"Sumpah, ya! Nih cowok dari belakang aja udah keliatan cakep, apalagi dari depan? Duh, Titi pasti udah masuk rumah sakit, saking gak kuatnya liat dia. AAA!"
Karina mengabaikan ocehan Tiko terkait pria yang menjadi highlight berita terbaru di seluruh berita online karena pikirannya dipaksa untuk kembali ke kejadian saat pria itu mengajukan sebuah penawaran.Walaupun foto yang ditampilkan hanya berupa punggung, tetapi Karina tahu bahwa pria itu adalah Bumi Cakrawala Suherman.Tunggu!Jika penawaran itu sudah terjadi seminggu lalu, berarti besok dirinya harus memberikan jawaban atas pertanyaan yang Bumi berikan tempo hari.Oh tidak! Karina belum memikirkan jawaban pasti yang harus dia berikan besok.Dia memang tidak terlalu memikirkan penawaran itu karena selama ini dirinya disibukkan dengan berbagai casting. Jadi, pikiran itu teralihkan."Titi harus gimana kalau nanti gak sengaja ketemu sama di--""Gue pernah ketemu sama nih cowok, bukan cuma ketemu tapi ngobrol, Ti!" potong Karina, dan tentu saja mendapatkan tatapan tidak percaya dari Tiko."Seriusan, Say?! Waah! Kok yeiy gak pernah ngomong ke eikeu, kalau yeiy ketemuan sama nih cowok cakep?" Tiko menatap Karina penuh kecewa merasa dikhianati oleh sahabatnya sendiri, tetapi tatapan itu seketika berubah menjadi tatapan penasaran. "Kalian ngomongin apa nih? Apa jangan-jangan kalian ngomongin Titi, ya?" tanyanya dengan senyum malu-malu.Reflek Karina memukul kepala belakang Tiko menggunakan guling. "Maunya lo itu mah.""Aw! Yeiy kasar, ya, sama eikeu. Gimana kalau Titi gegar otak?" Tiko mengusap tiga kali kepala belakangnya dengan bibir yang dimajukan.Karina mendelik. "Biarin.""Eh, tapi ... seriusan yeiy ngapain ngomong sama dia? Kalian emang udah saling kenal sebelumnya? Atau gimana? Titi penasaran banget, lho."Karina menatap Tiko dengan pandangan ragu, apakah dia harus bercerita, atau hanya menyimpannya sendiri?Namun, jika tidak bercerita Tiko akan menerornya karena sudah memancing rasa penasaran pria kemayu itu.Menghela napas panjang, Karina pun mulai menceritakan bagaimana awal mula pertemuannya dengan Bumi pada Tiko, bahkan tentang penawaran pernikahan.Intinya Karina tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Tiko, karena jika terbentur sesuatu pria kemayu itu akan berada di sisinya untuk memberikan dukungan, begitu pun dengan Tiko.Di antara mereka berdua tidak ada yang ditutupi."Jadi gitu, Ti." Karina menyelesaikan ceritanya pada Tiko. "Menurut lo, gimana?"Tiko mengedipkan matanya sebanyak tiga kali, lalu bertepuk tangan heboh dengan binar bahagia. "Wow! Yeiy beruntung banget. Titi jadi cemburu. Sampai saat ini belum ada cowok yang nawarin begitu ke eikeu. Rahasianya apa, sih? Bagi, dong," tukasnya dengan mata dikedipkan genit."Ck!" Seharusnya Karina tidak perlu berekspektasi terlalu tinggi pada Tiko, nyatanya pria kemayu itu memberikan respon yang sangat di luar dugaan.Karina akan berbicara lagi, tetapi diinterupsi oleh dering ponselnya yang berbunyi menandakan ada telepon masuk."Dari siapa?" tanya Tiko karena Karina tidak langsung mengangkat panggilan telepon.Karina menggeleng, "Gak tahu, cuma nomor doang. Bentar gue angkat dulu," jawabnya. Lalu menggeser ikon hijau, "Hallo?""APA?!"