“Bang, bisa minggirin mobilnya? Gue mau lewat nih!”
Yanuar berjengkit ketika kaca jendela mobilnya diketuk seseorang. Ia menurunkan kaca dan mengangguk memenuhi permintaan dari seorang gadis tadi. Ada senyum malu yang tertinggal sebelum gadis itu bergerak masuk ke indekos yang sama dengan Chiara.
Mendapati sikap kaum wanita yang malu-malu salah tingkah bagi Yanuar seperti sebuah tradisi. Ia kerap mendapati gelagat seperti itu. Ia biasa menganggapnya sebagai dampak karena penampilannya yang tampan. Sayangnya, hal itu tak berlaku pada asisten barunya yang belum lama ini masuk ke dalam indekos.
Waktu baru berjalan lima menit semenjak Chiara masuk. Masih ada sisa 25 menit lagi, tapi Yanuar terlanjur bosan. Ia pun turun dari mobil, menyandarkan setengah tubuhnya di badan kendaraan bagian depan. Tangannya merogoh korek api di saku celana, lalu menyalakannya untuk membakar ujung rokok sebelum dihisapnya.
“Lama-lama kuping gue budek kalau terus-terusan tinggal di kosan kayak gini!”
Keluhan seseorang membuat kepala Yanuar tertoleh. Menyaksikan sepasang gadis baru keluar dari indekos yang ditempati Chiara. Ia tak berkeinginan mendengar percakapan dua gadis itu, tapi rungunya tetap menangkap seluruh pembicaraan.
“Tapi kasihan Chia, Bu Wati demen banget nagih ke dia. Padahal dari awal, Chiara udah bilang dia anak beasiswa, tapi Bu Wati masih aja ngotot minta biaya sewa,” timpal gadis lain.
“Bener, gue aja heran. Apalagi Bang Joko kelihatan ngebet deketin Chia. Padahal Chia-nya kelihatan nggak tertarik sama bentukan anak ibu kos. Lihat mereka udah kayak sinetron, hubungan tanpa restu.”
“Udah, ah, nggak usah ikut campur, yang ada kita dijulidin Bu Wati dan nggak dapat keringanan lagi.”
Sembari mencuri dengar, ia mengisap nikotin dan mengembuskannya melalui mulut dan hidung. Begitu memastikan dua gadis tadi pergi dan menghilang di pertigaan jalan, barulah Yanuar beringsut. Mencoba melihat-lihat bangunan indekos yang tampaknya memiliki banyak kamar. Sampai kemudian, matanya menangkap sosok Chiara sedang diomeli seorang wanita paruh baya.
Alih-alih menyusul gadis itu, Yanuar malah melirik arloji di pergelangan tangan. Kakinya bergerak munduru, hendak kembali ke mobil yang terparkir di depan. Namun, teriakan dari seorang wanita yang memaki Chiara menghentikan geraknya.
“Emang dasanya udah berani, tapi kalau diterusin bakal adu jotos,” komentar Yanuar lirih ketika berhasil memerhatikan Chiara dan ibu kos beserta sosok pria yang tengah berdebat cukup alot. “Mana udah malam begini.”
Menggaruk rambutnya asal, Yanuar membuang napas kasar sebelum akhirnya mendekati Chiara. Ibu kos yang terlihat sudah marah sekali itu hendak melayangkan tamparan, tapi Yanuar sigap menahannya dengan mencengkeram hebat. Beberapa sandiwara digencarkannya demi kebaikan asistennya yang sejak tadi melongo lantaran terkejut.
Sampai di detik ke sekian, ibu kos itu melayangkan ancaman, “Masalah ini belum selesai ya, Chiara. Saya nggak akan melepaskan kamu begitu saja setelah apa yang pacarmu ini lakukan!”
Merasa diseret lagi, Yanuar menyorot tajam wanita paruh baya itu dan berujar, “Memang saya melakukan apa?”
“Tindak kekerasan-lah, pakai ditanya!” Joko menimpali, nada bicaranya terkesan meledak-ledak karena tak terima kenyataan Chiara sudah ada pemiliknya.
