"Menyebalkan. Siapa sih Vallent ini sebenarnya? Bisa-bisanya sekarang mengkritik narasiku lagi?!"
Suasana hati Kalista sukses terjun sampai dasar. Sudah dipusingkan oleh masalah real lifenya. Sekarang di dunia pelariannya, malah disenggol oleh Vallent. Bahkan beberapa pembaca mulai mendukung pendapat Vallent. ("Benar kata Bang Vallent. Tidak kasihan apa dengan tokoh utama sendiri ? Kesialannya bertubi sekali. Nanti kena karma ke author sendiri, lho!") Kalista emosi membaca salah satu komentar pembaca yang sudah tergiring oleh Vallent. "Dasar, jari kurang ajar! Apa haknya mengatakan demikian?" Vallent benar-benar menggiring opini para pembaca untuk menghardik Kalista. ("Sepertinya ini cerita penulis aslinya. Kasihan hidupnya. Saya doakan bahagia untuk author.") Aish! Kalista akui hidupnya memang kurang beruntung dan tidak bisa dikatakan bahagia. Namun dirinya sudah sangat berusaha untuk tidak berkeluh kesah apalagi larut dalam kesedihan berkelanjutan. Memangnya tahu apa mereka soal menderita? Menulis adalah bentuk pelarian Kalista dari kehidupan nyata yang kurang berpihak kepadanya. Entah apakah ada kolerasinya dengan novel-novelnya yang berbau angst. Kalista pandai memainkan emosi pembaca sampai ke ubun-ubun. Komentar di novelnya ramai menebak alur cerita sampai memaki si tokoh jahat. Bahkan akhir-akhir ini bertambah menjadi komentar kebencian. Tidak ingin makin pening, Kalista mematikan laptopnya. Lalu memilih untuk menyiapkan perlengkapan yang akan ia bawa besok untuk mengajar. Bohong bila Kalista tidak insecure dengan hidupnya sekarang. Kalista pernah punya masa-masa cemerlang. Selalu juara kelas, mengikuti banyak lomba kecerdasan akademik mewakili sekolah, dan memiliki IPK tiga koma keatas saat lulus kuliah. Teman-temannya pun banyak, waktu itu. Sekarang, teman-temannya yang dulu selalu bersamanya, sudah menjalani hidupnya masing-masing. Bahkan Kalista menilai hidup mereka lebih sukses dibanding dirinya yang dianggap paling cerdas. Mereka memiliki pekerjaan bagus, gaji yang besar, pasangan yang penuh cinta, dan keluarga yang bahagia. Sedangkan Kalista, masih harus bersabar dengan gaji honorer yang tidak seberapa. Namun dirinya harus tetap bersyukur dengan nominal berapa pun yang ia dapat. Setidaknya dia bukan pengangguran yang cuma menumpang hidup di rumah ibunya. Walau yang bisa ia bantu hanya mengisi token, membayar air, membayar luran sampah, dan tetap memberi jatah bulanan. Kalista juga merasa terbantu dengan hasil menulisnya yang lumayan meski tidak banyak-banyak amat. Keesokan hari pun tiba. Acara pesta ulang tahun pernikahan Jihan dan Bian diadakan jam delapan malam. Namun Kalista sudah tiba pada pukul tujuh. Jihan langsung mempersilakan Kalista untuk mengenakan kebaya yang ia pilih. "Memang dresscodenya pakai kebaya ya, Han? Aku punya kebaya sendiri padahal. Apa biar kita kembaran?" Jihan tersenyum tipis. Seperti ada yang disembunyikan. Namun Kalista tidak bertanya. "Kal, aku ingin menemui Mas Bian dulu." Kalista mengangguk. Kalista tampak puas dengan kebaya cantik yang ia kenakan. Sangat cocok di tubuh langsingnya. Kalista pun tak lupa membetulkan dandanan sederhananya agar terlihat lebih baik. Kalista menanti Jihan setelahnya. Hampir empat puluh menit berlalu, sahabatnya tidak muncul-muncul. Apa ia langsung saja keluar dari ruang ganti? Kalista pun beranjak dari sana. Dalam perjalanan, Kalista tak sengaja melihat Jihan sedang berbicara serius dengan suaminya di kamar yang pintunya terbuka setengah. Kalista tidak berniat menguping jadi dirinya melewati begitu