Kalista meringis menahan perih ketika Bian menotolkan obat luka dan menutupnya dengan plester di telunjuk Kalista.
Tak lupa Bian juga meniupnya sebelum menempelkan plester. Hal itu membuat Kalista bergidik ngeri.Menurutnya lebay sekali. Untuk apa ditiup-tiup seperti adegan drama korea yang pernah ia tonton?"Heh, kau ini! Harusnya berterima kasih, karena aku mau mengobatimu.""Iya, terima kasih," ucap Kalista tegas,"harusnya pakai minyak kayu putih saja.""Jangan ngawur! Bagaimana bisa luka diobati dengan minyak kayu putih? Apa tidak tambah perih?""Tapi cepat sembuh, kok."Bian berdecak. Ada-ada saja pikirnya."Ya sudah. Kau ingin mandi dulu untuk bilas? Tanganmu dibungkus saja dulu agar plesternya tidak basah."Kalista merasa Bian tidak perlu memberitahu hal itu. Tanpa diberitahu pun, Kalista akan melakukannya. ***"Kata Pak Reza, kau tidak menemAtmosfer disekitar Bian dan Kalista berubah panas seiring pengecap keduanya yang membelit tak berhenti. Tatapan keduanya terpaku satu sama lain.Bian tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Begitu pula Kalista.Ketika tautan pengecap terlepas. Keduanya masih bertatapan. Tampak jelas netra keduanya ditutupi kabut hasrat. Mereka masih ingin menyatu sampai lega.Bian kembali mengecup panjang Kalista dan pembalasan yang dilakukan Kalista membuat desiran panas menggelegak di sekujur raganya. "Jihan tidak sepandai ini," pikir Bian.Bian suka. Bian suka saat Kalista memporak-porandakan rongga mulutnya. Penyatuan bibir mereka sampai membuat Bian dan Kalista saling menindih satu sama lain dan berguling di tempat tidur yang seprainya mulai berantakan.Jangan lupakan tangan mereka yang menyentuh satu sama lain. Bian tidak pernah merasakan sensasi demikian. Ketika melakukannya bersama Jihan, selalu Bian yang beraktivitas segalanya. Ist
Kalista tidak seberani itu sebenarnya untuk kembali membahas peristiwa malam tadi. Namun Bian pun mengangguk dua kali tanpa menoleh. Kalista tersenyum hambar, merasa bersalah besar pada Jihan. Jihan banyak membantunya. Dia rela merogoh kocek yang tidak sedikit untuk ibu Kalista. Bahkan sampai merencanakan bulan madu yang harusnya romantis ini."Sebenarnya tidak masalah bila Jihan tahu ini, karena memang ini yang ia inginkan. Hanya saja kita tidak bisa menyakiti Jihan. Yang kita lakukan juga bukan dosa, karena kita berada di bawah pernikahan yang sah."Perjalanan pagi ini tidak begitu dinikmati Kalista. Padahal cuacanya hangat dan bersahabat. "Maafkan aku atas kejadian malam tadi. Harusnya aku bisa menggaulimu dengan jalan yang lebih baik. Bukan akibat pengaruh obat perangsang."Kalista menoleh penasaran pada Bian."Ya. Ada obat perangsangnya di makan malam kita. Jihan yang memerintahkan."Kalista tidak habis pikir bila Jihan mampu melakukannya meski dalam jarak yang jauh.Ting!Kalis
Bian menyusuri garis pantai dengan kedua tangan berada di saku celana pantainya. Kalista di belakangnya mulai pegal akibat mengekori Bian sejak lebih dari lima belas menit yang lalu."Mas, sampai kapan kita jalan kaki begini?"Bian menoleh dengan bibir terangkat di satu sisi. Hembusan angin membuat rambut gelapnya berantakan. Kalista juga sibuk menyibak surainya yang menghalangi pandangan."Cuma mencari yang tidak banyak orang. Mau healing seperti anak-anak muda zaman sekarang."Entah Kalista saja yang merasa, tapi tampaknya Bian sedang dalam suasana hati yang bagus. Mungkin karena dirinya sedang ada di pantai. Pantai memang mampu menghapus rasa lelah dan membuat kita lupa sejenak akan permasalahan hidup."Kau kapan terakhir kali ke pantai?"Meski Kalista heran, mengapa tiba-tiba Bian bertanya, namun Kalista tetap menjawabnya."Entah. Lupa. Sibuk mencari cuan melulu. Sampai lupa healing ke pantai. Healingnya cuma sekadar
Bian terhenyak mendengarkan cerita Kalista. Wanita itu menangis di sampingnya. Bian bisa merasakan kehancuran hati Kalista saat mengenang putranya dan perlakuan mertuanya."Saat saya harus dioperasi sesar saja, ibunya Nevan menolak. Tapi dokter bersikeras kalau saya dan bayi saya tidak akan selamat jika tidak dioperasi segera. Ibunya Nevan menganggap saya beban dan manja. Membuang-buang duit, karena harus sesar. Padahal saya memakai BPJS mandiri. Ibunya Nevan beralasan kalau biaya bolak-balik ke rumah sakit mahal dan harus repot-repot belanja untuk makan, karena cuma saya yang dapat jatah makan dari rumah sakit."Bian pikir tipe mertua seperti itu hanya ada di opera sabun yang sering tayang di televisi saja. Nyatanya, Kalista pernah tinggal dengan mertua demikian selama lebih dari tiga tahun.Jujur, Bian geram dengan sikap mantan suaminya Kalista yang terkesan tidak tegas bersikap. Harusnya ia lebih memperhatikan kebutuhan istrinya. Bukan malah lebih condo
