“Shit! Malah di-reject!” umpat Yanuar. Lantas ia mencoba menelepon Chiara untuk ke sekian kalinya. Dan hasilnya sama, gadis itu tak bisa dihubungi malah sekarang nomornya tidak aktif sama sekali.Di atas meja sudah ada kiriman makanan dari satpam di lobi. Katanya, Chiara yang membawakan, tapi gadis itu tak memberitahunya lebih dulu. Lalu pergi begitu saja, seakan ada hal yang lebih penting dari pekerjaannya.Hal yang membuat Yanuar makin geram adalah makan siang yang dibawa Chiara bukan masakan rumahan, melainkan makanan dari warteg. Ia bisa mencium aromanya meski belum membukanya.“Kalau mau menghindar, nggak gini caranya!” keluhnya seraya meraih kotak makan itu. Ia memandanginya sejenak setelah dibuka, lalu mengambil sendok dan mencoba menyantapnya satu suapan. “Ini semisal gue sakit karena keracunan, gue siap tuntut itu bocah!”“Hei … hei … jangan main asal tuntut kali?” timpal Yabes yang sejak tadi sudah berada di ruang kerjanya. Pria itu masih berjibaku dengan berkas di tangan se
Sebelum gerimis menyerang kepalanya, Chiara bisa menyadari bayangan yang tampak di atas kepalanya sekarang. Kepalanya tertoleh ke atas dan mendapati sebuah payung berada tepat di kepala. Lalu ia mengarah pada tangan yang menggenggam erat gagang payung hingga wajah serius sekaligus dinginnya Yanuar yang terlihat jelas di depan mata.Perlahan pundaknya disentuh dan didorong entah ke mana. Sebab kesadarannya belum sepenuhnya pulih. Semua berjalan begitu cepat sampai ia menduduki kursi penumpang di samping tuannya yang sudah memasang sabuk pengaman.“Bengong terus dari tadi, kerasukan?”Mata Chiara mengerjap cepat, lalu ia membuang wajah ke sisi jendela demi menutupi reaksinya yang mungkin berlebihan. Mukanya panas dan bisa saja sudah memerah seperti buah delima. Sungguh memalukan!Begitu kendaraan mewah itu mulai berjalan, debar jantung Chiara mulai berangsur normal. Sejak memutuskan pilihannya, ia sudah menduga ini akan terjadi. Yanuar benar-benar mendatanginya sebelum gerimis berubah m
Lelah? Sudah pasti. Itu yang dirasakan Yanuar selepas menghadiri rapat dadakan yang ia minta melalui Yabes. Semua tim memberikan presentasi cukup baik, tapi baginya itu tak memenuhi kriterianya.Ia menghempaskan tubuh di sofa panjang yang tersedia di ruang kerja. Lipatan tangan menjadi bantalan kepala. Semula matanya memejam sebelum kehadiran Yabes menganggu jam istirahatnya yang sengaja diambil di sela waktu singkat seperti ini.“Lo tahu proyek kita jadi lamban banget begini karena apa?”Yanuar mendengkus usai membuka mata dan menangkap presensi bawahannya itu baru melempar berkas ke meja. Tampangnya terlihat buruk sekali, seakan beban di pundaknya makin berat saja.“Tanpa lo ngomong begini, bukannya udah jelas siapa biang keroknya?” Yanuar menimpali. Ia bangkit untuk duduk.Ada beberapa nama yang mencuat begitu proyek perusahaannya tersendat-sendat. Penyebabnya bermacam-macam, ada kuli proyek yang tersulut rumor tidak jelas sampai mogok kerja. Disusul preman yang meminta pajak liar
