Kalista akhirnya sampai ke sekolah. Sebelumnya, Kalista sampai kerepotan saat diinterogasi macam-macam oleh ibunya. Bahkan sampai membuat Kalista risih, karena ibunya mengungkit-ngungkit malam pertama.
Kalista jadi ingat perkataan ketus dari Bian yang ditujukan padanya. Jelas sekali lelaki itu sangat tidak menyukainya. Namun Kalista bisa memahami posisi Bian. Kalista bisa melihat cinta yang tulus dari sorot mata Bian kepada Jihan. Bian selalu bertindak ingin melindungi dan membahagiakan Jihan. Kalista bisa merasakan itu. Bian juga tipe suami yang tidak menuntut ini itu pada istri. Buktinya, Bian terlihat baik-baik saja saat mengetahui keadaan Jihan yang mengaku mandul. Untuk seseorang yang penyayang seperti Bian, tentu dipaksa menikah lagi adalah hal yang terlalu berat untuk dilakukan. Kalista pribadi pun juga ingin berbicara dari hati ke hati dengan Jihan. Sepulang mengajar nanti, Kalista akan menemui Jihan. Kalista masih merasa bila semua yang terjadi sekarang adalah salah. Namun Jihan begitu keras kepala menginginkan pernikahan kedua untuk Bian. Setengah hari lebih pun, berhasil dilalui Kalista dengan baik di sekolah. Setidaknya bekerja dan berinteraksi dengan murid-muridnya, adalah obat pelipur lara dari mumetnya masalah hidupnya. Namun, semuanya berubah ketika Kalista mendapati Bian menjemputnya. Namun Kalista berusaha berpikir dari sudut pandang lain. Pasti Jihan yang memaksa Bian melakukannya. Kalista seakan bisa membaca raut terpaksa itu dari wajah Bian. Kalista yang merasa harus tahu diri dan sadar diri pun langsung membuka pintu belakang mobil dan hendak masuk. Namun Bian seketika menyentaknya. "Kau pikir aku supirmu jadi kau serta merta duduk di belakang? Sudah merasa jadi nyonya, ya?" Kalista terhenyak lagi. Sepertinya Kalista harus terbiasa menerima perkataan kasar dari Bian. Kalista pun langsung membuka pintu depan dan duduk di kursi samping kemudi. Kalista menunduk saja sepanjang perjalanan. Sesekali menjatuhkan pandangan pada jalanan yang ramai. Suasana di mobil begitu hening. Andai aroma bisa bersuara, mungkin keadaannya akan berbeda. Pasalnya wangi tubuh Bian sangat mendominasi. Jujur, wangi parfum Bian berhasil menenangkan otak Kalista yang sedang puyeng sejak malam tadi. Namun Kalista lagi-lagi harus menyadarkan diri untuk tidak terlena dengan hal demikian. Tetap saja bagi Kalista, sosok Bian adalah mutlak milik Jihan. Sejak dulu, sekarang, dan selamanya. "Aku dipaksa Jihan menjemputmu. Jadi kau jangan berpikir macam-macam " Tuh, kan! Sudah Kalista duga bila Bian disuruh Jihan. Untuk selanjutnya, Kalista akan membujuk Jihan agar dirinya tidak perlu dijemput. Kalista nanti akan berangkat dan pulang kerja dengan motor matic-nya seperti biasa. "Satu lagi. Jangan memanfaatkan kebaikan istriku. Dia yang paling banyak berkorban di pernikahan ini sampai-sampai berani mengambil resiko menyakiti hatinya sendiri. Sampai kapanpun, jangan bermimpi hamil anakku." Kalista kesal. Ia tidak menyangka kalau Bian memiliki pribadi yang menyebalkan. Sepertinya pemikiran Bian harus diluruskan agar tidak berspekulasi macam-macam. "Maaf, Mas. Sepertinya ada yang harus Mas ketahui. Jika Mas Bian menyuruhku untuk tidak berharap, maka saya akan melakukannya sebelum Mas menyuruhnya. Dan tenang saja, saya juga tidak menginginkan pernikahan ini. Saya melakukannya karena murni menyayangi