Hadirnya keturunan merupakan idaman bagi semua keluarga. Anak-anak yang akan menjadi pelipur lara kala lelah menyapa. Namun, hal itu tak dapat diberikan Shofia kepada suami tercintanya. Hingga ia rela mencarikan istri ke dua demi hadirnya sang buah hati. Shofia memilih salah satu muridnya yang kebetulan tengah terhimpit ekonomi. Akankah pernikahan ke dua suaminya berjalan seperti harapan? Sebab tak pernah ada yang baik-baik saja ketika hati telah terbagi
View More“Sah ....”
Ketika kata itu menggema memenuhi tiap sudut ruangan. Shofia menahan sesak yang sejak tadi terasa semakin menghimpit dadanya. Ia tak kuasa melihat laki-laki yang menjadi imam hidupnya selama delapan tahun, kini mengumandangka doa di ubun-ubun wanita lain.
Padahal ia sendiri yang meminta sang suami untuk menikah lagi, karena hingga kini dirinya tak mampu melahirkan keturunan. Shofia perlahan menghilang dari keramaian, menepi di sudut kamar mandi seorang diri. Tak sanggup rasanya jika harus menyaksikan adegan selanjutnya dari prosesi sakral tersebut.
Air mata yang susah payah ia tahan, kini menganak sungai di pipinya yang tampak sedikit lebih tirus. Memandang pantulan wajahnya di cermin, Shofia melihat bayangan yang begitu mengenaskan di sana. Tampak seorang wanita dengan gamis salem dan hijab syar’i dengan warna senda tengah meratapi cintanya yang harus terbagi.
“Kak Shofi.” Terdengar suara ketukan pintu cukup keras.
Shofia tahu jika itu suara Jihan, adik perempuan satu-satunya yang ia miliki. Segera Shofia menghapus sisa-sisa air mata di kedua pipinya, lalu membasuh wajahnya yang terlihat sangat kusut.
Begitu daun pintu terbuka, tampaklah wajah Jihan yang menatapnya penuh iba. Shofia mencoba memberikan senyum terbaikny. Ia tak boleh terlihat terluka ataupun nelangsa.
“Kak, kalau mau nangis, silakan. Nggak ada yang perlu ditutupi dari aku,” sengit Jihan sedikit sebal dengan keputusan kakaknya.
“Kamu anak kecil belajar yang benar, biar bisa cepat lulus kuliah. Kakak baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
“Padahal lebih kecil Kiyada daripada aku.” Jihan mendengus kasar.
“Yuk, kita temui Mas Subhan sama Kiyada. Ucapkan selamat buat mereka.” Shofia segera menggandeng tangan Jihan.
“Kakak tidak perlu mengucapkan selamat pada mereka. Aku tahu jika hati kakak sakit, karena tidak pernah ada yang baik-baik saja saat cinta harus terbagi.” Jihan menyentak kasar tangan kakaknya.
Shofia menarik napas panjang, air matanya kembali luruh begitu saja. Ia terduduk di sisi ranjang dengan bahu yang kian terguncang. Rasa cemburu yang sekuat tenaga berusaha disingkirkan, justru kian tumbuh subur tanpa bisa ia kendalikan.
“Kak.” Bergetar suara Jihan saat merengkuh pundak sang kakak yang selama ini juga berperan menggantikan umi.
Tak ada kata yang terucap, hanya terdengar isak tangis di kamar megah tersebut. Bahkan Jihan juga turut meneteskan air mata, tak kuasa membayangkan jika ia berada di posisi kakanya.
“Sayang.” Sebuah suara bariton mengejutkan keduanya.
Jihan menoleh dan menatap Ustaz Subhan penuh kebencian. Mengapa sebagai lelaki ia begitu lemah, sehingga mau menuruti keinginan istrinya begitu saja. Namun, tak menutup kemungkinan jika kakak iparnya itu memang senang jika beristri lebih dari seorang.
“Aku permisi dulu.” Jihan segera keluar kamar begitu Ustaz Subhan mendekati Shofia.
Dengan sigap Ustaz Subhan segera merengkuh Shofia ke dalam dekapannya. Tak ada kata-kata antara keduanya. Sebab mereka tengah sama-sama terluka. Berkali-kali Ustaz Subhan mengecup puncak kepala istrinya, seolah memberi peringatan bahwa sang istri tetaplah yang terbaik.