*****Karina kini berlari di koridor rumah sakit menuju UGD dengan mata merah dan air mata yang tidak mau berhenti keluar.Dari informasi si penelepon, Karina mendapat kabar bahwa sang ibu menjadi korban tabrak lari, dan sedang berada di rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.Sementara itu, Tiko membantunya mengurus administrasi."Suster, Suster! Gimana keadaan Mama saya?" Karina segera mencegat seorang suster yang baru saja keluar dari ruangan UGD."Anda keluarga pasien?"Karina mengangguk cepat. "Iya, saya anaknya.""Saat ini pasien masih ditangani oleh dokter, tapi saya sarankan Anda untuk menyiapkan--""Bagaimana? Apa sudah ada keluarga dari pasien?" Seorang dokter pria paruh baya keluar dari ruangan UGD dengan raut wajah panik, dan tanpa sengaja memotong ucapan si suster pada Karina.Suster tersebut baru saja akan menjawab pertanyaan si dokter, tetapi dengan cepat Karina menyalip. "Bagaimana keadaan Mama saya, Dok? Apa Mama saya baik-baik saja?"Dokter itu terdiam sejenak saat melihat raut khawatir dan takut yang tercetak di wajah Karina."Dok, gimana Mama saya?" Karina kembali menanyakan keadaan sang ibu."Kepala pasien mengalami benturan yang keras di bagian kepala saat kecelakaan terjadi, dan mengakibatkan pendarahan otak yang cukup serius. Saat ini kondisi pasien sangat lemah, dan harus menjalani operasi segera. Saya meminta persetujuan dari keluarga pasien untuk menjalani operasi tersebut," papar dokter menjelaskan keadaan Rahma, ibunya Karina.Deg!Kejadian ini mengingatkan Karina pada kemalangan yang menimpa mendiang ayahnya. Sang ayah meninggal karena menjadi korban tabrak lagi, dan kini kejadian serupa menimpa ibunya.Karina tidak ingin kehilangan satu-satunya orang yang sangat berarti baginya, tidak akan lagi.Tanpa berpikir panjang, Karina pun mengangguk menyetujui saran dokter. "Lakukan, Dok. Lakukan itu agar Mama saya bisa selamat.""Untuk itu Mbak bisa ke bagian administrasi untuk mengisi formulir persetujuan tindakan operasi," imbuh suster meminta Karina untuk kembali ke meja resepsionis, dan mengisi formulir persetujuan operasi.Karina mengangguk, dan sebelum meninggalkan kawasan UGD dirinya mendengar perintah dokter untuk menyiapkan meja operasi.Tidak ingin membuat sang ibu menunggu lama dalam mendapatkan pertolongan, Karina segera melesat kembali ke meja resepsionis.Di tengah jalan, Karina berpapasan dengan Tiko yang sudah menyelesaikan mengisi formulir data pasien."Rin, mau ke mana?" tanya Tiko saat berdiri di depan Karina."Ti, Mama gue harus ngejalanin operasi di kepala, Ti," jawab Karina dengan suara bergetar."Mama Rahma kenapa, Rin? Kenapa harus dioperasi?"Karina menyeka air mata yang turun, lalu berucap, "Ntar gue jelasin. Sekarang gue harus ke bagian administrasi buat ngisi formulir persetujuan tindakan operasi."Tanpa mencegah Karina dengan pertanyaan lagi, Tiko mengikuti sahabatnya pergi ke bagian administrasi yang masih satu meja dengan bagian resepsionis."Permisi, Suster. Saya mau ngisi formulir buat persetujuan tindakan operasi," tukas Karina setelah berdiri di depan meja administrasi."Maaf, nama pasiennya siapa?" tanya suster seraya bersiap mengetikkan nama pasien pada kolom data pasien di komputer."Rahma, korban tabrak lari.""Tunggu sebentar." Tidak perlu menunggu lama nama pasien yang disebutkan oleh Karina segera muncul di komputer, dan di keterangan menyatakan bahwa Rahma--nama pasien--harus segera menjalani tindakan operasi karena mengalami pendarahan di otak."Ini, Mbak," kata suster seraya menyerahkan kertas formulir.Karina menerima formulir tersebut, lalu membaca sekilas apa-apa saja yang tertera di sana. Seperti, data pasien, data si penanggung jawab, efek samping setelah menjalani operasi, kemungkinan terburuk saat menjalani operasi, lalu masalah biaya."Seratus lima puluh juta?" gumamnya saat melihat nominal yang harus dia bayar.Bersambung."Rin, lo kenapa? Kenapa diem aja?" Tidak mendapat jawaban, Tiko mengambil kertas dari tangan Karina dan membacanya. Akhirnya dia paham apa yang membuat Karina menjadi diam setelah membaca formulir tersebut. "Rin, kalau lo mikirin ini mending--""Gak, gak, Ti. Gue udah banyak banget ngerepotin lo, dan gue gak mau lagi lebih ngerepotin lo, Ti." Karina memotong ucapan Tiko karena tahu apa yang akan dikatakan oleh sahabatnya itu. "Tapi lo punya uang segini banyak dari mana dalam waktu singkat?" Yang dikatakan oleh Tiko benar, Karina tidak memiliki uang sebanyak itu untuk membayar biaya operasi sang ibu. Dia memang memiliki simpanan uang, tetapi nominalnya sangat jauh dari yang diperlukan. Menerima kembali bantuan Tiko pun Karina sangat merasa sungkan karena sudah sering membuat sahabatnya itu repot. "Pake uang gue aja dulu, ya, Rin," bujuk Tiko. Karina menggeleng, "Enggak, Tiko. Kalau gue terima bantuan lo lagi, gue ngerasa gue itu cuma beban buat lo doang. Lagian uang yang udah lo
