"Apa kau tidak tahu table manner? Kalau kau jadi istriku, wajib tahu table manner."
Kalista tidak peduli. la meneruskan mengoyak daging lezat di tangannya dengan giginya tanpa peduli dirinya sekarang terlihat seperti pemangsa di hutan rimba.Lagipula situasinya bukan sedang dalam jamuan makan resmi. Untuk apa menggunakan table manner? Ada-ada saja Bian.Bian menganga dan akhirnya pasrah membiarkan Kalista hingga kenyang. Kalista langsung mencuci tangan dan ke kamar mandi."Kau mandi sesubuh ini? Serius?!" Bian setengah berteriak, tapi Kalista tentu tidak bisa menyahut akibat shower yang menyala."Astaga, apa dia tidak kedinginan? Lagipula mandi sesudah makan, itu kebiasaan yang tidak sehat," gumam Bian sembari menepikan troli makanan lalu kembali ke tempat tidur dengan selimut hampir membungkus seluruh tubuh.Sepuluh menit kemudian, Kalista keluar dari kamar mandi dengan bathrobe putihnya. Kalista membongkar kopernya untuk berpaKalista meringis menahan perih ketika Bian menotolkan obat luka dan menutupnya dengan plester di telunjuk Kalista.Tak lupa Bian juga meniupnya sebelum menempelkan plester. Hal itu membuat Kalista bergidik ngeri. Menurutnya lebay sekali. Untuk apa ditiup-tiup seperti adegan drama korea yang pernah ia tonton?"Heh, kau ini! Harusnya berterima kasih, karena aku mau mengobatimu.""Iya, terima kasih," ucap Kalista tegas,"harusnya pakai minyak kayu putih saja.""Jangan ngawur! Bagaimana bisa luka diobati dengan minyak kayu putih? Apa tidak tambah perih?""Tapi cepat sembuh, kok."Bian berdecak. Ada-ada saja pikirnya."Ya sudah. Kau ingin mandi dulu untuk bilas? Tanganmu dibungkus saja dulu agar plesternya tidak basah."Kalista merasa Bian tidak perlu memberitahu hal itu. Tanpa diberitahu pun, Kalista akan melakukannya. ***"Kata Pak Reza, kau tidak menem
Atmosfer disekitar Bian dan Kalista berubah panas seiring pengecap keduanya yang membelit tak berhenti. Tatapan keduanya terpaku satu sama lain.Bian tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Begitu pula Kalista.Ketika tautan pengecap terlepas. Keduanya masih bertatapan. Tampak jelas netra keduanya ditutupi kabut hasrat. Mereka masih ingin menyatu sampai lega.Bian kembali mengecup panjang Kalista dan pembalasan yang dilakukan Kalista membuat desiran panas menggelegak di sekujur raganya. "Jihan tidak sepandai ini," pikir Bian.Bian suka. Bian suka saat Kalista memporak-porandakan rongga mulutnya. Penyatuan bibir mereka sampai membuat Bian dan Kalista saling menindih satu sama lain dan berguling di tempat tidur yang seprainya mulai berantakan.Jangan lupakan tangan mereka yang menyentuh satu sama lain. Bian tidak pernah merasakan sensasi demikian. Ketika melakukannya bersama Jihan, selalu Bian yang beraktivitas segalanya. Ist
Kalista tidak seberani itu sebenarnya untuk kembali membahas peristiwa malam tadi. Namun Bian pun mengangguk dua kali tanpa menoleh. Kalista tersenyum hambar, merasa bersalah besar pada Jihan. Jihan banyak membantunya. Dia rela merogoh kocek yang tidak sedikit untuk ibu Kalista. Bahkan sampai merencanakan bulan madu yang harusnya romantis ini."Sebenarnya tidak masalah bila Jihan tahu ini, karena memang ini yang ia inginkan. Hanya saja kita tidak bisa menyakiti Jihan. Yang kita lakukan juga bukan dosa, karena kita berada di bawah pernikahan yang sah."Perjalanan pagi ini tidak begitu dinikmati Kalista. Padahal cuacanya hangat dan bersahabat. "Maafkan aku atas kejadian malam tadi. Harusnya aku bisa menggaulimu dengan jalan yang lebih baik. Bukan akibat pengaruh obat perangsang."Kalista menoleh penasaran pada Bian."Ya. Ada obat perangsangnya di makan malam kita. Jihan yang memerintahkan."Kalista tidak habis pikir bila Jihan mampu melakukannya meski dalam jarak yang jauh.Ting!Kalis
Bian menyusuri garis pantai dengan kedua tangan berada di saku celana pantainya. Kalista di belakangnya mulai pegal akibat mengekori Bian sejak lebih dari lima belas menit yang lalu."Mas, sampai kapan kita jalan kaki begini?"Bian menoleh dengan bibir terangkat di satu sisi. Hembusan angin membuat rambut gelapnya berantakan. Kalista juga sibuk menyibak surainya yang menghalangi pandangan."Cuma mencari yang tidak banyak orang. Mau healing seperti anak-anak muda zaman sekarang."Entah Kalista saja yang merasa, tapi tampaknya Bian sedang dalam suasana hati yang bagus. Mungkin karena dirinya sedang ada di pantai. Pantai memang mampu menghapus rasa lelah dan membuat kita lupa sejenak akan permasalahan hidup."Kau kapan terakhir kali ke pantai?"Meski Kalista heran, mengapa tiba-tiba Bian bertanya, namun Kalista tetap menjawabnya."Entah. Lupa. Sibuk mencari cuan melulu. Sampai lupa healing ke pantai. Healingnya cuma sekadar
Bian terhenyak mendengarkan cerita Kalista. Wanita itu menangis di sampingnya. Bian bisa merasakan kehancuran hati Kalista saat mengenang putranya dan perlakuan mertuanya."Saat saya harus dioperasi sesar saja, ibunya Nevan menolak. Tapi dokter bersikeras kalau saya dan bayi saya tidak akan selamat jika tidak dioperasi segera. Ibunya Nevan menganggap saya beban dan manja. Membuang-buang duit, karena harus sesar. Padahal saya memakai BPJS mandiri. Ibunya Nevan beralasan kalau biaya bolak-balik ke rumah sakit mahal dan harus repot-repot belanja untuk makan, karena cuma saya yang dapat jatah makan dari rumah sakit."Bian pikir tipe mertua seperti itu hanya ada di opera sabun yang sering tayang di televisi saja. Nyatanya, Kalista pernah tinggal dengan mertua demikian selama lebih dari tiga tahun.Jujur, Bian geram dengan sikap mantan suaminya Kalista yang terkesan tidak tegas bersikap. Harusnya ia lebih memperhatikan kebutuhan istrinya. Bukan malah lebih condo
"Pulang, Mas. Ayah dan ibumu sudah tahu tentang Kalista. Maaf mendadak memberitahu soal ini. Mereka menuntut penjelasan. Aku sudah mencobanya sebisaku. Sepertinya mereka tidak terima. Lindungi Kalista ya, Mas?"Suara lembut Jihan mencubit hati Bian detik itu juga. Detik di mana Bian masih ditengah pergulatan panas dengan Kalista yang pasrah di bawah tubuhnya. Niat Jihan untuk memblokir nomor Bian lebih lama, jadi urung perkara kedatangan Margareth dan Nicholas ke rumahnya. Dengan cepat, mereka bersiap untuk pulang, langsung kembali ke negara asal.Kalista tidak diberi penjelasan, mengapa mereka harus pulang mendadak. Ekspresi Bian tampak serius. Keningnya berkerut tanda ia memikirkan sesuatu. Kalista tidak berani bertanya bahkan sekadar menegur.Namun Kalista tahu bila mereka pulang setelah Jihan menelepon Bian. Apa sebenarnya yang terjadi pada Jihan? Kalista penasaran, sementara Jihan tidak ada merespon pesan-pesan yang ia kirimkan sej
"Maksudnya kau menutupi bahwa dirimu mandul dari kami lalu memutuskan sendiri dengan membawa perempuan asing untuk meminjam rahimnya?""Saya tidak bermaksud menutupinya, Ayah. Saya akui bila saya terlambat memberitahu kalian tentang keadaan saya. Keputusan saya adalah satu-satunya cara yang paling mungkin ditempuh agar Mas Bian tetap bisa memiliki keturunan dari darah dagingnya sendiri. Dan satu lagi, Kalista bukan perempuan asing. Dia sahabatku. Seseorang yang sangat ku percayai melebihi Mas Bian."Hening menyergap atmosfir di sekeliling mereka. Nicholas dan Margareth masih tidak terima dengan berita poligami putra kebanggaan mereka ditambah kemandulan Jihan yang membuat mereka tampak tak berkutik.Saddam yang sedari tadi hanya diam menyaksikan bersama Liam, putranya, menertawakan tontonan menakjubkan tersebut di dalam hati. Pasti reputasi Bian akan tercoreng bila dirinya ketahuan memiliki istri simpanan. Apalagi dengan kemandulan istrinya, Sadd
Bukankah Jihan yang menginginkan itu semua? Namun mengapa Jihan merasakan sakit ketika Bian mengakuinya?Senyumannya begitu terpaksa. Lantas apalagi yang bisa Jihan lakukan di hadapan sang suami? Ia tidak ingin menunjukkan wajah muram dan masam kepada Bian. Jihan selalu menunjukkan keramahan dan kelembutannya di hadapan sang suami."Semoga Kalista cepat hamil ya, Mas? Aku rasanya sudah tidak sabar."Bian mengangguk. Ia tidak bisa jujur kalau Kalista meminum pil KB. Yang pasti Bian akan membantu pengobatan trauma Kalista terlebih dahulu. Jihan dan Bian pun menuju kamar. Bian hampir saja memejamkan kedua matanya saat Jihan menyeletuk tentang pesta perusahaan yang akan diadakan besok malam."Aku ingin mengajak Kalista. Dia harus belajar pergi ke acara seperti itu mulai sekarang.""Sayang, bukannya ayah dan ibuku meminta agar Kalista dirahasiakan?" ujar Bian."Cuma statusnya yang akan disembunyikan. Dia pasti pandai bersika
Semua orang berkumpul di tempat itu. Berbagai hidangan lezat tersaji dan semuanya tinggal pilih. Para pelayan berkeliling menawarkan minuman kepada tamu undangan. Ruangan yang biasanya berisi perabotan rumah sekarang disulap menjadi tempat pesta mewah ulang tahun peringatan pernikahan yang ke dua puluh. Sang raja dan ratu pesta sedang bergandengan mesra menyapa para tamu. Keduanya tersenyum lebar, berbicara ramah kepada semua orang yang menyapa. Dari aura keduanya, terpancar bahagia yang membuat semua orang iri. Mereka dinilai pasangan paling bahagia sekarang. Meski banyak diterpa cobaan, akhirnya mereka berhasil melewati cobaan itu bersama. Ketika keduanya sama-sama ikhlas, akhirnya mereka menemukan kelegaan dan bisa bersama sampai detik ini. "Bian, Jihan! Selamat, ya!" Kalista langsung menghambur ke pelukan Jihan. Liam dan Bian pun sudah memiliki obrolannya sendiri. Sedangkan Jihan dan Kalista malah bernostalgia ke masa lalu. "Kal,
"Drew, kata tante Kalista, kau mendaftar les di ruang teacher, ya?" tanya Namira yang saat itu sedang menikmati salad buah di kantin sekolah. Drew menutup bukunya dan kini melipat tangannya sebelum mengangguk, menjawab pertanyaan gadis berambut panjang di hadapannya. "Kalau begitu, aku nanti mendaftar les di sana juga, ah! Pasti ayah mengizinkan kalau ada kaunya." Namira mendorong salad buahnya untuk lebih menghadap Drew. Drew menggeleng karena ia tidak begitu suka salad buah. Chicken teriyaki pesanannya belum tiba sama sekali. "Mengapa ayahmu sangat percaya aku? Kalau aku tiba-tiba berbuat jahat padamu, bagaimana?" Drew mengatakannya dengan begitu ketus. Namun, Namira tidak terlihat sakit hati karena Namira setiap hari meladeni sikap Drew yang demikian. "Maka Kak Vano akan menghantuimu dan membalaskan dendamku," jawab Namira sambil mengendikkan bahu. "Kau pikir Kak Vano mati penasaran? Gentanyangan? Jangan bercanda," tegur
"Tante Kalista, Drew tadi di sekolah merokok dengan Angkasa!" "Heh?! Dasar tukang adu!" Gadis yang masih mengenakan seragam SMA-nya tersebut menjulurkan lidahnya pada Drew yang baru saja melepaskan sepatunya sehabis pulang sekolah. Gadis tersebut langsung berlari pergi ke rumahnya sendiri. Kalista yang tadinya menyambut kedatangan putranya dengan berdiri beberapa meter darinya, seketika berkacak pinggang dan menatap tajam pada Drew. "Bunda, jangan percaya Namira!" Drew tidak akan sanggup lagi kalau harus dihukum oleh bundanya. Kakinya masih pegal sampai sekarang, setelah kemarin, Kalista memukul kakinya dengan sapu lidi. Ya. Bundanya memang tidak menerapkan parenting modern. Berbeda dengan Papa Liam dan Mama Jihannya yang selalu memilih jalan diskusi sebagai penyelesaian masalah. Bahkan ketika Drew meminta tolong pada sang ayah, beliau cenderung berpikir agar menurut saja dengan bundanya dengan alasan agar hidup aman sentosa.
