Chiara mengangguk pelan. “I-iya, Pak. Saya usahakan.”
Kalau saja bisa menolak permintaan Sukma, Chiara bisa saja meminta bantuan dari supir pribadi atau memesan taksi online untuk mengambil sebagian barangnya. Rasanya aneh sekali mendapati Yanuar yang ditelepon Sukma untuk mengantar si pembantu rumah tangga. Mengingat bagaimana hubungan Chiara dan Yanuar yang kurang bisa dikatakan baik, kemungkinan hal itu menyulut Sukma untuk membuat keduanya akrab.
Padahal dari hati yang paling dalam, Chiara ogah satu mobil bersama Yanuar. Dan sekarang malah diantar sampai indekos. Belum nanti saat perjalanan pulang, haruskah telinganya bekerja keras untuk kedua kalinya?
“Nah itu anaknya pulang juga!”
Chiara terkesiap mendapati ibu kos berserta anak kebanggaannya sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Namun, ada hal lain yang justru menarik perhatiannya sekarang. Barang-barangnya sebagian sudah ditaruh di depan kamar, padahal ia ingat tadi pagi barang miliknya masih berada di tempat biasanya. Apa mungkin ibu kosnya yang menyuruh orang untuk memindahkan barang-barang itu?
“Bu, ini kok barang saya di luar?” tanya Chiara panik. Langsung melihat barang pribadinya, seperti buku kuliah dan beberapa tumpukan pakaian.
“Dari mana aja kamu, Chiara?” todong ibu kos, menghiraukan pertanyaan Chiara. “Saya dari tadi hubungi kamu, tapi nggak ada respon. Sengaja ya kamu begitu biar mangkir dari kewajiban bayar sewa kos?”
Gadis itu terduduk di ubin dingin sembari merapikan pakaian dan memasukkannya ke dalam tas. Beberapa hari terakhir ibu kosnya itu memang sering menghubunginya, baik menelepon maupun mengirimkan chat. Namun, Chiara tak bisa meresponnya karena terlalu sibuk mencari pekerjaan baru. Ia tidak tahu kalau ancaman yang diberikan ibu kos ternyata benar-benar direalisasikan begitu saja—seperti sekarang.
“Ini sudah tanggal berapa, kamu belum bayar!” cecar ibu kos lagi.
“Sudahlah, Bu. Chiara baru saja pulang, mungkin besok dia bisa ke rumah buat bayar sewanya.” Putra ibu kos itu mulai melerai, tapi matanya yang jelalatan justru memberikan kedipan menggoda pada Chiara.
“Joko, kamu nggak usah ya belain anak ini. Dia sering mangkir dan nggak bayar sewa tepat waktu!” balas ibu kos makin sebal. “Jangan sampai kamu kepincut sama Chiara, dia nggak cantik-cantik amat. Paling pakai susuk biar narik perhatian kamu, Nak.”
“Ibu ini bicara apa?” Joko, putra ibu kos itu tak terima. “Jangan asal nuduh Chiara dong, Bu.”
Mendengkus pelan, Chiara hanya melirik sekilas. Lalu kembali sibuk mengemasi pakaian. Hampir semua penghuni indekos tahu peringai anak ibu kos yang kerap menggoda perempuan di sini. Tak terkecuali Chiara.
Bahkan Joko senang menggoda Chiara dan mengajaknya makan bersama di warteg. Sayang seribu sayang, gadis itu jelas menolak. Bukan karena wajah Joko yang kurang menarik, tapi memang Chiara-nya saja yang tak ada waktu untuk itu semua.
Namun, justru penolakan itu yang membuat bumerang bagi Chiara. Joko mengadu pada sang ibu dan masalah pun terjadi beberapa kali. Chiara dituduh menggunakan pelet ini dan itu, ditambah ibu kos sekarang jadi membencinya.
“Tenang aja, Bu.” Chiara angkat suara. “Saya nggak akan bayar karena saya sudah berniat pindah dari sini. Bu Wati jangan khawatir.”
“P-pindah?” Joko tampak terkejut sekali. “Kenapa pindah, Ra? Biar Abang yang bayar sewa kamarmu sebulan ke depan, asal kamu tetap di sini ya?”
Pria itu sudah duduk di samping Chiara. Tangannya hendak meraih lengan si gadis agar mau menerima tawarannya. Chiara segera mengambil jarak bertepatan dengan ibu kos yang menarik telinga Joko keras-keras. Tak peduli seberapa kencang ringisan sang putra.
“Apa-apaan ini, kenapa jadi kamu yang mau bayar sewanya dia?” Ibu kos tak terima, matanya menatap Chiara tajam. “Benar-benar ya kamu Chiara, sudah berapa lama kamu menggoda Joko? Dia itu anak saya, jelas berbeda sama kamu. Kalian mana bisa satu level! Kamu mahasiswi miskin yang suka nunggak bayar sewa, nggak akan pantas sama Joko anak kesayangan saya!”