"Pulang, Mas. Ayah dan ibumu sudah tahu tentang Kalista. Maaf mendadak memberitahu soal ini. Mereka menuntut penjelasan. Aku sudah mencobanya sebisaku. Sepertinya mereka tidak terima. Lindungi Kalista ya, Mas?"Suara lembut Jihan mencubit hati Bian detik itu juga. Detik di mana Bian masih ditengah pergulatan panas dengan Kalista yang pasrah di bawah tubuhnya. Niat Jihan untuk memblokir nomor Bian lebih lama, jadi urung perkara kedatangan Margareth dan Nicholas ke rumahnya. Dengan cepat, mereka bersiap untuk pulang, langsung kembali ke negara asal.Kalista tidak diberi penjelasan, mengapa mereka harus pulang mendadak. Ekspresi Bian tampak serius. Keningnya berkerut tanda ia memikirkan sesuatu. Kalista tidak berani bertanya bahkan sekadar menegur.Namun Kalista tahu bila mereka pulang setelah Jihan menelepon Bian. Apa sebenarnya yang terjadi pada Jihan? Kalista penasaran, sementara Jihan tidak ada merespon pesan-pesan yang ia kirimkan sej
"Maksudnya kau menutupi bahwa dirimu mandul dari kami lalu memutuskan sendiri dengan membawa perempuan asing untuk meminjam rahimnya?""Saya tidak bermaksud menutupinya, Ayah. Saya akui bila saya terlambat memberitahu kalian tentang keadaan saya. Keputusan saya adalah satu-satunya cara yang paling mungkin ditempuh agar Mas Bian tetap bisa memiliki keturunan dari darah dagingnya sendiri. Dan satu lagi, Kalista bukan perempuan asing. Dia sahabatku. Seseorang yang sangat ku percayai melebihi Mas Bian."Hening menyergap atmosfir di sekeliling mereka. Nicholas dan Margareth masih tidak terima dengan berita poligami putra kebanggaan mereka ditambah kemandulan Jihan yang membuat mereka tampak tak berkutik.Saddam yang sedari tadi hanya diam menyaksikan bersama Liam, putranya, menertawakan tontonan menakjubkan tersebut di dalam hati. Pasti reputasi Bian akan tercoreng bila dirinya ketahuan memiliki istri simpanan. Apalagi dengan kemandulan istrinya, Sadd
Bukankah Jihan yang menginginkan itu semua? Namun mengapa Jihan merasakan sakit ketika Bian mengakuinya?Senyumannya begitu terpaksa. Lantas apalagi yang bisa Jihan lakukan di hadapan sang suami? Ia tidak ingin menunjukkan wajah muram dan masam kepada Bian. Jihan selalu menunjukkan keramahan dan kelembutannya di hadapan sang suami."Semoga Kalista cepat hamil ya, Mas? Aku rasanya sudah tidak sabar."Bian mengangguk. Ia tidak bisa jujur kalau Kalista meminum pil KB. Yang pasti Bian akan membantu pengobatan trauma Kalista terlebih dahulu. Jihan dan Bian pun menuju kamar. Bian hampir saja memejamkan kedua matanya saat Jihan menyeletuk tentang pesta perusahaan yang akan diadakan besok malam."Aku ingin mengajak Kalista. Dia harus belajar pergi ke acara seperti itu mulai sekarang.""Sayang, bukannya ayah dan ibuku meminta agar Kalista dirahasiakan?" ujar Bian."Cuma statusnya yang akan disembunyikan. Dia pasti pandai bersika
Mereka tiba di lokasi pesta yang diadakan di sebuah gedung. Kalista melangkah lebih lambat dari Jihan dan Bian, karena sengaja tidak ingin membuat tanda tanya pada tamu pesta yang lain.Alunan musik gesek segera menyambut pendengaran Kalista. Kalista mendengar alunan sejenis ini sebelumnya hanya dari aplikasi pemutar video online. Sekarang, Kalista benar-benar mendengarnya live dari sebuah pesta yang baru saja ia hadiri seumur hidup.Kalista menahan diri untuk tidak menganga atau bersikap terlalu norak, karena jujur saja, Kalista lebih dari kagum menyaksikan dekorasi pesta yang begitu mewah dan elegan. Ruangan pesta didominasi warna gold, membuat keadaan tampak berkilau di segala sisi.Kalista mendongak sedikit melihat ke atas dan terpesona melihat lampu kristal besar yang menggantung begitu berkelipan.Kalista menunduk setelahnya. Di bawah kakinya membentang permadani yang sudah bisa dipastikan begitu halus dan lembut. Ah, andai saja dirinya bisa