Jihan." Bian tertawa sarkas,"Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Mas Bian hanya panggilan khusus dari Jihan, istriku tercinta. Sedangkan kau bukan siapa-siapa. Kau hanya istri kedua yang ku nikahi karena terpaksa." "Baik, Tuan. Saya hanya ingin menegaskan jika saya tidak pernah tertarik dengan Tuan." "Cih, kau juga pembohong ternyata! Jihan menceritakan semuanya padaku. Kau pernah naksir aku dulu saat SMA, kan?" Kalista terdiam. Untuk apa Jihan menceritakan masa lalu yang menurut Kalista tidak penting lagi? Bahkan rasa suka Kalista sudah tidak ada lagi untuk Bian. Entah mengapa, Kalista jadi merasa dipermalukan. Harusnya Jihan bisa menghargai privasinya, meski itu hanya cerita basi di masa SMA. "Kenapa? Pasti tetap terbesit di hatimu rasa bahagia, karena dinikahi oleh lelaki yang kau sukai dulu." "Saya tidak punya perasaan apa-apa lagi pada anda. Dan menurut saya, cerita lama itu tidak harus diungkit lagi. Itu tidak penting lagi dan ibarat sebuah file, maka itu sudah saya pindahkan ke recycle bin sejak lama sekali." "Sombong sekali kau. Kau menganggap diriku tidak penting? Ya sudah terserah. Toh, takdir malah membuatku dan Jihan bersama! Kau tidak akan pernah bisa mengusik kami." Astaga! Sosok Bian yang dulunya penuh daya tarik, sekarang menjelma menjadi seseorang yang lebih menyebalkan dari ibu-ibu komplek yang gemar bergosip di mata Kalista. Kalista memilih untuk mengabaikan apapun celotehan yang menghujamnya dari mulut Bian. Apapun itu, Kalista juga tidak berniat merusak rumah tangga Jihan dan Bian. *** "Ibu mertuaku sangat menginginkan buah hati. Darah dagingnya Mas Bian. Cucu kandung. Mana bisa aku menyetujui untuk mengadopsi seorang anak, Kal?" Akhirnya Kalista dan Jihan memiliki kesempatan berbicara empat mata. Mereka berdua berada di tepi kolam renang dengan kudapan manis tak tersentuh di antara keduanya. "Aku sangat terpukul saat mengetahui bila diriku mandul. Bayangan Mas Bian yang mencampakkanku seolah menghantui. Di sisi lain, aku tahu betapa tulusnya cinta suamiku. Namun di sisi lain, ketakutan itu seakan memaksaku mencari pintu keluar." Jihan menangkap eksistensi suaminya sedang berdiri di ruang tengah menghadap jendela kaca. Sehingga mereka bisa saling memperhatikan satu sama lain. "Hingga akhirnya aku dapat solusi untuk meminjam rahim wanita lain. Namun muncul masalah lain. Aku harus menemukan wanita yang bisa ku percayai seratus persen untuk menjadi ibu dari darah dagingnya Mas Bian. Dan setelah pertimbangan yang matang, aku mantap memilihmu, Kal. Aku sudah meminta pada Mas Bian untuk mengasihimu." Kalista jadi tidak tega pada Jihan. Rupanya, Jihan memikul beban yang tidak bisa dikatakan ringan. Tentu Jihan dan Bian berulang kali menghadapi pertanyaan mengenai kapan mereka memiliki anak. Pertanyaan demikian tentu membuat mental Jihan down. "Kal, aku meminta maaf karena terkesan egois dan memaksakan kehendakku secara sepihak dengan memberi ancaman kepada kalian berdua. Aku juga meminta maaf, karena memanfaatkan sisi kelemahan ibumu agar beliau bersedia merestui pernikahanmu dengan Bian. Maafkan aku yang seolah melupakan keinginanmu untuk tidak melahirkan lagi karena trauma. Kalista, bantu aku, ya? Tolong." Kalista memandang kedua netra indah Jihan yang berkaca-kaca. Jihan begitu memohon dan Kalista tidak pernah tega untuk menolak. Namun kali ini, yang