“Mas, kenapa ke sini. Kiyada mana?” Shofia segera melepaskan diri begitu sadar jika suaminya kini bukan hanya miliknya seorang.
“Lagi di depan, nemuin para tamu undangan,” ucap Ustaz Subhan begitu lirih di depan wajah sang istri.
"Kita ke depan, yuk. Kasihan Kiyada jika harus menemui tamu undangan sendirian.” Segera Shofia mendorong tubuh kekar sang suami dari hadapannya. Ingin rasanya ia bergelayut manja seperti biasa di lengan kokoh itu, tapi kini semua tak lagi sama. Ada hati yang harus ia jaga.
Ustaz Subhan menahan pergerakan Shofia, ia sedikit mendorong pundak Shofia agar kembali duduk di sisian ranjang. “Kamu di sini saja, tidak perlu ikut ke depan.”
Kecupan hangat dan dalam kembali diberikan Ustaz Subhan pada sang istri. Laki-laki dewasa tersebut tahu, jika membawa Shofia ke depan pasti hanya akan membuat hati wanitanya kian terluka.
“Ingat, ya! Istirahat, jangan kemana-mana, besok kamu kan ke Singapura.”
Setelah memastikan kondisi Shofia lebih tenang, Ustaz Subhan beranjak menuju tempat berlangsungnya acara. Jika boleh memilih, ingin sekali ia menuruti egonya. Menemani Shofia seharian di kamar mereka.
Namun, ia harus bersikap adil. Tak etis jika membiarkan istri ke duanya hanya menemui para tamu seorang diri. Walau tak banyak yang hadir, karena acara ini digelar sederhana atas permintaan Kiyada.
Dari jarak beberapa meter Ustaz Subhan dapat melihat Kiyada tengah tersenyum pada seluruh tamu wanita yang hadir. Tak lama datang beberapa teman sebayanya juga ingin memberikan doa untuk Kiyada.
Gadis tersebut sangat pandai berkamuflase juga tampaknya, sama seperti Shofia yang tetap mampu tersenyum meski batinnya terluka. Sejurus kemudian, pandangan keduanya bertemu. Ustaz Subhan memberikan senyum pada Kiyada yang tengah tertunduk malu mendapat tatapan darinya.
“Selamat, Ustaz. Semoga dikaruniai keluarga sakinah mawadah warahmah,” ucap salah satu teman Kiyada yang juga murid Ustaz Subhan saat mengaji.
“Aaamiin.” Hanya itulah kata yang terucap dari bibir Ustaz Subhan.
Pasangan pengantin baru tersebut sekilas tampak bahagia duduk di pelaminan, padahal hati keduanya menyimpan lara. Sejak tadi pikiran Ustaz Subhan terus tertuju pada istri pertamanya yang tengah tersedu seorang diri di kamar.
Hingga acara usai, Ustaz Subhan menuju kediaman Kiyada. Tentunya setelah berpamitan kepada istri pertamanya. Sesuai ajaran Islam bila seorang laki-laki menikah lagi, maka tujuh hari pertama ia bersama istri pertama jika ia seorang perawan.
Mobil Pajero hitam tersebut perlahan meluncur meninggalkan pelataran rumah yang tadinya sebagai tempat acara. Dua orang yang tengah berada di dalamnya saling terdiam. Hanya suara desau mesin yang menghiasi perjalanan keduanya.
“Kamu sudah menghubungi Ibu?” Ustaz Subhan mencoba memecah kebekuan antara mereka.
“Sudah, Ustaz, tadi,” jawab Kiyada singkat.
Ustaz Subhan hanya mengangguk menanggapi jawaban Kiyada, karena ia sendiri juga tak tahu dari mana harus memulai obrolan dengan Kiyada. Gadis yang dulu adalah muridnya ketika mengaji.
Tak lama kemudian mobil telah memasuki pelataran rumah Kiyada yang tak seberapa lebar. Sehingga Ustaz Subhan harus benar-benar memposisikan mobilnya agar tak mengganggu jalan, juga nanti lebih mudah untuk mengeluarkannya.
