Gegabah bila Kalista langsung menyerahkan diri pada Bian. Meski mereka berstatus suami istri, tetap saja bagi Kalista, mereka belum bisa melakukannya.
Kalista cepat mengerti situasi. Otaknya mengambil kesimpulan yang tepat sasaran.Dirinya juga mulai merasakan apa yang dirasakan Bian."Kalista, help me." Bian memohon. Lelaki itu melangkah tertatih, tapi sangat terburu-buru akibat hasrat yang harus ia tuntaskan.Kalista menggeleng. Tidak bisa. Pasti minuman Jihan barusan ada obat perangsangnya."Tuan, sadarlah. Kendalikan dirimu.""Tidak bisa, Kal. Bantu aku sekarang."Kalista memikirkan solusi lain. la tidak bisa melakukannya dengan Bian. Dengan cepat, Kalista kembali membuka pintu kamarnya. Kalista akan mempersilakan Bian untuk pergi ke kamarnya yang lain, dimana di sana ada perempuan yang sangat dicintai Bian.Namun ternyata pintu kamar tidak bisa dibuka.Ah, sial!Pasti Jihan mengunci mer"Mas Bian, kenapa mukanya gusar? Mas bertengkar dengan Kalista?"Bian melepas dasinya sedikit kasar dan membanting tubuh lelahnya ke sofa."Aku boleh bertanya tentang pernikahan Kalista sebelumnya, Sayang?"Jihan tercenung beberapa detik,"Emm, Mas, sepertinya yang punya hak bercerita adalah Kalista. Mas bertanya langsung saja padanya."Andai Jihan tahu, bila Bian ingin menanyai Kalista sejak di jalan tadi. Tapi entah mengapa Bian merasa tidak nyaman. Apalagi jelas terlihat bila wanita itu menahan tangis. Bian hanya tidak terima mendengar perkataan wanita paruh baya yang belakangan ia ketahui adalah mantan mertua Kalista. Bagaimana bisa orang itu mengatakan sesuatu yang tidak berdasar?"Mas, aku punya kejutan."Bian beralih menatap Jihan penasaran. Istrinya tersenyum lebar dan antusias. Mau tak mau senyumannya menular pada Bian."Sabtu malam, kita menginap di hotel."Seperti angin segar, seket
"Sayangku."Kalista sangat merindukan panggilan tersebut dari laki-laki yang berpapasan dengannya ini. Netra Kalista tak mampu beralih ke arah lain saat sosok yang masih dikasihi Kalista tersebut menghampirinya dan langsung memeluknya erat."Cantiknya Nevan sedang apa di sini? Ah, pasti karena kita punya ikatan emosional yang kuat. Makanya kita bisa mengetahui keberadaan satu sama lain di sini." Nevan menangkup kedua pipi tirus Kalista.Kalista bisa mencium bau alkohol dari mulut Nevan. Senyum Nevan masih sama seperti dalam ingatannya. Rambutnya mulai memanjang. Kumis tipis dan janggutnya seperti sengaja dibiarkan tumbuh. Ingin sekali rasanya Kalista membalas pelukan sang mantan suami."Aku memesan kamar di sini. Ingin bermalam bersama sembari bernostalgia mengenang kisah cinta kita ?"Manis sekali setiap kalimat yang terlontar dari bibir Nevan. Kalista hampir terlena lagi dan jatuh untuk kesekian kali. Pertahanan dirinya suka porak poranda bila berhadapan dengan Nevan."Ayo, Sayang!"
Hening. Tidak ada komunikasi sama sekali diantara Bian dan Kalista. Keduanya sama-sama masih bersandar di header ranjang. Dengan space kosong yang begitu lebar. Kalista juga lebih memilih berbalas pesan dengan Vallent untuk menutupi rasa tidak nyaman.Kalista juga belum mengantuk sama sekali. Sepertinya Bian pun demikian. Bian melirik Kalista yang tampak sibuk dengan ponselnya. Keningnya bertaut ketika Kalista tersenyum sendiri sembari mengetuk keywordnya dengan lincah."Kau berbalas pesan dengan siapa? Apa dengan Jihan?""Bukan. Dengan teman di komunitas hobi.""Kau bergabung di komunitas apa?""Penulis."Bian langsung mencondongkan tubuhnya menghadap Kalista."Kau suka menulis?"Kalista mengangguk pelan. Terbesit rasa waspada seketika. Apalagi Bian malah melanjutkan pertanyaan menjadi lebih intens."Apa aku boleh membaca tulisanmu?"Kalista menyesal terlalu jujur. Harusnya dirinya mengaku ber
"Boleh aku mengecup keningmu?" Permintaan yang mengejutkan bagi Kalista. "Meskipun saya setuju tentang usul anda, bukan berarti kita harus melangkah sejauh itu? Bukankah Mas sendiri yang mengatakan kalau hubungan ini akan diawali dengan perkenalan? Perkenalan seperti apa yang diawali dengan kecupan kening?"Kalista menebak bila Bian tidak pernah melewatkan waktu berduaan lagi dengan Jihan semenjak kehadiran Kalista di tengah-tengah mereka. Jihan setotalitas itu melakukannya sampai-sampai suaminya akan melampiaskannya ke Kalista.Lantas Bian menyodorkan tangannya seperti hendak bersalaman. Hai, namaku Bian Qais Liandra. Aku bekerja di Glitz Chemical sebagai Chief Executive Officer."Apa yang Bian lakukan? Kalista sukses mengernyit."Aku sudah tahu. Untuk apa lagi anda melakukannya?""Berkenalan. Bukankah begini caranya berkenalan?"Kalista turun dari tempat tidur," Mas, bisa kita bahas soal ini di har