Lantas Yanuar menyeringai. “Bukannya yang mengawali hal itu jelas emak lo? Dia duluan yang mau gampar pacar gue!”
Sementara Chiara masih bergeming, tak tahu harus bersikap apa terhadap tingkah bosnya. Ia ingin berdalih dan menganggap ucapan Yanuar adalah kebohongan, tapi di lain sisi, ia merasa terbantu. Mengingat ibu kosnya dan Joko tak lagi menggencarkan aksi main hakim sendiri seperti tadi.
“Nggak usah ngaku-ngaku jadi pacar Chiara, mentang-mentang muka lo ganteng kayak artis, belagu bener! Paling lo juga sama-sama nggak mampunya,” cecar Joko muntab. Tatapannya kini beralih pada Chiara, berubah melembut. “Lebih kaya Abang, Neng Rara. Kamu pasti menyesal kalau milih cowok begini.”
“Joko, tutup mulutmu!” teriak Bu Wati yang kontan membungkam bibir sang anak dengan sebelah tangan. “Sekarang kita pulang aja!”
“Tunggu dulu, saya belum selesai bicara lho padahal.” Yanuar langsung melangkah cepat dan menghadang ibu serta anak itu.
“Apa lagi sih?” keluh Bu Wati.
“Mulai detik ini, Chiara nggak akan tinggal di indekos milik Ibu lagi. Jadi, masalah biaya sudah selesai. Jangan lagi Ibu seenaknya nagih kayak lintah darat.”
Wanita itu menggersah kasar, melirik malas pada Chiara yang mematung di tempat. “Kalau begitu, cepat pindah sekarang juga. Jangan sisakan barang kamu satupun di sini biar nggak bawa sial!”
“Ya ampun, Neng beneran mau pindah? Mau ninggalin Abang?” Joko kembali mendekati Chiara, hendak menyentuh tangan si gadis, tapi Yanuar sigap menghadang.
“Ini apa-apaan?” keluh Bu Wati melihat aksi putranya yang belum mau berhenti mendekati Chiara. “Buruan kita balik!” Ia sontak menjewer telinga Joko dan menyeretnya pergi. Tak peduli ringisan sang putra yang memekakan telinga.
Sepeninggalnya Bu Wati dan Joko, Chiara tak berhenti memerhatikan gerak-gerik Yanuar. Sampai sikapnya itu ketahuan dan ditanggapi dengkusan kasar.
“Apa?”
Membuang napas panjang, Chiara angkat suara, “Bapak nggak seharusnya melakukan ini.”
“Kamu pikir, saya niat membantu kamu?” balas Yanuar tampak arogan dan kelewat gengsi. “Jangan kepedean, saya begini karena nggak mau kemalaman. Besok saya harus kerja, berangkat pagi.”
Chiara tak menanggapi apa pun, meski sedikit terkejut mendengar penjelasan pria itu. Ia baru tahu kalau ada seorang bos yang seniat itu berangkat pagi ke kantor. Biasanya, atasan seenaknya masuk dan pulang, tak melihat aturan yang jelas dibuat tanpa memandang jabatan.
Daripada membuang banyak waktu, Chiara pun membereskan beberapa barang yang sudah diletakkan di luar. Ia memilah beberapa yang bisa dibawanya pergi pada urutan pertama. Tak peduli bagaimana Yanuar sekarang menilainya menyedihkan, kenyataan memang seperti itu. Hidup Chiara selalu seperti ini, kerap diremehkan dan dianggap sebelah mata oleh orang lain.
“Ini mau ngapain lagi?”
Chiara mengangkat wajah. “Beberes, Pak. Tadi Bu Wati minta saya kudu pindah malam ini juga.”
“Nggak perlu beresin semua, ambil aja seperlunya,” titah Yanuar seraya menyandarkan tubuh ke dinding sembari memantau Chiara. “Sisanya biar anak buah saya yang urus.”
“Tapi, Pak—“
Pria itu memotong, “Jika keberatan, kamu bisa pakai taksi online. Saya mau pulang sekarang.”
Seandainya Yanuar tak jadi pahlawan dadakan seperti tadi, Chiara bisa saja tak terpengaruh sama sekali dengan ancaman murahan seperti itu. Mengingat kondisinya sedang datang bulan dengan nyeri di perut yang tak tertahankan, akan ribet urusannya jika ia naik taksi.
