“Jadi kamu yang namanya Chiara?”Pertanyaan tersebut terlontar dari seorang gadis yang tadi sempat mencuri dengar percakapannya dengan Yanuar. Lalu menyelonong masuk ke kamar. Chiara tak bisa membayangkan akan semarah apa tuannya saat mengetahui orang lain asal masuk ke ruang pribadinya.Namun, tidak ada suara setelahnya. Sepertinya pria itu tidak tersulut emosi sama sekali. Sekarang ia diminta duduk oleh gadis ini. Tampilannya menarik, tampak lebih tua beberapa tahun darinya.“Mami sempat bilang tentang kamu yang mulai kerja di tempat ini,” tambah si gadis. “Oh ya, kita belum kenalan.” Ia mengulurkan tangan. “Aku Leona Atmajaya, adiknya si duda girang.”Chiara menyambut tangan itu dan menjabatnya. “Duda girang?” katanya bingung sambil mengerutkan kening. “Maksudnya gimana ya, Mbak?”Leona, adik Yanuar mengulum senyum jenaka. “Atasanmu itu duda, kamu nggak tahu?”Chiara meringis sembari mengangguk mengerti. “Oh itu … tahu, Mbak.”“Nggak usah ngomong macam-macam soal gue.” Yanuar muncu
Melihat sikap Chiara yang berubah ketus padanya, Yanuar sempat berpikir tentang perkataannya yang terdengar kelewatan. Namun karena gengsi yang lumayan tinggi, ia menolak untuk mengajukan permintaan maaf.Dari tempatnya berdiri, wangi masakan gadis itu menggapai hidung. Yanuar bisa menebak apa yang dibuat Chiara. Tumis kangkung dan tempe serta tahu goreng. Dua makanan rumah favoritnya.“Minta diantar sopir aja, biar nggak kejebak macet,” ujar Yanuar ketika Chiara hendak pamitan. Sayangnya gadis itu menggeleng pelan dan menghindari tatapan sang tuan.Napas Yanuar terhela pendek, lalu menambahkan, “Oke, terserah. Bukan salah saya kalau kamu telat dan dapat pengurangan nilai dari dosen.”Kini Chiara mengangkat wajah dan membalas sorot mata Yanuar. Mata bertemu mata selama beberapa saat. “Kalau saya mau nyalahin Bapak juga percuma, ini resiko kerja sama orang yang berhati dingin,” tandasnya tanpa pikir panjang.Yanuar melototi Chiara seketika. Bibirnya sudah menganga, hendak menimpali uc
Makanan yang kerap membuat nafsu makannya meluap-luap, kini tak terlihat menggiurkan sama sekali. Chiara berusaha menunduk, menghindari pertemuan tatap dengan mata Junias. Ia bingung harus memutuskan atas pilihan yang diberikan pria itu.“Keburu dingin itu bakso ayamnya, Chia.” Junias menegur gadis di hadapannya sembari mengetuk meja dua kali.Chiara bergumam pendek. Lalu mulai mengaduk-aduk isi mangkuk yang asapnya tak lagi mengepul. Baru menyicipi kuah yang super gurih dan menggiurkan, rasa lapar hilang dalam sekejap.Kepalanya terus memikirkan cara agar Junias tak lagi menekannya untuk memilih. Memangnya tempat kerja mana lagi yang bisa membayarnya dengan jumlah yang lumayan?“Mas,” panggilnya setelah meletakkan alat makan di mangkuk. “Aku nggak tahu Mas ada masalah apa sama Pak Yanuar, tapi pekerjaan ini penting buatku. Aku udah bingung mau cari kerja di mana, sedangkan Bapak masih ngurusin Kak Ardan yang lagi sekolah di LPK. Biayanya besar dan nggak memungkinkan bisa mencukupi ku
Helaan napas Chiara terdengar berat. Sudah ke sekian kalinya ia melakukannya untuk memantapkan diri menghabiskan makanan yang dimasaknya tadi untuk Yanuar. Sayangnya selepas pulang dari kampus, masakannya tak tersentuh sama sekali.Ia geram dua kali lipat. Perdebatannya dengan pria itu saja masih menyisakan kekesalan, ditambah usahanya ini disia-siakan. Belum lagi masalah yang menyeret keluarganya karena ucapan Junias tadi. Semua terasa bertambah banyak karena mood Chiara buruk semenjak datang bulan.Tangan Chiara hendak menyendok cah kangkung di hadapanuyua. Namun kehadiran Leona membuat Chiara menjedanya.“Biar aku aja yang bantu habisin, soalnya majikan kamu yang ribet itu nggak akan keluar kamar sekalipun laper.”Leona duduk dan mengambil mangkuk cah kangkung yang tinggal setengah. Ia meraih garpu, lalu melilitkan makanan itu sebelum memasukkannya ke dalam mulut.Mata Chiara seketika melebar. Ia mengibas-ngibaskan tangan sembari berujar, “Jangan dipaksa makan, Mbak, takut nggak se