Lirikan yang dilakukan Yanuar sejak tadi terlepas saat kepala Chiara tertoleh ke arahnya. Ia berdeham pendek dan meneruskan alat makannya di atas piring. Bersiap menyantap sisa nasi uduk yang dibuat Chiara sejak pagi buta.Nyaris tiap hari, Yanuar merasa ada banyak kejanggalan yang dirasakannya semenjak permintaan maaf itu pada Chiara. Ia pikir si gadis akan menuntutnya menjelaskan apa alasan ciuman itu, tapi malah tidak terjadi apa pun. Sepertinya Chiara sudah benar-benar melupakan momen tersebut, berbeda dengannya yang kalut di setiap malam.“Bapak kalau ada perlu apa-apa, tinggal bilang ke saya,” tukas Chiara di akhir kunyahannya. “Percuma Bapak lihatin saya dari tadi, saya nggak akan tahu apa inginnya Bapak.”Yanuar berdecih setelah matanya membulat akibat tertangkap basah. “Apa-apaan?” tampiknya merasa tertuduh. “Kamu kepedean banget ya jadi anak?”“Ya … daripada minder?” timpal Chiara santai. “Toh udah kelihatan jelas, emang Bapak mau ngomong apa, sih? Kayaknya ada sesuatu, tapi
“Sori banget, gue lupa atur ulang pemesanan kamar hotel waktu Chiara setuju ikut ke Bali,” sahut Yabes yang sama sekali tak memuaskannya. “Tapi, lo bisa sekamar sama dia kok. Selagi lo tahan nafsu dan nggak memandang Chiara sebagai perempuan yang berhasil buat lo turn on.”Yanuar paling benci pada kebiasaan Yabes yang tak teliti dalam pekerjaannya. Seperti sekarang, yang mungkin efeknya akan lebih besar dari yang ia duga.Terdengar kekehan pelan di sela ucapan Yabes. Membuat Yanuar makin jengkel. “Kalau aja lo ada di sini, udah abis lo sama gue. Kampret!” makinya.Selepas mengakhiri panggilan sepihak, ia menahan napas ketika memandang Chiara dari luar hotel melalui kaca. Bayangan gila muncul sekelebat di sana, cepat ia enyahkan sebelum melangkah menghampiri.Badannya membeku sewaktu Chiara mulai konfrontasi atas ucapannya yang kelewatan begitu memasuki kamar. Tak pernah ia duga gadis itu bakal tersiksa dan kesulitan memenuhi ucapannya. Setelah selama ini, ia merasa tak ada keluhan ata
Yanuar memandang lekat punggung mungil itu yang perlahan menghilang begitu memasuki kamar mandi. Ia menutup wajah seketika, menyadari panas yang dirasa. Mungkin telinganya sudah sangat memerah sekarang, seperti wajahnya yang bisa disamakan dengan kepiting rebus.Senyum tak berhentinya tercurah di sana. Bibirnya ia kulum saat merasa sisa jejak milik Chiara. Tak pernah ia bayangkan tingkahnya yang kembali seperti ABG ini. Padahal usianya sudah kepala tiga.“Astaga …” gumamnya seraya menyentuh dada. Jantungnya bergemuruh, menandakan rasa senang bukan kepalang.Di tengah kegilaannya, staff hotel mengetuk pintu. Membawakan pesanan yang disambut Yanuar dengan senyum aneh. Ia meletakkan minum serta camilan di meja. Lalu bergerak menuju kamar mandi dan memanggil Chiara yang sejak tadi belum keluar juga.Ketika gadis itu keluar, dapat Yanuar saksikan betapa keras usaha Chiara untuk menghindari tatapannya. Langkah si gadis bergerak lambat seakan menunggunya berjalan lebih dulu.“Ini jus Chiara
Langit malam yang penuh bintang malam itu berbeda dengan perasaan tak karuan Yanuar. Begitu pula Chiara yang sudah lantang meneriaki tuannya. Jujur, ia kelepasan. Semua yang terpendam dalam hati, mendadak meledak. Chiara kesulitan mengontrolnya, sebab sudah tak tahan melihat bagaimana hidup Yanuar yang terus menjadi kambing hitam."Apa Bapak mau diam aja terus menerus?" tanya Chiara setelah ada jeda cukup lama di antara mereka. "Pak?""Lebih baik kita kembali ke dalam, ada beberapa orang penting yang belum saya sapa," tukas Yanuar, tampak sengaja mengalihkan topik. "Kamu harus ikut saya, di sini lebih berbahaya kalau kamu sendirian."Yanuar mengulurkan tangan, mungkin berharap si gadis setuju menyambutnya. Namun, Chiara justru menatapnya lurus-lurus."Chiara …."Mata gadis itu menyipit seolah sedang sibuk menelisik. "Apa orang-orang di dalam ada hubungannya sama kejadian proyek Bapak yang tersendat itu?" Pasang iris tajam bak elang itu melebar. "Tahu dari mana kamu?" tanyanya. "Kamu