“Sebentar, Pak, saya ambil dalaman dulu sama pakaian lain,” terangnya sebelum masuk ke kamar.
“Hmm, oke. Saya tunggu kamu di mobil.”
Beberapa potong pakaian sudah dimasukkan ke dalam tas. Ditambah buku materi yang akan ia pelajari di kampus pun ikut serta tak tertinggal. Setelah yakin semua beres, barulah Chiara keluar kamar dan hendak menguncinya. Namun, ia terkejut ketika menangkap Yanuar masih berdiri menunggunya.
“Nggak jadi nunggu di mobil?” tanyanya ringan.
Tanpa membalas sama sekali, pria itu menyambar tas yang berada di punggung Chiara. Yanuar mengambil alih dan melangkah lebih dulu keluar bangunan indekos tanpa menoleh ke belakang. Pelan-pelan Chiara mengikuti sembari bergumam dalam hati.
“Mendadak perasaanku nggak enak.” Chiara meraba bagian celana belakangnya dan merasakan sesuatu yang basah. Lantas ia memejamkan mata dan menghentikan langkah.
“Kenapa lagi?” tanya Yanuar dengan kepala menyembul dari pintu mobil. “Ada yang kelupaan?”
Chiara menggigit bibir. Bingung sekali harus menjelaskan apa yang tengah dialaminya pada seorang pria dewasa. Apalagi orang itu adalah bosnya sendiri. Bagaimana jika ia diejek ke depannya karena momen memalukan seperti ini?
Alih-alih kesal karena pertanyaannya tak dijawab, Yanuar turun dari mobil dan melangkah menuju tempat Chiara berdiri. Selagi berjalan, pria itu melepaskan jaket kulitnya dan merendahkan tubuh saat sudah berdekatan dengan Chiara. Kedua tangannya bergerak melingkari pinggul si gadis dan mengikat bagian lengan jaketnya di tubuh mungil itu.
“Pak—“
“Nggak perlu makasih. Saya lakukan ini biar jok mobil saya nggak kotor,” sambar Yanuar. “Kamu jelas nggak bisa bersihinnya, apalagi mampu bayar ganti rugi kalau jok saya kena noda darah kamu, ‘kan?”
“Sialan!”Chiara memaki dalam hati tiap kali mengingat soal jaket kulit yang dipakaikan Yanuar ke tubuh bagian bawahnya. Ia nyaris terbawa suasana sebelum pria itu menjelaskan niatnya semalam. Seharusnya ia sadar diri bahwasanya, semua orang kaya memiliki watak menyebalkan dan suka semena-mena. Sama seperti Bu Wati yang meremehkannya, Yanuar pun demikian.Sekarang ia sedang sibuk mengaduk nasi yang baru dituangkan ke wajan agar bisa tercampur baik dengan bumbu. Masih menyimpan kekesalan, Chiara berusaha fokus dalam menakar bahan-bahan masakannya agar tak menuai perkara lagi dengan tuannya. Kembali teringat sikap Yanuar, tangan Chiara makin bergerak agresif hingga menimbulkan suara di dapur.“Masaknya jangan pakai emosi, bisa hancur rasa makanannya nanti.” Suara berat Yanuar membuat jantung Chiara melonjak. Matanya melirik ke belakang dan mendapati pria yang sudah mengenakan kemeja rapi itu tengah mengisi gelas kosongnya dengan air.“Saya nggak mau makan masakan kamu lagi kalau gagal d
“Neng ini nggak tahu apa pura-pura?”Lamunan Chiara diakhiri begitu Bi Asih kembali menyeletuk. Ia menelan ludah, berusaha mengingat-ingat sesuatu yang berkenaan dengan tuannya. Sejak menginjakkan kaki di rumah megah ini, tak sekalipun ia menangkap potret yang dimaksud Bi Asih sebagai sosok istri Yanuar.“Halah, anak muda jaman sekarang banyak yang pura-pura polos, aslinya mah agresif,” timpal Endah yang kesannya memandang remeh, bahkan tak menyukai keberadaan Chiara.