Share

DINIKAHKAN PAKSA DAN MALAM PERTAMA YANG KETUS

Pernikahan terjadi dengan singkat. Malam itu juga, Kalista sah menjadi istrinya Bian. Kalista mencari-cari raut sesal di wajah Jihan. Tidak ada. Apa seikhlas itu Jihan menyerahkan Kalista untuk menjadi madunya?

Kalista masih tidak mengerti. Semuanya terjadi seperti kilat. Yang menjadi saksi pernikahannya dengan Bian adalah supir dan satpamnya Bian.

Kehadiran ibunya yang tiba-tiba di rumah Jihan pun menimbulkan tanda tanya lain bagi Kalista. Jadilah setelah pernikahan itu terjadi, Kalista ingin menanyai ibunya mengenai ada pembicaraan apa antara ibunya tersebut dengan Jihan sebelum ini.

"Mengapa ibu menerima permintaan Jihan?" tanya Kalista yang harus menggandeng ibunya ke sisi rumah Jihan yang tidak ada orang.

"Terpaksa, Nak. Jihan berjanji akan melunasi hutang-hutang ibu. Lagipula kau hanya perlu hamil lalu melahirkan. Apa susahnya?"

"Ya, Tuhan, Bu. Jadi ibu menjualku? Menjual rahimku? Ibu sadar tidak dengan perbuatan ibu? Ibu tahu sendiri kalau melahirkan Vano waktu itu saja, aku nyaris mati sampai harus dilarikan ke meja operasi. Dan sekarang ibu ingin aku hamil dan melahirkan lagi?" Kalista menggeleng tak percaya.

Padahal ibunya juga seorang perempuan. Tentu tahu bagaimana sulitnya hamil dan melahirkan dikala trauma Kalista masih belum sembuh total.

Paling tidak sebagai seorang ibu, Melisa harusnya paham jika putrinya masih memiliki hak untuk menentukan masa depannya sendiri.

"Itu trauma paling besar dalam hidupku, Bu. Bahkan aku berulang kali mengatakan pada ibu jika memiliki Vano saja sudah cukup. Aku tidak ingin lagi punya anak."

Kalista tidak akan bisa menggantikan posisi Vano dengan cara seperti sekarang.

"Tolong ibu. Kita sedang terdesak, Kalista! Jangan sok idealis. Kita butuh uang banyak untuk bayar utang dan biaya kuliah adikmu. Balas budi sedikit, kenapa, sih? Gaji honorermu mana bisa mencukupi semua kebutuhan kita? Berpikirlah realistis. Kau juga akan hidup enak selama menjadi istrinya Bian."

Kalista terdiam. Meski dirinya memiliki seribu sanggahan untuk perkataan ibunya yang salah itu, Kalista tidak sanggup melontarkan satupun. Dirinya sangat sadar diri, jika memang tak bisa membantu ibunya keluar dari jeratan utang.

"Bu, please! Bahkan luka bekas sesarku saja masih terasa nyeri sewaktu-waktu. Dokter juga mengatakan bila aku tidak boleh hamil dulu dalam kurun waktu lima tahun."

Kalista hanya bisa menyanggah dengan alasan demikian.

"Banyak teman-teman kita yang bisa hamil sebelum lima tahun. Mereka juga melewati operasi sesar sepertimu."

Ya. Kalista cukup paham jadinya. Uang akan membuat siapa saja berubah. Termasuk ibu kandungnya sendiri.

"Tapi lebih baik ibu menjualku kepada seorang duda, daripada suaminya sahabatku."

Jihan muncul di tengah-tengah perdebatan Melisa dan Kalista. Sikapnya tampak santai dan tidak segusar Kalista.

Jihan menghampiri Melisa dan tersenyum ramah seperti biasa. Jihan mengucapkan terima kasih dan memberitahu jika supir sudah menunggu Melisa untuk mengantar pulang. Tak lupa Jihan mengantar Melisa sampai ke depan. Kalista mengekor di belakang mereka.