Chiara akui, ia tengah berada dalam kekalutan. Sepanjang malam, ia kerap terbangun dari tidurnya dan mendapati bayangan wajah Yanuar.Sebelumnya, seorang Chiara Sagita tak pernah melihat secara langsung bagaimana raut pria yang memiliki banyak tangis dalam hidupnya. Terutama sepasang mata sembab yang ia temui semalam.Yanuar yang memiliki kepribadian menyebalkan itu rupanya memiliki sisi rapuh yang tak semua orang tahu. Jika kakak sepupunya tahu, apa mungkin mereka bisa berbaikan dan tidak ada lagi pertengkaran?“Jangan sampai gosong, saya paling nggak bisa makan makanan menghitam. Itu bisa jadi kanker!”Seruan dari orang yang dipikirkannya cukup membuat Chiara merobohkan momen melamunnya. Ia tersentak dan nyaris melempar sendok ke wajan berisi minyak panas. Seketika ia beri lirikan tajam pada pria yang berdiri di dekat tempat cucian piring.Matanya tertuju pada piring yang baru diletakkan pria itu. Sampai kemudian Chiara mengulas senyum remeh ketika sadar piring kotor apa yang hendak
Yanuar baru saja melepaskan jam tangan bermerknya saat Yabes menyenggol lengannya. Dari raut yang diperlihatkan pria itu, Yanuar sudah bisa membaca ada sesuatu yang kurang beres tengah terjadi.“Abi benar-benar datang, Nu,” bisik Yabes. “Sekarang dia ada di rumah lo, tadi Lele baru ngabarin gue.”Sebelah alis Yanuar terangkat. Ia sedikit salah fokus ketika mendengar rekannya masih berkomunikasi cukup baik dengan adiknya. Sementara yang lebih menarik adalah Abi, kakak iparnya datang.Semenjak kepergian Avita, keluarga dari istri Yanuar, bahkan saudara kembarnya, Abisatya. Mereka masih melimpahkan kesalahan dan penyebab terbesar atas meninggalnya Avita karena kelalaiannya sebagai suami. Dan sekarang, bukan hal mengejutkan jika Abi memilih mendatanginya di rumah alih-alih ke kantor.“Shit!”Umpatan itu sontak keluar dari mulut Yanuar begitu ia sadar kalau Abi bisa saja bertindak nekat. Bahkan pekerjanya, seperti Mang Dar, Bi Asih dan Endah sekalipun tak berani menentang saudara kembar Av
Chiara membiarkan Yanuar memeriksa tangannya. Menyentuh miliknya menggunakan jemari panjang itu beberapa kali. Ia tak begitu mempedulikan sikap tuannya, tapi dalam kepala ia masih berpikir tentang ancaman seorang pria bernama Abi.“Coba kamu jelaskan detail apa aja yang dilakukan pria tadi selama kamu di kamar saya,” titah Yanuar usai melepaskan tangan Chiara.Gadis itu menggeleng pelan. “Sebenarnya dia nggak ngapa-ngapain, cuma minta saya diam dan nggak noleh,” terangnya. “Tapi sayanya ngeyel.”Terkesan konyol, memang. Namun, Chiara tak begitu mempedulikannya. Ia tak berpikir jika nanti Yanuar akan meremehkannya ke sekian kali.“Saya udah bisa prediksi kalau kamu bakal begitu.” Yanuar mengangguk-angguk sesaat. “Di samping ngeyel, kamu juga ceroboh banget.”Yanuar masih ingat sewaktu bertemu dengan Chiara lagi setelah kejadian pemecatan itu terjadi. Ia melihat Chiara jatuh ke kubangan air dan membuat sebagian kemeja yang dipakai gadis itu basah sekaligus kotor.Ia bahkan sampai menyeb
“Gue dengar-dengar, Abi main ngelabrak rumah lo lagi, Nu?” Yanuar membuang napas berat. Ia menghentikan laju treadmill yang sebelumnya ia gunakan sekitar 10 menit. Bersama keringat yang mengucur deras, ia menyambar handuk kecil dan menyampirkannya ke leher. Pertanyaan dari kawannya itu tak ia pedulikan untuk beberapa saat hingga Yabes datang bergabung. Yanuar memilih duduk di bangku sambil menetralisir tenaga sekaligus napasnya yang terengah-engah. “Gosipnya udah menyebar ke mana-mana ya, gue pikir cowok nggak doyan bergosip,” sahut Yanuar yang nada bicaranya jelas tengah menyindir. “Gue dengar langsung dari Lele, adik lo,” imbuh Endra, pria yang tadi sempat melayangkan tanya. Kini Endra menuntaskan kegiatannya dan menghampiri Yanuar yang rautnya sudah tak enak dipandang. uUsai menenggak beberapa kali, Yanuar menengadah menatap Endra. “Sejak kapan lo dekat sama adik gue?” tanyanya datar. “Sampai dia bisa seterbuka itu cerita ke lo soal masalah privasi kakaknya?” Tidak hanya hid