saja. Namun suara Bian yang cukup melengking, seketika menghentikan langkah Kalista. Kalista melirik ke arah kamar. Jelas sekali kalau Bian menyebut namanya. Atau Kalista salah dengar? Setelahnya Kalista mendengar Jihan dan Bian saling bersahutan seperti dua orang yang berdebat. Namun Kalista tidak mendengar jelas, tentang apa yang membuat mereka berselisih. Karena Kalista tidak ingin dituduh menguping, ia pun segera turun ke lantai bawah, bergabung dengan tamu lain. Namun saat ia memandangi wajah-wajah tamu yang datang, Kalista menjadi canggung. Tidak ada yang dikenalnya sama sekali. Kalista pun memilih untuk menepi sembari mengulir ponsel di tangan. Kalista kembali membaca komentar-komentar panas di bawah komentar Vallent mengenai review novelnya. Kalista benar-benar kembali terpancing dengan penulis yang menempati jawara rank best seller tersebut. Apa urusannya dengan Kalista yang menyiksa tokoh utamanya? Toh, tidak membuat jumlah pembaca Vallent menurun? Mengapa Vallent dua hari ini suka mencari gara-gara, sih? Ketika Kalista asyik membalas pesan Vallent dengan capslock yang diaktifkan, Jihan dan Bian muncul di tengah para tamu. Keduanya begitu serasi dan mesra. Kalista yang melihatnya langsung menyimpan ponselnya dan jadi tak percaya kalau tadi habis mendengar keduanya bertengkar. Kalista tersenyum bahagia melihat kehidupan sahabatnya. Benar kata ibunya, Jihan memang beruntung. "Selamat malam semuanya." Jihan menyapa para tamu. Seluruh atensi sontak tertuju kepadanya. "Terima kasih karena sudah berhadir di malam acara ulang tahun pernikahan saya dan Mas Bian. Dalam kesempatan yang berbahagia ini, saya ingin memberitahukan satu pengumuman penting kalau suami saya tercinta akan saya nikahkan dengan seorang wanita pilihan saya sendiri, yaitu sahabat saya tercinta, Kalista Laila Jaffa." Semua tamu terhenyak. Bian memejamkan kedua matanya dan tampak pasrah. Kalista melongo tak percaya. Jihan berjalan ke arah Kalista dan menuntun sahabatnya ke depan. Kalista mendadak mendapat serangan panik. Semua mata tertuju padanya. Bian membuang muka dan pergi meninggalkan lokasi begitu saja. Kalista bertanya-tanya, mengenai apa maksud perkataan Jihan. "Aku ingin kau menjadi istri kedua Mas Bian, Kal." Kalista mengerjap tak percaya, "Apa kau mabuk?" "Aku sangat sadar dan aku ingin kalian menikah malam ini juga " Bisik-bisik tamu lain jelas menjadi riuh. Kalista tersenyum kesal," Jihan, sadarlah dengan apa yang kau katakan. Ini sama sekali tidak lucu. Kau sedang membuat prank atau ingin membuatku dihujat?" "Kalista, dengarkan aku. Kau hanya perlu menyetujuinya. Kau tidak perlu memikirkan hal lainnya. Ibumu sudah setuju dengan pernikahan ini. Mas Bian juga." Kalista semakin syok sekarang. Ibunya setuju? Astaga! Permainan apa sebenarnya yang sedang dimainkan Jihan? Kalista melepas gandengan Jihan dan segera keluar dari area pesta. Sialnya, Kalista malah berpapasan dengan Bian yang sedang menatapnya tak ramah. "Kalista, aku mohon!" Jihan menyusul Kalista dan menarik lengannya. "Jihan, stop it! Jangan mengatakan hal konyol lagi padaku." Kalista menepis pegangan tangan Jihan. "Kal, please. Tolong, aku! Hanya kau yang bisa ku percaya untuk mendampingi Mas Bian." Jihan memohon dengan sangat. "Sudah ku katakan, Sayang, untuk tidak mengusulkan hal seperti ini. Jangan mempermainkan pernikahan kita. Apalagi ini malam peringatan ulang tahun pernikahan kita." Bian pun menolak usul gila dari Jihan. Bian tidak mengerti jalan pikiran istrinya tersebut. "Aku tidak peduli kau mandul atau apa. Kita bisa mengadopsi anak, Sayang. Please, jangan menyuruhku mendua." Kalista yang mendengarnya seketika terhenyak. Jihan mandul? Kalista baru tahu fakta itu, karena Jihan tidak pernah cerita. Namun meskipun begitu, bukan berarti Kalista ikhlas saja dinikahkan dengan suaminya. "Tidak, Mas. Kau harus memiliki anak hasil dari darah dagingmu sendiri. Dan aku sudah memilihkan calon ibu yang paling ku percaya dan paling baik dari yang terbaik yang pernah ku kenal." "Jihan, jangan! Aku tidak bisa. Kau sadarlah! Kau sudah tahu kan kalau aku sudah memutuskan untuk sendiri sampai mati. Aku tidak akan menikah dengan siapa-siapa apalagi memiliki anak. Sorry, Han. Aku tidak bisa." Kalista mencoba mengingatkan Jihan tentang keputusannya yang pernah ia ceritakan sebelumnya. "Kalista, Mas Bian. Kalian menyayangiku, kan?" "Tentu, Han." "Tentu, Sayang." Bian dan Kalista menyahut hampir bersamaan. Kalau begitu tolong menikah. Kalian menikah malam ini. Kalian berdua adalah orang yang paling aku percaya di dunia. Hormati keputusan yang ku buat dengan sangat berat ini." "Tidak bisa, Jihan," ucap Kalista mantap. Bian semakin gusar dan terus memohon agar Jihan berhenti mengusulkan hal konyol tersebut. "Kalau kalian menolak, aku akan mengakhiri hidupku malam ini." Jihan melangkah ke tepi balkon dan nekat memanjat pagar. "Jihan!" teriak Kalista dan Bian bersamaan. Jihan nekat melompat dan untung saja reflek Bian dengan cekatan berhasil menangkap tangan istrinya. Kalista dan Bian tahu kalau Jihan tak bisa dibantah, maka keduanya sontak menarik Jihan bersamaan dan mengiyakan pernikahan dengan sangat berat hati.Pernikahan terjadi dengan singkat. Malam itu juga, Kalista sah menjadi istrinya Bian. Kalista mencari-cari raut sesal di wajah Jihan. Tidak ada. Apa seikhlas itu Jihan menyerahkan Kalista untuk menjadi madunya?Kalista masih tidak mengerti. Semuanya terjadi seperti kilat. Yang menjadi saksi pernikahannya dengan Bian adalah supir dan satpamnya Bian.Kehadiran ibunya yang tiba-tiba di rumah Jihan pun menimbulkan tanda tanya lain bagi Kalista. Jadilah setelah pernikahan itu terjadi, Kalista ingin menanyai ibunya mengenai ada pembicaraan apa antara ibunya tersebut dengan Jihan sebelum ini."Mengapa ibu menerima permintaan Jihan?" tanya Kalista yang harus menggandeng ibunya ke sisi rumah Jihan yang tidak ada orang. "Terpaksa, Nak. Jihan berjanji akan melunasi hutang-hutang ibu. Lagipula kau hanya perlu hamil lalu melahirkan. Apa susahnya?""Ya, Tuhan, Bu. Jadi ibu menjualku? Menjual rahimku? Ibu sadar tidak dengan perbuatan ibu? Ibu tahu sendiri kalau melahirkan Vano waktu itu saja, aku n
Kalista bangun subuh-subuh untuk pulang ke rumah ibunya. Dia baru ingat jika tidak membawa seragam kerja untuk mengajar. Ketika dia menuruni tangga, Jihan memergokinya."Kalista, mengapa berjalan mengendap-ngendap? Mau kemana subuh-subuh begini?""Aku ingin pulang. Hari ini aku bekerja dan lupa membawa baju dinas," jawab Kalista jujur."Hari ini hari sabtu, bukan? Biasanya mengajar pakai baju apa?""Ada baju batik khusus yang dikenakan "Tidak bisa baju batik yang lain? Kalau bisa, aku punya, kok."Jihan terlihat keberatan mengizinkan Kalista untuk pulang."Tidak bisa, Han. Kami harus memakai baju batik yang seragam."Helaan napas Jihan terdengar lumayan berat, kemudian seperti terpaksa untuk tersenyum lebar."Aku akan suruh supir mengantarmu.""Tidak usah. Aku akan pesan ojek online saja.""Tidak bisa, Kal. Kau sekarang istrinya Bian. Jadi kau berhak menggunakan semua fasilitas dan pelayanan di rumah ini."Kalista tidak membantah kali ini. Nada suara Jihan terdengar berbeda. Tampak le