Kalista juga harus pulang. Ini sudah malam. Besok, Kalista akan mengajak Jihan bicara serius mengenai semua ini.

"Kal, mau kemana?" tanya Jihan heran.

"Pulang," jawab Kalista singkat.

Jihan tersenyum dan meraih tangan Kalista.

"Kau tinggal di sini mulai malam ini. Besok kita angkut semua barangmu. Bajumu sudah tersedia untuk malam pertama."

Kalista menganga. la mendengar suara ibunya yang berpamitan. Jihan melambaikan tangan pada Melisa di dalam mobil.

Setelahnya, Kalista digandeng masuk dengan pasrah. Jihan menutup pintu besar berukir indah di hadapannya.

"Yuk, aku tunjukkan kamarmu!" Masih dengan nada yang begitu ramah khas Jihan.

Kalista mengikuti Jihan hingga sebuah pintu terbuka menampilkan sebuah kamar bernuansa putih berpadu ungu yang sangat cantik.

"Tara! Bagaimana? Kau pasti suka kamarnya, kan?" Jihan merentangkan kedua tangannya dengan begitu sumringah, seolah-olah kejutannya kala itu akan disambut haru dan pelukan kegirangan oleh Kalista.

"Han, ini berlebihan. Kita bisa bicara sekarang?"

Jihan meletakan telunjuknya pada bibir Kalista. Kalista cuma bisa membeku kaget dengan sikap Jihan yang mengagetkan tersebut.

"Nanti kita akan bicara, tapi tidak sekarang. Lebih baik kau mandi dan ganti baju." Jihan berjalan ke arah walk in closet diikuti Kalista.

"Nah, ini semua milikmu mulai sekarang! Kalau ada yang kurang, katakan saja padaku."

Kalista ingin protes, tapi pasti reaksi Jihan seperti tadi. Jadi, Kalista simpan dulu segala unek-unek dan daftar pertanyaannya untuk besok.

"Kal, semoga kau senang di sini, ya?"

Kalista tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Bahkan Kalista tidak bisa menjabarkan suasana hatinya sekarang. Jihan yang tetap ramah seolah-olah sedang tidak baru saja membagi suaminya secara ikhlas.

"Aku keluar dulu. Good night."

Beberapa menit kemudian, Kalista selesai mandi dan berpakaian. Bahkan Jihan juga menyiapkan skincare merk yang sama dengan yang dipakai Kalista di rumah.

Kalista ingin menaiki tempat tidur, tapi ragu ketika melihat taburan bunga di atasnya. Namun, Kalista seolah tidak ambil pusing. la tarik selimutnya dengan kencang sampai taburan bunga berjatuhan ke lantai. Kalista pun naik ke tempat tidur dan menjadikan satu bantal sebagai guling, karena dirinya tidak bisa tidur nyenyak bila tidak memeluk sesuatu.

Kalista menyentuh cincin di jari manisnya yang sempat kosong selama satu tahun. Di pernikahan pertamanya yang gagal, Kalista total melepas cincinnya setengah bulan sebelum perceraian atas dasar sakit hati pada mantan suami.

Sekarang rasanya aneh ketika di jari manisnya kembali tersemat sebuah cincin yang satu jam lalu dipakaikan oleh Bian. Namun seberapa keras Kalista memikirkan, tetap saja rasanya tidak benar. Bagaimana bisa Jihan memiliki ide untuk menikahkan suaminya sendiri dengan dirinya?

Dan fakta mengejutkan jika Jihan mandul adalah sesuatu yang baru diketahui oleh Kalista. Namun sudahkah Jihan berpikir matang-matang bila keputusannya ini benar?

Tidak. Kalista tetap tidak merasa ini benar. Ini total salah. Bahkan gara-gara keputusan sepihak dari Jihan, dirinya harus berseteru dengan sang ibu.

Pintu terbuka tiba-tiba, membuyarkan lamunan Kalista. Kalista melihat Bian masuk ke kamar dengan ekspresi yang tidak ramah.

"Untuk apa Bian di sini?" pikir Kalista.