Yanuar seketika kelimpungan saat tak menemukan Chiara di meja yang sempat ditunjuknya tadi. Gadis itu menghilang entah ke mana. Beberapa kali ia memendar ke sekeliling, memerhatikan setiap spot yang ada, hasilnya nihil. Lantas ia mulai bergerak ke kamar mandi, mencoba memeriksa sebisanya, tapi sama saja.Satu-satunya tempat yang ia yakini adalah luar gedung. Yanuar melangkah cepat, tak peduli banyak pasang mata memandanginya. Terlebih saat meja yang ditempati Abi bersama rekan-rekan bisnisnya, masa bodohlah Yanuar.Tepat di ambang pintu, ia langsung mendengar percakapan yang ia tebak adalah Chiara bersama Junias. Sebelum terbang ke Bali, Yabes sempat memberitahu bahwa Junias memang diperintah ikut ke acara atas suruhan Papi. Tidak heran jika melihat soso pria itu di sini. Namun, yang membuat kekesalannya naik adalah ucapan Junias pada Chiara.“Sial!”Sudah dua kali bogem mentah yang dilabuhkan ke rahang pria itu. Akan tetapi belum ada rasa puas yang dirasakannya. Melihat betapa syokny
"Chiara pecah ketuban, Nu."Satu pernyataan berbuah informasi penting itu berhasil membuat tubuh Yanuar kaku. Tangannya terhenti di udara ketika hendak meminum kopi hangat untuk menyegarkan diri dari kantuk."Sekarang udah di rumah sakit." Yabes yang berada di sampingnya menambahkan. "Kata Tante Sukma, Chiara udah masuk pembukaan delapan. Dokter menyarankan pindah ke ruang bersalin, tapi Chiara menolak karena bersikeras nunggu lo."Yanuar memejamkan mata sejenak. Mengingat janji mereka yang akan menyambut kelahiran bayi bersama. Tindakan Chiara tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena wanita itu masih berupaya keras.Bayangan Chiara yang merintih dan menahan sakit perutnya sekelebat terlintas di benak Yanuar. Sontak Yanuar bangkit dari duduk. "Kita ke rumah sakit sekarang," putusnya cukup mengejutkan Yabes. "Lagi pula pesawat kita delay lama."Seharusnya Yanuar dan Yabes sudah tiba di Kalimatan untuk keperluan dinas, tapi karena cuaca buruk, jadwal penerbangan berubah total. Ia menungg
Rasanya beban-beban di pundak makin berat saja tiap kali ia pulang dari perkumpulan Rein dan yang lain. Tak hanya pundak, rupanya punggung hingga pinggulnya sudah menunjukkan rasa lelah sejak di perjalanan tadi. Perutnya kian membesar di usia kandungan pada bukan ke-7 ini, napasnya sering sesak setiap kali merebahkan diri.Apalagi selama melewati pertemuan tadi, Chiara tak begitu menikmati makanan. Ia hanya menyimak tiap kali perbincangan muncul. Walaupun isinya hanya itu-itu saja. Obrolan wanita berkelas yang membicarakan kekayaan keluarga hingga pasangan, dan sayangnya Chiara tak mampu melakukan hal sama.Memang apa yang harus ia pamerkan dari harta suaminya? Meskipun keluarga Yanuar jauh lebih di atas Rein dan yang lain, tetap saja Chiara tak bisa bercuap-cuap asal agar dianggap ada orang lain. Ia pikir, itu tindakan kekanakan dan kurang pantas.“Kita istirahat habis ini ya, Dek,” gumam Chiara sambil mengelus perutnya yang buncit. “Udah sampai rumah, nih.” Ia membuka pintu dan mela