Kalista akhirnya sampai ke sekolah. Sebelumnya, Kalista sampai kerepotan saat diinterogasi macam-macam oleh ibunya. Bahkan sampai membuat Kalista risih, karena ibunya mengungkit-ngungkit malam pertama.Kalista jadi ingat perkataan ketus dari Bian yang ditujukan padanya. Jelas sekali lelaki itu sangat tidak menyukainya. Namun Kalista bisa memahami posisi Bian. Kalista bisa melihat cinta yang tulus dari sorot mata Bian kepada Jihan. Bian selalu bertindak ingin melindungi dan membahagiakan Jihan. Kalista bisa merasakan itu.Bian juga tipe suami yang tidak menuntut ini itu pada istri. Buktinya, Bian terlihat baik-baik saja saat mengetahui keadaan Jihan yang mengaku mandul. Untuk seseorang yang penyayang seperti Bian, tentu dipaksa menikah lagi adalah hal yang terlalu berat untuk dilakukan.Kalista pribadi pun juga ingin berbicara dari hati ke hati dengan Jihan. Sepulang mengajar nanti, Kalista akan menemui Jihan. Kalista masih merasa bila semua yang terjadi sekarang adalah salah. Namun J
VALLENT("Seru juga ternyata berdiskusi begini dengan Purplelloide. Ku kira kau orangnya tidak asyik dan doyan marah-marah saja. Hehe.")KALISTA("Jangan menilai orang lain terburu-buru. Apalagi dengan orang yang kau temui di dunia online.")VALLENT("Sip. Haha. Ngomong-ngomong, foto profilku muncul tidak di situ?")KALISTA("lya, ada. Kata-kata.")VALLENT("Eh, masa? Harusnya gambar balon udara.")KALISTA("Tidak, kok. Kata-kata romantis.")VALLENT("Apa kata-katanya?")KALISTA("Can i call you jasmine without jas?")VALLENT("Boleh.")KALISTA("Apa kau mengerjaiku?")VALLENT("Sorry. Hehe. Sepertinya foto profil balon udaraku masih loading.")KALISTA("Berubah lagi foto profilmu. Tulisan lagi.)VALLENT("Tulisan apa?")KALISTA("Sayang.")VALLENT("Apa sayang?")KALISTA("Val, please d
"Mampir ke sini, Mas!"Jihan berbelok ke sebuah butik. Kesempatan itu digunakan Kalista untuk melepaskan pegangan tangannya dengan Bian.Bian tampak tak peduli dengan gandengannya yang terlepas. Toh, ia langsung mengekori Jihan kemana-mana! Kalista memilih untuk pergi ke arah lain, tapi masih di dalam area butik.Kalista iseng melihat-lihat pakaian bermerk yang ada di sana. Harganya membuat Kalista menganga. Namun Kalista yakin, harga yang tertera sesuai dengan kualitas pakaiannya. Di mata Kalista, pakaian yang dijual sangat cantik. Kalista jadi teringat ketika Nevan berniat membelikannya baju di butik tersebut ketika dirinya belum hamil Vano.Kalista sudah sangat senang kala itu, karena diajak jalan-jalan sekalian membeli baju. Namun ketika Kalista sudah memilih satu baju yang ia mau, ibu mertuanya menelepon Nevan.Beliau melarang Nevan membelikan Kalista macam-macam dengan alasan nanti manja. Lebih baik uangnya ditabung untuk
Gegabah bila Kalista langsung menyerahkan diri pada Bian. Meski mereka berstatus suami istri, tetap saja bagi Kalista, mereka belum bisa melakukannya. Kalista cepat mengerti situasi. Otaknya mengambil kesimpulan yang tepat sasaran.Dirinya juga mulai merasakan apa yang dirasakan Bian."Kalista, help me." Bian memohon. Lelaki itu melangkah tertatih, tapi sangat terburu-buru akibat hasrat yang harus ia tuntaskan.Kalista menggeleng. Tidak bisa. Pasti minuman Jihan barusan ada obat perangsangnya."Tuan, sadarlah. Kendalikan dirimu.""Tidak bisa, Kal. Bantu aku sekarang."Kalista memikirkan solusi lain. la tidak bisa melakukannya dengan Bian. Dengan cepat, Kalista kembali membuka pintu kamarnya. Kalista akan mempersilakan Bian untuk pergi ke kamarnya yang lain, dimana di sana ada perempuan yang sangat dicintai Bian.Namun ternyata pintu kamar tidak bisa dibuka. Ah, sial! Pasti Jihan mengunci mer