“Saya benar-benar nggak tahu,” aku Chiara spontan. “Jadi, Pak Yanuar udah menikah dan punya istri—“Mendadak Endah memotong ucapan Chiara tanpa sesal atau bersalah, “Lo tenang aja, nggak akan ada nyonya besar yang suka ngomel di rumah ini kayak sinetron di tv, karena istri Pak Yanuar udah meninggal karena kecelakaan.”“Kecelakaan?”Jantung Chiara melonjak kaget. Tak menyangka sama sekali jika sosok pria yang baginya menyebalkan itu sempat memiliki istri dan harus merelakan orang terkasih pergi meninggalkannya. Mengerjap
Menilik arloji di pergelangan tangan, Yanuar mendadak gusar. Mengingat Chiara yang diminta datang ke kantor belum menunjukkan tanda-tanda keberadaan. Lantas ia meminta Yabeswara, sekretaris sekaligus kawannya untuk menelepon salah satu pekerjanya di rumah.“Kata Mang Dar, Neng Chia udah pergi naik angkot sejak setengah jam yang lalu,” jelas Yabes.“Naik angkot?” ulang Yanuar sedikit syok. “Ngapain juga itu bocah naik angkot segala, sih?”Melihat sikap Yanuar yang berbicara sendiri, membuat Yabes makin curiga. Ia mendekati atasannya itu dan berujar, “Nu, kayaknya lo perlu jelasin sesuatu sama gue deh.”“Jelasin apaan?”“Asisten rumah tangga baru lo itu,” sebut Yabes tanpa tedeng aling-aling. “Jangan bilang Neng Chia yang dibilang Mang Dar tadi adalah Chiara Sagita, cewek yang lo pecat sebulan lalu.”Yanuar langsung membuang muka dan meninggalkan dehaman pendek. Dari dua gelagat aneh itu, Yabes seketika paham tentang apa yang sedang sahabatnya sembunyikan. Ia senyum geli saat pria itu
“Pak, saya bisa telat datang ke kampus lho. Apalagi jalanan macet kalau pesan taksi online sekarang.”Persetan jika Yanuar menganggapnya sebagai gadis tukang mengeluh. Ia pun tak peduli tentang alasan pria itu mengkhawatirkan tanpa sebab. Yang jelas waktunya sudah mepet. Ia tak akan memiliki banyak waktu jika menunggu pria itu selesiai makan.Yanuar mengibaskan tangan seolah menenangkan kegelisahan Chiara. Bahkan ia meminta gadis itu duduk kembali ke sofa yang tengah didudukinya juga. Mau tak mau, Chiara menurut, meski kekesalanya makin bertambah banyak dalam benak“Tenang,” sahut Yanuar akhirnya setelah hampir menyantap seluruh isi bekal yang dibawa Chiara. “Saya yang akan antar kamu.”Pasang netra Chiara sontak membelalak. “Ini bukan saatnya bercanda, Pak,” tandasnya malas menatap sang tuan. “Saya pamit sekarang ya, Pak, lagian makanan Bapak juga udah habis.”Yanuar bergumam pendek. Wajahnya terangkat dari kotak bekal dan terpatri pada dua mata Chiara yang sedang memandang ke arah
“Mau sampai kapan, sih, lo berantem sama Junias terus?” Yabes melempar protes ketika bertemu Yanuar di lorong menuju lift.Yang ditanya hanya menghela napas berat. Lalu mengabaikan pertanyaan yang terselip aksi keluhan itu. Yanuar menekan tombol lift begitu tiba di depan pintu, lalu menunggu sampai terbuka. Sikapnya ini jelas akan menuai kekesalan Yabes yang sekarang mulai memutar tubuh dan menghadap ke arahnya.“Nggak habis pikir gue sama kelakuan lo, Nu.” Pria itu menggeleng tak habis pikir. “Makin hari bukannya makin bener, malah begini.”Yanuar mendengkus. “Lo ini belum tahu cerita aslinya, tapi udah sembarangan menghakimi.”“Terus apa yang bener?” tantang Yabes sambil melipat kedua tangan di depan dada. “Emang lo mau cerita?”Dari sekian banyak hal yang memenuhi pikiran. Juga hal yang menyebabkan dadanya sesak, Yanuar kerap memendamnya. Seperti halnya sekarang, setelah beradu mulut dengan Junias tadi, perasaannya makin tak karuan. Ada saja yang membuatnya emosi.Jika diminta berc
