"Saya sudah ada di tempat parkir rumah sakit."
Satu kalimat itu yang Karina dengar setelah mengangkat panggilan telepon dari Bumi.Kemarin saat perjalanan menuju kantor, Bumi meminta nomor kontak Karina dengan alasan agar lebih mudah menghubungi perempuan itu jika ada beberapa hal yang harus dibicarakan."Jangan ditutup dulu sebelum gue jawab bisa, 'kan?" gerutu Karina pelan saat sambungan telepon sudah berakhir tanpa dia menjawab.Dia menatap sang Ibu yang baru selesai meminum obat, dan kini ibunya sedang berbaring menunggu reaksi obat."Ma?" panggil Karina.Rahma menatap putrinya. "Iya, Rin?""Ma, Rina mau izin dulu ke luar sebentar. Rina mau ketemuan dulu sama produser film, katanya ada peran yang cocok buat Rina."Karina terpaksa harus berbohong pada ibunya perihal dia harus meninggalkan sang ibu sebentar di rumah sakit sendirian.Rahma mengangguk pelan. "Iya, kamu pergi aja. Mama gak apa-apa kamu tinggalin di sini. Masih ada suster penjaga, nanti kalau Mama butuh apa-apa pasti minta tolong ke suster," pungkasnya memberi izin.Karina mengambil tas selempangnya di nakas. "Beneran, ya, Ma, kalau perlu bantuan minta tolong ke suster."Rahma kembali mengangguk."Rina berangkat dulu, Ma." Karina mencium punggung tangan ibunya sebelum pergi."Hati-hati, Rin.""Iya."Karina pun keluar dari kamar inap ibunya, lalu menuju parkiran rumah sakit untuk bertemu dengan Bumi.Untuk menemukan mobil milik Bumi di parkiran rumah sakit yang bisa terbilang ramai cukup mudah bagi Karina, karena mobil yang dipakai pria itu terlalu mewah dari mobil-mobil yang ada.Karina mengetuk jendela mobil Bumi di bagian penumpang depan.Bumi segera membuka kunci mobilnya dari dalam, lalu Karina masuk tidak lama kemudian."Udah nunggu lama?" tanya Karina basa-basi seraya memasang sabuk pengaman."5 menit," jawab Bumi. Dia menyalakan mesin mobil, lalu mengendarainya keluar dari kawasan rumah sakit menuju rumah kakeknya."Oh, sebentar itu.""Bagi saya 5 menit itu terlalu lama."Sontak saja Karina menatap Bumi tidak terima. Apa pria itu menganggapnya lelet? Menunggu lima menit itu sudah termasuk sebentar."Salah sendiri kenapa malah maksa nunggu di tempat parkir? Kan kemarin malem saya minta kalau udah hampir deket rumah sakit kabarin saya, nanti saya yang nunggu di pinggir jalan.""Oh, saya gak fokus waktu baca bagian itu.""Ck!" Karina berdecak kesal, lalu membuang pandangan ke pemandangan luar jendela mobil.Dalam hati dia kembali menggerutu dengan sifat Bumi yang satu ini, tidak mau mengakui kesalahan.Belum menikah saja sudah membuatnya kesal, apalagi jika sudah sah dan harus tinggal dalam satu apa yang sama? Apakah akan terjadi peperangan antara suami dan istri?Sontak saja Karina menegakkan duduknya, lalu menggelengkan kepala. Kenapa dia sampai berpikiran ke sana? Padahal sudah jelas tertulis di kontrak bahwa mereka akan hidup masing-masing walaupun tinggal satu rumah."Bodoh, bodoh, bodoh!" gumam Karina seraya menepuk dahinya."Siapa yang bodoh?" celetuk Bumi yang masih bisa mendengar ucapan Karina."Huh?" Karina menatap Bumi dengan kelopak mata yang berkedip polos.Bumi membalas tatapan Karina sekilas