Ada getar yang bisa Yanuar rasakan ketika menggenggam tangan Chiara. Ia mengeratkannya, berusaha menenangkan tiap detik hingga getaran itu perlahan redup dan akhirnya menghilang. Yanuar tak tahu apa yang tengah dipikirkan Chiara sekaligus disembunyikan istrinya itu sekarang. Yang jelas, mereka sempat cekcok sebentar sebelum berangkat ke rumah sakit seperti sekarang. Di perjalanan pun, tak ada perbincangan yang terjadi di antara keduanya. Mereka sama-sama bungkam sampai Yanuar membuka suara begitu merangkul pinggul Chiara menuju poli yang dituju. "Kamu kelihatan gugup, dan ... pucat," celetuk Yanuar sesaat setelah duduk di kursi begitu tiba di ruangan dokter. Chiara mengambil napas dan menggeleng kemudian. "Biasa kalau mau check up pasti ada gugupnya, Mas." Suara itu terdengar penuh kebohongan di telinga Yanuar, tapi ia tak mempermasalahkannya sekarang. Beberapa rangkaian pemeriksaan sudah dilewati Chiara dan Yanuar melihatnya saksama. Penuh perhatian lekat dan fokusnya pun sengaj
“Jadwal gue setelah ini apa lagi, Bes?”Tanpa mendongak ke arah bawahannya, Yanuar melempar tanya sambil menatap foto yang dikirimkan Chiara belum lama ini. Istrinya itu sedang rajin-rajinnya pergi ke kelas yoga dan beberapa pertemuan dengan Lily dan juga Rein.Perubahan Chiara kedengaran bagus sekali. Terutama Mami yang senang bukan kepalang mendapati kabar itu. Sampai Yanuar baru menyadarinya sekarang karena kelewat sibuk dengan urusan kantor dan masalah yang terus datang.“Ada meeting online sama pegawai Kominfo untuk bahas masalah tambang yang sempat muncul di media dua hari lalu.”Kini Yanuar mengalihkan pandangan, beradu tatap dengan Yabes sambil membuang napas kasar. “Jadi, gue nggak dibolehin istirahat atau makan malam di rumah sama istri ya, Bes?”Yabes mengulum senyum samar. Rautnya berubah tak enak mendapati sarkasme yang dilontarkan atasan, tapi apa boleh buat. Semua sudah dirancang baik-baik dan mendapat persetujuan Yanuar secara langsung.“Kasih lima menit,” pinta Yanuar
Chiara menoleh cepat pada meja di dekatnya usai Yanuar memberikan sesuatu di sana. "Itu apa, Mas?""Langsung aja datang ke sana, ya. Mami udah booking paket A buat kamu," jelas Yanuar sambil melangkah pelan mendekatinya. "Nggak perlu pakai taksi, biar sopir yang antar ke manapun kamu pergi."Chiara menjauhkan punggung dari sandaran kursi pijatnya dan menatap bingung Yanuar yang sudah duduk berlutut di depannya sekarang. "Paket A?" tanyanya bingung.Yanuar menganggukkan pelan, tangannya terulur menyentuh lutut Chiara dan memberi usapan lembut. "Pijat di salon, sekalian perawatan," jawabnya. "Kamu pasti capek setelah KKN kemarin. Belum lagi acara penyambutan kepulangan kamu itu."Chiara menyengir lebar, menyadari beberapa bagian tubuhnya memang sedikit pegal semalaman. Namun ia tidak berpikir untuk melakukan spa di salon seperti yang diujarkan Yanuar itu. Perlukah ia?"Emangnya harus, Mas?" Chiara menggaruk tengkuk tak enak. "Aku kan lagi hamil, boleh pijat-pijat gitu?""Boleh, Mami bil
Wajah Chiara sudah berseri-seri sejak berakhirnya malam perpisahan dengan warga desa. Tugasnya dan teman-teman akhirnya selesai. Bukan hanya sambutan di awal, tapi mereka mendapat banyak tanggapan positif di penghujung.Chiara baru saja selesai berkemas barang-barangnya, mengecek ulang isi koper kesekian kali. Kemudian menilik surat-surat yang dituliskan beberapa murid sekolah setelah ia mengisi kelas karya beberapa waktu lalu. Semua indah dan sulit dilupakan begitu saja, sebab mengukir kenangan manis di kepala.“Kerja bagus semuanya!” seru Tino di tengah kesibukan berkemas di posko. “Gue nggak tahu lagi mau apresiasi dengan cara apa, yang jelas gue bangga banget sama kelompok kita ini.”“Ya, gue setuju.” Abas menimpali dengan senyum haru. “Gue pikir, proker kita bakal ngebosenin dan kayak tradisi sebelumnya. Tapi ide-ide yang kita buat cukup cemerlang juga.”Chiara mengangguk setuju. Melihat semuanya menampilkan wajah lega dan penuh bangga, ia pun merasakannya dengan batin berbunga-b