"Mas Bian, kenapa mukanya gusar? Mas bertengkar dengan Kalista?"Bian melepas dasinya sedikit kasar dan membanting tubuh lelahnya ke sofa."Aku boleh bertanya tentang pernikahan Kalista sebelumnya, Sayang?"Jihan tercenung beberapa detik,"Emm, Mas, sepertinya yang punya hak bercerita adalah Kalista. Mas bertanya langsung saja padanya."Andai Jihan tahu, bila Bian ingin menanyai Kalista sejak di jalan tadi. Tapi entah mengapa Bian merasa tidak nyaman. Apalagi jelas terlihat bila wanita itu menahan tangis. Bian hanya tidak terima mendengar perkataan wanita paruh baya yang belakangan ia ketahui adalah mantan mertua Kalista. Bagaimana bisa orang itu mengatakan sesuatu yang tidak berdasar?"Mas, aku punya kejutan."Bian beralih menatap Jihan penasaran. Istrinya tersenyum lebar dan antusias. Mau tak mau senyumannya menular pada Bian."Sabtu malam, kita menginap di hotel."Seperti angin segar, seket
"Sayangku."Kalista sangat merindukan panggilan tersebut dari laki-laki yang berpapasan dengannya ini. Netra Kalista tak mampu beralih ke arah lain saat sosok yang masih dikasihi Kalista tersebut menghampirinya dan langsung memeluknya erat."Cantiknya Nevan sedang apa di sini? Ah, pasti karena kita punya ikatan emosional yang kuat. Makanya kita bisa mengetahui keberadaan satu sama lain di sini." Nevan menangkup kedua pipi tirus Kalista.Kalista bisa mencium bau alkohol dari mulut Nevan. Senyum Nevan masih sama seperti dalam ingatannya. Rambutnya mulai memanjang. Kumis tipis dan janggutnya seperti sengaja dibiarkan tumbuh. Ingin sekali rasanya Kalista membalas pelukan sang mantan suami."Aku memesan kamar di sini. Ingin bermalam bersama sembari bernostalgia mengenang kisah cinta kita ?"Manis sekali setiap kalimat yang terlontar dari bibir Nevan. Kalista hampir terlena lagi dan jatuh untuk kesekian kali. Pertahanan dirinya suka porak poranda bila berhadapan dengan Nevan."Ayo, Sayang!"
Semua orang berkumpul di tempat itu. Berbagai hidangan lezat tersaji dan semuanya tinggal pilih. Para pelayan berkeliling menawarkan minuman kepada tamu undangan. Ruangan yang biasanya berisi perabotan rumah sekarang disulap menjadi tempat pesta mewah ulang tahun peringatan pernikahan yang ke dua puluh. Sang raja dan ratu pesta sedang bergandengan mesra menyapa para tamu. Keduanya tersenyum lebar, berbicara ramah kepada semua orang yang menyapa. Dari aura keduanya, terpancar bahagia yang membuat semua orang iri. Mereka dinilai pasangan paling bahagia sekarang. Meski banyak diterpa cobaan, akhirnya mereka berhasil melewati cobaan itu bersama. Ketika keduanya sama-sama ikhlas, akhirnya mereka menemukan kelegaan dan bisa bersama sampai detik ini. "Bian, Jihan! Selamat, ya!" Kalista langsung menghambur ke pelukan Jihan. Liam dan Bian pun sudah memiliki obrolannya sendiri. Sedangkan Jihan dan Kalista malah bernostalgia ke masa lalu. "Kal,
"Drew, kata tante Kalista, kau mendaftar les di ruang teacher, ya?" tanya Namira yang saat itu sedang menikmati salad buah di kantin sekolah. Drew menutup bukunya dan kini melipat tangannya sebelum mengangguk, menjawab pertanyaan gadis berambut panjang di hadapannya. "Kalau begitu, aku nanti mendaftar les di sana juga, ah! Pasti ayah mengizinkan kalau ada kaunya." Namira mendorong salad buahnya untuk lebih menghadap Drew. Drew menggeleng karena ia tidak begitu suka salad buah. Chicken teriyaki pesanannya belum tiba sama sekali. "Mengapa ayahmu sangat percaya aku? Kalau aku tiba-tiba berbuat jahat padamu, bagaimana?" Drew mengatakannya dengan begitu ketus. Namun, Namira tidak terlihat sakit hati karena Namira setiap hari meladeni sikap Drew yang demikian. "Maka Kak Vano akan menghantuimu dan membalaskan dendamku," jawab Namira sambil mengendikkan bahu. "Kau pikir Kak Vano mati penasaran? Gentanyangan? Jangan bercanda," tegur
