MINUMAN HANGAT DARI JIHAN

"Mampir ke sini, Mas!"

Jihan berbelok ke sebuah butik. Kesempatan itu digunakan Kalista untuk melepaskan pegangan tangannya dengan Bian.

Bian tampak tak peduli dengan gandengannya yang terlepas. Toh, ia langsung mengekori Jihan kemana-mana! Kalista memilih untuk pergi ke arah lain, tapi masih di dalam area butik.

Kalista iseng melihat-lihat pakaian bermerk yang ada di sana. Harganya membuat Kalista menganga. Namun Kalista yakin, harga yang tertera sesuai dengan kualitas pakaiannya. Di mata Kalista, pakaian yang dijual sangat cantik.

Kalista jadi teringat ketika Nevan berniat membelikannya baju di butik tersebut ketika dirinya belum hamil Vano.

Kalista sudah sangat senang kala itu, karena diajak jalan-jalan sekalian membeli baju. Namun ketika Kalista sudah memilih satu baju yang ia mau, ibu mertuanya menelepon Nevan.

Beliau melarang Nevan membelikan Kalista macam-macam dengan alasan nanti manja. Lebih baik uangnya ditabung untuk biaya sekolah adik-adiknya saja. Kalista lagi-lagi mengalah saat itu. Apalagi Nevan juga tampaknya sangat menurut dengan sang ibu.

"Kal, kami mencarimu dari tadi." Jihan melihat Kalista yang sedang memegangi satu dress berwarna biru malam.

"Kau mau itu?"

Kalista lekas menggeleng, Tidak. Aku hanya melihat-lihat saja."

Jihan langsung mengambil dress tersebut dan menyuruh Kalista untuk mencoba di ruang ganti.

"Tidak usah. Aku tidak ingin membeli apa-apa."

"Kal, coba, ya? Demi aku."

Demi aku. Demi aku. Demi aku.

Kalista jadi sadar kalau Jihan lumayan sering mengulang dua kata itu setelah mereka tinggal bersama. Namun, dua kata itu juga menjadi titik lemah Kalista maupun Bian.

Kalista pun menuruti Jihan untuk mencoba dressnya. Bohong bila Kalista tidak suka ketika melihat dirinya begitu cantik saat mengenakan dress tersebut.

"Cantik. Oke, bungkus." Jihan tiba-tiba masuk ke ruang ganti dan sedikit mengejutkan Kalista.

Tidak sampai disitu. Jihan juga memilihkan beberapa helai pakaian lain untuk Kalista. Bian yang melihat itu semua, semakin bertambah rasa tidak sukanya terhadap Kalista. Menurut Bian, Kalista berlagak tidak enak padahal dalam hatinya memang sengaja membuat Jihan membelikannya macam-macam.

Namun Bian bisa apa? Apalagi dirinya selalu mengiyakan apapun keinginan Jihan. Alhasil, Bian pun malah banyak membayar belanjaan milik Kalista ketimbang belanjaan Jihan yang hanya sedikit.

***

Usai makan malam, Kalista memutuskan mengetik bab lanjutan untuk novel onlinenya. Sebelumnya, Kalista juga sudah mengerjakan soal untuk dibagikan kepada murid-muridnya besok saat quiz.

"Apa bab ini sudah bagus, ya? Ah, apa bisa aku berdiskusi dengan Vallent?" gumamnya.

Kalista pun memindahkan file bab novelnya yang sudah selesai ia ketik ke ponselnya. Kemudian ia mengirimkannya ke whatsappnya Vallent.

Diluar dugaan, Vallent langsung membacanya. Kalista pun menanti dengan sabar sembari mengumpulkan cucian kotor ke satu keranjang.

Kalista melirik ke arah tempat tidur. Jujur, Kalista kurang nyaman tidur bersama Bian. Kalista bukannya takut Bian akan melakukan hal itu padanya, melainkan Kalista yang memiliki kebiasaan tidur harus memeluk sesuatu, takut bila dirinya tiba-tiba memeluk Bian.

Bian sudah sangat tidak menyukainya. Jadi Kalista harus bersikap hati-hati agar prasangka Bian tidak semakin jadi.

Ting!

Kalista langsung menyambar ponselnya setelah mendengar bunyi notifikasi. Senyumnya merekah saat tahu Vallent sudah merespon. Barisan-barisan kalimat saran dan suntingan dibaca Kalista dengan cermat.

Bahkan Vallent tak segan-segan mengirimi file dengan versi yang sudah ia coret-coret dengan sebuah aplikasi tertentu.

("Purple, elipsisnya diperhatikan. Gunakan kalimat efektif dan tidak perlu terlalu bertele-tele. Yang terpenting narasi dan dialogmu tersampaikan maknanya. Untuk dialognya, jangan pingpong. Ketik yang penting-penting saja. Hehe. Jangan disiksa terus tokoh utamanya. Nanti karma, lho, kata pembaca.")

Kalista hampir terbahak.

Ah, rasanya Kalista ingin memberitahu Vallent kalau dirinya sudah terkena karma di real life. Namun menurut Kalista, dirinya tidak perlu terlalu jujur. Toh, mereka hanya berkenalan di dunia maya. Tidak perlu sampai cerita tentang masalah hidup yang sesungguhnya.