"Val!""Sayang!""Vallent!"Kalista berdecak kesal karena suaminya dipanggil-panggil tidak ada sahutan. "Liam Benedicta! Kau dimana?!" Kalista menggerutu. Liam tidak ada kelihatan batang hidungnya sama sekali. Maka, Kalista pun dengan tertatih turun dari tempat tidur. Ketika tungkainya menginjak permukaan lantai dan ia mencoba berdiri, Kalista nyaris terseok. Untung saja ia memegangi header ranjang untuk menstabilkan kedua kakinya terlebih dahulu. Setelah ia tegak berdiri, barulah Kalista mencoba berjalan, meski harus meringis kesakitan akibat ibadah sucinya dengan Liam. "Sayang, kau mau kemana?" tanya Liam yang baru muncul dengan badan penuh keringat. Sepertinya Liam baru pulang dari lari pagi di sekitar pantai. Liam juga hanya mengenakan kaos tanpa lengan agak ketat dan celana pendek longgarnya. Liam langsung menghampiri Kalista dan memapahnya yang terlihat kesulitan berjalan. "Sakit sekali ya, Sayang?" tanya Liam yang malah membuat Kalista ingin mencubit hidung sang suami. "
Jihan sadar jika yang ia lakukan sekarang bukan mimpi.Napasnya dan Bian terengah. Jihan malu bukan main karena bisa-bisanya berpikir kalau ia hanya di dalam mimpi. Tanpa menunggu lagi, Jihan pun dengan cepat turun dari tempat tidur tanpa menoleh ke arah Bian yang langsung kaget dengan perubahan sikap Jihan. Namun, karena terlalu terburu-buru, kaki Jihan tersandung sesuatu dan membuatnya mengaduh kesakitan. "Jihan, mana yang sakit?!" tanya Bian yang sudah sigap duduk bersimpuh di depan kaki Jihan. Bian meraih kaki yang diusap-usap oleh Jihan, kemudian sekali lagi bertanya, bagian mana yang sakit sambil mendongak ke atas untuk melihat ke wajah Jihan. Jihan langsung berjalan mundur dengan gugup sambil berusaha menutupi rasa malunya.Bian yang sadar kalau Jihan sekarang kembali takut, akhirnya lebih dulu mengucap maaf. "Maaf." Bian pun berdiri dan berbalik menjauhi Jihan. Bian berusaha membuka pintu kamarnya
Bian duduk menghadapi pekerjaannya kembali. Namun, pekerjaannya hanya teronggok begitu saja. Bian sedang mengatasi gejolak yang tiba-tiba membara di dalam dirinya. Bian malu kalau harus ketahuan Jihan bahwa ia sedang ingin sekarang. Tidak hanya rasa malu yang mencoba ditutupi Bian. Namun, juga ia tidak ingin kalau Jihan sampai salah paham terhadap dirinya. Apalagi Bian merasa kalau Jihan masih tidak terlalu nyaman berada di dekatnya. "Drew sudah tidur lagi, Mas," ucap Jihan yang membuat Bian sedikit gelagapan. Bian tersenyum kikuk dan mengangguk singkat. Hening kembali menerpa keduanya. Hanya terdengar suara hujan yang berisik di luar sana. Jihan pun memilih untuk duduk di tepi tempat tidur Bian yang menghadap box bayi Drew. Jihan memilih memandangi Drew sambil tersenyum hangat. Meski Drew bukan anak kandungnya, Jihan tetap merasa sangat bahagia ketika merawatnya. Jihan tidak menuntut apa-apa sama sekali selama membantu Kalista mengu