Bumi seketika tertegun mendengar cerita Karina tentang mengubah penawaran yang dia berikan. Entah mengapa, dia merasa terganggu dengan cairan bening yang keluar dari mata perempuan itu. Sayangnya, Karina justru menganggap lain respon Bumi.Terlebih, sudah lima menit berlalu, dan Bumi tidak mengeluarkan satu kata pun membuat Karina berhenti berharap. "Baik, jika Anda menolak permintaan saya, dengan begitu saya pun menolak tawaran--""Tidak." Bumi memotong ucapan Karina tiba-tiba. "Saya setuju dengan perubahan itu." "Berikan saya, nomor rekening kamu agar saya dapat mentransfernya segera," ucap Bumi lagi dengan tegas. Kedua sudut bibir Karina terangkat, memamerkan senyuman bahagia dan lega. "Terima kasih, terima kasih banyak, Anda mau menyetujuinya. Saya sangat senang," tukasnya.Secara refleks, dia bahkan berjalan menghampiri meja kerja Bumi, dan menggenggam erat tangan pria itu. Tubuh Bumi lantas menegang saat Karina menggenggam tangannya. Setelah berhasil menguasai tubuhnya, p
Suasana pemakaman umum di Jakarta Barat terlihat tidak terlalu ramai di pagi hari, hanya ada beberapa penjaga yang tengah membersihkan area makam. Terlihat sebuah mobil sedan mewah milik Bumi terparkir di halaman pemakaman. Salah seorang penjaga menghampiri mobil tersebut. "Saya kira Anda tidak akan datang. Karena sudah dua minggu Anda tidak ke sini," ucapnya pada Bumi yang baru saja turun seraya memegang setangkai bunga mawar putih. Bumi tersenyum formal. "Maaf, saya sedang berada di luar negeri," balasnya. Si penjaga mengangguk mengerti. "Seperti biasa?" Bumi mengangguk. "Hati-hati. Tadi malam turun hujan. Tanahnya jadi basah." Bumi kembali mengangguk, lalu berpamitan pada si penjaga. Dia terus membawa langkahnya pada salah satu makam yang terawat. Bagus Hendrawan Bin Asep Sunandar. Itu adalah nama nisan makam yang Bumi hampiri. Bumi meletakkan setangkai bunga mawar putih di bawah nisan, lalu duduk di sekitar makam. "Halo, Bapak Bagus," sapanya. "Bagaimana keadaan Bapak d
"Gara-gara dia, hidup saya dan Mama harus hidup dalam kekurangan. Dan gara-gara dia juga, saya harus kehilangan kasih sayang seorang ayah," lanjut Karina lagi.Bumi merasa tidak nyaman. Dia tidak bisa membayangkan nasibnya jika Karina mengetahui yang sebenarnya.Hanya saja, ada satu pertanyaan yang sangat pria itu ingin tahu. "Lalu apa yang akan kamu lakukan jika si pe-pengecut itu datang untuk meminta maaf pada kamu?" Karina menatap Bumi dengan yakin, lalu menjawab, "Apa lagi? Tentu saja saya akan menjebloskan dia ke penjara, atau jika perlu dia harus bernasib sama seperti Ayah saya." Hening cukup lama di antara keduanya, hingga akhirnya Bumi memilih berdeham untuk mengalihkan Karina. "Ekhem!" "Bisa kita mulai? Saya masih ada pertemuan yang harus dihadiri," ucap Bumi cepat.Seakan disadarkan tujuan awalnya berkunjung ke makam sang ayah, Karina menepuk dahinya. "Astaghfirullah. Maaf, maaf. Saya beneran lupa tujuan awal saya datang ke sini." Bumi mengangguk singkat, lalu membuat ges