diharapkan Jihan agar segera terjadi sepertinya hampir mendekati nol persen. Mengingat bencinya Bian saat berhadapan dengan Kalista. Namun Kalista tetap mengangguk, menciptakan lengkungan sabit yang manis di bibir Jihan. Jihan memeluk Kalista. Seperti biasa. Pelukannya begitu hangat dan nyaman. Kalista berharap, semoga persahabatannya tidak akan pernah rusak oleh apapun. Usai pembicaraan itu, Kalista pun memilih untuk berdiam diri di kamar barunya di rumah Jihan dan Bian. Kalista mengetik bab novelnya. Lagi, ketika Kalista usai mengunggah chapter baru untuk novel onlinenya, Vallent selalu hadir untuk memberikan berbagai kalimat yang ia anggap sebagai masukan bak dosen pembimbing skripsi. Namun Kalista sedikit lega, karena Vallent menekan jempolnya di fitur pesan pribadi. Kalista pun akhirnya memberi sedikit respect untuknya. Kalista berterima kasih dan sedikit berbasa-basi dengan berpura-pura tertarik untuk dimentori di dunia tulis-menulis. Dan jadilah Vallent yang ternyata sangat bersedia untuk menjadi mentornya Kalista. Bahkan Vallent menanyakan nomor ponselnya dengan dalih agar lebih gampang berdiskusi. Kalista sedikit kesal dan gugup. Harusnya dirinya tidak perlu berbasa-basi. Karena tidak enak dengan Vallent, Kalista pun memberikan nomor ponselnya pasa Vallent. Vallent berterima kasih dan tanpa menunggu lama, Kalista sudah menerima pesan berbunyi 'Hai' dari nomor ponsel asing. ("Hai. Ini Vallent, Nona Purplelloide. Ingin bertanya seputar kepenulisan?") Kalista pun membalas pesan itu dengan sopan, hingga Kalista menyadari apabila basa-basinya ada manfaatnya juga. Kalista seperti mendapat ilmu gratis dan malah menjadi terhibur dari permasalahan real lifenya. Ternyata Vallent sangat menyenangkan ketika diajak diskusi dibanding berdebat. ("Tidur sana. Jangan terlalu diporsir mengetik. Good night, Purple.") Saking asyiknya mengobrol padat ilmu, sampai-sampai Kalista tidak sadar jika waktu sudah menunjukkan jam tidur. Kalista tanpa sadar tersenyum membaca balasan pesan Vallent. Dan senyum itu langsung sirna, ketika tiba-tiba Bian muncul membuka pintu kamar dengan cukup kasar. Kalista menghela napas. Malam ini sepertinya, dirinya harus tidur di lantai lagi.VALLENT("Seru juga ternyata berdiskusi begini dengan Purplelloide. Ku kira kau orangnya tidak asyik dan doyan marah-marah saja. Hehe.")KALISTA("Jangan menilai orang lain terburu-buru. Apalagi dengan orang yang kau temui di dunia online.")VALLENT("Sip. Haha. Ngomong-ngomong, foto profilku muncul tidak di situ?")KALISTA("lya, ada. Kata-kata.")VALLENT("Eh, masa? Harusnya gambar balon udara.")KALISTA("Tidak, kok. Kata-kata romantis.")VALLENT("Apa kata-katanya?")KALISTA("Can i call you jasmine without jas?")VALLENT("Boleh.")KALISTA("Apa kau mengerjaiku?")VALLENT("Sorry. Hehe. Sepertinya foto profil balon udaraku masih loading.")KALISTA("Berubah lagi foto profilmu. Tulisan lagi.)VALLENT("Tulisan apa?")KALISTA("Sayang.")VALLENT("Apa sayang?")KALISTA("Val, please d
