"Tante Kalista, Drew tadi di sekolah merokok dengan Angkasa!" "Heh?! Dasar tukang adu!" Gadis yang masih mengenakan seragam SMA-nya tersebut menjulurkan lidahnya pada Drew yang baru saja melepaskan sepatunya sehabis pulang sekolah. Gadis tersebut langsung berlari pergi ke rumahnya sendiri. Kalista yang tadinya menyambut kedatangan putranya dengan berdiri beberapa meter darinya, seketika berkacak pinggang dan menatap tajam pada Drew. "Bunda, jangan percaya Namira!" Drew tidak akan sanggup lagi kalau harus dihukum oleh bundanya. Kakinya masih pegal sampai sekarang, setelah kemarin, Kalista memukul kakinya dengan sapu lidi. Ya. Bundanya memang tidak menerapkan parenting modern. Berbeda dengan Papa Liam dan Mama Jihannya yang selalu memilih jalan diskusi sebagai penyelesaian masalah. Bahkan ketika Drew meminta tolong pada sang ayah, beliau cenderung berpikir agar menurut saja dengan bundanya dengan alasan agar hidup aman sentosa.
"Drew, kata tante Kalista, kau mendaftar les di ruang teacher, ya?" tanya Namira yang saat itu sedang menikmati salad buah di kantin sekolah. Drew menutup bukunya dan kini melipat tangannya sebelum mengangguk, menjawab pertanyaan gadis berambut panjang di hadapannya. "Kalau begitu, aku nanti mendaftar les di sana juga, ah! Pasti ayah mengizinkan kalau ada kaunya." Namira mendorong salad buahnya untuk lebih menghadap Drew. Drew menggeleng karena ia tidak begitu suka salad buah. Chicken teriyaki pesanannya belum tiba sama sekali. "Mengapa ayahmu sangat percaya aku? Kalau aku tiba-tiba berbuat jahat padamu, bagaimana?" Drew mengatakannya dengan begitu ketus. Namun, Namira tidak terlihat sakit hati karena Namira setiap hari meladeni sikap Drew yang demikian. "Maka Kak Vano akan menghantuimu dan membalaskan dendamku," jawab Namira sambil mengendikkan bahu. "Kau pikir Kak Vano mati penasaran? Gentanyangan? Jangan bercanda," tegur
Semua orang berkumpul di tempat itu. Berbagai hidangan lezat tersaji dan semuanya tinggal pilih. Para pelayan berkeliling menawarkan minuman kepada tamu undangan. Ruangan yang biasanya berisi perabotan rumah sekarang disulap menjadi tempat pesta mewah ulang tahun peringatan pernikahan yang ke dua puluh. Sang raja dan ratu pesta sedang bergandengan mesra menyapa para tamu. Keduanya tersenyum lebar, berbicara ramah kepada semua orang yang menyapa. Dari aura keduanya, terpancar bahagia yang membuat semua orang iri. Mereka dinilai pasangan paling bahagia sekarang. Meski banyak diterpa cobaan, akhirnya mereka berhasil melewati cobaan itu bersama. Ketika keduanya sama-sama ikhlas, akhirnya mereka menemukan kelegaan dan bisa bersama sampai detik ini. "Bian, Jihan! Selamat, ya!" Kalista langsung menghambur ke pelukan Jihan. Liam dan Bian pun sudah memiliki obrolannya sendiri. Sedangkan Jihan dan Kalista malah bernostalgia ke masa lalu. "Kal,
Langkah kaki tak bersuara itu memasuki kamar. Dilihatnya sang putri sedang asyik mengetik sesuatu di microsoft word dengan begitu serius, seakan-akan yang putrinya ketik adalah pemikiran yang menguras seluruh idenya hingga menghasilkan peluh, meskipun kamar tersebut diliputi pendingin ruangan yang berasal dari air conditioner. Si ibu tersenyum. Merasa bangga dan sedikit haru dengan sang putri yang tidak terus terpuruk usai bercerai dengan sang mantan suami setengah tahun silam.Melisa merasa senang, karena putrinya memiliki kesibukan baru sekarang."Kalista," sapa Melisa lembut seraya meletakkan segelas susu hangat dan sepiring pisang goreng bertabur parutan keju dan coklat di samping laptop. Kalista reflek mengganti lembar kerjanya di laptop yang menampilkan laporan hasil belajar siswa dan tersenyum sangat lebar akibat rasa gugup yang tiba-tiba menyergap."Ibu!"Melisa mengernyit dan balas tersenyum, memandang putrinya sedikit curiga."Sibuk, Sayang?""Hmm, ya. Seperti biasa. Aku m
