"Hai, Jihan!"
Kalista langsung menghambur pelukan ke Jihan. Setelahnya, Kalista membawa Jihan masuk ke kamarnya. Kalista melirik pada laptopnya yang sudah dimatikan. "Maaf, berkunjung mendadak." "Tidak apa-apa. Kau bisa datang kapan saja. Bahkan kalau kau datang tengah malam pun, aku tetap akan membukakan pintu." Jihan tersenyum dan Kalista memperhatikan raut wajahnya yang tak biasa. Jihan tetap cantik seperti biasa dengan rambut sebahu berwarna coklat dan polesan make up tipis di wajah tirusnya. "Jihan, apa kau sedang tidak enak badan? Aku bisa melihat lingkaran hitam samar di bawah matamu." Kalista memang orang yang sangat peka. Makanya Jihan berpikir kalau kedatangannya sekarang adalah hal yang sangat tepat untuk mengutarakan niat terselubungnya. "Kal, aku ingin mengundangmu ke acara ulang tahun pernikahanku dan Mas Bian besok malam. Ku harap kau datang, ya? Kau adalah tamu spesial malam itu." "Tamu spesial?" Kalista tertawa sembari menepuk pundak Jihan,"Ah, kau ini! Aku seperti orang penting saja jadi dianggap spesial." Pertanyaan tentang kondisi Jihan pun terlupakan. "Kau memang orang penting di hidupku. Selain itu, kau juga orang yang paling ku percayai setelah Mas Bian." "Ish, jangan percaya denganku! Nanti musyrik," gurau Kalista yang disahuti cubitan pelan Jihan. Jihan naik ke kasur Kalista dan menenggelamkan dirinya di dalam selimut bergambar doraemon dan kawan-kawan. Lantas Kalista ikut naik dan berbagi selimut dengan Jihan. "Aku senang melihatmu sekarang dalam keadaan baik-baik saja." "Ya. Aku harus membuktikan pada Nevan kalau aku bisa tetap hidup dalam keceriaan setelah diceraikan." "Termasuk setiap hari kau pamer memakan makanan enak di story W******p?" "Yep. Dia harus tahu kalau aku bukan tipe perempuan yang akan menyiksa diri hanya gara-gara dicampakkan." Jihan memeluk Kalista begitu kencang dan Kalista balas memeluknya "Sahabatku ini memang hebat. Bila aku jadi kau pasti akan terpuruk." Kalista terkekeh,"Aku awalnya juga terpuruk dan sangat hancur. Kau pasti ingat sampai menginap gara-gara aku tidak mau makan tiga hari tiga malam." "Kau juga tidak mau mandi. Sampai aku dan ibumu menyeretmu ke kamar mandi dan memandikanmu seperti mayit." "Sst! Hati-hati kalau bicara!" Kalista memiting leher Jihan. Jihan menepuk kencang pantat Kalista dan saling mengaitkan kedua kaki mereka hingga keduanya kesakitan. Kegiatan absurd yang memang sering mereka lakukan sejak dulu. "Aku masih merasa bersalah jika mengingat Vano." Kalista tiba-tiba menjadi lebih emosional. "Kal, berhenti menyalahkan dirimu. Vano sekarang sudah bahagia di surga dan kau adalah sosok ibunya yang paling baik." Kalista menyandarkan kepalanya di bahu Jihan. "Tapi keluarganya Nevan..." "Ssst! Berhenti mendengarkan perkataan buruk orang lain." Jihan mengubah posisinya menjadi bersandar pada header ranjang, membuat Kalista ikut mengubah posisi. "Aku berjanji sebagai sahabatmu, akan membuat hidupmu bahagia." Kalista tertawa. "Astaga, kau ini! Kau tidak punya tanggung jawab untuk membahagiakanku, tapi itu ku anggap kau sedang mendoakanku. Jadi aku akan mengaminkannya." "Benar, kok. Aku akan membahagiakanmu. Makanya datang malam besok." Jihan menepuk pelan punggung Kalista. "Ah, karena banyak makanan lezat, ya, pasti? Pasti aku datang. Aku akan membawa rantang nanti biar bisa membawa pulang." Kalista terbahak kencang setelahnya, membuat Jihan mau tak mau ikut merasa bahagia, meski hanya seulas senyum tipis yang ia tampilkan. Di tengah obrolan mereka, suara ketukan di pintu menghentikan suara tawa Kalista. "Jihan! Suamimu di depan!" ujar Melisa di balik pintu. Jihan dan Kalista pun beranjak dari kasur. "Sampai bertemu malam besok. Aku akan datang dan mencicipi seluruh menu yang disajikan di sana." "Tidak mengantarku keluar?" tawar Jihan. Tangannya sudah bersiap menarik Kalista untuk ikut keluar kamar. Kalista menggeleng pelan sembari tersenyum dengan gigi-gigi rapinya yang terlihat,"Aku banyak kerjaan. Maaf, aku tidak bisa mengantarmu sampai luar." "Ish, kau ini! Sampai kapan kau menghindari suamiku? Padahal aku tidak masalah sama sekali kalau kalian bertegur sapa. Kal, itu kan masa lalu?" "Ya, karena itu masa lalu. Jadi lebih baik begini saja. Ya sudah, sana. Nanti suamimu menunggu lama. Bye." Kalista melambaikan sebelah tangannya, tapi Jihan tampaknya bersikeras agar Kalista mengantarnya keluar. Jadi Jihan benar-benar menyeretnya sampai ke teras. Mau tidak mau, matanya menangkap eksistensi suaminya Jihan sedang berdiri di depan mobil. Kalista yang merasa harus bertingkah normal dan biasa saja, dengan perlahan melepaskan gandengan Jihan. "Mas Bian." Jihan tersenyum manis menyapa sang suami yang begitu gagah dengan setelan rapi. "Ayo, pulang! Katanya ingin makan malam di rumah berdua." Jihan menghampiri Bian dan memeluk lengannya mesra. Jihan memperhatikan reaksi Bian dan Kalista saat bersua yang tampak biasa saja satu sama lain. Bian membukakan pintu untuk Jihan. Jihan kembali melambaikan tangan dan mengucap salam perpisahan pada Kalista. Bian pun ikut masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan kediaman Kalista. Kalista berdiri hingga mobil Jihan menghilang di tikungan. Ia menghela napas dan berjalan masuk ke rumah. *** "Kau ini cepat-cepat cari suami lagi. Kalau bisa yang kaya raya. Biar bisa membantu ibumu ini bayar hutang." Topik yang dibahas Melisa bukanlah hal yang ingin didengar Kalista saat menyantap makan malam seperti sekarang. Tumis kangkung yang tadinya terasa lezat, entah mengapa berubah rasa begitu saja. "Kau tidak kasihan melihat ibu didatangi Bu Sumi setiap hari? Padahal hutang ibu di sana harusnya sudah lunas , tapi bunganya masih banyak. Belum lagi bayar cicilan Bank RPB dan IRB. Arisan mingguan, koperasi. Pening kepala ibu." Kalista tidak menyahut, karena apapun yang ia katakan, juga tidak serta merta langsung melahirkan duit yang cukup untuk melunasi hutang ibunya. Kadang Kalista tidak mengerti jua, mengapa hutang ibunya jadi semakin menumpuk? Bila ditanya alasannya, selalu untuk keperluan rumah dan sebagian besar untuk biaya kuliah adiknya. Kalista bernapas berat. Keluhan ibunya menciptakan benang kusut di kepala. Kalista juga ingin membantu, tapi penghasilannya sekarang hanya cukup untuk belanja bulanan. "Cari suami nanti seperti Jihan, Kal. Pintar dia. Dapat yang kaya raya, anak tunggal, orang tuanya juga kaya. Jadi tidak ada drama sesudah menikah harus membiayai orang tua sendiri dan saudara macam mantan suamimu dulu. Gaji besar cuma numpang lewat. Kebanyakan punya adik. Orang tuanya juga tidak tahu diri meminta balas budi melulu dengan Nevan. Untunglah kau sudah bercerai dengannya. Rasanya ibu masih benci saja ketika ingat cucu kesayangan ibu harus meninggal gara-gara mereka. Malah menuduh kita yang bukan-bukan." Tulus sudah selera makan Kalista lenyap. Rasa lapar yang tadi mendera seakan sirna begitu saja. Kalista pun berdiri dan mencuci tangan, membuat Melisa bersungut-sungut, karena menuduh Kalista membuang makanan dan rentetan kalimat yang Melisa anggap nasihat, namun terdengar omelan di telinga Kalista. Kalista kembali ke kamarnya, membuka kumpulan foto putra kesayangannya sedari lahir hingga berusia dua tahun. Sesal tiada guna meski Kalista ingin memutar waktu ke masa lalu. Andai tahu akhirnya begini, Kalista lebih memilih untuk tidak hamil saja. Tidak seharusnya anak sekecil Vano harus menanggung semua itu. Ting! Bunyi notifikasi ponsel mengalihkan nostalgia menyedihkan Kalista. Segera ia raih benda pipih persegi panjang tersebut dan tersenyum saat mendapati pesan dari Jihan yang mengirimkan beberapa foto kebaya cantik. Jihan meminta pendapat Kalista untuk memilih yang mana kira-kira paling bagus. Karena Kalista berpikir kalau kebaya itu akan digunakan Jihan di malam pesta ulang tahun pernikahan sahabatnya, maka Kalista membayangkan Jihan mengenakan gaun kebaya tersebut satu persatu. "Dia cocok memakai semuanya. Ah, mungkin yang bernuansa sedikit ungu ini saja. Pasti Jihan cantik sekali seperti pengantin," gumam Kalista dalam hati. Kalista tersenyum miris. Ada rasa sesak di dadanya mengingat ketika dirinya masih berumah tangga dengan Nevan, tapi tidak pernah sama sekali merayakan hari ulang tahun pernikahan. Tidak hanya itu saja. Hari ulang tahun pun seakan dianggap hari tidak penting. Padahal Kalista ingin sekali merayakannya meski tidak dengan pesta mewah. Cukup makan bersama dengan doa mengucap syukur pun, Kalista sudah merasa senang. ("Sudah ku duga kau akan memilih kebaya yang itu. Oke. Kau besok datang lebih cepat. Satu jam sebelum acara dimulai, kau sudah harus hadir. Kebaya itu untukmu, Kal. See you, Love.") Kalista mengernyit saat membaca balasan Jihan. Mengapa dia harus mengenakan kebaya malam besok? Ah, mungkin Kalista ingin memakai baju kembaran pikirnya! Kalista pun meletakkan ponselnya dan beralih ke laptopnya. la ingin kembali menulis lanjutan novel onlinenya yang tadi siang dikritik Vallent."Menyebalkan. Siapa sih Vallent ini sebenarnya? Bisa-bisanya sekarang mengkritik narasiku lagi?!"Suasana hati Kalista sukses terjun sampai dasar. Sudah dipusingkan oleh masalah real lifenya. Sekarang di dunia pelariannya, malah disenggol oleh Vallent. Bahkan beberapa pembaca mulai mendukung pendapat Vallent.("Benar kata Bang Vallent. Tidak kasihan apa dengan tokoh utama sendiri ? Kesialannya bertubi sekali. Nanti kena karma ke author sendiri, lho!")Kalista emosi membaca salah satu komentar pembaca yang sudah tergiring oleh Vallent."Dasar, jari kurang ajar! Apa haknya mengatakan demikian?"Vallent benar-benar menggiring opini para pembaca untuk menghardik Kalista. ("Sepertinya ini cerita penulis aslinya. Kasihan hidupnya. Saya doakan bahagia untuk author.")Aish! Kalista akui hidupnya memang kurang beruntung dan tidak bisa dikatakan bahagia. Namun dirinya sudah sangat berusaha untuk tidak berkeluh kesah apalagi larut dalam kesedihan berkelanjutan. Memangnya tahu apa mereka soal