Kiyada turun perlahan dengan kebaya putih yang masih melekat di tubuh kecilnya. Jantung gadis yang baru saja menyandang status istri tersebut bergemuruh hebat. Tidak tahu apa yang yang akan terjadi setelah ini.
Sosok laki-laki yang beberapa jam lalu mengucap jaji suci itu memang telah lama ia kagumi. Namun, tak pernah terlintas di benaknya untuk menjadi istri beliau. Apalagi Kiyada sudah tahu jika Ustaz Subhan telah memiliki sosok istri bak bidadari.
“Kamu masuk ke dalam dulu, saya masih harus menghubungi teman,” ucap Ustaz Subhan lembut.
Kiyada mengangguk kecil. Segera ia memasuki kamarnya juga berganti pakaian. Menghapus bersih make up yang masih menempel, juga mengenakan pakaian terbaik untuk menyambut suaminya malam ini.
Hampir satu jam Kiyada menunggu kedatangan suami barunya, tetapi laki-laki dewasa itu tak kunjung menampakkan diri. Kiyada kembali mengambil hijab yang telah digantung, lalu memutuskan menyusul Ustaz Subhan di depan rumah. Sebab angin malam yang tak baik bagi tubuh.
Kembali berdebar jantung Kiyada saat kakinya mendekati pintu ruang tamu. Samar-samar ia mendengar suara Ustaz Subhan seperti tengah berbicara dengan seseorang lewat sambungan telephon.
“Kamu cepat tidur, ya, sayang.”
Debaran jantung itu kini berubah menjadi nyeri tak terpatri. Ungkapan itu bukan untuknya, tapi untuk seseorang di seberang sana. Siapa lagi kalau bukan Ustazah Shofia.
Memasuki halaman rumah sakit, ingatan Kiyada kembali pada sang ibu. Saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, hingga Allah memanggil ibu untuk pulang. Namun, Kiyada tahu, ia tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan. Demi bayi yang ada dalam rahimnya, ia harus bisa mengendalikan suasana hati. Meski untuk saat ini itu bukanlah hal yang mudah.“Apakah saya nanti boleh masuk ke dalam menemui Ustazah Shofia?” tanya Kiyada saat ia dan Ustaz Subhan baru saja memasuki lift.“Nanti kita konsultasikan dulu sama dokter.”Kiyada hanya bisa menarik napas panjang seraya mengangguk pasrah. Ia tak bisa memaksa kali ini. Meski dirinya sangat ingin melihat secara langsung kondisi Ustazah Shofia.“Keadaan Shofia dua hari terakhir benar-benar menurun. Tidak sembarang orang bisa masuk ke ruangannya,” ucap Ustaz Subhan memberi penjelasan.Kiyada tahu pasti bagaimana prosedur orang-orang dengan penyakit kronis seperti Ustazah Shofia. Barangkali Ustaz Subhan lupa bahwa Kiyada telah merawat ibu seora
Kiyada sangat menikmati makan malamnya. Meski hanya di warung sederhana dan menu seadanya. Namun, kebersamaan dengan sang suami yang membuat suasana terasa istimewa. Semenjak menikah, sepertinya bisa dihitung dengan jari berapa kali Kiyada dan Ustaz Subhan makan berdua saja.Keduanya makan dalam hening. Kiyada diam-diam memperhatikan laki-laki di seberang tempat duduknya yang makan dengan tampak lahap. Entah karena terburu ingin segera kembali ke rumah sakit tempat Ustazah Shofia dirawat, atau memang perutnya merasa sangat lapar.Meski cahaya di tempat itu tidak terlalu terang, tapi Kiyada masih bisa melihat dengan jelas gurat kelelahan di wajah Ustaz Subhan. Ia tahu berada di posisi sang suami saat ini pasti tidak mudah. Memiliki dua istri yang sama-sama membutuhkan kehadirannya.“Kalau boleh saya bisa kok menggantikan menjaga Ustazah Shofia,” ucap Kiyada setelah ia menyantap setengah porsi soto pesanannya. Rasa lapar yang tadi sempat melanda mendadak lenyap melihat keadaan Ustaz Sub