"Mampir ke sini, Mas!"Jihan berbelok ke sebuah butik. Kesempatan itu digunakan Kalista untuk melepaskan pegangan tangannya dengan Bian.Bian tampak tak peduli dengan gandengannya yang terlepas. Toh, ia langsung mengekori Jihan kemana-mana! Kalista memilih untuk pergi ke arah lain, tapi masih di dalam area butik.Kalista iseng melihat-lihat pakaian bermerk yang ada di sana. Harganya membuat Kalista menganga. Namun Kalista yakin, harga yang tertera sesuai dengan kualitas pakaiannya. Di mata Kalista, pakaian yang dijual sangat cantik. Kalista jadi teringat ketika Nevan berniat membelikannya baju di butik tersebut ketika dirinya belum hamil Vano.Kalista sudah sangat senang kala itu, karena diajak jalan-jalan sekalian membeli baju. Namun ketika Kalista sudah memilih satu baju yang ia mau, ibu mertuanya menelepon Nevan.Beliau melarang Nevan membelikan Kalista macam-macam dengan alasan nanti manja. Lebih baik uangnya ditabung untuk
Gegabah bila Kalista langsung menyerahkan diri pada Bian. Meski mereka berstatus suami istri, tetap saja bagi Kalista, mereka belum bisa melakukannya. Kalista cepat mengerti situasi. Otaknya mengambil kesimpulan yang tepat sasaran.Dirinya juga mulai merasakan apa yang dirasakan Bian."Kalista, help me." Bian memohon. Lelaki itu melangkah tertatih, tapi sangat terburu-buru akibat hasrat yang harus ia tuntaskan.Kalista menggeleng. Tidak bisa. Pasti minuman Jihan barusan ada obat perangsangnya."Tuan, sadarlah. Kendalikan dirimu.""Tidak bisa, Kal. Bantu aku sekarang."Kalista memikirkan solusi lain. la tidak bisa melakukannya dengan Bian. Dengan cepat, Kalista kembali membuka pintu kamarnya. Kalista akan mempersilakan Bian untuk pergi ke kamarnya yang lain, dimana di sana ada perempuan yang sangat dicintai Bian.Namun ternyata pintu kamar tidak bisa dibuka. Ah, sial! Pasti Jihan mengunci mer
"Mas Bian, kenapa mukanya gusar? Mas bertengkar dengan Kalista?"Bian melepas dasinya sedikit kasar dan membanting tubuh lelahnya ke sofa."Aku boleh bertanya tentang pernikahan Kalista sebelumnya, Sayang?"Jihan tercenung beberapa detik,"Emm, Mas, sepertinya yang punya hak bercerita adalah Kalista. Mas bertanya langsung saja padanya."Andai Jihan tahu, bila Bian ingin menanyai Kalista sejak di jalan tadi. Tapi entah mengapa Bian merasa tidak nyaman. Apalagi jelas terlihat bila wanita itu menahan tangis. Bian hanya tidak terima mendengar perkataan wanita paruh baya yang belakangan ia ketahui adalah mantan mertua Kalista. Bagaimana bisa orang itu mengatakan sesuatu yang tidak berdasar?"Mas, aku punya kejutan."Bian beralih menatap Jihan penasaran. Istrinya tersenyum lebar dan antusias. Mau tak mau senyumannya menular pada Bian."Sabtu malam, kita menginap di hotel."Seperti angin segar, seket
"Sayangku."Kalista sangat merindukan panggilan tersebut dari laki-laki yang berpapasan dengannya ini. Netra Kalista tak mampu beralih ke arah lain saat sosok yang masih dikasihi Kalista tersebut menghampirinya dan langsung memeluknya erat."Cantiknya Nevan sedang apa di sini? Ah, pasti karena kita punya ikatan emosional yang kuat. Makanya kita bisa mengetahui keberadaan satu sama lain di sini." Nevan menangkup kedua pipi tirus Kalista.Kalista bisa mencium bau alkohol dari mulut Nevan. Senyum Nevan masih sama seperti dalam ingatannya. Rambutnya mulai memanjang. Kumis tipis dan janggutnya seperti sengaja dibiarkan tumbuh. Ingin sekali rasanya Kalista membalas pelukan sang mantan suami."Aku memesan kamar di sini. Ingin bermalam bersama sembari bernostalgia mengenang kisah cinta kita ?"Manis sekali setiap kalimat yang terlontar dari bibir Nevan. Kalista hampir terlena lagi dan jatuh untuk kesekian kali. Pertahanan dirinya suka porak poranda bila berhadapan dengan Nevan."Ayo, Sayang!"