Pernikahan terjadi dengan singkat. Malam itu juga, Kalista sah menjadi istrinya Bian. Kalista mencari-cari raut sesal di wajah Jihan. Tidak ada. Apa seikhlas itu Jihan menyerahkan Kalista untuk menjadi madunya?Kalista masih tidak mengerti. Semuanya terjadi seperti kilat. Yang menjadi saksi pernikahannya dengan Bian adalah supir dan satpamnya Bian.Kehadiran ibunya yang tiba-tiba di rumah Jihan pun menimbulkan tanda tanya lain bagi Kalista. Jadilah setelah pernikahan itu terjadi, Kalista ingin menanyai ibunya mengenai ada pembicaraan apa antara ibunya tersebut dengan Jihan sebelum ini."Mengapa ibu menerima permintaan Jihan?" tanya Kalista yang harus menggandeng ibunya ke sisi rumah Jihan yang tidak ada orang. "Terpaksa, Nak. Jihan berjanji akan melunasi hutang-hutang ibu. Lagipula kau hanya perlu hamil lalu melahirkan. Apa susahnya?""Ya, Tuhan, Bu. Jadi ibu menjualku? Menjual rahimku? Ibu sadar tidak dengan perbuatan ibu? Ibu tahu sendiri kalau melahirkan Vano waktu itu saja, aku n
Kalista bangun subuh-subuh untuk pulang ke rumah ibunya. Dia baru ingat jika tidak membawa seragam kerja untuk mengajar. Ketika dia menuruni tangga, Jihan memergokinya."Kalista, mengapa berjalan mengendap-ngendap? Mau kemana subuh-subuh begini?""Aku ingin pulang. Hari ini aku bekerja dan lupa membawa baju dinas," jawab Kalista jujur."Hari ini hari sabtu, bukan? Biasanya mengajar pakai baju apa?""Ada baju batik khusus yang dikenakan "Tidak bisa baju batik yang lain? Kalau bisa, aku punya, kok."Jihan terlihat keberatan mengizinkan Kalista untuk pulang."Tidak bisa, Han. Kami harus memakai baju batik yang seragam."Helaan napas Jihan terdengar lumayan berat, kemudian seperti terpaksa untuk tersenyum lebar."Aku akan suruh supir mengantarmu.""Tidak usah. Aku akan pesan ojek online saja.""Tidak bisa, Kal. Kau sekarang istrinya Bian. Jadi kau berhak menggunakan semua fasilitas dan pelayanan di rumah ini."Kalista tidak membantah kali ini. Nada suara Jihan terdengar berbeda. Tampak le
Kalista akhirnya sampai ke sekolah. Sebelumnya, Kalista sampai kerepotan saat diinterogasi macam-macam oleh ibunya. Bahkan sampai membuat Kalista risih, karena ibunya mengungkit-ngungkit malam pertama.Kalista jadi ingat perkataan ketus dari Bian yang ditujukan padanya. Jelas sekali lelaki itu sangat tidak menyukainya. Namun Kalista bisa memahami posisi Bian. Kalista bisa melihat cinta yang tulus dari sorot mata Bian kepada Jihan. Bian selalu bertindak ingin melindungi dan membahagiakan Jihan. Kalista bisa merasakan itu.Bian juga tipe suami yang tidak menuntut ini itu pada istri. Buktinya, Bian terlihat baik-baik saja saat mengetahui keadaan Jihan yang mengaku mandul. Untuk seseorang yang penyayang seperti Bian, tentu dipaksa menikah lagi adalah hal yang terlalu berat untuk dilakukan.Kalista pribadi pun juga ingin berbicara dari hati ke hati dengan Jihan. Sepulang mengajar nanti, Kalista akan menemui Jihan. Kalista masih merasa bila semua yang terjadi sekarang adalah salah. Namun J
VALLENT("Seru juga ternyata berdiskusi begini dengan Purplelloide. Ku kira kau orangnya tidak asyik dan doyan marah-marah saja. Hehe.")KALISTA("Jangan menilai orang lain terburu-buru. Apalagi dengan orang yang kau temui di dunia online.")VALLENT("Sip. Haha. Ngomong-ngomong, foto profilku muncul tidak di situ?")KALISTA("lya, ada. Kata-kata.")VALLENT("Eh, masa? Harusnya gambar balon udara.")KALISTA("Tidak, kok. Kata-kata romantis.")VALLENT("Apa kata-katanya?")KALISTA("Can i call you jasmine without jas?")VALLENT("Boleh.")KALISTA("Apa kau mengerjaiku?")VALLENT("Sorry. Hehe. Sepertinya foto profil balon udaraku masih loading.")KALISTA("Berubah lagi foto profilmu. Tulisan lagi.)VALLENT("Tulisan apa?")KALISTA("Sayang.")VALLENT("Apa sayang?")KALISTA("Val, please d
"Mampir ke sini, Mas!"Jihan berbelok ke sebuah butik. Kesempatan itu digunakan Kalista untuk melepaskan pegangan tangannya dengan Bian.Bian tampak tak peduli dengan gandengannya yang terlepas. Toh, ia langsung mengekori Jihan kemana-mana! Kalista memilih untuk pergi ke arah lain, tapi masih di dalam area butik.Kalista iseng melihat-lihat pakaian bermerk yang ada di sana. Harganya membuat Kalista menganga. Namun Kalista yakin, harga yang tertera sesuai dengan kualitas pakaiannya. Di mata Kalista, pakaian yang dijual sangat cantik. Kalista jadi teringat ketika Nevan berniat membelikannya baju di butik tersebut ketika dirinya belum hamil Vano.Kalista sudah sangat senang kala itu, karena diajak jalan-jalan sekalian membeli baju. Namun ketika Kalista sudah memilih satu baju yang ia mau, ibu mertuanya menelepon Nevan.Beliau melarang Nevan membelikan Kalista macam-macam dengan alasan nanti manja. Lebih baik uangnya ditabung untuk
Gegabah bila Kalista langsung menyerahkan diri pada Bian. Meski mereka berstatus suami istri, tetap saja bagi Kalista, mereka belum bisa melakukannya. Kalista cepat mengerti situasi. Otaknya mengambil kesimpulan yang tepat sasaran.Dirinya juga mulai merasakan apa yang dirasakan Bian."Kalista, help me." Bian memohon. Lelaki itu melangkah tertatih, tapi sangat terburu-buru akibat hasrat yang harus ia tuntaskan.Kalista menggeleng. Tidak bisa. Pasti minuman Jihan barusan ada obat perangsangnya."Tuan, sadarlah. Kendalikan dirimu.""Tidak bisa, Kal. Bantu aku sekarang."Kalista memikirkan solusi lain. la tidak bisa melakukannya dengan Bian. Dengan cepat, Kalista kembali membuka pintu kamarnya. Kalista akan mempersilakan Bian untuk pergi ke kamarnya yang lain, dimana di sana ada perempuan yang sangat dicintai Bian.Namun ternyata pintu kamar tidak bisa dibuka. Ah, sial! Pasti Jihan mengunci mer
"Mas Bian, kenapa mukanya gusar? Mas bertengkar dengan Kalista?"Bian melepas dasinya sedikit kasar dan membanting tubuh lelahnya ke sofa."Aku boleh bertanya tentang pernikahan Kalista sebelumnya, Sayang?"Jihan tercenung beberapa detik,"Emm, Mas, sepertinya yang punya hak bercerita adalah Kalista. Mas bertanya langsung saja padanya."Andai Jihan tahu, bila Bian ingin menanyai Kalista sejak di jalan tadi. Tapi entah mengapa Bian merasa tidak nyaman. Apalagi jelas terlihat bila wanita itu menahan tangis. Bian hanya tidak terima mendengar perkataan wanita paruh baya yang belakangan ia ketahui adalah mantan mertua Kalista. Bagaimana bisa orang itu mengatakan sesuatu yang tidak berdasar?"Mas, aku punya kejutan."Bian beralih menatap Jihan penasaran. Istrinya tersenyum lebar dan antusias. Mau tak mau senyumannya menular pada Bian."Sabtu malam, kita menginap di hotel."Seperti angin segar, seket