"Drewnya ketiduran sejak tadi. Maaf baru memberitahumu sekarang karena aku tidak tega menghentikan ceritamu."Jihan yang tadinya hanya ingin menghela napas sejenak, langsung urung melanjutkan dongeng yang dikarangnya secara ototidak. Syukurlah, Drew sudah tidur pikirnya. Baiklah. Sekarang saatnya kembali ke rumah Bian. Jihan pun berbalik arah dan diikuti Bian. Sepanjang perjalanan ketika menuju rumah utama adalah siksaan yang menyesakkan untuk mereka berdua. Karena Jihan yang tidak menyahut, makanya Bian juga jadi ragu untuk kembali membuka obrolan. Hingga mereka tiba di rumah utama, Jihan menyerahkan stroller kepada Bian karena Jihan ingin pamit. "Memangnya kau mau kemana?" "Pulang," jawab Jihan singkat. "Mengapa jadi pulang? Nanti kalau Drew rewel lagi bagaimana?" Bian terdengar seperti merengek. Antara memang khawatir kalau Drew menangis seperti tadi dan juga ia ingin sekalian modus. Ehem. "Kau ayahnya, bukan? Jadi kau harus bisa mengurusnya sendiri."Bian ingin protes. Namu
Sesuai persetujuan, Drew dibawa Bian ke kediamannya selama Liam dan Kalista berbulan madu. Bian yang sudah merasa menjadi ayah, tentu sangat yakin apabila ia bisa mengasuh Drew dengan baik. Ketika Drew dibawa ke rumah yang pasca perceraian Bian dan Jihan, jarang disinggahi sang tuan, kontan saja, kehadiran tuan besar dan tuan kecil disambut sangat antusias oleh para pekerja di rumah Bian. Bian juga sudah menyiapkan berbagai macam perlengkapan yang menunjang dirinya untuk mengasuh bayi berusia tiga bulan tersebut. Bian tersenyum-senyum sendiri melihat kamarnya yang semenjak menjadi duda, suasananya sepi. Sekarang dipenuhi perabotan lucu, seperti box tidur untuk Drew, gelantungan bintang bulan berkelap kelip yang diletakkan di atas box bayi Drew. Bahkan Bian juga membeli banyak mainan meski itu belum cukup usia untuk dimainkan oleh Drew. "Oke, Kal. Oke. Aku sudah mengerti caranya, bahkan bila Jihan tidak membantu pun, aku bisa. Apa kau ingat kalau aku rut
Selain Kalista yang berbahagia hari itu, Jihan pun demikian. Apalagi ketika ia diberi izin untuk menggendong Drew, nama yang sudah diberikan oleh Bian hari itu. Melisa sempat protes meski hanya berbisik pada Kalista apabila nama sang cucu susah disebut. Melisa padahal ingin menamai sang cucu dengan nama lokal saja. Namun, Melisa baru ingat jika pada cucunya mengalir darah seorang Bian Qais Liandra, yang tentunya kita semua tahu bahwa ia bukanlah pria sembarangan. Apalagi bila Melisa melihat Nicholas dan Margareth, dirinya saja seketika minder mendadak. Melisa juga mengingat kalau Kalista pernah menceritakan tentang seseorang yang disebut-sebut sebagai Kakek Aiden, yang katanya sebagai sosok yang membuat Bian bisa seperti sekarang. Jadi terima saja lah. Seorang Melisa bisa apa? Yang penting cucunya sehat, anaknya sehat, dan berharap tidak ada masalah lagi yang menimpa keluarga mereka. "Wajahnya tidak mirip Bian sama sekali," celetuk Margareth y