Hening. Tidak ada komunikasi sama sekali diantara Bian dan Kalista. Keduanya sama-sama masih bersandar di header ranjang. Dengan space kosong yang begitu lebar. Kalista juga lebih memilih berbalas pesan dengan Vallent untuk menutupi rasa tidak nyaman.Kalista juga belum mengantuk sama sekali. Sepertinya Bian pun demikian. Bian melirik Kalista yang tampak sibuk dengan ponselnya. Keningnya bertaut ketika Kalista tersenyum sendiri sembari mengetuk keywordnya dengan lincah."Kau berbalas pesan dengan siapa? Apa dengan Jihan?""Bukan. Dengan teman di komunitas hobi.""Kau bergabung di komunitas apa?""Penulis."Bian langsung mencondongkan tubuhnya menghadap Kalista."Kau suka menulis?"Kalista mengangguk pelan. Terbesit rasa waspada seketika. Apalagi Bian malah melanjutkan pertanyaan menjadi lebih intens."Apa aku boleh membaca tulisanmu?"Kalista menyesal terlalu jujur. Harusnya dirinya mengaku ber
"Boleh aku mengecup keningmu?" Permintaan yang mengejutkan bagi Kalista. "Meskipun saya setuju tentang usul anda, bukan berarti kita harus melangkah sejauh itu? Bukankah Mas sendiri yang mengatakan kalau hubungan ini akan diawali dengan perkenalan? Perkenalan seperti apa yang diawali dengan kecupan kening?"Kalista menebak bila Bian tidak pernah melewatkan waktu berduaan lagi dengan Jihan semenjak kehadiran Kalista di tengah-tengah mereka. Jihan setotalitas itu melakukannya sampai-sampai suaminya akan melampiaskannya ke Kalista.Lantas Bian menyodorkan tangannya seperti hendak bersalaman. Hai, namaku Bian Qais Liandra. Aku bekerja di Glitz Chemical sebagai Chief Executive Officer."Apa yang Bian lakukan? Kalista sukses mengernyit."Aku sudah tahu. Untuk apa lagi anda melakukannya?""Berkenalan. Bukankah begini caranya berkenalan?"Kalista turun dari tempat tidur," Mas, bisa kita bahas soal ini di har
"Jihan, mengapa kau tidak berdiskusi denganku dulu mengambil keputusan itu ? Kau tahu sendiri bukan, apa arti pekerjaan itu untukku? Itu cita-citaku, Jihan." Dada Kalista kembang kempis.Kalista menahan diri agar tidak membentak sahabatnya. Jihan lebih dari hapal apabila Kalista paling benci terhadap sikap orang yang melewati batas. Mengapa Jihan sekarang malah berbuat begini?"Kal, aku minta maaf. Kau sudah setuju, bukan, untuk melahirkan anaknya Mas Bian? Jadi aku ingin kau fokus dengan dirimu saja. Jangan lelah bekerja. Aku paham betul kalau kau sekali bekerja selalu totalitas sampai lupa waktu. Aku khawatir itu akan menganggu program hamil." Bukan kah Bian mengatakan kalau Jihan mengusulkan agar Kalista dan suaminya berkenalan dulu dan pendekatan pelan-pelan? Namun setelah mendengar pembicaraan Jihan barusan, tampaknya Jihan masih berharap kalau Kalista segera hamil.Apa jangan-jangan?Kalista melirik pada Bian yang tampaknya juga sama terkejutnya kalau Jihan melanggar batas. Na