"Jihan, mengapa kau tidak berdiskusi denganku dulu mengambil keputusan itu ? Kau tahu sendiri bukan, apa arti pekerjaan itu untukku? Itu cita-citaku, Jihan." Dada Kalista kembang kempis.Kalista menahan diri agar tidak membentak sahabatnya. Jihan lebih dari hapal apabila Kalista paling benci terhadap sikap orang yang melewati batas. Mengapa Jihan sekarang malah berbuat begini?"Kal, aku minta maaf. Kau sudah setuju, bukan, untuk melahirkan anaknya Mas Bian? Jadi aku ingin kau fokus dengan dirimu saja. Jangan lelah bekerja. Aku paham betul kalau kau sekali bekerja selalu totalitas sampai lupa waktu. Aku khawatir itu akan menganggu program hamil." Bukan kah Bian mengatakan kalau Jihan mengusulkan agar Kalista dan suaminya berkenalan dulu dan pendekatan pelan-pelan? Namun setelah mendengar pembicaraan Jihan barusan, tampaknya Jihan masih berharap kalau Kalista segera hamil.Apa jangan-jangan?Kalista melirik pada Bian yang tampaknya juga sama terkejutnya kalau Jihan melanggar batas. Na
"Kita bisa bicara bertiga?" Kalista menyilangkan sendok dan garpunya di piring kosong di hadapannya.Kalista memastikan bila Jihan dan Bian sudah selesai bersantap pagi itu. Sarapan yang dilalui dengan begitu senyap. Hanya dentingan sendok dan seruputan yang terdengar."Bisa, Kal, kita ke ruang tengah?" Jihan selalu berucap ramah, meski kentara sekali raut wajahnya masih merasa bersalah. Kedua maniknya juga sembab. Pasti Jihan menangis terlalu banyak.Mereka pun berpindah ke ruang tengah. Bian duduk di sofa tunggal. Kalista di sofa sebelah kiri dan Jihan di sofa kanan. "Aku akan mengembalikan uang yang kau bayarkan untuk ibuku. Namun tidak sekarang. Aku janji akan mengembalikannya. Aku mohon jangan memberikan apapun untuk ibuku. Itu akan semakin membuatku berutang padamu."Bian melirik kedua Istrinya yang saling bertatapan. Hawa disekitarnya benar-benar tidak nyaman."Kal, maafkan aku. Maaf karena melangkahi hakmu terlalu jauh.
Sepertinya Bian memiliki kesenangan baru, yaitu menggoda Kalista. Reaksi Kalista menjadi hiburan tersendiri untuknya."Baru dipegang sedikit sudah ketar-ketir. Bagaimana nanti kalau bumbum-bumbum?"Kalista memelototi Bian yang tertawa sembari menutup tirai sehingga keduanya berkesan ingin berkegiatan privat tanpa diganggu pramugari."Mungkin ini terdengar kurang ajar untukmu, Kal. Namun kita harus segera melakukannya dan kau hamil. Lagipula pemeriksaan kita berdua sangat sehat. Dokter juga mengatakan bila tidak masalah kau hamil meski dua setengah tahun yang lalu kau menjalani sesar. Setidaknya bila kau hamil, lalu melahirkan setelahnya, aku dan Jihan akan merawat bayi kita. Kau bisa pergi setelah itu. Semoga Jihan setuju. Aku akan membantumu untuk lepas dari pernikahan ini bila Jihan menolak."Kalista benci mendengarnya. Namun dirinya memang sudah setuju untuk didekati Bian. Hanya saja memang tidak bisa pelan-pelan seperti keinginan Bian pada awa
"Apa kau tidak tahu table manner? Kalau kau jadi istriku, wajib tahu table manner."Kalista tidak peduli. la meneruskan mengoyak daging lezat di tangannya dengan giginya tanpa peduli dirinya sekarang terlihat seperti pemangsa di hutan rimba.Lagipula situasinya bukan sedang dalam jamuan makan resmi. Untuk apa menggunakan table manner? Ada-ada saja Bian. Bian menganga dan akhirnya pasrah membiarkan Kalista hingga kenyang. Kalista langsung mencuci tangan dan ke kamar mandi."Kau mandi sesubuh ini? Serius?!" Bian setengah berteriak, tapi Kalista tentu tidak bisa menyahut akibat shower yang menyala."Astaga, apa dia tidak kedinginan? Lagipula mandi sesudah makan, itu kebiasaan yang tidak sehat," gumam Bian sembari menepikan troli makanan lalu kembali ke tempat tidur dengan selimut hampir membungkus seluruh tubuh.Sepuluh menit kemudian, Kalista keluar dari kamar mandi dengan bathrobe putihnya. Kalista membongkar kopernya untuk berpa