“Sialan!”
Chiara memaki dalam hati tiap kali mengingat soal jaket kulit yang dipakaikan Yanuar ke tubuh bagian bawahnya. Ia nyaris terbawa suasana sebelum pria itu menjelaskan niatnya semalam. Seharusnya ia sadar diri bahwasanya, semua orang kaya memiliki watak menyebalkan dan suka semena-mena. Sama seperti Bu Wati yang meremehkannya, Yanuar pun demikian.
Sekarang ia sedang sibuk mengaduk nasi yang baru dituangkan ke wajan agar bisa tercampur baik dengan bumbu. Masih menyimpan kekesalan, Chiara berusaha fokus dalam menakar bahan-bahan masakannya agar tak menuai perkara lagi dengan tuannya. Kembali teringat sikap Yanuar, tangan Chiara makin bergerak agresif hingga menimbulkan suara di dapur.
“Masaknya jangan pakai emosi, bisa hancur rasa makanannya nanti.” Suara berat Yanuar membuat jantung Chiara melonjak. Matanya melirik ke belakang dan mendapati pria yang sudah mengenakan kemeja rapi itu tengah mengisi gelas kosongnya dengan air.
“Saya nggak mau makan masakan kamu lagi kalau gagal di pagi ini,” imbuh Yanuar sambil melihat wajah Chiara dari samping. “Omong-omong, kamu berangkat ke kampus jam berapa?”
“Mulai siang, Pak. Jam satu,” balas Chiara, masih meluruskan pandangan ke wajan berisi nasi goreng.
Yanuar manggut-manggut mengerti. Kemudian bergerak menuju meja makan dan duduk di sana. Napas Chiara terhela panjang saat ada jarak di antara mereka. Lantas ia memindahkan nasi goreng ke mangkuk besar sebelum menyerahkannya ke hadapan sang tuan.
Selesai menyajikan hidangan, Chiara berencana melanjutkan kegiatan beberesnya. Ia baru memutar tubuh dan bersiap berlalu menuju kamar, tapi dehaman keras yang berasal dari Yanuar membuatnya mengerjap. Tak lama, ia menoleh cepat ketika mendengar pertanyaan yang ditujukan padanya.
“Mau ke mana kamu?”
“Ke kamar, Pak.”
“Di sini saja, temani saya makan.” Yanuar mengedik pada salah satu bangku di seberangnya. “Saya nggak suka makan sendiri.”
“O-oke, Pak.” Mengangguk canggung, Chiara menempatkan diri di sisi meja. Sorot matanya sengaja dialihkan ke tempat lain agar tidak bertemu tatap dengan pria itu.
“Kok masih berdiri?” celetuk Yanuar sebelum memasukkan suapan pertama.
Si gadis terkesiap dan langsung berpaling. “Gimana, Pak?”
“Duduk,” ujar Yanuar tegas. “Saya minta ditemani makan manusia bukan patung. Kamu ambil piring dan makan nasi gorengnya. Paham, kan, ucapan saya?”
Chiara menahan napas sekaligus emosi. Baru beberapa jam tinggal di rumah megah ini, ia sudah diberikan sindiran dari tuannya ke sekian kali. Sampai kemudian, kesabarannya menipis dan hampir habis. Menyadari itu, lantas Chiara angkat bicara begitu duduk.
“Ya … paham, Bapak jangan meremehkan saya terus.”
Yanuar menghentikan kunyahan, lalu menatap Chiara lamat-lamat. “Bukannya meremehkan, tapi saya ragu,” akunya bersama nada datar yang terkesan serius.
“Kok bisa?” Bagi Chiara jawaban itu tak masuk akal. Bahkan sampai membuat keningnya berkerut-kerut.
“Ya bisalah.”
Jika sudah begini, Chiara memilih mengatupkan bibir dan mengalah saja. Perdebatan mungkin akan terjadi seandainya Chiara meladeni omongan pedas Yanuar. Toh, hal itu tak akan berguna bagi mereka sebelum menjalani kegiatan yang seharusnya diisi momen-momen penyemangat.
