“Sejak kapan kamu magang di perusahaan ini?” Pertanyaan itu terlontar begitu Chiara memasuki ruangan. Bahkan sebelum ia memberikan salam ramah pada pria itu. Jantungnya terus berdetak lebih cepat hingga membuatnya menjeda jawaban sedikit lama. “Baru seminggu lalu, Pak,” aku Chiara jujur. Kepalanya tertunduk, tak berani menatap atasannya yang dari auranya saja sudah mengerikan. Semenjak menjadi pemagang di PT Melintang Raya, Chiara belum pernah sekalipun berhadapan dengan CEO-nya langsung. Hari ini ia berkesempatan bertemu karena mendadak dipanggil sosok pria 30 tahunan itu. Namun, bukan untuk memperkenalkan diri sebagai anak magang baru, melainkan disidang atas kesalahannya sendiri. “Setelah ini, kamu balik ke meja dan ketik surat pengunduran diri,” titah Yanuar dengan dagu sedikit terangkat. “10 menit cukup, ‘kan?” Dua iris Chiara melebar. “Lho, Pak, jobdesk saya bukan mengetik surat pengunduran—“ “Coba kamu lihat laporan data keuangan yang kamu buat di sini!” Yanuar melempar be
“Lo dapat makhluk begituan dari mana, sih?” keluh Yanuar sambil mengompres pipinya yang baru kena tampar. “Bisa-bisanya HRD kecolongan dan lolosin bocah gila itu ke perusahaan gue!” Sekretaris Yanuar, Yabes terkekeh pelan melihat atasannya terus mengeluhkan ini-itu. Padahal ia sudah mengajak Yanuar untuk pergi ke rumah sakit, tapi pria itu justru menolak mentah-mentah. Mungkin harga diri dan gengsi Yanuar lebih diprioritaskan sekarang, sampai mengobati memar di wajah pun diabaikannya. “Gue lihat sesuai standar perusahaan kita, Chiara cukup mumpuni,” ungkap Yabes. “Pengalamannya juga lumayan, cuma dia lagi apes aja waktu lo ambil salah satu kerjaan dia kemarin.” Yanuar masih ingat soal kejadian kemarin, saat ia baru tiba di kantor setelah menyelesaikan urusannya di Jambi. Ada beberapa tumpukan berkas di meja Yabes, lalu ia mengambilnya asal dan menemukan berkas anak magang di sana. Mengingat kekonyolan itu, Yanuar tersenyum tipis. “Syukurin!” teriaknya puas. “Pokoknya gue nggak mau
Berkat sweater temannya yang bekerja di kafe, Chiara bisa menutupi kemeja putihnya yang basah. Kepercayaan dirinya kembali dan membuatnya berjalan tegap memasuki halaman rumah megah yang dikunjunginya sekarang. Pandangannya menyapu ke sekeliling, sedikit kikuk saat menginjak paving block di kediaman konglomerat. “Tadi kata satpam di depan, disuruh masuk aja ke dalam,” gumam Chiara pelan. “Tapi ini emang nggak pa-pa ya nyelonong aja?” Gadis itu ragu, tapi akhirnya memilih mengetuk pintu sampai berkali-kali karena belum ada sahutan dari dalam. Hingga kemudian ia baru sadar ada bel di dekat pintu. Sembari merutuki kebodohannya, Chiara menekan bel itu dan mendengar suara dari dalam. Tak lama seorang wanita paruh baya keluar dan mempersilakannya masuk. Beberapa kali Chiara menganga melihat interior rumah itu. Cukup megah, bahkan bisa digunakan bermain bulutangkis kalau saja sofa dan peralatan di ruang tamu disingkirkan. Namun yang menarik, tak ada bingkai foto yang terpasang di dinding s
“Ra, sini ikut makan bareng.” Langkah Chiara terhenti, niatnya hendak membereskan dapur akhirnya gagal total. Sukma mencegatnya dan mau tak mau, ia harus bergerak patuh. Meski setiap kakinya berpijak, mata tajam itu kelihatan sekali menggambarkan kebencian. Mungkin karena sikapnya yang masuk ke teritori pibadi pria itu. Sampai melihat sesuatu yang seharusnya tidak dilihatnya. Mengingat kejadian itu, Chiara jadi malu sendiri. Ditambah sebelum datang ke rumah ini, mereka bertemu di depan kafe dan berdebat seperti musuh bebuyutan. Chiara sudah sampai di dekat Suka, masih berdiri. Jujur ia bingung harus melakukan apa, entah itu duduk di kursi atau pamit pergi. “Bu, saya—“ “Mi, ngapain, sih ngajakin orang asing makan di meja bareng kita?” Yanuar mulai menunjukkan aksi protesnya. “Nafsu makanku hilang nih jadinya.” Ia meletakkan kedua alat makan di piring, menghasilkan bunyi cukup nyaring. “Ah, kamu. Dari tadi aja makannya lahap, suka nggak sama makanannya?” tanya Suka lembut. “Chiara