Kiyada dan Ustaz Subhan duduk di serambi masjid. Keduanya sama-sama terdiam seraya mengamati lalu lalang para jamaah. Kiyada tak memiliki keberanian untuk memulai pembicaraan. Ia takut salah bicara. Apalagi melihat tampang Ustaz Subhan yang begitu kelelahan. Lingkaran di sekitar matanya amat kentara.“Belum ada perkembangan sama sekali dengan kondisi Shofia.” Ustaz Subhan mulai angkat bicara. Ia menoleh sekilas ke arah Kiyada. “Sepertinya dokter juga sudah pasrah. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan.”Selama mengenal sosok Ustaz Subhan, rasanya baru kali ini Kiyada menyaksikan laki-laki itu begitu rapuh. Bahkan Ustaz Subhan tampak berusaha keras untuk menahan air matanya.“Mas, sudah makan?” Tak ingin sang suami terlalu larut dalam kesedihan, Kiyada memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.Ustaz Subhan menggeleng. “Terakhir makan tadi pagi.”“Bagaimana kalau kita cari makan dulu? Kebetulan saya juga belum makan.”“Ya sudah kita cari tempat makan di dekat sini.”Mendapat sambutan
24 jam sudah berlalu, tapi tak ada perkembangan sama sekali terhadap kondisi Shofia. Ustaz Subhan juga hampir tak beranjak dari sisi sang istri, kecuali hanya keluar untuk makan dan salat. Entah mengapa Ustaz Subhan merasa Shofia kian jauh.“Bagaimana perkembangan istri saya, Dokter?” tanya Ustaz Subhan pada dokter yang baru saja memeriksa keadaan Shofia.Dokter laki-laki paruh baya itu terdiam beberapa saat. Tak ada harapan sama sekali dari raut wajah yang mulai keriput tersebut.“Doakan saja yang terbaik, Pak.”Ucapan dokter itu memang terdengar ringan, tetapi Ustaz Paham apa maksud yang tersirat dari kalimatnya. Sepertinya ia sudah harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Dan ia tetap berharap keajaiban itu masih bisa terjadi.“Baik, Dok. Terima kasih.”Sudah hampir 2 hari Shofia tidak membuka mata sama sekali. Tubuhnya dipenuhi berbagai macam peralatan medis. Bahkan jika alat-alat penunjang itu dilepas, Ustaz Subhan tidak terlalu yakin jika sang istri masih bisa h
Ustaz Subhan sempat tertegun beberapa saat mendapati Kiyada memutus sambungan telepon secara sepihak. Bahkan tanpa ucapan salam sama sekali. Tak biasanya wanita itu bersikap seperti ini. Apakah sikapnya melarang Kiyada datang ke sini sudah keterlaluan?Meski telah bertahun-tahun hidup dengan Shofia, dan beberapa bulan menjadi suami Kiyada, Ustaz Subhan masih belum bisa memahami keduanya dengan baik. Ia tak memiliki ide apapun untuk membujuk Kiyada, atau sekadar menanyakan sikapnya tadi.Namun, untuk sekarang, tentu kondisi Shofia lebih penting dari apapun. Laki-laki itu melangkah tergesa menuju ruang perawatan Shofia. Berharap setelah ini akan ada kabar baik terkait perkembangan sang istri.Di depan ruangan yang dijaga cukup ketat itu, Jihan duduk termenung. Wajahnya muram, hingga tak menyadari kedatangan Ustaz Subhan.“Kamu sudah makan, Jihan?” Ustaz Subhan mencoba berbasi-basi. Berharap bisa sedikit mengurai aura kebencian dari wanita itu yang timbul semenjak ia menikah lagi.Jihan
Keadaan Kiyada yang masih terasa lemah setelah kehilangan sang ibu, kini harus kembali menerima kabar kurang baik dari sang suami. Meski kerap merasa cemburu dengan kasih sayang Ustaz Subhan pada Shofia, tetapi Kiyada sungguh tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu.Walau bagaimanapun, tanpa perantara Shofia, pernikahan ini tak akan pernah terjadi. Dan Kiyada harus berjuang sendiri memikirkan biaya pengobatan sang ibu yang cukup menguras dompet. Apalagi mengingat di kampung ini ia hanya memiliki ibu.“Mas, saya ingin melihat kondisi Ustazah Shofia,” pinta Kiyada pada Ustaz Subhan.“Besok kalau keadaannya sudah membaik, kamu saya ajak ke sini, ya.”Kiyada tertunduk lesu. Meski tidak melarang secara langsung, ia paham jika kalimat itu adalah sebuah larangan secara halus. Padahal berada di rumah seorang diri juga membosankan baginya. Kiyada jadi lebih sering teringat ibu dan itu membuatnya terus-terusan bersedih.“Tapi saya bosan di rumah sendirian. Siapa tahu di sana bisa m