“Nanti jam 8 atau 9, Bi Asih dan Endah datang ke rumah seperti biasa. Kamu bisa tanya-tanya ke mereka kalau bingung harus melakukan apa di sini.” Yanuar kembali berujar, tapi lebih panjang. “Tetap jaga sikap dan jangan merasa tinggi hanya karena kamu diperbolehkan tinggal di rumah saya.”
Chiara ingin menggerutu dan mengoreksi kata-kata yang disampaikan Yanuar tentangnya. Sejauh ini, ia berusaha menjaga sikap sampai menahan kesabaran di saat sang tuan menyepelekannya. Seperi halnya sekarang, pria itu menghempaskan berkas ke meja setelah mengambilnya dari tas.
“Ini apa, Pak?” tanya Chiara hati-hati.
“Peraturan sekaligus jobdesk kamu selama bekerja sebagai asisten saya,” terang Yanuar. “Bisa kamu baca dan jika ada yang keberatan, kita bisa diskusikan nanti malam, sepulang saya dari kantor.”
Dari sekian banyak aturan dan daftar pekerjaan yang terlampir di sana, ada satu poin yang memicu kebingungan Chiara. Sebab apa yang dituliskan di sana tak sesuai dengan penjelasan Sukma kemarin. Berkat itu, ia memulai aksi protesnya.
“Pak, ini kok saya nggak diperbolehkan masuk ke kamar Bapak? Bukannya tugas saya membersihkan kamar yang Bapak tempati? Terus yang di lantai dua—“
Tangan besar Yanuar seketika terangkat—lepas dari sendok dan garpu. “Sudah saya katakan, bahasnya nanti malam. Saya harus berangkat sekarang.”
“Iya, maaf, Pak.”
Tak berselang lama setelah menandaskan nasi gorengnya, Yanuar pun bangkit dari duduk. Ia hendak pergi ke kantor, tapi sebelum melangkah, ia menatap serius Chiara. Kemudian berkata, “Ingat ya, jangan asal keluar-masuk ke kamar saya.”
“Siap, Pak.”
Kepala Chiara terangguk pelan. Kelihatannya gadis itu mengerti larangan yang dibuatnya. Pasalnya, jika gadis itu memberanikan diri masuk ke teritori tuannya tanpa izin, Yanuar bisa pastikan Chiara tak bisa keluar baik-baik dari kamarnya.
“Sebentar, Pak, sebentar … tunggu dulu!”
Baru beberapa langkah Yanuar berlalu meninggalkan meja, Chiara mengejar. Lalu berdiri tepat di hadapannya seakan berniat menghalangi jalan. Ia tak marah dengan sikap si gadis, tapi ekspresinya kelewat datar dan kelihatan kesal.
“Apa lagi, Bocah Tengil?”
“Pak, saya belum ada tenaga buat bertengkar atau berdebat, jadi jangan memancing,” gerutu Chiara dengan bibir mengerucut.
“Ya sudah, ada apa, Chiara?”
“Soal bekal, ini mau saya buatkan. Bapak bisa tunggu sebentar?”
“No.” Sayangnya Yanuar menolak tanpa berpikir sama sekali.
“Lho kok gitu? Sebentar doang, nggak sampai 10 menit!” bujuk Chiara. “Kenapa Bapak ini nggak punya toleransi menunggu, sih?”
“Saya nggak terbiasa bawa bekal karena makanannya bisa kurang fresh.” Yanuar mengangkat bahunya enteng. Seringan perintah yang dilontarkannya pada Chiara. “Lebih baik kamu baca benar-benar berkas itu dan datang ke kantor saya sebelum kamu berangkat ke kampus. Saya nggak mau menerima kata ‘nggak bisa’ keluar dari bibir kamu.”
***
Apa yang dikatakan Yanuar tadi benar terjadi. Bi Asih yang biasa mengurus rumah besar itu datang bersama anak perempuannya. Keduanya langsung menjalankan tugasnya masing-masing. Anehnya, dari ibu dan anak itu tak ada sapaan ramah atau basa-basi untuk berkenalan dengan Chiara sebagai asisten baru.
Daripada dianggap sombong dan tak sopan, Chiara pun berinisiatif mendekat sekaligus memperkenalkan dirinya. Memasang wajah ramah, ia menjulurkan tangan sambil berujar sopan. Setelah menyaksikan Bi Asih yang menoleh padanya, Chiara buru-buru mengucap salam sebagai tanda perkenalan.
“Saya Chiara, asisten yang mulai bekerja di sini,” katanya sambil tersenyum. “Salam kenal, Bi Asih.”
Wanita paruh baya itu melotot. “Lho, jadi Neng ini asisten baru?”
“I-iya betul, memangnya Bibi menyangka saya siapa?” Chiara menanggapi dengan raut bingung juga tak kalah kagetnya. Merasa perkenalan ini terasa salah dan kurang tepat.
Bi Asih pun gelagapan dan panik, lalu sibuk memanggil putrinya. “Ndah! Endah, sini!”
Sosok wanita berusia 30 tahunan itu muncul dengan kain lap melingkari pundak. “Kenapa, Mak?” tanyanya bingung sambil melirik tak suka pada Chiara.
“Ini lho asisten barunya Pak Yanu, kamu tadi salah sangka.”
“Salah sangka?” ulang Chiara, makin tak mengerti.
Endah memerhatikan penampilan Chiara dan memandanginya dari atas hingga bawah. Sampai tangannya bergerak menepuk bahu si gadis lumayan keras. “Astaga, gue kira lo cewek barunya Pak Yanu. Makanya tadi sempat kaget dan malas ketemu karena nggak biasanya Pak Yanu bawa cewek daun muda yang kinyis-kinyis,” terangnya.
Bi Asih tak ingin kalah, ia mengiyakan penjelasan putrinya. “Ya, semenjak mendiang istri Pak Yanu pergi, baru kali ini kami lihat ada gadis di rumah ini. Ternyata asisten, malah pembantu kayak kami,” tuturnya sambil terkekeh geli.
Sementara Chiara sendiri merasa jantungnya berhenti berdetak karena baru mendapati satu informasi besar mengenai tuannya. “Sebentar … maksud Bi Asih, bos galak—“ Seketika Chiara mengatupkan bibir begitu sadar salah ucap. “Eh, maksudnya Pak Yanuar itu sudah punya istri?”
“Neng ini nggak tahu apa pura-pura?”Lamunan Chiara diakhiri begitu Bi Asih kembali menyeletuk. Ia menelan ludah, berusaha mengingat-ingat sesuatu yang berkenaan dengan tuannya. Sejak menginjakkan kaki di rumah megah ini, tak sekalipun ia menangkap potret yang dimaksud Bi Asih sebagai sosok istri Yanuar.“Halah, anak muda jaman sekarang banyak yang pura-pura polos, aslinya mah agresif,” timpal Endah yang kesannya memandang remeh, bahkan tak menyukai keberadaan Chiara.“Saya benar-benar nggak tahu,” aku Chiara spontan. “Jadi, Pak Yanuar udah menikah dan punya istri—“Mendadak Endah memotong ucapan Chiara tanpa sesal atau bersalah, “Lo tenang aja, nggak akan ada nyonya besar yang suka ngomel di rumah ini kayak sinetron di tv, karena istri Pak Yanuar udah meninggal karena kecelakaan.”“Kecelakaan?”Jantung Chiara melonjak kaget. Tak menyangka sama sekali jika sosok pria yang baginya menyebalkan itu sempat memiliki istri dan harus merelakan orang terkasih pergi meninggalkannya. Mengerjap
Menilik arloji di pergelangan tangan, Yanuar mendadak gusar. Mengingat Chiara yang diminta datang ke kantor belum menunjukkan tanda-tanda keberadaan. Lantas ia meminta Yabeswara, sekretaris sekaligus kawannya untuk menelepon salah satu pekerjanya di rumah.“Kata Mang Dar, Neng Chia udah pergi naik angkot sejak setengah jam yang lalu,” jelas Yabes.“Naik angkot?” ulang Yanuar sedikit syok. “Ngapain juga itu bocah naik angkot segala, sih?”Melihat sikap Yanuar yang berbicara sendiri, membuat Yabes makin curiga. Ia mendekati atasannya itu dan berujar, “Nu, kayaknya lo perlu jelasin sesuatu sama gue deh.”“Jelasin apaan?”“Asisten rumah tangga baru lo itu,” sebut Yabes tanpa tedeng aling-aling. “Jangan bilang Neng Chia yang dibilang Mang Dar tadi adalah Chiara Sagita, cewek yang lo pecat sebulan lalu.”Yanuar langsung membuang muka dan meninggalkan dehaman pendek. Dari dua gelagat aneh itu, Yabes seketika paham tentang apa yang sedang sahabatnya sembunyikan. Ia senyum geli saat pria itu
“Pak, saya bisa telat datang ke kampus lho. Apalagi jalanan macet kalau pesan taksi online sekarang.”Persetan jika Yanuar menganggapnya sebagai gadis tukang mengeluh. Ia pun tak peduli tentang alasan pria itu mengkhawatirkan tanpa sebab. Yang jelas waktunya sudah mepet. Ia tak akan memiliki banyak waktu jika menunggu pria itu selesiai makan.Yanuar mengibaskan tangan seolah menenangkan kegelisahan Chiara. Bahkan ia meminta gadis itu duduk kembali ke sofa yang tengah didudukinya juga. Mau tak mau, Chiara menurut, meski kekesalanya makin bertambah banyak dalam benak“Tenang,” sahut Yanuar akhirnya setelah hampir menyantap seluruh isi bekal yang dibawa Chiara. “Saya yang akan antar kamu.”Pasang netra Chiara sontak membelalak. “Ini bukan saatnya bercanda, Pak,” tandasnya malas menatap sang tuan. “Saya pamit sekarang ya, Pak, lagian makanan Bapak juga udah habis.”Yanuar bergumam pendek. Wajahnya terangkat dari kotak bekal dan terpatri pada dua mata Chiara yang sedang memandang ke arah
“Mau sampai kapan, sih, lo berantem sama Junias terus?” Yabes melempar protes ketika bertemu Yanuar di lorong menuju lift.Yang ditanya hanya menghela napas berat. Lalu mengabaikan pertanyaan yang terselip aksi keluhan itu. Yanuar menekan tombol lift begitu tiba di depan pintu, lalu menunggu sampai terbuka. Sikapnya ini jelas akan menuai kekesalan Yabes yang sekarang mulai memutar tubuh dan menghadap ke arahnya.“Nggak habis pikir gue sama kelakuan lo, Nu.” Pria itu menggeleng tak habis pikir. “Makin hari bukannya makin bener, malah begini.”Yanuar mendengkus. “Lo ini belum tahu cerita aslinya, tapi udah sembarangan menghakimi.”“Terus apa yang bener?” tantang Yabes sambil melipat kedua tangan di depan dada. “Emang lo mau cerita?”Dari sekian banyak hal yang memenuhi pikiran. Juga hal yang menyebabkan dadanya sesak, Yanuar kerap memendamnya. Seperti halnya sekarang, setelah beradu mulut dengan Junias tadi, perasaannya makin tak karuan. Ada saja yang membuatnya emosi.Jika diminta berc
“Buset!” Chiara berseru sambil berusaha melepaskan diri dari kungkungan Yanuar yang terlalu erat dan kuat. “Pak, sadar! Ini saya asisten Bapak!”Ia masih berusaha, tubuhnya digerak-gerakan agar pria itu cepat sadar ada sesuatu yang janggal. Namun apa daya, kondisi Yanuar melebihi prasangka Chiara. Dikatakan mabuk memang, tapi sepertinya lebih dari itu dan tampak merepotkan.Tak berselang lama, rungu Chiara menangkap isakan yang berasal dari bibir Yanuar. Tangisan itu makin sesak, terlihat dari cara si pria yang sesenggukkan. Bagian badan Chiara yang menempeli Yanuar pun bisa merasakan dada itu bergerak naik-turun.“Loh malah nangis,” ujarnya sambil menghela napas berat.Sekiranya sudah setengah jam berlalu, tautan tangan Yanuar masih cukup erat. Sementara kantuk sudah menyergap kedua mata Chiara. Gadis itu tak bisa lagi menahan keinginan untuk terlelap, sekalipun tubuhnya masih dipeluk erat.Dalam sekian detik, Chiara pun menyerah. Ia mulai memasuki kubangan mimpi dan melupakan segala