karena harus fokus mengendarai mobil. "Tadi kamu bilang bodoh. Siapa yang kamu bilang bodoh itu?"Karina terdiam tidak langsung menjawab, dia sedang berpikir alasan yang untuk diberikan pada Bumi.Tidak mungkin dia memberitahu pada Bumi apa yang tengah dipikirkan, kan?"Oh, itu buat teman saya, Tiko, dia ngelakuin hal bodoh. Masa kemarin dia abis megang cabe rawit langsung ngusap matanya pake tangan yang sama, ya pedih dong tuh mata."Karina berjanji nanti jika bertemu dengan Tiko dia akan meminta maaf pada sahabatnya itu karena sudah memakai dirinya untuk dijadikan alasan.Bumi mengangguk, tetapi ada satu hal yang sangat ingin dia ketahui. "Siapa Tiko?""Temen, ah bukan, tapi sahabat saya.""Laki-laki?""Iya.""Oh.""Tapi tenang aja, Tiko ini beda dari laki-laki lain," seloroh Karina ketika menyadari raut wajah Bumi dari samping yang terlihat kesal?Bumi mengerutkan keningnya tidak paham. "Maksudnya?""Tiko ini laki-laki kemayu. Dia belum suka sama yang namanya perempuan. Jadi kamu gak usah cemburu sama Tiko."Bumi segera menoleh pada Karina. Untung saja di depan sedang lampu merah, jadi dia bisa menatap Karina sepenuhnya."Apa? Saya cemburu?" Bumi menunjuk dirinya sendiri, lalu melepaskan tawa tidak habis pikir.Karina mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. "Siap tahu, 'kan?"Bumi geleng-geleng kepala. "Saya tidak akan cemburu pada teman kamu itu.""Iya, saya pegang janji kamu. Tapi, kamu harus hati-hati sama sahabat saya itu.""Kenapa?""Dia lebih atraktif kalau ketemu sama cowok cakep."Bumi tiba-tiba saja merinding, dan bergidik ngeri.Melihatnya membuat Karina tertawa lepas.Bumi terpaku dengan Karina yang terlihat lebih bercahaya saat tertawa. Tiba-tiba perasaan senang menghinggapi hatinya."Terima kasih," tutur Bumi, lalu kembali mengendarai mobilnya karena lampu sudah berganti menjadi hijau.Karina menghentikan tawanya. "Huh? Terima kasih untuk apa?" tanyanya tidak paham."Terima kasih, karena kamu bilang saya cakep."Karina mendengkus. "Enggak sih, kamu biasa aja di mata saya."Bumi hanya mengangguk tidak memperpanjang ucapan Karina.Tidak terasa perjalanan mereka telah berakhir di sebuah rumah mewah dengan halaman yang sangat luas.Karina yang baru melihatnya pun tidak berhenti berdecak kagum.Dia tidak menyangka akan menginjakkan kaki di rumah pendiri production house dan agensi pertama di Indonesia, Jimmy Suherman."Ayo, masuk." Bumi membuyarkan tatapan kagum Karina pada rumah kakeknya, dan meminta perempuan itu untuk mengikutinya.Karina mengangguk, lalu mengekori Bumi untuk masuk ke rumah mewah tersebut.Pintu besar rumah mewah milik Jimmy Suherman perlahan-lahan memperlihatkan isinya pada dunia luar, dan Karina kembali berdecak kagum."Akhirnya yang ditunggu-tunggu sudah datang," celetuk seorang paruh baya dari sisi kanan dalam rumah."Kakek," ujar Bumi seraya menghampiri anggota keluarga satu-satunya yang dia miliki.Jimmy menyambut kedatangan Bumi dengan memeluk cucunya itu.Karina melihat semua adegan tersebut. Di matanya seorang Jimmy Suherman tidak terlihat tua, bahkan masih terlihat bugar di usianya yang sudah berumur.Walaupun warna rambutnya