Nyeri di perutnya tak bisa ditahan. Belum lagi rasa tak enak yang dirasakannya di satu bagian tubuh. Ditambah situasi yang menasi yang menyudutkannya sekarang, ia tak bisa menahannya lagi hingga meluapkan segala sesuatunya melalui air mata.Tidak hanya sakit, tapi Chiara juga menanggung malu. Ia baru saja dibantu berdiri oleh si bos galak. Tak berhenti di sana, tubuhnya pun diangkat dan dibawa ke sebuah ruang di mana Sukma menunjuknya sebagai kamar yang akan ditempatinya selama bekerja nanti. “Kamu perlu sesuatu?” tanya Yanuar setelah merebahkan Chiara di ranjang. “Masih bisa berdiri buat ganti pembalut sendiri, ‘kan?”Dua netra Chiara mengerjap cepat. Kepalanya mencerna ucapan si pria. Lalu ia mengangguk ringan sambil meremas seprei kasurnya.“Emang sejak kapan ada cewek yang minta tolong digantiin pembalut sama orang lain?” protes Chiara blak-blakkan.Yanuar nyaris tersedak mendengarnya. Lantas menggeleng sambil mengibaskan sebelah tangan. Ia mengatupkan mulut untuk berusaha lebih
Chiara yakin, ia pasti sudah ditertawakan Yanuar diam-diam karena spontan melayangkan tanya bersama nada panik. Ya, tentu saja perasaan takut menjalari benaknya ketika ada seorang pria yang mendadak membuka pakaian. Namun, ketakutan itu berangsur hilang saat Yanuar menunjuk pada tanda kemerahan di punggung.Sambil cengar-cengir malu, Chiara pun angkat suara, “Sakit ya, Pak?”“Kalau mau tahu rasanya, coba sendiri,” jawab Yanuar ketus. “Buruan oleskan cream biar ngerinya nggak makin menjadi-jadi.”“I-iya.”Chiara menelan ludah ketika tak sengaja menangkap bentuk perut Yanuar yang menarik perhatian. Kalau saja pria yang hendak disentuhnya itu adalah orang yang disukainya, mungkin saja ia akan jumpalitan. Lalu merasa panas dingin ketika kulit jarinya menyentuh punggung lebar itu. Sayangnya, ia tak merasakan apa pun.“Pelan-pelan!” pekik Yanuar seraya meringis. “Kamu bisa lembut sedikit, nggak? Kasar betul, sih?”Mendengkus kesal, Chiara memperhalus sentuhannya. Ia mematuhi keinginan sang
“Bang, bisa minggirin mobilnya? Gue mau lewat nih!” Yanuar berjengkit ketika kaca jendela mobilnya diketuk seseorang. Ia menurunkan kaca dan mengangguk memenuhi permintaan dari seorang gadis tadi. Ada senyum malu yang tertinggal sebelum gadis itu bergerak masuk ke indekos yang sama dengan Chiara. Mendapati sikap kaum wanita yang malu-malu salah tingkah bagi Yanuar seperti sebuah tradisi. Ia kerap mendapati gelagat seperti itu. Ia biasa menganggapnya sebagai dampak karena penampilannya yang tampan. Sayangnya, hal itu tak berlaku pada asisten barunya yang belum lama ini masuk ke dalam indekos. Waktu baru berjalan lima menit semenjak Chiara masuk. Masih ada sisa 25 menit lagi, tapi Yanuar terlanjur bosan. Ia pun turun dari mobil, menyandarkan setengah tubuhnya di badan kendaraan bagian depan. Tangannya merogoh korek api di saku celana, lalu menyalakannya untuk membakar ujung rokok sebelum dihisapnya. “Lama-lama kuping gue budek kalau terus-terusan tinggal di kosan kayak gini!” Keluha
“Sialan!”Chiara memaki dalam hati tiap kali mengingat soal jaket kulit yang dipakaikan Yanuar ke tubuh bagian bawahnya. Ia nyaris terbawa suasana sebelum pria itu menjelaskan niatnya semalam. Seharusnya ia sadar diri bahwasanya, semua orang kaya memiliki watak menyebalkan dan suka semena-mena. Sama seperti Bu Wati yang meremehkannya, Yanuar pun demikian.Sekarang ia sedang sibuk mengaduk nasi yang baru dituangkan ke wajan agar bisa tercampur baik dengan bumbu. Masih menyimpan kekesalan, Chiara berusaha fokus dalam menakar bahan-bahan masakannya agar tak menuai perkara lagi dengan tuannya. Kembali teringat sikap Yanuar, tangan Chiara makin bergerak agresif hingga menimbulkan suara di dapur.“Masaknya jangan pakai emosi, bisa hancur rasa makanannya nanti.” Suara berat Yanuar membuat jantung Chiara melonjak. Matanya melirik ke belakang dan mendapati pria yang sudah mengenakan kemeja rapi itu tengah mengisi gelas kosongnya dengan air.“Saya nggak mau makan masakan kamu lagi kalau gagal d