Mengerjap pelan, Chiara menundukkan kepala. Hatinya seperti diremas-remas mendengar tuduhan itu. Sebagian besar yang diucapkan ibu kos tentangnya memang benar. Ia hanyalah mahasiswi miskin yang kerap menunggak pembayaran, tapi apa wajar orang sepertinya harus mendapat perkataan seperti itu?
Sekalipun Chiara tak pernah menggoda anak ibu kos. Berpikiran untuk menyukai seseorang pun tak pernah terlintas di kepala. Hal yang memenuhi pikirannya justru keadaan dirinya sendiri. Bagaimana kuliah dan hidupnya ke depan, apakah masih bisa makan atau tinggal di kota ini dengan uang tak seberapa?
“Saya memang miskin, Bu,” sahut Chiara lirih. “Saya juga suka nunggak bayar kos, tapi … saya berani sumpah nggak pernah menggoda Bang Joko. Saya selalu sibuk kuliah sama cari uang tambahan, gimana mungkin bisa menggoda anak Ibu?”
“Di mana-mana maling nggak pada ngaku, sama seperti kamu!”
“Bu, jangan marahin Chiara terus.” Joko masih meringis, tapi keberaniannya tak surut untuk membela Chiara. “Kasihan dia, Bu ….”
“Diam kamu!” tegur ibu kos pada Joko.
Seketika Chiara bangkit dari duduk. Berhadapan langsung dengan ibu kos bersama tatapan tajam, meski ada kemerahan di sana karena menahan tangis. Keberanian Chiara sudah penuh sekarang akibat dipicu amarah yang meluap-luap.
“Jangan karena saya miskin, Ibu bisa sebebas itu mengatai saya!” seru Chiara dengan pundak yang bergerak naik-turun. “Memang Bu Wati punya bukti apa, saya maling apa di indekos reyot seperti ini?”
Sungguh ucapan itu mengalir begitu saja. Chiara tak berniat melabeli tempat yang sudah dihuninya setahun ke belakang itu reyot. Ya, kelihatan dari tampilannya memang sudah tua dan rawan ambruk, sih, tapi tak seharusnya ia blak-blakan seperti itu.
“Beraninya kamu!”
Ibu kos sudah melayangkan tangan, hendak memberi pelajaran. Chiara sudah bersiap memejamkan mata untuk pasrah atas nasibnya ke depan. Namun, yang terjadi beberapa detik kemudian justru ringisan dari wanita paruh baya itu.
“Jangan main kekerasan pada Chiara, kecuali jika Anda mau saya jebloskan ke penjara.”
Suara itu … tentu Chiara kenal. Sontak ia membuka mata dan melihat ke sekeliling. Di hadapannya sudah ada punggung lebar yang berdiri di depannya. Yanuar yang entah kapan datang itu tengah menahan tangan ibu kos sekaligus mengancamnya.
“Nggak usah jadi pahlawan lo! Emang lo siapanya Chiara pakai pegangin tangan emak gue!”
Chiara mengembuskan napas kasar. Malas sekali menghadapi sikap Joko yang gemar mendramatisir sesuatu. Terlebih sekarang ada Yanuar yang mendadak muncul tanpa aba-aba. Mengapa pula pria menyebalkan itu datang membelanya, sih?
Sepersekian sekon, Yanuar menoleh pada Chiara. Menarik sudut bibir hingga membentuk satu lengkungan. Lalu tangannya yang lain merangkul si gadis seakan keduanya memang sedekat itu.
“Perlu aku kasih tahu ke mereka?”
Mata Chiara membelalak seketika. Ini bagaimana ceritanya seorang Yanuar Atmajaya mampu mengubah kata saya menjadi aku dalam beberapa detik saja? Apa Chiara sedang bermimpi ya sekarang?
“M-maksudnya gimana—“
Joko mulai senewen. “Hei, ngapain rangkul-rangkulan, sih?”
“Bukannya wajar ya sebagai pacar, saya rangkul Chiara begini?” Yanuar memiringkan kepala. “Apa perlu saya tunjukkan ke kalian berdua bagaimana panasnya kami saat berciuman?”