"Kau jangan terlalu percaya diri bila malam ini akan terjadi penyatuan diantara kita. Aku tidak akan menyentuhmu sama sekali."

Kalista terhenyak mendengar nada ketus dari Bian. Sebenarnya Kalista juga tidak pernah membayangkan akan melalui malam pertama romantis bersama Bian. Justru kepalanya sekarang dipenuhi segala unek-unek dan pertanyaan untuk Jihan. Kalista tidak ada memikirkan Bian sama sekali. Apalagi berharap tidur bersama. Kalista juga tidak berminat.

Lantas karena Kalista sudah mencium adanya ketidakramahan di segala bahasa tubuh Bian, wanita itu langsung turun dari tempat tidur dengan membawa satu bantal yang tadi ia peluk. Terpaksa, Kalista berinisiatif sendiri untuk tidur di lantai.

Kalista berjalan ke arah lemari dan merasa lega ketika menemukan satu buah selimut. Kalista pun mengambil selimut tersebut dan mengamparnya di lantai.

Bian menyaksikan itu semua dengan terheran-heran. Namun ketika melihat Kalista membungkus dirinya seperti ulat di dalam kepompong, Bian pun membuang muka.

"Baguslah kalau kau sadar diri jika kau memang tidak akan bisa menggantikan Jihan sebagai nyonya di rumah ini." Bian mematikan lampu kamar. Yang tersisa hanya pencahayaan samar dari lampu tidur yang otomatis menyala saat gelap.

Bian pun terlelap di tempat tidur empuk dan hangat. Kalista berbaring membelakangi tempat tidur. Sepertinya akibat keputusan Jihan, Bian jadi salah paham dengan dirinya. Padahal Bian selama ini tidak pernah kasar padanya meskipun Kalista dan Bian memang tidak akrab dan tidak dekat sama sekali. Mereka cuma bertemu ketika Jihan diantar jemput oleh Bian. Itupun hanya sebatas melempar senyum tipis.

Kalista mencoba untuk mengenyahkan benang kusut di kepalanya untuk sementara. Lebih baik ia kembali menulis chapter baru untuk novel onlinenya. Pelarian yang bagus di saat suntuk daripada terus terjebak pening memikirkan hidupnya yang jungkir balik dalam semalam.

Namun tiba-tiba saja, Kalista teringat dengan Vallent. Ah, entah mengapa sekarang dunia pelariannya dan real lifenya sama-sama membuat resah?

Kalista yang penasaran, kembali kepo dengan kolom komentarnya.

"What the flower?!" Kalista membekap mulutnya sendiri. la sampai lupa kalau dirinya sedang tidak di kamarnya.

Vallent semakin menjadi mengkritiknya. Bab terbaru yang ia update tadi siang juga tak luput dari jari pedasnya. Parahnya lagi, banyak pendukung Vallent ikut-ikutan menyetujui pendapat Vallent.

("Tokoh utamanya pintar nyerempet bego. Katanya jenius, tapi tidak peka dengan tanda-tanda red flag pasangannya. Bukannya dirinya diceritakan paling realistis dari semua tokoh bucin di sini? Oh, apa authornya ingin memberitahu jika Nia sudah ikut arus bulol? Perempuan begini, ya? Atau jangan-jangan ini cerita real authornya. Melas sekali, thor. Mending pacaran sama saya saja. Hehe.")

Jari lincah Kalista segera menari di atas keyword untuk mengomel pada Vallent. Namun, Kalista memilih untuk menyerangnya lewat fitur pesan seperti biasa.

"Heh?! Ini sudah malam. Waktunya tidur. Bukannya bermain ponsel. Cahayanya menggangguku."

Kalista tersentak. Dikiranya, Bian sudah tidur. Nyatanya lelaki itu memperhatikan Kalista. Karena Kalista sadar diri, ia pun mematikan ponselnya setelah mengirim pesan balasan pada Vallent.

Kalista berusaha memejamkan kedua matanya dan berharap segera tidur.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status