"Saya sudah ada di tempat parkir rumah sakit." Satu kalimat itu yang Karina dengar setelah mengangkat panggilan telepon dari Bumi. Kemarin saat perjalanan menuju kantor, Bumi meminta nomor kontak Karina dengan alasan agar lebih mudah menghubungi perempuan itu jika ada beberapa hal yang harus dibicarakan. "Jangan ditutup dulu sebelum gue jawab bisa, 'kan?" gerutu Karina pelan saat sambungan telepon sudah berakhir tanpa dia menjawab. Dia menatap sang Ibu yang baru selesai meminum obat, dan kini ibunya sedang berbaring menunggu reaksi obat. "Ma?" panggil Karina. Rahma menatap putrinya. "Iya, Rin?" "Ma, Rina mau izin dulu ke luar sebentar. Rina mau ketemuan dulu sama produser film, katanya ada peran yang cocok buat Rina." Karina terpaksa harus berbohong pada ibunya perihal dia harus meninggalkan sang ibu sebentar di rumah sakit sendirian. Rahma mengangguk pelan. "Iya, kamu pergi aja. Mama gak apa-apa kamu tinggalin di sini. Masih ada suster penjaga, nanti kalau Mama butuh apa-apa
Seperti janji Bumi kemarin, bahwa pria itu akan berkunjung ke rumah sakit untuk bertemu dengan Rahma, ibunya Karina Lavina. Sebelum masuk ke kamar inap, Bumi memeriksa kembali penampilan dan beberapa buah tangan. Hari ini Bumi mengenakan pakaian santai, tetapi masih enak dipandang oleh orang lain. Bumi bersiap untuk mengetuk pintu kamar inap, tetapi sudah lebih dulu dibuka oleh seorang pria. "Akhirnya dateng juga orang yang ditunggu-tunggu," sapa Tiko ceria, dan mendapati Bumi yang terkejut. "Halo, ganteng," tambahnya seraya mengedipkan mata kanannya. Bumi diam-diam meneliti penampilan Tiko. Apakah pria ini yang diceritakan oleh Karina kemarin? Sepertinya iya, karena tingkah pria di depannya ini sama persis dengan yang digambarkan oleh Karina, lebih atraktif saat berhadapan dengan pria. "Jangan dilihat segitunya dong, kan aku jadi malu." Tiko terkikik pelan seraya menatap Bumi malu-malu. "Ti, tamunya udah dateng, ya?" celetuk Rahma, karena Tiko belum juga kembali saat mengata
"Baiklah." Walaupun bingung dengan permintaan Karina, Bumi tetap menyetujui ucapan perempuan itu.Diikutinya Karina keluar dari kamar inap ibunya setelah menundukkan kepala, sopan.***"Saya ingin kita menikah saat Mama saya sudah sembuh," tukas Karina setelah berada di luar kamar inap.Bumi mengerutkan keningnya. "Kamu bawa saya keluar cuma mau ngomong kaya gitu? Saya kira ada yang penting.""Tapi itu sangat penting bagi saya. Walaupun nanti yang membiayai, dan mengurus segala kebutuhan pernikahan adalah kamu. Tapi, saya sangat tahu bagaimana watak Mama saya," pungkas Karina."Mama saya akan tetap berusaha untuk ikut membantu dalam segala kebutuhan pernikahan kita nanti. Dan saya gak ingin Mama kecapean karena belum sepenuhnya sembuh, lalu berakibat fatal nantinya."Bumi tahu apa yang menjadi ketakutan bagi Karina. Toh, dia pun tidak setega itu membuat seorang wanita paruh baya kecapean karena membantu pernikahannya nanti."Kamu tenang saja. Saya tidak akan menikahi kamu dalam waktu
Sejak insiden lingerie tadi, Karina tak bisa tenang.Dia bahkan tidak bisa memejamkan matanya. Terlebih, Bumi pun sampai saat ini belum kembali ke kamar setelah acara pesta pernikahan selesai. "Lho? Kenapa gue harus mikirin dia?" ucap Karina tanpa sadar menepuk-nepuk pipinya, "Mendingan gue tidur sekarang."Segera, gadis itu merebahkan tubuhnya dan menarik selimut sampai dada. Hanya saja, baru akan menutup mata, tiba-tiba pintu kamar telah terbuka. Wangi parfum Bumi langsung semerbak memenuhi penciumannya!Dengan cepat, Karina menutup matanya untuk berpura-pura tidur.Di sisi lain, Bumi menoleh ke arah ranjang.Menyadari sang istri sudah tertidur, dia pun membuka jas pengantinnya, lalu berjalan menuju kamar mandi.Karina mengintip sedikit saat mendengar pintu kamar mandi telah tertutup kembali.Hanya saja, baru ia mengembuskan napas lega, tiba-tiba pintu kamar mandi kembali terbuka! "Kok cepet banget sih, mandinya? Dia gak mungkin mandi ular, 'kan?" ucap Karina dalam hati, berusa