“Bang, bisa minggirin mobilnya? Gue mau lewat nih!” Yanuar berjengkit ketika kaca jendela mobilnya diketuk seseorang. Ia menurunkan kaca dan mengangguk memenuhi permintaan dari seorang gadis tadi. Ada senyum malu yang tertinggal sebelum gadis itu bergerak masuk ke indekos yang sama dengan Chiara. Mendapati sikap kaum wanita yang malu-malu salah tingkah bagi Yanuar seperti sebuah tradisi. Ia kerap mendapati gelagat seperti itu. Ia biasa menganggapnya sebagai dampak karena penampilannya yang tampan. Sayangnya, hal itu tak berlaku pada asisten barunya yang belum lama ini masuk ke dalam indekos. Waktu baru berjalan lima menit semenjak Chiara masuk. Masih ada sisa 25 menit lagi, tapi Yanuar terlanjur bosan. Ia pun turun dari mobil, menyandarkan setengah tubuhnya di badan kendaraan bagian depan. Tangannya merogoh korek api di saku celana, lalu menyalakannya untuk membakar ujung rokok sebelum dihisapnya. “Lama-lama kuping gue budek kalau terus-terusan tinggal di kosan kayak gini!” Keluha
“Sialan!”Chiara memaki dalam hati tiap kali mengingat soal jaket kulit yang dipakaikan Yanuar ke tubuh bagian bawahnya. Ia nyaris terbawa suasana sebelum pria itu menjelaskan niatnya semalam. Seharusnya ia sadar diri bahwasanya, semua orang kaya memiliki watak menyebalkan dan suka semena-mena. Sama seperti Bu Wati yang meremehkannya, Yanuar pun demikian.Sekarang ia sedang sibuk mengaduk nasi yang baru dituangkan ke wajan agar bisa tercampur baik dengan bumbu. Masih menyimpan kekesalan, Chiara berusaha fokus dalam menakar bahan-bahan masakannya agar tak menuai perkara lagi dengan tuannya. Kembali teringat sikap Yanuar, tangan Chiara makin bergerak agresif hingga menimbulkan suara di dapur.“Masaknya jangan pakai emosi, bisa hancur rasa makanannya nanti.” Suara berat Yanuar membuat jantung Chiara melonjak. Matanya melirik ke belakang dan mendapati pria yang sudah mengenakan kemeja rapi itu tengah mengisi gelas kosongnya dengan air.“Saya nggak mau makan masakan kamu lagi kalau gagal d
“Neng ini nggak tahu apa pura-pura?”Lamunan Chiara diakhiri begitu Bi Asih kembali menyeletuk. Ia menelan ludah, berusaha mengingat-ingat sesuatu yang berkenaan dengan tuannya. Sejak menginjakkan kaki di rumah megah ini, tak sekalipun ia menangkap potret yang dimaksud Bi Asih sebagai sosok istri Yanuar.“Halah, anak muda jaman sekarang banyak yang pura-pura polos, aslinya mah agresif,” timpal Endah yang kesannya memandang remeh, bahkan tak menyukai keberadaan Chiara.“Saya benar-benar nggak tahu,” aku Chiara spontan. “Jadi, Pak Yanuar udah menikah dan punya istri—“Mendadak Endah memotong ucapan Chiara tanpa sesal atau bersalah, “Lo tenang aja, nggak akan ada nyonya besar yang suka ngomel di rumah ini kayak sinetron di tv, karena istri Pak Yanuar udah meninggal karena kecelakaan.”“Kecelakaan?”Jantung Chiara melonjak kaget. Tak menyangka sama sekali jika sosok pria yang baginya menyebalkan itu sempat memiliki istri dan harus merelakan orang terkasih pergi meninggalkannya. Mengerjap
Menilik arloji di pergelangan tangan, Yanuar mendadak gusar. Mengingat Chiara yang diminta datang ke kantor belum menunjukkan tanda-tanda keberadaan. Lantas ia meminta Yabeswara, sekretaris sekaligus kawannya untuk menelepon salah satu pekerjanya di rumah.“Kata Mang Dar, Neng Chia udah pergi naik angkot sejak setengah jam yang lalu,” jelas Yabes.“Naik angkot?” ulang Yanuar sedikit syok. “Ngapain juga itu bocah naik angkot segala, sih?”Melihat sikap Yanuar yang berbicara sendiri, membuat Yabes makin curiga. Ia mendekati atasannya itu dan berujar, “Nu, kayaknya lo perlu jelasin sesuatu sama gue deh.”“Jelasin apaan?”“Asisten rumah tangga baru lo itu,” sebut Yabes tanpa tedeng aling-aling. “Jangan bilang Neng Chia yang dibilang Mang Dar tadi adalah Chiara Sagita, cewek yang lo pecat sebulan lalu.”Yanuar langsung membuang muka dan meninggalkan dehaman pendek. Dari dua gelagat aneh itu, Yabes seketika paham tentang apa yang sedang sahabatnya sembunyikan. Ia senyum geli saat pria itu