Chiara baru menyeduh susu formula khusus ibu hamil. Selama berada di posko dua minggu ini, ia tak abai memikirkan kesehatan diri sekaligus perkembangan janin di kandungannya. Bahkan setiap malam, sebelum tidur, ia sengaja mengajak si jabang bayi mengobrol.Berbekal informasi yang dibacanya di internet, Chiara mengusahakan apa pun untuk menjadi seorang ibu di usianya yang masih terbilang muda. Walaupun memiliki suami yang jauh di atasnya dan lebih berpengalaman, ia lebih senang belajar mandiri.“Rasanya enak?” Venna bertanya begitu memasuki area dapur, tempat yang menjadi destinasi Chiara setiap pagi dan malam dan jumlahnya terbilang sering dikunjungi.Chiara mengulum senyum dan menjauhkan gelas dari bibir. Ia baru meminum setengah dan mengambil jeda untuk membalas Venna. “Kayak susu biasa,” balasnya.Aneh sekali mengatakan ‘biasa’. Padahal selama hidupnya, ia tak membiasakan diri mengonsumsi cairan putih dengan kandungan tinggi kalsium seperti itu. Mengingat ia lahir dan besar di kelu
Yanuar tak sepenuhnya ingat apa yang terjadi semalam. Ia berdecak sambil menyugar rambutnya dan mendengar sebuah benda terjatuh dari ranjang ke lantai. Setelah dilihat dengan rasa malas yang luar biasa, ia menemukan ponselnya tergeletak.“Shit!” makinya kesal karena juga menahan pusing yang mendera kepalanya.Suara gemeruyuk di perut pun ikut terdengar. Yanuar segera bangkit dan melompat dari tempat tidur, bergegas ke kamar mandi untuk menumpahkan isi perutnya. Kemalangan menimpanya lagi untuk kesekian kali.“Yanu?” Itu Mami. Si pemilik nama memejamkan mata usai membersihkan wajah dan mulutnya dari sisa kotoran. “Yanuar!”Kakinya bergerak keluar kamar mandi, meski berat. Hari masih pagi baginya, tapi Mami sudah berkunjung ke rumah di saat keadaannya cukup berantakan.“Astaga Yanu?” Suara itu terdengar bersamaan dengan pintu kamarnya yang terbuka dari luar. Lalu menampilkan sosok ibunya yang melotot lebar ke arahnya. “Kamu mabuk? Istri lagi di luar kota, kamu malah mabuk-mabukan?”Seb
“Dia nggak mau gue ke sana.”Hanya kekehan geli yang terdengar menyebalkan di telinga Yanuar begitu mengungkapkan satu fakta tentang istrinya. Belum lama ini ia langsung meminta Yabes putar balik arah mobil karena Chiara menolak niat baiknya.“Emang kalau KKN gitu nggak bisa banget diganggu?”Yabes yang fokus mengemudi itu melirik sejenak dengan sisa kekehan di bibir. “Ya, terkadang proker bikin pusing, sih. Tapi balik lagi aja ke orangnya,” jelasnya santai. “Ada kok yang hobinya nebeng nama, nggak jalanin proker bareng temannya.”Yanuar menghela napas panjang. Paham sekali Chiara tak masuk pada kriteria yang diucapkan Yabes di akhir kalimat. Ia tahu betul bagaimana sang istri yang kelewat ambisius. Saat dinyatakan hamil pun, Chiara tetap memilih kuliah dan menghabiskan waktu untuk belajar. Tak heran jika sekarang istrinya itu fokus sekali dengan program kampusnya.“Sama kayak lo lah,” imbuh Yabes saat mobil berhenti karena terhalang lampu merah lalu lintas. “Lo juga kebangetan fokusn