Malam itu perasaan Kiyada sungguh bahagia. Sebab tak dapat dipungkiri bahwa dirinya juga teramat merindukan belaian sang suami. Meski tak banyak kalimat manis yang dilontarkan Ustaz Subhan, setidaknya senyuman dan satu kali panggilan-sayang- sudah lebih dari cukup bagi Kiyada.Namun, sepertinya harapan Kiyada terlampau tinggi. Nyatanya, saat terbangun menjelang waktu Subuh, Ustaz Subhan sudah tidak ada disisinya. Padahal tadi malam ia sempat berpesan untuk dibangunkan salat tahajud. “Mas?” Perlahan Kiyada bangkit dari tempat tidur. Mencari sosok Ustaz Subhan yang ternyata tidak ada di dalam kamar.Perut Kiyada yang semakin membesar membuat ia tak bisa bergerak selincah biasanya. Ia berjalan menuju kamar mandi, barangkali Ustaz Subhan tengah mandi atau mengambil wudhu. Lagi-lagi tak ada siapapun di sana. Suasana rumah terasa sepi dan sunyi. Hanya terdengar suara detak jarum jam juga sesekali suara kokok ayam jantan.Tidak biasanya Ustaz Subhan berangkat ke masjid sebelum Subuh seperti
Sepertinya Aldi masih belum cukup puas dengan jawaban yang diberikan Ustaz Subhan. Sementara suara qiraat penanda akan masuknya waktu Isya sudah berkumandang dari arah masjid. Obrolan keduanya pun mau tak mau harus berakhir.“Kalau kapan-kapan saya silaturahim ke rumah Ustaz, boleh?” tanya Aldi sebelum Ustaz Subhan beranjak.Meski sempat ragu, Ustaz Subhan akhirnya mengangguk seraya tersenyum simpul. Tidak mungkin ia menolak seseorang yang ingin datang untuk bertanya perihal agama. Namun, Ustaz Subhan masih belum tahu apakah Aldi sudah tahu statusnya sebagai suami yang memiliki dua istri.Hingga selesai jamaah Isya dan menempuh perjalanan menuju rumah Kiyada, percakapan singkat dengan Aldi masih terus saja menghantui hati dan pikiran Ustaz Subhan. Bagaimana jika Aldi belum tahu akan statusnya? Pikiran yang berkelana di sepanjang perjalanan, membuat Ustaz Subhan tak sadar jika ia telah sampai di halaman rumah Kiyada. Suasana rumah itu tak lagi sepi seperti sebelum ia berangkat ke masj
Sejujurnya beberapa menit yang lalu Ustaz Subhan telah berbohong pada Kiyada, dengan mengatakan bahwa ia ada urusan dengan remaja masjid setempat. Ia hanya ingin memberi waktu jeda pada hubungan mereka. Sebab sejak perbincangan tadi semua terasa semakin canggung. Entah lah apa penyebab pastinya.Lalu tanpa diduga pertemuannya dengan seorang remaja laki-laki yang mempertanyakan persoalan poligami membuat Ustaz Subhan merasa terusik. Sebenarnya apa yang ingin dipertanyakan, dan mengapa harus dirinya yang mendapat pertanyaan?Benar saja, setelah turun dari salat jamaah, remaja tersebut menunggu di dekat gapura masjid. Ini baru kali pertama Ustaz Subhan bertemu dengan laki-laki itu. Dilihat dari tampilannya, bisa ditebak jika ia bukan seperti penduduk setempat.“Assalamualaikum, Ustaz.” Dengan takzim ia mencium punggung tangan Ustaz Subhan.“Waalaikumsalam.” Ustaz Subhan memasang mimik setenang mungkin.“Sebelumnya maaf, apa saya mengganggu waktunya Ustaz?”Waktu menuju Isya’ masih cukup
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments