Setelah menutup panggilan telephon dari sang suami, nyatanya Shofia tak bisa lekas terpejam. Bayangan bagaimana suaminya akan melakukan ritual malam pertama dengan Kiyada terus saja terlintas.
Kini kehangatan juga kelembutan itu harus dibagi dengan wanita lain. Batinnya bertanya-tanya akankah Ustaz Subhan juga melontarkan kata cinta juga rayuan maut pada istri mudanya?
Shofia merutuki dirinya sendiri, bukankah ia menginginkan lahirnya keturunan dari madunya? Namun, nyatanya ia belum benar-benar siap membagi kehangatan yang selalu diberikan sang suami dengan wanita selain dirinya.
Jenuh dengan segala kecamuk batinnya, Shofia memutuskan untuk mengambil wudu. Menumpahkan segala resah juga gundah kepada Sang Pencipta adalah pilihan terbaik. Tersedu seorang diri di atas sajadah, berdoa agar diberikan kekuatan melewati hari-hari berikutnya.
Biasanya setelah salat tahajud Shofia akan tidur kembali, lalu saat azan subuh berkumandang Ustaz Subhan akan membangunkannya dengan kecupan lembut. Namun, mulai saat ini Shofia harus terbiasa tanpa itu semua. Apalagi esok ia juga akan ke Singapura menemani ibu Kiyada.
Entah apa yang sesungguhnya diinginkan hatinya. Di satu sisi ia ingin memberikan ruang kepada Kiyada dan Ustaz Subhan, dengan cara pergi ke Singapur menemani Ibu Kiyada yang tengah berobat. Namun, sisi lain dari egonya tak ingin jika hati sang suami berpaling.
“Jihan ....” Shofia mengetuk pintu kamar yang ditempati adiknya saat azan Subuh telah berkumandang.
Tak ada jawaban dari dalam. Shofia sangat hapal kebiasaan Jihan yang sangat sulit jika dibangunkan untuk salat Subuh. Malam ini abah sengaja meminta putri bungsunya tersebut untuk menemani sang kakak yang tengah sendirian di rumah.
Merasa panggilannya diabaikan, Shofia membuka pintu kamar yang ternyata tidak dikunci. Tampak Jihan masih nyaman di balik selimut yang menutupi tubuhnya. Gadis itu bahkan tak menyadari kehadiran Shofia.
“Jihan!” Shofia mengguncang bahu adiknya.
“Hmm ... masih ngantuk,” gumam Jihan seraya mengubah posisi tidurnya.
“Sudah Subuh, Dek. Cepat bangun gih.” Terpaksa Shofia menarik kedua tangan Jihan untuk bangkit dari tidur nyeyaknya.
Perlahan Jihan mengerjapkan kelopak matanya, menyesuaikan dengan cahaya lampu yang ternyata telah dinyalakan oleh kakaknya. Mata Jihan kembali memicing melihat muka sembab Shofia.
“Kakak nangis langi?” Jihan mendengus sebal sekaligus merasa begitu prihatin dengan jalan hidup yang dipilih kakaknya.
“Kakak Cuma kelilipan tadi, cepat wudu sana mataharinya sudah hampir terbit,” elak Shofia.
“Sudah ketangkep basah, masih saja ngeles. Katanya bohong itu dosa.” Jihan menggerutu seraya bangkit dari ranjang. Ia melirik sinis Shofia yang tengah geleng-geleng melihat tingkahnya.
Setelah Jihan memasuki kamar mandi, Shofia kembali ke kamarnya. Mengecek kembali barang-barang yang akan ia bawa ke Singapura. Memastikan tak ada satu pun yang tertinggal, termasuk salah satu baju koko sang suami yang akan dijadikan sebagai penawar rindu.
Shofia memandang lekat foto pernikahannya yang terpampang di dinding kamar. Mengingat awal perjalanan kisah asmaranya bersama sosok yang kini bergelar suami. Ia yang dulu menilai Ustaz Subhan sok alim dan sok agamis, kini justru terperangkap dalam jerat cinta laki-laki itu.