“Pak, saya bisa telat datang ke kampus lho. Apalagi jalanan macet kalau pesan taksi online sekarang.”Persetan jika Yanuar menganggapnya sebagai gadis tukang mengeluh. Ia pun tak peduli tentang alasan pria itu mengkhawatirkan tanpa sebab. Yang jelas waktunya sudah mepet. Ia tak akan memiliki banyak waktu jika menunggu pria itu selesiai makan.Yanuar mengibaskan tangan seolah menenangkan kegelisahan Chiara. Bahkan ia meminta gadis itu duduk kembali ke sofa yang tengah didudukinya juga. Mau tak mau, Chiara menurut, meski kekesalanya makin bertambah banyak dalam benak“Tenang,” sahut Yanuar akhirnya setelah hampir menyantap seluruh isi bekal yang dibawa Chiara. “Saya yang akan antar kamu.”Pasang netra Chiara sontak membelalak. “Ini bukan saatnya bercanda, Pak,” tandasnya malas menatap sang tuan. “Saya pamit sekarang ya, Pak, lagian makanan Bapak juga udah habis.”Yanuar bergumam pendek. Wajahnya terangkat dari kotak bekal dan terpatri pada dua mata Chiara yang sedang memandang ke arah
“Mau sampai kapan, sih, lo berantem sama Junias terus?” Yabes melempar protes ketika bertemu Yanuar di lorong menuju lift.Yang ditanya hanya menghela napas berat. Lalu mengabaikan pertanyaan yang terselip aksi keluhan itu. Yanuar menekan tombol lift begitu tiba di depan pintu, lalu menunggu sampai terbuka. Sikapnya ini jelas akan menuai kekesalan Yabes yang sekarang mulai memutar tubuh dan menghadap ke arahnya.“Nggak habis pikir gue sama kelakuan lo, Nu.” Pria itu menggeleng tak habis pikir. “Makin hari bukannya makin bener, malah begini.”Yanuar mendengkus. “Lo ini belum tahu cerita aslinya, tapi udah sembarangan menghakimi.”“Terus apa yang bener?” tantang Yabes sambil melipat kedua tangan di depan dada. “Emang lo mau cerita?”Dari sekian banyak hal yang memenuhi pikiran. Juga hal yang menyebabkan dadanya sesak, Yanuar kerap memendamnya. Seperti halnya sekarang, setelah beradu mulut dengan Junias tadi, perasaannya makin tak karuan. Ada saja yang membuatnya emosi.Jika diminta berc
“Buset!” Chiara berseru sambil berusaha melepaskan diri dari kungkungan Yanuar yang terlalu erat dan kuat. “Pak, sadar! Ini saya asisten Bapak!”Ia masih berusaha, tubuhnya digerak-gerakan agar pria itu cepat sadar ada sesuatu yang janggal. Namun apa daya, kondisi Yanuar melebihi prasangka Chiara. Dikatakan mabuk memang, tapi sepertinya lebih dari itu dan tampak merepotkan.Tak berselang lama, rungu Chiara menangkap isakan yang berasal dari bibir Yanuar. Tangisan itu makin sesak, terlihat dari cara si pria yang sesenggukkan. Bagian badan Chiara yang menempeli Yanuar pun bisa merasakan dada itu bergerak naik-turun.“Loh malah nangis,” ujarnya sambil menghela napas berat.Sekiranya sudah setengah jam berlalu, tautan tangan Yanuar masih cukup erat. Sementara kantuk sudah menyergap kedua mata Chiara. Gadis itu tak bisa lagi menahan keinginan untuk terlelap, sekalipun tubuhnya masih dipeluk erat.Dalam sekian detik, Chiara pun menyerah. Ia mulai memasuki kubangan mimpi dan melupakan segala
“Leher saya merah-merah?” Reaksi Chiara kelewat santai, seakan tak curiga sama sekali seperti yang dipikirkan Yanuar. “Mana, Pak? Bagian mana?”Mengerjap pelan, Yanuar menggeleng heran. Ia nyaris berdecak melihat gelagat Chiara yang di luar nalar itu.“Memangnya kamu belum bercermin pagi ini?”“Tadi ke kamar mandi cuci muka doang, soalnya saya buru-buru siapin sarapan,” aku Chiara jujur. “Lagian kamar mandi saya nggak kayak punya Bapak kali, isinya cuma bak, toilet jongkok, sama kran air. Nggak ada tuh cermin apalagi wastafel. Strata kita beda lho, Pak di rumah ini.”Yanuar dibuat menganga atas ucapan Chiara yang blak-blakan. Ia rasa pernyataan itu seharusnya keluar dari mulutnya, alih-alih dari si gadis. Lantas ia mengembuskan napas sembari menautkan kedua tangan di atas meja.“Kamu nggak usah kasih tahu saya tentang hal itu, saya nggak bodoh.” Sorot mata Yanuar kian serius. “Lebih baik kamu cek saja leher itu sendiri dan jawab pertanyaan saya tadi!”Chiara memberengut seketika. “Iya