"Tante Kalista, Drew tadi di sekolah merokok dengan Angkasa!" "Heh?! Dasar tukang adu!" Gadis yang masih mengenakan seragam SMA-nya tersebut menjulurkan lidahnya pada Drew yang baru saja melepaskan sepatunya sehabis pulang sekolah. Gadis tersebut langsung berlari pergi ke rumahnya sendiri. Kalista yang tadinya menyambut kedatangan putranya dengan berdiri beberapa meter darinya, seketika berkacak pinggang dan menatap tajam pada Drew. "Bunda, jangan percaya Namira!" Drew tidak akan sanggup lagi kalau harus dihukum oleh bundanya. Kakinya masih pegal sampai sekarang, setelah kemarin, Kalista memukul kakinya dengan sapu lidi. Ya. Bundanya memang tidak menerapkan parenting modern. Berbeda dengan Papa Liam dan Mama Jihannya yang selalu memilih jalan diskusi sebagai penyelesaian masalah. Bahkan ketika Drew meminta tolong pada sang ayah, beliau cenderung berpikir agar menurut saja dengan bundanya dengan alasan agar hidup aman sentosa.
"Val!""Sayang!""Vallent!"Kalista berdecak kesal karena suaminya dipanggil-panggil tidak ada sahutan. "Liam Benedicta! Kau dimana?!" Kalista menggerutu. Liam tidak ada kelihatan batang hidungnya sama sekali. Maka, Kalista pun dengan tertatih turun dari tempat tidur. Ketika tungkainya menginjak permukaan lantai dan ia mencoba berdiri, Kalista nyaris terseok. Untung saja ia memegangi header ranjang untuk menstabilkan kedua kakinya terlebih dahulu. Setelah ia tegak berdiri, barulah Kalista mencoba berjalan, meski harus meringis kesakitan akibat ibadah sucinya dengan Liam. "Sayang, kau mau kemana?" tanya Liam yang baru muncul dengan badan penuh keringat. Sepertinya Liam baru pulang dari lari pagi di sekitar pantai. Liam juga hanya mengenakan kaos tanpa lengan agak ketat dan celana pendek longgarnya. Liam langsung menghampiri Kalista dan memapahnya yang terlihat kesulitan berjalan. "Sakit sekali ya, Sayang?" tanya Liam yang malah membuat Kalista ingin mencubit hidung sang suami. "
Jihan sadar jika yang ia lakukan sekarang bukan mimpi.Napasnya dan Bian terengah. Jihan malu bukan main karena bisa-bisanya berpikir kalau ia hanya di dalam mimpi. Tanpa menunggu lagi, Jihan pun dengan cepat turun dari tempat tidur tanpa menoleh ke arah Bian yang langsung kaget dengan perubahan sikap Jihan. Namun, karena terlalu terburu-buru, kaki Jihan tersandung sesuatu dan membuatnya mengaduh kesakitan. "Jihan, mana yang sakit?!" tanya Bian yang sudah sigap duduk bersimpuh di depan kaki Jihan. Bian meraih kaki yang diusap-usap oleh Jihan, kemudian sekali lagi bertanya, bagian mana yang sakit sambil mendongak ke atas untuk melihat ke wajah Jihan. Jihan langsung berjalan mundur dengan gugup sambil berusaha menutupi rasa malunya.Bian yang sadar kalau Jihan sekarang kembali takut, akhirnya lebih dulu mengucap maaf. "Maaf." Bian pun berdiri dan berbalik menjauhi Jihan. Bian berusaha membuka pintu kamarnya
Bian duduk menghadapi pekerjaannya kembali. Namun, pekerjaannya hanya teronggok begitu saja. Bian sedang mengatasi gejolak yang tiba-tiba membara di dalam dirinya. Bian malu kalau harus ketahuan Jihan bahwa ia sedang ingin sekarang. Tidak hanya rasa malu yang mencoba ditutupi Bian. Namun, juga ia tidak ingin kalau Jihan sampai salah paham terhadap dirinya. Apalagi Bian merasa kalau Jihan masih tidak terlalu nyaman berada di dekatnya. "Drew sudah tidur lagi, Mas," ucap Jihan yang membuat Bian sedikit gelagapan. Bian tersenyum kikuk dan mengangguk singkat. Hening kembali menerpa keduanya. Hanya terdengar suara hujan yang berisik di luar sana. Jihan pun memilih untuk duduk di tepi tempat tidur Bian yang menghadap box bayi Drew. Jihan memilih memandangi Drew sambil tersenyum hangat. Meski Drew bukan anak kandungnya, Jihan tetap merasa sangat bahagia ketika merawatnya. Jihan tidak menuntut apa-apa sama sekali selama membantu Kalista mengu
"Drewnya ketiduran sejak tadi. Maaf baru memberitahumu sekarang karena aku tidak tega menghentikan ceritamu."Jihan yang tadinya hanya ingin menghela napas sejenak, langsung urung melanjutkan dongeng yang dikarangnya secara ototidak. Syukurlah, Drew sudah tidur pikirnya. Baiklah. Sekarang saatnya kembali ke rumah Bian. Jihan pun berbalik arah dan diikuti Bian. Sepanjang perjalanan ketika menuju rumah utama adalah siksaan yang menyesakkan untuk mereka berdua. Karena Jihan yang tidak menyahut, makanya Bian juga jadi ragu untuk kembali membuka obrolan. Hingga mereka tiba di rumah utama, Jihan menyerahkan stroller kepada Bian karena Jihan ingin pamit. "Memangnya kau mau kemana?" "Pulang," jawab Jihan singkat. "Mengapa jadi pulang? Nanti kalau Drew rewel lagi bagaimana?" Bian terdengar seperti merengek. Antara memang khawatir kalau Drew menangis seperti tadi dan juga ia ingin sekalian modus. Ehem. "Kau ayahnya, bukan? Jadi kau harus bisa mengurusnya sendiri."Bian ingin protes. Namu
Sesuai persetujuan, Drew dibawa Bian ke kediamannya selama Liam dan Kalista berbulan madu. Bian yang sudah merasa menjadi ayah, tentu sangat yakin apabila ia bisa mengasuh Drew dengan baik. Ketika Drew dibawa ke rumah yang pasca perceraian Bian dan Jihan, jarang disinggahi sang tuan, kontan saja, kehadiran tuan besar dan tuan kecil disambut sangat antusias oleh para pekerja di rumah Bian. Bian juga sudah menyiapkan berbagai macam perlengkapan yang menunjang dirinya untuk mengasuh bayi berusia tiga bulan tersebut. Bian tersenyum-senyum sendiri melihat kamarnya yang semenjak menjadi duda, suasananya sepi. Sekarang dipenuhi perabotan lucu, seperti box tidur untuk Drew, gelantungan bintang bulan berkelap kelip yang diletakkan di atas box bayi Drew. Bahkan Bian juga membeli banyak mainan meski itu belum cukup usia untuk dimainkan oleh Drew. "Oke, Kal. Oke. Aku sudah mengerti caranya, bahkan bila Jihan tidak membantu pun, aku bisa. Apa kau ingat kalau aku rut
Selain Kalista yang berbahagia hari itu, Jihan pun demikian. Apalagi ketika ia diberi izin untuk menggendong Drew, nama yang sudah diberikan oleh Bian hari itu. Melisa sempat protes meski hanya berbisik pada Kalista apabila nama sang cucu susah disebut. Melisa padahal ingin menamai sang cucu dengan nama lokal saja. Namun, Melisa baru ingat jika pada cucunya mengalir darah seorang Bian Qais Liandra, yang tentunya kita semua tahu bahwa ia bukanlah pria sembarangan. Apalagi bila Melisa melihat Nicholas dan Margareth, dirinya saja seketika minder mendadak. Melisa juga mengingat kalau Kalista pernah menceritakan tentang seseorang yang disebut-sebut sebagai Kakek Aiden, yang katanya sebagai sosok yang membuat Bian bisa seperti sekarang. Jadi terima saja lah. Seorang Melisa bisa apa? Yang penting cucunya sehat, anaknya sehat, dan berharap tidak ada masalah lagi yang menimpa keluarga mereka. "Wajahnya tidak mirip Bian sama sekali," celetuk Margareth y