Masih terekam jelas dalam memori. Bagaimana ia dulu terpaksa menuruti keinginan abah, yang memintanya untuk menikah dengan Ustaz lulusan salah satu pesantren besar di Jawa itu. Padahal kala itu Shofia memiliki hubungan spesial dengan salah satu dosen muda di kampusnya. Laki-laki tampan lulusan Oxford Univesity.
Ternyata Ustaz Subhan adalah sosok laki-laki yang begitu penyabar juga penyayang. Bahkan tak pernah bosan membantunya mendalami ilmu agama. Hingga ia menjadi salah satu motivator muslimah seperti saat ini.
Sikap suaminya yang begitu penyayang, kini justru membuat Shofia dilanda kekhawatiran. Apakah Ustaz Subhan juga melakukan hal yang sama pada Kiyada?
“I miss you.”
Shofia tersentak saat merasakan sebuah tangan kekar melingkar di perutnya. Embusan napas laki-laki itu menerpa sisi kulit wajahnya. Sejurus kemudian ia rasakan kecupan bertubi-tubi di pipinya.
“Mas, kok masih pagi sudah kesini?” Shofia berbalik menyisir penampilan sang suami dari atas sampai bawah, dan ia bernapas lega saat mendapati rambut suaminya tampak kering.
Katakanlah Shofia wanita egois. Ia sendiri yang menyuruh Ustaz Subhan menikah lagi, tapi justru tak rela jika mereka melakukan hubungan suami istri. Ada perasaan mebuncah saat sang suami datang menemuinya sepagi ini. Seolah mereka telah terpisah dalam waktu yang sangat lama.
“Aku mau mengantar istri ke bandara,” jawab Ustaz Subhan ringan. Tangannya masih memeluk erat pinggang sang istri.
“Padahal aku sudah meminta Jihan buat nganterin ke bandara.”
“Suami kamu yang lebih berhak mengantar ke sana. Lagian kenapa sih ngotot banget ingin menemani ibunya Kiyada berobat? Kan di sana sudah ada sahabat kamu yang menjaga.”
Shofia diam tak menjawab, wanita justru mengalungkan kedua tangannya pada leher sang suami. Sedikit berjinjit, Shofia mengecup singkat bibir Ustaz Subhan. Saat hendak berbalik Ustaz Subhan justru menahan pergerakannya.
“Masih pagi kamu sudah berani menggoda.” Ustaz Subhan memicingkan mata.
“Bukan menggoda, itu sebagai ucapan selamat pagi.” Shofia tersenyum samar. Dalam hati ia bertanya-tanya tidakkah laki-laki itu sudah mendapatkan jatah dari istri pertamanya semalam?
“Keberangkatan kamu masih lama?” tanya Ustaz Subhan lirih di telinga sang istri.
“Beberapa jam lagi.” Shofia tertawa mengejek. Ia paham apa yang diinginkan suaminya.
Sejurus kemudian Shofia berhasil melepaskan diri. Beruntung semua barang bawaanya telah tertata rapi. Batinnya terus saja berkecamuk, jika ia di luar negri apa yang akan terjadi dengan hubungan suaminya dengan Kiyada? Mungkinkah ia akan kehilangan separuh atau bahkan seluruh cinta sang suami?
Shofia mematut diri di depan cermin, merapikan hijabnya yang sedikit berantakan karena ulah sang suami. Tak lupa memoles kembali bibirnya agar tak terlihat pucat. Memandang penampilannya yang sudah cukup sempurna, wanita itu segera berbalik dan mendapati Ustaz Subhan tengah menatapnya intens.
“Kenapa, Mas? Ada yang salah dengan penampilan aku?”
“Cantik. Kamu sampai berapa hari di sana?”
“Nanti kalau sudah mau pulang aku kabarin, ya?” Tak ingin mendapat pertanyaan lebih dalam, Shofia segera meraih koper juga tasnya.
Shofia berjalan keluar kamar diikuti Ustaz Subhan dengan mimik sedikit kecewa. Laki-laki yang kini telah memiliki dua istri tersebut sesungguhnya tak rela ditinggal pergi jauh oleh istri pertamnya.
“Jihan, kakak diantar Mas Subhan. Kamu ikut atau di sini saja?” Shofia berusaha berkata selembut mungkin saat melihat wajah tak acuh adiknya di ruang keluarga. Sepertinya gadis itu telah mengetahui terlebih dulu kedatangan suaminya.
“Mau nonton TV,” jawab Jihan datar.
Shofia mengembuskan napas kasar seraya melirik suaminya. Sepasang suami istri itu telah hapal bagaimana sikap Jihan yang manja juga ceplas ceplos. Jihan tak pernah menutupi rasa tidak sukanya pada seseorang ataupun sesuatu. Sangat berbanding terbalik dengan Shofia yang terbiasa memendam.
Sesampai di parkiran, tanpa ragu Shofia segera beranjak ke sisi mobil untuk membuka pintu bagian depan. Ekspresinya begitu terkejut mendapati seorang wanita telah duduk di sana. Antara kesal, cemburu, juga kecewa bercampur menjadi satu dalam diri Shofia.
“Maaf, Ustazah, saya pindah ke belakang.” Kiyada berucap lirih dengan raut penuh rasa bersalah.Shofia mengangguk canggung. Ia sedikit kesal dengan sang suami, karena tak mengatakan jika membawa serta Kiyada ke rumah mereka. Padahal ia ingin menghabiskan saat-saat terakhirnya hanya berdua, sebelum mereka terpisah dalam waktu yang cukup lama.“Kamu tidak masuk ke dalam, Ki?” Ustaz Subhan berusaha memecah ketegangan yang sempat tercipta antara kedua istrinya.“Tidak, Ustaz, saya memang sengaja menunggu di mobil,” jawab Kiyada ketika sudah menemukan posisi ternyamannya di kabin belakang. Raut wajahnya masih menunjukkan rasa bersalah.Ustaz Subhan dapat menangkap dengan jelas perubahan sikap Shofia yang mendadak dingin, tidak seceria dan sehangat saat tadi mereka di dalam kamar. Kepalanya tiba-tiba terasa pening, saat pertama kalinya membawa dua istri dalam satu mobil.Suasana hening menyelimuti ketiga orang yang ber
sabit menggantung indah di ujung cakrawala. Di sekelilingnya tampak gemintang yang berkelap-kelip menghiasi angkasa. Langit malam yang cerah, sangat berbanding terbalik dengan kedaan hati Ustaz Subhan.Laki-laki dengan rahang tegas tersebut masih setia duduk seorang diri di teras rumah istri ke duanya. Hatinya dirundung kesal juga gelisah. Semenjak keberangkatan sang istri dari bandara internasional Batam menuju Singapura, wanita cantik itu sama sekali tak bisa dihubungi.Puluhan chat aplikasi hijau yang ia layangkan hanya berakhir centang satu abu-abu. Juga panggilan telephon seluler yang hanya dijawab oleh suara operator. Shofia seolah sengaja menghindarinya.“Ustaz, makan malamnya sudah siap.” Suara renyah seorang wanita membuyarkan lamunannya.Ustaz Subhan terkesiap. Di sampingnya telah berdiri seorang wanita bertubuh mungil dengan hijab pashmina berwarna mint. Istri mudanya tersebut tampak tertunduk malu-malu dengan kedua tangan saling te
Shofia tengah menatap nanar layar lima inchi dalam genggamannya. Hampir 24 jam benda pipih itu ia mode pesawat. Ruangan VVIP ini terasa begitu dingin menusuk tulang, padahal Ac tengah dimatikan.Bayangan laki-laki dengan rahang tegas itu terus saja menari-nari di pelupuk mata. Sedang apakah laki-lakinya di seberang sana?“Shofi, bagaimana hasil pemeriksaan kamu?” Erlana menghampiri Shofia di ranjangnya.“Sel kankerku telah menyebar, Er. Semoga saja kemo besok memberikan hasil yang cukup memuaskan,” ujar Shofia pasrah.“Pasti. Kamu harus yakin jika bisa sembuh seperti sedia kala.” Erlana menunjukkan wajah seoptimis mungkin di hadapan sahabat kecilnya itu.Sementara di seberang sana, sosok yang tengah dirindukan Shofia tengah disibukkan dengan menata debar dalam dada. Ustaz Subhan berusaha keras untuk menerima kehadiran Kiyada dalam hidupnya.Malam ini mungkin memang waktu yang tepat untuk memberikan h
Meski perlakuan Ustaz Subhan semalam masih membekas, tetapi sebagai istri Kiyada sadar harus terbiasa menekan ego. Apalagi mengingat posisinya yang hanya sebagai istri ke dua. Rela dinikahi demi uang.“Ustaz, sakit? Panas sekali.” Raut kekhawatiran tampak jelas di wajah Kiyada.“Sepertinya Cuma masuk angin biasa. Nanti juga sembuh.”Kiyada mengangguk ragu. Ia membiarkan Ustaz Subhan yang bangkit secara perlahan menuju kamar mandi. Langkah laki-laki itu tampak sedikit tertatih. Ingin rasanya Kiyada membantu, tetapi peristiwa semalam kembali terngiang.Setelah Ustaz Subhan menghilang dari pandangan, segera Kiyada mempersiapkan pakaian juga sajadah sang suami. Rumah Kiyada cukup jauh dari masjid, sehingga selama berada di sini Ustaz Subhan belum pernah jamaah Subuh di masjid.Keluar dari kamar mandi, wajah layu Ustaz Subhan tampak lebih segar. Keduanya pun melaksanakan salat Subuh berjamaah di kamar sempit ini. Terhanyut dalam
Kiyada memang telah lama mengagumi sosok laki-laki di hadapannya. Namun, sedikitpun tak pernah terpikir untuk menjadi istri ke duanya. Bagi Kiyada Ustaz Subhan adalah sosok laki-laki saleh idaman kaum hawa.Bagaimana tidak, wajah menawan sedikit ketimuran, juga ditunjang dengan samudra ilmu yang begitu luas. Sangat serasi dengan Ustazah Shofia. Wanita dengan tubuh tinggi semampai, dan jejak karir di bidang akademi yang patut diperhitungkan.“Kalau Ustaz tidak rida saya ke kampus, maka saya tidak akan berangkat.”“Pergilah jika memang itu sangat penting bagi pendidikan kamu.”Jawaban Ustaz Subhan membuat Kiyada bimbang. Ia sangat ingin merawat sang suami yang tengah sakit di rumah. Namun, dirinya juga takut jika tiba-tiba ada panggilan dari Ustazah Shofia, lalu ia kembali diabaikan.“Berkas itu bisa diserahkan besok, saya akan merawat Ustaz saja,” pungkas Kiyada pada akhirnya.Ustaz Subhan terse
Angin pagi berembus perlahan. Memisahkan dedaunan kering dari ranting. Meniup lembut ujung jilbab biru muda yang dikenakan Kiyada. Dua pasang mata saling beradu, tatapan yang dulu sempat menjadi candu, kini kembali bertemu.Senyuman laki-laki itu masih sama. Lesung pipi yang menawan, juga deretan geligi rapi yang menjadi penyempurna. Kiyada tertunduk, tak mampu berlama-lama menikmati keindahan yang sudah bukan haknya lagi.“Kamu beneran kuliah di sini lagi? Mau pindah jurusan atau melanjutkan yang kemarin?” Laki-laki pemilik mata teduh tersebut memberondong Kiyada dengan sederet pertanyaan.“Iya, Kak. Aku mau pindah jurusan.” Kiyada tersenyum canggung.Farhan mengangguk beberapa kali. Laki-laki itu kembali tersenyum menatap Kiyada. Sorot matanya menyiratkan sebuah kerinduan yang mendalam.“Mmm ... kalau begitu aku duluan, Kak,” pamit Kiyada, ia tak ingin berlama-lama terjebak dalam situasi seperti ini.&ld
[Saya titip Mas Subhan, ya. Layani dia sebaik mungkin] Pesan masuk dari Ustazah Shofia tadi pagi kembali terngiang. Sementara laki-laki di hadapan Kiyada masih menatapnya lekat. Seolah tak ingin terlewat setiap gerak gerik Kiyada. “Siapa? Kok nggak diangkat?” Farhan menaikkan satu alisnya. “Aku keluar sebentar, ya, Kak. Di sini terlalu bising,” tukas Kiyada beralasan. Beruntung keadaan cafe sedang benar-benar ramai pengunjung. Farhan mengangguk, mempersilakan Kiyada untuk menerima panggilan tersebut. Mencari tempat yang cukup sepi, Kiyada menekan tombol untuk menghubungi kembali nomor sang suami. Setelah dua kali panggilan tak terjawab, Ustaz Subhan tak lagi mengulangi panggilan telephonnya. Perasaan bersalah menyelemuti hati Kiyada. Ia merasa seperti istri yang sedang selingkuh secara sembunyi-sembunyi. “Assalamualaikum,” ucap Kiyada lirih begitu dering pertama lansung tersambung. “Waalaikumsalam. Kamu masih belu
Dari sudut ruangan lantunan musik Shanna Shannon berjudul Rela mengalun merdu. Terik matahari perlahan tertutup awan kelabu. Suasana yang tercipta mendadak menjadi sendu. Dua insan itu saling terdiam menata debar dalam kalbu. “Selamat, semoga rumah tangga kamu sakinah mawadah warahmah,” ungkap Farhan pada akhirnya. Ada banyak pertanyaan yang ingin Farhan lontarkan pada Kiyada. Namun, lidahnya tersa kelu. Apalagi saat Farhan melihat air mata itu, seolah pernikahan Kiyada menyimpan sebuah duka. Perihal rumah tangga Kiyada, Farhan sadar jika itu bukan lagi ranahnya. Sekalipun Kiyada adalah wanita yang ia cintai semenjak dua tahun terakhir. Wanita cerdas dengan segala kesederhanaannya. “Maafkan aku, Kak.” Bergetar suara Kiyada saat mengatakannya.“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kiyada. Semua sudah tertulis sesuai skenario terbaik dari Allah.” Memaksakan senyum terukir meski hati begitu getir. Perlahan rintik hujan menyapa bumi. Menciptak
Memasuki halaman rumah sakit, ingatan Kiyada kembali pada sang ibu. Saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, hingga Allah memanggil ibu untuk pulang. Namun, Kiyada tahu, ia tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan. Demi bayi yang ada dalam rahimnya, ia harus bisa mengendalikan suasana hati. Meski untuk saat ini itu bukanlah hal yang mudah.“Apakah saya nanti boleh masuk ke dalam menemui Ustazah Shofia?” tanya Kiyada saat ia dan Ustaz Subhan baru saja memasuki lift.“Nanti kita konsultasikan dulu sama dokter.”Kiyada hanya bisa menarik napas panjang seraya mengangguk pasrah. Ia tak bisa memaksa kali ini. Meski dirinya sangat ingin melihat secara langsung kondisi Ustazah Shofia.“Keadaan Shofia dua hari terakhir benar-benar menurun. Tidak sembarang orang bisa masuk ke ruangannya,” ucap Ustaz Subhan memberi penjelasan.Kiyada tahu pasti bagaimana prosedur orang-orang dengan penyakit kronis seperti Ustazah Shofia. Barangkali Ustaz Subhan lupa bahwa Kiyada telah merawat ibu seora
Kiyada sangat menikmati makan malamnya. Meski hanya di warung sederhana dan menu seadanya. Namun, kebersamaan dengan sang suami yang membuat suasana terasa istimewa. Semenjak menikah, sepertinya bisa dihitung dengan jari berapa kali Kiyada dan Ustaz Subhan makan berdua saja.Keduanya makan dalam hening. Kiyada diam-diam memperhatikan laki-laki di seberang tempat duduknya yang makan dengan tampak lahap. Entah karena terburu ingin segera kembali ke rumah sakit tempat Ustazah Shofia dirawat, atau memang perutnya merasa sangat lapar.Meski cahaya di tempat itu tidak terlalu terang, tapi Kiyada masih bisa melihat dengan jelas gurat kelelahan di wajah Ustaz Subhan. Ia tahu berada di posisi sang suami saat ini pasti tidak mudah. Memiliki dua istri yang sama-sama membutuhkan kehadirannya.“Kalau boleh saya bisa kok menggantikan menjaga Ustazah Shofia,” ucap Kiyada setelah ia menyantap setengah porsi soto pesanannya. Rasa lapar yang tadi sempat melanda mendadak lenyap melihat keadaan Ustaz Sub
Kiyada dan Ustaz Subhan duduk di serambi masjid. Keduanya sama-sama terdiam seraya mengamati lalu lalang para jamaah. Kiyada tak memiliki keberanian untuk memulai pembicaraan. Ia takut salah bicara. Apalagi melihat tampang Ustaz Subhan yang begitu kelelahan. Lingkaran di sekitar matanya amat kentara.“Belum ada perkembangan sama sekali dengan kondisi Shofia.” Ustaz Subhan mulai angkat bicara. Ia menoleh sekilas ke arah Kiyada. “Sepertinya dokter juga sudah pasrah. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan.”Selama mengenal sosok Ustaz Subhan, rasanya baru kali ini Kiyada menyaksikan laki-laki itu begitu rapuh. Bahkan Ustaz Subhan tampak berusaha keras untuk menahan air matanya.“Mas, sudah makan?” Tak ingin sang suami terlalu larut dalam kesedihan, Kiyada memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.Ustaz Subhan menggeleng. “Terakhir makan tadi pagi.”“Bagaimana kalau kita cari makan dulu? Kebetulan saya juga belum makan.”“Ya sudah kita cari tempat makan di dekat sini.”Mendapat sambutan
24 jam sudah berlalu, tapi tak ada perkembangan sama sekali terhadap kondisi Shofia. Ustaz Subhan juga hampir tak beranjak dari sisi sang istri, kecuali hanya keluar untuk makan dan salat. Entah mengapa Ustaz Subhan merasa Shofia kian jauh.“Bagaimana perkembangan istri saya, Dokter?” tanya Ustaz Subhan pada dokter yang baru saja memeriksa keadaan Shofia.Dokter laki-laki paruh baya itu terdiam beberapa saat. Tak ada harapan sama sekali dari raut wajah yang mulai keriput tersebut.“Doakan saja yang terbaik, Pak.”Ucapan dokter itu memang terdengar ringan, tetapi Ustaz Paham apa maksud yang tersirat dari kalimatnya. Sepertinya ia sudah harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Dan ia tetap berharap keajaiban itu masih bisa terjadi.“Baik, Dok. Terima kasih.”Sudah hampir 2 hari Shofia tidak membuka mata sama sekali. Tubuhnya dipenuhi berbagai macam peralatan medis. Bahkan jika alat-alat penunjang itu dilepas, Ustaz Subhan tidak terlalu yakin jika sang istri masih bisa h
Ustaz Subhan sempat tertegun beberapa saat mendapati Kiyada memutus sambungan telepon secara sepihak. Bahkan tanpa ucapan salam sama sekali. Tak biasanya wanita itu bersikap seperti ini. Apakah sikapnya melarang Kiyada datang ke sini sudah keterlaluan?Meski telah bertahun-tahun hidup dengan Shofia, dan beberapa bulan menjadi suami Kiyada, Ustaz Subhan masih belum bisa memahami keduanya dengan baik. Ia tak memiliki ide apapun untuk membujuk Kiyada, atau sekadar menanyakan sikapnya tadi.Namun, untuk sekarang, tentu kondisi Shofia lebih penting dari apapun. Laki-laki itu melangkah tergesa menuju ruang perawatan Shofia. Berharap setelah ini akan ada kabar baik terkait perkembangan sang istri.Di depan ruangan yang dijaga cukup ketat itu, Jihan duduk termenung. Wajahnya muram, hingga tak menyadari kedatangan Ustaz Subhan.“Kamu sudah makan, Jihan?” Ustaz Subhan mencoba berbasi-basi. Berharap bisa sedikit mengurai aura kebencian dari wanita itu yang timbul semenjak ia menikah lagi.Jihan
Keadaan Kiyada yang masih terasa lemah setelah kehilangan sang ibu, kini harus kembali menerima kabar kurang baik dari sang suami. Meski kerap merasa cemburu dengan kasih sayang Ustaz Subhan pada Shofia, tetapi Kiyada sungguh tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu.Walau bagaimanapun, tanpa perantara Shofia, pernikahan ini tak akan pernah terjadi. Dan Kiyada harus berjuang sendiri memikirkan biaya pengobatan sang ibu yang cukup menguras dompet. Apalagi mengingat di kampung ini ia hanya memiliki ibu.“Mas, saya ingin melihat kondisi Ustazah Shofia,” pinta Kiyada pada Ustaz Subhan.“Besok kalau keadaannya sudah membaik, kamu saya ajak ke sini, ya.”Kiyada tertunduk lesu. Meski tidak melarang secara langsung, ia paham jika kalimat itu adalah sebuah larangan secara halus. Padahal berada di rumah seorang diri juga membosankan baginya. Kiyada jadi lebih sering teringat ibu dan itu membuatnya terus-terusan bersedih.“Tapi saya bosan di rumah sendirian. Siapa tahu di sana bisa m
Malam itu perasaan Kiyada sungguh bahagia. Sebab tak dapat dipungkiri bahwa dirinya juga teramat merindukan belaian sang suami. Meski tak banyak kalimat manis yang dilontarkan Ustaz Subhan, setidaknya senyuman dan satu kali panggilan-sayang- sudah lebih dari cukup bagi Kiyada.Namun, sepertinya harapan Kiyada terlampau tinggi. Nyatanya, saat terbangun menjelang waktu Subuh, Ustaz Subhan sudah tidak ada disisinya. Padahal tadi malam ia sempat berpesan untuk dibangunkan salat tahajud. “Mas?” Perlahan Kiyada bangkit dari tempat tidur. Mencari sosok Ustaz Subhan yang ternyata tidak ada di dalam kamar.Perut Kiyada yang semakin membesar membuat ia tak bisa bergerak selincah biasanya. Ia berjalan menuju kamar mandi, barangkali Ustaz Subhan tengah mandi atau mengambil wudhu. Lagi-lagi tak ada siapapun di sana. Suasana rumah terasa sepi dan sunyi. Hanya terdengar suara detak jarum jam juga sesekali suara kokok ayam jantan.Tidak biasanya Ustaz Subhan berangkat ke masjid sebelum Subuh seperti
Sepertinya Aldi masih belum cukup puas dengan jawaban yang diberikan Ustaz Subhan. Sementara suara qiraat penanda akan masuknya waktu Isya sudah berkumandang dari arah masjid. Obrolan keduanya pun mau tak mau harus berakhir.“Kalau kapan-kapan saya silaturahim ke rumah Ustaz, boleh?” tanya Aldi sebelum Ustaz Subhan beranjak.Meski sempat ragu, Ustaz Subhan akhirnya mengangguk seraya tersenyum simpul. Tidak mungkin ia menolak seseorang yang ingin datang untuk bertanya perihal agama. Namun, Ustaz Subhan masih belum tahu apakah Aldi sudah tahu statusnya sebagai suami yang memiliki dua istri.Hingga selesai jamaah Isya dan menempuh perjalanan menuju rumah Kiyada, percakapan singkat dengan Aldi masih terus saja menghantui hati dan pikiran Ustaz Subhan. Bagaimana jika Aldi belum tahu akan statusnya? Pikiran yang berkelana di sepanjang perjalanan, membuat Ustaz Subhan tak sadar jika ia telah sampai di halaman rumah Kiyada. Suasana rumah itu tak lagi sepi seperti sebelum ia berangkat ke masj
Sejujurnya beberapa menit yang lalu Ustaz Subhan telah berbohong pada Kiyada, dengan mengatakan bahwa ia ada urusan dengan remaja masjid setempat. Ia hanya ingin memberi waktu jeda pada hubungan mereka. Sebab sejak perbincangan tadi semua terasa semakin canggung. Entah lah apa penyebab pastinya.Lalu tanpa diduga pertemuannya dengan seorang remaja laki-laki yang mempertanyakan persoalan poligami membuat Ustaz Subhan merasa terusik. Sebenarnya apa yang ingin dipertanyakan, dan mengapa harus dirinya yang mendapat pertanyaan?Benar saja, setelah turun dari salat jamaah, remaja tersebut menunggu di dekat gapura masjid. Ini baru kali pertama Ustaz Subhan bertemu dengan laki-laki itu. Dilihat dari tampilannya, bisa ditebak jika ia bukan seperti penduduk setempat.“Assalamualaikum, Ustaz.” Dengan takzim ia mencium punggung tangan Ustaz Subhan.“Waalaikumsalam.” Ustaz Subhan memasang mimik setenang mungkin.“Sebelumnya maaf, apa saya mengganggu waktunya Ustaz?”Waktu menuju Isya’ masih cukup