Kalista pun membalasnya jika akan menyunting tulisannya lagi. Dia pun kembali duduk manis dan mulai memperbaiki baris kata dan kalimat yang disarankan Vallent. Kalista total tak bergerak dari posisinya. Hanya kesepuluh jarinya saja yang bergerak lincah pada keyboard laptopnya. Saking berkonsentrasinya, Kalista sampai tidak menyadari kehadiran Bian yang mengintip di belakang tubuhnya.

"Jika kau ingin lembur, pergi ke ruangan lain. Aku harus tidur cepat, karena aku tidak bisa tidur kalau kamar menyala dengan terang."

Sontak saja, Kalista langsung menutup laptopnya dan berbalik. Wajah tegangnya tidak bisa disembunyikan ketika wajah Bian tepat di hadapannya. Hidung mereka hampir bersentuhan jika saja Bian tidak langsung mundur.

"Kenapa kau sangat kaget? Apa kau pikir aku ini hantu? Sampai menutup lembar kerjamu begitu. Apa yang kau kerjakan sebenarnya? Apa sebenarnya kau ini .... "

Kalista tegang ketika Bian memicing curiga padanya. Apa Bian membaca tulisannya? Kalista mohon semoga saja Bian tidak peduli apapun itu yang Kalista ketik.

"Agen rahasia negara?" tuduh Bian seraya menunjuk tepat di depan mata Kalista.

Kalista bernapas lega sekarang. Artinya Bian tidak sempat membaca bab novel yang ia ketik.

Kalista memang tidak ingin orang-orang di real life-nya mengetahui dirinya yang sebagai penulis novel online. Kalista tidak percaya diri untuk itu.

"Saya hanya mengerjakan dokumen mengajar." Kalista langsung berdiri dengan membawa laptop dan ponselnya.

"Kemana kau?"

"Anda mengatakan kalau saya harus ke ruangan lain bila lembur. Selamat malam , Tuan."

Bian membiarkan Kalista keluar dari kamar. Lelaki itu naik ke kasur dan langsung merebahkan diri. Saat itu, Jihan masuk dan menanyakan soal Kalista yang keluar kamar.

"Dia ada pekerjaan sedikit. Mungkin deadlinenya besok. Kau tahu sendiri kalau suamimu ini tidak bisa tidur dengan pencahayaan terang. Jadi dia mencoba menghargaiku."

Jihan mengangguk-angguk paham seraya tersenyum.

"Oh iya, Mas. Jihan membuatkan minuman hangat untuk Mas. Diminum, ya? Tadi mengintip resepnya dari internet . Manfaatnya bagus untuk tubuh. Biar lebih prima."

Bian langsung mengambil mug di tangan Jihan dan meminum minuman tersebut sampai habis.

"Wah, segar sekali! Istriku memang luar biasa. Selalu memperhatikan kesehatanku. I love you."

"I love you too, Mas. Aku kembali ke kamar dulu, ya?"

"Sayang, kita sudah tiga malam tidak tidur bersama. Aku rindu cuddling."

Jihan tersenyum lembut menatap obsidian gelap milik sang suami. Jihan usap pipi suaminya seraya berkata," Mas, sabar ya. Nanti kita bertiga diskusikan malam pembagian tidurnya. Biar adil."

Mungkin bila itu laki-laki lain, ia akan bersorak bahagia. Beda dengan Bian yang malah menekuk wajahnya. Bian hanya ingin tidur memeluk Jihan, istri tercintanya. Bukan Kalista yang tidurnya usik sekali.

Bian sampai tidak bisa tidur nyenyak saat tubuhnya kena tendangan cukup kencang dari kaki Kalista ketika tidur. Tidur dengan Kalista adalah penyiksaan bagi Bian.

"Sudah ya, Mas. Selamat malam."

Bian kecewa menatap kepergian Jihan. Bahkan ia tidak mendapat kecupan selamat malamnya.

"Kalau sudah selesai, langsung masuk ke kamar ya, Kal? Aku tinggal tidur, ya? Good night, Bestie. Minumannya dihabiskan." Jihan berpesan pada Kalista saat dirinya sudah di luar kamar.

"Sip. Terima kasih ya, Jihan. Nanti aku akan membuatkanmu minuman juga."

Jihan mengacungkan jempolnya dan meninggalkan Kalista yang masih mengetik di sofa yang terletak di seberang kamarnya dan Bian.

Sebenarnya tidak butuh waktu lama untuk Kalista menyelesaikan tulisannya. Kalista pun memindahkan file yang sudah ia sunting dan mengirimkannya kepada Vallent. Kalista menutup laptop dan meminum minuman yang diberikan Jihan.

Usai meminumnya sampai habis, Kalista pun mencuci mug sisa minumannya.

"Tiba-tiba panas."

Kalista mengibas-ngibaskan tangannya ke wajah. Kalista segera menaiki tangga dan memungut laptopnya lalu masuk ke kamar.

"Astaga, Tuan!"

Kalista hampir menjatuhkan laptopnya ketika melihat Bian tanpa sehelai benang pun di tempat tidur.