“Leher saya merah-merah?” Reaksi Chiara kelewat santai, seakan tak curiga sama sekali seperti yang dipikirkan Yanuar. “Mana, Pak? Bagian mana?”Mengerjap pelan, Yanuar menggeleng heran. Ia nyaris berdecak melihat gelagat Chiara yang di luar nalar itu.“Memangnya kamu belum bercermin pagi ini?”“Tadi ke kamar mandi cuci muka doang, soalnya saya buru-buru siapin sarapan,” aku Chiara jujur. “Lagian kamar mandi saya nggak kayak punya Bapak kali, isinya cuma bak, toilet jongkok, sama kran air. Nggak ada tuh cermin apalagi wastafel. Strata kita beda lho, Pak di rumah ini.”Yanuar dibuat menganga atas ucapan Chiara yang blak-blakan. Ia rasa pernyataan itu seharusnya keluar dari mulutnya, alih-alih dari si gadis. Lantas ia mengembuskan napas sembari menautkan kedua tangan di atas meja.“Kamu nggak usah kasih tahu saya tentang hal itu, saya nggak bodoh.” Sorot mata Yanuar kian serius. “Lebih baik kamu cek saja leher itu sendiri dan jawab pertanyaan saya tadi!”Chiara memberengut seketika. “Iya
Selepas menyantap sarapan, Yanuar bermaksud membereskan piring kotornya sendiri. Namun, niatannya itu terhenti ketika Bi Asih dan putrinya datang mendekat. Dua wanita itu tampak bersemangat, bahkan saat menyapa.“Itu piring kotor mau dicuci sendiri, Pak?” tanya Endah bingung. Yanuar hanya mengulas senyum samar, seakan menjawab iya.“Duh, itu bukannya tugas si Neng Chia ya, Mak?” Endak kini melontarkan tanya pada ibunya. Bi Asih kontan mengangguk. “Tuhkan, baru aja sehari di sini malah biarin Pak Yanu cuci piring sendiri!”“Nggak pa-pa, tadi Chiara buru-buru kayaknya ada kelas pagi hari ini,” jelas Yanuar sambil berlalu menuju area dapur. “Bi Asih sama Mbak Endah kerjain aja bagian dapur, biar piring saya bereskan sendiri.”Yanuar tak ingin dua wanita itu merecoki urusannya. Terlebih soal Chiara, bisa bahaya jika salah satu dari mereka tahu tentang apa yang terjadi semalam. Sifat Bi Asih, terutama Endah kerap kali membebaninya. Kadang mereka mudah membeberkan rumor tentangnya pada teta
“Jadi kamu yang namanya Chiara?”Pertanyaan tersebut terlontar dari seorang gadis yang tadi sempat mencuri dengar percakapannya dengan Yanuar. Lalu menyelonong masuk ke kamar. Chiara tak bisa membayangkan akan semarah apa tuannya saat mengetahui orang lain asal masuk ke ruang pribadinya.Namun, tidak ada suara setelahnya. Sepertinya pria itu tidak tersulut emosi sama sekali. Sekarang ia diminta duduk oleh gadis ini. Tampilannya menarik, tampak lebih tua beberapa tahun darinya.“Mami sempat bilang tentang kamu yang mulai kerja di tempat ini,” tambah si gadis. “Oh ya, kita belum kenalan.” Ia mengulurkan tangan. “Aku Leona Atmajaya, adiknya si duda girang.”Chiara menyambut tangan itu dan menjabatnya. “Duda girang?” katanya bingung sambil mengerutkan kening. “Maksudnya gimana ya, Mbak?”Leona, adik Yanuar mengulum senyum jenaka. “Atasanmu itu duda, kamu nggak tahu?”Chiara meringis sembari mengangguk mengerti. “Oh itu … tahu, Mbak.”“Nggak usah ngomong macam-macam soal gue.” Yanuar muncu