"Hai, Jihan!"Kalista langsung menghambur pelukan ke Jihan. Setelahnya, Kalista membawa Jihan masuk ke kamarnya. Kalista melirik pada laptopnya yang sudah dimatikan."Maaf, berkunjung mendadak.""Tidak apa-apa. Kau bisa datang kapan saja. Bahkan kalau kau datang tengah malam pun, aku tetap akan membukakan pintu."Jihan tersenyum dan Kalista memperhatikan raut wajahnya yang tak biasa. Jihan tetap cantik seperti biasa dengan rambut sebahu berwarna coklat dan polesan make up tipis di wajah tirusnya."Jihan, apa kau sedang tidak enak badan? Aku bisa melihat lingkaran hitam samar di bawah matamu."Kalista memang orang yang sangat peka. Makanya Jihan berpikir kalau kedatangannya sekarang adalah hal yang sangat tepat untuk mengutarakan niat terselubungnya."Kal, aku ingin mengundangmu ke acara ulang tahun pernikahanku dan Mas Bian besok malam. Ku harap kau datang, ya? Kau adalah tamu spesial malam itu.""Tamu spesial?" Kalista tertawa sembari menepuk pundak Jihan,"Ah, kau ini! Aku seperti or
"Menyebalkan. Siapa sih Vallent ini sebenarnya? Bisa-bisanya sekarang mengkritik narasiku lagi?!"Suasana hati Kalista sukses terjun sampai dasar. Sudah dipusingkan oleh masalah real lifenya. Sekarang di dunia pelariannya, malah disenggol oleh Vallent. Bahkan beberapa pembaca mulai mendukung pendapat Vallent.("Benar kata Bang Vallent. Tidak kasihan apa dengan tokoh utama sendiri ? Kesialannya bertubi sekali. Nanti kena karma ke author sendiri, lho!")Kalista emosi membaca salah satu komentar pembaca yang sudah tergiring oleh Vallent."Dasar, jari kurang ajar! Apa haknya mengatakan demikian?"Vallent benar-benar menggiring opini para pembaca untuk menghardik Kalista. ("Sepertinya ini cerita penulis aslinya. Kasihan hidupnya. Saya doakan bahagia untuk author.")Aish! Kalista akui hidupnya memang kurang beruntung dan tidak bisa dikatakan bahagia. Namun dirinya sudah sangat berusaha untuk tidak berkeluh kesah apalagi larut dalam kesedihan berkelanjutan. Memangnya tahu apa mereka soal
Pernikahan terjadi dengan singkat. Malam itu juga, Kalista sah menjadi istrinya Bian. Kalista mencari-cari raut sesal di wajah Jihan. Tidak ada. Apa seikhlas itu Jihan menyerahkan Kalista untuk menjadi madunya?Kalista masih tidak mengerti. Semuanya terjadi seperti kilat. Yang menjadi saksi pernikahannya dengan Bian adalah supir dan satpamnya Bian.Kehadiran ibunya yang tiba-tiba di rumah Jihan pun menimbulkan tanda tanya lain bagi Kalista. Jadilah setelah pernikahan itu terjadi, Kalista ingin menanyai ibunya mengenai ada pembicaraan apa antara ibunya tersebut dengan Jihan sebelum ini."Mengapa ibu menerima permintaan Jihan?" tanya Kalista yang harus menggandeng ibunya ke sisi rumah Jihan yang tidak ada orang. "Terpaksa, Nak. Jihan berjanji akan melunasi hutang-hutang ibu. Lagipula kau hanya perlu hamil lalu melahirkan. Apa susahnya?""Ya, Tuhan, Bu. Jadi ibu menjualku? Menjual rahimku? Ibu sadar tidak dengan perbuatan ibu? Ibu tahu sendiri kalau melahirkan Vano waktu itu saja, aku n
Kalista bangun subuh-subuh untuk pulang ke rumah ibunya. Dia baru ingat jika tidak membawa seragam kerja untuk mengajar. Ketika dia menuruni tangga, Jihan memergokinya."Kalista, mengapa berjalan mengendap-ngendap? Mau kemana subuh-subuh begini?""Aku ingin pulang. Hari ini aku bekerja dan lupa membawa baju dinas," jawab Kalista jujur."Hari ini hari sabtu, bukan? Biasanya mengajar pakai baju apa?""Ada baju batik khusus yang dikenakan "Tidak bisa baju batik yang lain? Kalau bisa, aku punya, kok."Jihan terlihat keberatan mengizinkan Kalista untuk pulang."Tidak bisa, Han. Kami harus memakai baju batik yang seragam."Helaan napas Jihan terdengar lumayan berat, kemudian seperti terpaksa untuk tersenyum lebar."Aku akan suruh supir mengantarmu.""Tidak usah. Aku akan pesan ojek online saja.""Tidak bisa, Kal. Kau sekarang istrinya Bian. Jadi kau berhak menggunakan semua fasilitas dan pelayanan di rumah ini."Kalista tidak membantah kali ini. Nada suara Jihan terdengar berbeda. Tampak le