sudah putih, tetapi ketampanannya tidak luntur dimakan oleh waktu."Dan, siapa perempuan cantik ini?" tanya Jimmy ketika mendapati Karina.Diam-diam Karina malu karena dipuji seperti itu oleh Jimmy. Untuk menghormati kakek dari Bumi, dia pun tersenyum sopan."Dia perempuan yang akan aku nikahi, Kek," jawab Bumi.Mata Jimmy berbinar bahagia. "Sungguh?"Bumi mengangguk.Jimmy tersenyum lebar dan bahagia. "Akhirnya cucuku akan menikah. Mari, Nak, mari masuk. Jangan sungkan," ajaknya pada Karina."Ayo," ajak Bumi, lalu memegang tangan Karina dan membawa perempuan itu untuk lebih masuk ke rumah kakeknya.Selama berada di sana Karina bisa berbaur dengan baik.Bahkan Jimmy tidak segan mengatakan bahwa Karina adalah tipe cucu menantunya yang paling dia sukai, karena bisa menyesuaikan topik pembicaraan mereka.Karina pun menerimanya dengan senang hati.Hingga pembicaraan itu harus terhenti karena Karina sudah terlalu lama berada di kediaman Jimmy Suherman, dan harus segera kembali ke rumah sakit.Jimmy yang mengetahui kemalangan yang menimpa ibunya Karina pun mengizinkan perempuan itu untuk kembali ke rumah sakit."Besok saya akan berkunjung ke rumah sakit, mau bertemu dengan Mama kamu," celetuk Bumi saat mengantar Karina kembali ke rumah sakit.Kening Karina berkerut, "Mau ngapain?""Apa lagi? Saya mau meminta izin buat nikahin kamu dalam waktu dekat.""Apa?!"Bersambung.Seperti janji Bumi kemarin, bahwa pria itu akan berkunjung ke rumah sakit untuk bertemu dengan Rahma, ibunya Karina Lavina. Sebelum masuk ke kamar inap, Bumi memeriksa kembali penampilan dan beberapa buah tangan. Hari ini Bumi mengenakan pakaian santai, tetapi masih enak dipandang oleh orang lain. Bumi bersiap untuk mengetuk pintu kamar inap, tetapi sudah lebih dulu dibuka oleh seorang pria. "Akhirnya dateng juga orang yang ditunggu-tunggu," sapa Tiko ceria, dan mendapati Bumi yang terkejut. "Halo, ganteng," tambahnya seraya mengedipkan mata kanannya. Bumi diam-diam meneliti penampilan Tiko. Apakah pria ini yang diceritakan oleh Karina kemarin? Sepertinya iya, karena tingkah pria di depannya ini sama persis dengan yang digambarkan oleh Karina, lebih atraktif saat berhadapan dengan pria. "Jangan dilihat segitunya dong, kan aku jadi malu." Tiko terkikik pelan seraya menatap Bumi malu-malu. "Ti, tamunya udah dateng, ya?" celetuk Rahma, karena Tiko belum juga kembali saat mengata
"Baiklah." Walaupun bingung dengan permintaan Karina, Bumi tetap menyetujui ucapan perempuan itu.Diikutinya Karina keluar dari kamar inap ibunya setelah menundukkan kepala, sopan.***"Saya ingin kita menikah saat Mama saya sudah sembuh," tukas Karina setelah berada di luar kamar inap.Bumi mengerutkan keningnya. "Kamu bawa saya keluar cuma mau ngomong kaya gitu? Saya kira ada yang penting.""Tapi itu sangat penting bagi saya. Walaupun nanti yang membiayai, dan mengurus segala kebutuhan pernikahan adalah kamu. Tapi, saya sangat tahu bagaimana watak Mama saya," pungkas Karina."Mama saya akan tetap berusaha untuk ikut membantu dalam segala kebutuhan pernikahan kita nanti. Dan saya gak ingin Mama kecapean karena belum sepenuhnya sembuh, lalu berakibat fatal nantinya."Bumi tahu apa yang menjadi ketakutan bagi Karina. Toh, dia pun tidak setega itu membuat seorang wanita paruh baya kecapean karena membantu pernikahannya nanti."Kamu tenang saja. Saya tidak akan menikahi kamu dalam waktu