“Buset!” Chiara berseru sambil berusaha melepaskan diri dari kungkungan Yanuar yang terlalu erat dan kuat. “Pak, sadar! Ini saya asisten Bapak!”Ia masih berusaha, tubuhnya digerak-gerakan agar pria itu cepat sadar ada sesuatu yang janggal. Namun apa daya, kondisi Yanuar melebihi prasangka Chiara. Dikatakan mabuk memang, tapi sepertinya lebih dari itu dan tampak merepotkan.Tak berselang lama, rungu Chiara menangkap isakan yang berasal dari bibir Yanuar. Tangisan itu makin sesak, terlihat dari cara si pria yang sesenggukkan. Bagian badan Chiara yang menempeli Yanuar pun bisa merasakan dada itu bergerak naik-turun.“Loh malah nangis,” ujarnya sambil menghela napas berat.Sekiranya sudah setengah jam berlalu, tautan tangan Yanuar masih cukup erat. Sementara kantuk sudah menyergap kedua mata Chiara. Gadis itu tak bisa lagi menahan keinginan untuk terlelap, sekalipun tubuhnya masih dipeluk erat.Dalam sekian detik, Chiara pun menyerah. Ia mulai memasuki kubangan mimpi dan melupakan segala
“Leher saya merah-merah?” Reaksi Chiara kelewat santai, seakan tak curiga sama sekali seperti yang dipikirkan Yanuar. “Mana, Pak? Bagian mana?”Mengerjap pelan, Yanuar menggeleng heran. Ia nyaris berdecak melihat gelagat Chiara yang di luar nalar itu.“Memangnya kamu belum bercermin pagi ini?”“Tadi ke kamar mandi cuci muka doang, soalnya saya buru-buru siapin sarapan,” aku Chiara jujur. “Lagian kamar mandi saya nggak kayak punya Bapak kali, isinya cuma bak, toilet jongkok, sama kran air. Nggak ada tuh cermin apalagi wastafel. Strata kita beda lho, Pak di rumah ini.”Yanuar dibuat menganga atas ucapan Chiara yang blak-blakan. Ia rasa pernyataan itu seharusnya keluar dari mulutnya, alih-alih dari si gadis. Lantas ia mengembuskan napas sembari menautkan kedua tangan di atas meja.“Kamu nggak usah kasih tahu saya tentang hal itu, saya nggak bodoh.” Sorot mata Yanuar kian serius. “Lebih baik kamu cek saja leher itu sendiri dan jawab pertanyaan saya tadi!”Chiara memberengut seketika. “Iya
Selepas menyantap sarapan, Yanuar bermaksud membereskan piring kotornya sendiri. Namun, niatannya itu terhenti ketika Bi Asih dan putrinya datang mendekat. Dua wanita itu tampak bersemangat, bahkan saat menyapa.“Itu piring kotor mau dicuci sendiri, Pak?” tanya Endah bingung. Yanuar hanya mengulas senyum samar, seakan menjawab iya.“Duh, itu bukannya tugas si Neng Chia ya, Mak?” Endak kini melontarkan tanya pada ibunya. Bi Asih kontan mengangguk. “Tuhkan, baru aja sehari di sini malah biarin Pak Yanu cuci piring sendiri!”“Nggak pa-pa, tadi Chiara buru-buru kayaknya ada kelas pagi hari ini,” jelas Yanuar sambil berlalu menuju area dapur. “Bi Asih sama Mbak Endah kerjain aja bagian dapur, biar piring saya bereskan sendiri.”Yanuar tak ingin dua wanita itu merecoki urusannya. Terlebih soal Chiara, bisa bahaya jika salah satu dari mereka tahu tentang apa yang terjadi semalam. Sifat Bi Asih, terutama Endah kerap kali membebaninya. Kadang mereka mudah membeberkan rumor tentangnya pada teta