Sejak insiden lingerie tadi, Karina tak bisa tenang.Dia bahkan tidak bisa memejamkan matanya. Terlebih, Bumi pun sampai saat ini belum kembali ke kamar setelah acara pesta pernikahan selesai. "Lho? Kenapa gue harus mikirin dia?" ucap Karina tanpa sadar menepuk-nepuk pipinya, "Mendingan gue tidur sekarang."Segera, gadis itu merebahkan tubuhnya dan menarik selimut sampai dada. Hanya saja, baru akan menutup mata, tiba-tiba pintu kamar telah terbuka. Wangi parfum Bumi langsung semerbak memenuhi penciumannya!Dengan cepat, Karina menutup matanya untuk berpura-pura tidur.Di sisi lain, Bumi menoleh ke arah ranjang.Menyadari sang istri sudah tertidur, dia pun membuka jas pengantinnya, lalu berjalan menuju kamar mandi.Karina mengintip sedikit saat mendengar pintu kamar mandi telah tertutup kembali.Hanya saja, baru ia mengembuskan napas lega, tiba-tiba pintu kamar mandi kembali terbuka! "Kok cepet banget sih, mandinya? Dia gak mungkin mandi ular, 'kan?" ucap Karina dalam hati, berusa
"Kakek tahu apa yang sedang kamu rencanain." Deg! Bumi menatap sang kakek dengan sorot penuh kehati-hatian. "Maksud Kakek, apa? Bumi gak ngerti," sanggah Bumi seraya tertawa kecil. Berusaha agar kakeknya tidak mengetahuinya bahwa dia tengah dilanda kepanikan. Namun, sepertinya usaha Bumi yang mengelak menemukan jalan buntu, karena Jimmy menyadarinya. "Jangan tegang begitu, Nak," pungkas Jimmy. Lalu, pria yang sudah tidak muda lagi itu memandangi sesuatu di balik jendela kamar tidur Bumi yang menyajikan pemandangan indah. Sebuah lautan yang dikelilingi oleh tebing gunung yang tinggi. "Kakek punya cerita. Kamu mau denger gak, Mi?" Jimmy menatap Bumi sekilas, lalu kembali menatap ke depan. "Apa itu?" Jimmy menghela napas panjang sebelum memulai cerita. "Kakek punya cucu satu-satunya, namanya Bumi Cakrawala Suherman. Dulu--""Kakek." Bumi melihat sang kakek dengan sorot mata tidak ingin bercanda. Jimmy hanya bisa terkekeh dengan respon Bumi. Lalu mengangguk, "Baik, baik. Kali ini
Karina mencebikkan bibirnya melihat bagaimana Bumi memonopoli ibunya. Awalnya dia ingin menolak kehadiran Bumi saat pria itu menawarkan diri untuk bergabung, tetapi ibunya malah menyambut dengan baik. Sedangkan di sisi kanan Karina ada Tiko, pria kemayu itu masih ber-swafoto dari berbagai sudut. "Udah sih, jangan manyun terus kaya gitu. Nanti bibir yeiy pegel, lho," celetuknya ketika melihat raut Karina yang sangat tidak enak dipandang. Karina menoleh pada Tiko sejenak, lalu menghela napas panjang. Dia kembali menatap ke arah ibunya dan Bumi. "Gue tuh pengen hari ini khusus buat jalan-jalan sama Mama, sama lo juga, tanpa ada orang lain sebelum gue tinggal sama Bumi," imbuhnya. "Laki yeiy bukan orang lain. Dia suaminya yeiy." "Iya, tahu. Tapi ...." "Tapi apa, hmm?" Tiko menatap Karina dengan senyuman jahil dan alis yang digerakkan. "Apa sih, Ti?" Karina membalas tatapan Tiko dengan sinis. Tiko seketika tertawa. "Kenapa lo malah ketawa, Ti? Gak ada yang lucu juga di sini," pu
Hari ini adalah kepulangan Rahma, Tiko, Jimmy, dan Diego setelah melaksanakan liburan sekaligus menjadi saksi pernikahan Karina dan Bumi di Swiss. Seperti perkataan Jimmy tempo hari bahwa dia memberi hadiah pada Karina dan Bumi berupa voucher untuk berbulan madu terlebih dulu di Swiss sebelum pulang ke Indonesia. Maka, pengantin baru itu hanya bisa mengantar anggota keluarga mereka sampai ke bandara. "Nanti kalau udah sampe di Indonesia kabarin Rina, ya, Ma." Karina berucap pesan pada sang ibu dengan memeluk wanita paruh baya itu yang sangat dia sayangi. "Iya, nanti Mama kabarin Rina kalau udah sampe," sahut Rahma dengan mengelus rambut panjang anak perempuannya. Karina meregangkan pelukannya, tetapi tangannya masih memegang lengan sang ibu. "Pokoknya jangan lupa kabarin Rina," ingatnya kembali. Rahma mengangguk, "Iya, Rina." Puas akan jawaban sang ibu, kini Karina menatap Tiko. "Lo juga, ya, Ti. Jangan lupa kabarin gue kalau udah sampe Indonesia." "Yeiy tenang aja, nanti yeiy
"Untuk yang kemarin lupain saja," tutur Bumi memecah suasana hening yang terjadi di mobil sejak meninggalkan kawasan bandara. Karina tidak langsung menjawab, dia mengerti apa maksud ucapan Bumi. Apa lagi jika bukan perihal nama panggilan? Apa dia sakit hati? Tentu saja tidak. Memangnya dia mengharapkan apa dari pria asing yang baru beberapa hari menjadi suaminya? Cinta? Karina tidak percaya akan namanya cinta, dan masih dini untuk menyimpulkan hal itu. Perempuan itu melirik sejenak pada Bumi yang tengah menyetir, lalu kembali menatap ke depan. "Iya." Ada jeda beberapa saat sebelum Karina menambahkan, "Lagipula kita enggak sedekat itu buat punya nama panggilan masing-masing."Bumi mengangguk, membenarkan ucapan Karina. "Kamu benar, kita enggak sedekat itu untuk memiliki nama panggilan," ucapnya pelan. Karina tidak membalas lagi, dia lebih memilih untuk menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi mobil. Lalu, menutup mata mencoba untuk tidur. Dan meninggalkan Bumi yang menyet
Setelah insiden satu minggu lalu di dapur, Karina tidak ingin lagi berlama-lama di tempat itu dan berbicara sendirian. Dan yang lebih utama adalah, dia tidak ingin bertatapan langsung dengan Bumi. Sebisa mungkin dia akan segera menghindar saat melihat keberadaan Bumi dalam jarak pandangnya. Sungguh! Kejadian itu membuatnya sangat malu dan ....Aahh! Entahlah, Karina tidak tahu harus berkata apa lagi. "Udah kali, Nek, jangan dipikirin terus. Udah terlanjur juga," celetuk Tiko yang tengah menemani Karina di salah satu kafe dekat rumah Bumi. "Lagian, yeiy, kebiasaan suka ngomong sendiri tanpa sadar situasi, sih. Jadinya malu juga, 'kan?" lanjutnya dengan menahan tawa. Jujur, ketika Karina menceritakan kejadian di dapur pada Tiko, pria kemayu itu tidak berhenti tertawa saat melihat wajah sahabatnya itu. "Siapa juga yang mikirin itu? Enggak kali, ya. Gue mah orangnya masa bodo-an," balas Karina. "Masa?"Karina memutar matanya jengah. "Au ah." Tiko semakin tertawa dengan respon Ka