"Rin, lo kenapa? Kenapa diem aja?"
Tidak mendapat jawaban, Tiko mengambil kertas dari tangan Karina dan membacanya.Akhirnya dia paham apa yang membuat Karina menjadi diam setelah membaca formulir tersebut. "Rin, kalau lo mikirin ini mending--""Gak, gak, Ti. Gue udah banyak banget ngerepotin lo, dan gue gak mau lagi lebih ngerepotin lo, Ti." Karina memotong ucapan Tiko karena tahu apa yang akan dikatakan oleh sahabatnya itu."Tapi lo punya uang segini banyak dari mana dalam waktu singkat?"Yang dikatakan oleh Tiko benar, Karina tidak memiliki uang sebanyak itu untuk membayar biaya operasi sang ibu. Dia memang memiliki simpanan uang, tetapi nominalnya sangat jauh dari yang diperlukan. Menerima kembali bantuan Tiko pun Karina sangat merasa sungkan karena sudah sering membuat sahabatnya itu repot."Pake uang gue aja dulu, ya, Rin," bujuk Tiko.Karina menggeleng, "Enggak, Tiko. Kalau gue terima bantuan lo lagi, gue ngerasa gue itu cuma beban buat lo doang. Lagian uang yang udah lo kumpulin susah payah itu buat biaya lo lanjut kuliah," tolaknya cepat."Ya terus lo mau nyari duit ke mana? Emang lo punya temen yang mau ngasih lo minjem uang?" tanya Tiko dengan suara sedikit keras.Tampaknya, Tiko kesal karena Karina berpikiran bahwa perempuan itu hanya beban baginya. Padahal dia sangat tulus ingin membantu Karina, dan Mama Rahma sudah dia anggap sebagai ibunya sendiri."Gue gak apa-apa kalau nunda lagi kuliah gue, yang penting Mama Rahma selamat, Rina. Pake uang gue aja, ya?" Tiko kembali membujuk.Karina menangis, dia merutuki hidupnya yang selalu saja menjadi beban bagi orang lain, bahkan pada sahabatnya sendiri.Tanpa sadar Karina memasukkan tangannya ke dalam saku jaket, dan dia merasakan ada sebuah benda.Karina mengambil benda tersebut, dan sebuah kartu nama sudah berada di genggamannya.Tanpa bisa dicegah juga pikirannya melayang pada ucapan si pemilik kartu nama tersebut."Ti, gue tahu. Gue tahu apa yang harus gue lakuin.""Lo tahu apa?" Sungguh Tiko tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Karina.Karina tidak menjawab pertanyaan Tiko, dia justru menatap suster di bagian administrasi. "Sus, kalau saya bayarnya nanti agak maleman, gak apa-apa?""Gak apa-apa, Mbak, asalkan Mbak bertanggung jawab untuk membayar biaya operasi hari ini," jawab si suster.Karina mengangguk paham. "Iya, saya janji malem ini saya bayar."Setelah itu ia kembali menatap Tiko. "Ti, gue titip Mama. Gue mau keluar dulu."Lalu dia meninggalkan area rumah sakit serta Tiko dalam keadaan tidak mengerti.*****Dengan penuh tekad, kini Karina sudah berada di ruangan CEO The One Group, Bumi Cakrawala Suherman, dan berhadapan dengan pria itu.Bumi mengangkat alis kanannya melihat Karina yang hanya diam saja setelah memaksa untuk masuk ke ruangannya."Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya seraya menyelipkan nada sarkas."Jika tidak ada yang mau kamu omongin, lebih baik kamu keluar dari ruangan saya. Kita akan bertemu lagi besok, sesuai kesepakatan--""Saya menerimanya!"Gerakan tangan Bumi yang ingin menandatangani berkas seketika terhenti ketika ucapan Karina terdengar di telinganya.Dia menatap perempuan di depannya dengan tatapan serius. "Maksud kamu?"Karina menarik napas panjang sebelum menjelaskan tujuan dia datang ke kantor The One Group. "Saya akan menjawab sekarang terkait tawaran yang Anda berikan satu minggu lalu. Saya terima tawaran Anda untuk menikah dengan Anda selama satu tahun," paparnya.Sekilas Bumi menunjukkan raut wajah terkejut, tetapi dengan cepat dia mengembalikan raut wajahnya seperti sedia kala, datar.Awalnya Bumi berpikir bahwa Karina akan menolak tawarannya pada pertemuan besok, karena yang dirinya lihat pada sosok perempuan itu adalah sosok independen, tidak menyerah, dan tidak akan segan menolak hal-hal yang dirasa tidak masuk akal.Namun, hari ini Karina mengatakan bahwa perempuan itu menerima tawaran menikah kontrak dengannya.Tidak tahu harus menjawab apa, Bumi berdeham sekali. "Kalau begitu kita akan bertemu besok untuk membicarakan lebih lanjut hal-hal apa saja yang harus dilakukan dalam perjanjian nikah--""Tidak. Saya ingin semuanya jelas hari ini. Jika tidak keberatan kita bisa membicarakan poin-poin penting dalam perjanjian nikah hari ini juga. Dan ... dan ...." Ini adalah bagian tersulit bagi Karina untuk menjelaskan tujuannya datang saat ini ke kantor Bumi."Jika diperkenankan saya menolak bantuan Anda dalam mengangkat nama saya di industri hiburan. Sebagai gantinya saya ingin Anda membayarnya dengan ... dengan ....""Dengan?" Bumi mengulang ucapan Karina yang tidak selesai. Dia bisa melihat raut wajah perempuan itu yang gelisah, sedih, dan takut.Karina menutup kedua matanya, lalu mengambil oksigen dalam-dalam sebelum dikeluarkan dengan perlahan. "Dengan ... uang 150 juta hari ini," tukasnya setelah merasa yakin."Maaf?" Bumi merasa salah dengar. Untuk apa uang sebanyak itu?Terkejut?Tentu saja Bumi sangat terkejut mendengarnya, tetapi dengan cepat dia mengubah ekspresi wajahnya.Dalam hati Karina menyempatkan terlebih dahulu untuk merutuki telinga Bumi yang bermasalah secara tiba-tiba. Namun, respon yang diberikan oleh pria itu tidak salah juga. Siapa yang tidak terkejut mendengar seorang perempuan meminta uang sebesar seratus lima puluh juta pada pria asing?Jadi, Karina memaklumi respon Bumi.Dia pun berdeham sekali lagi sebelum merincikan penjelasannya, "Saya menerima tawaran yang Anda berikan untuk menikah selama 1 tahun dengan Anda, tapi saya ingin Anda membayar ketersediaan saya dengan uang sebesar 150 juta hari ini."Bumi bergeming, mencoba memproses ucapan Karina di otaknya."Saya ingin tahu untuk apa kamu mengganti tawaran saya dengan uang sebanyak itu? Saya tidak bisa sembarangan memberikan uang dalam jumlah banyak tanpa tujuan yang SANGAT jelas," tukasnya seraya menekan kata 'Sangat', karena baginya membicarakan tentang uang adalah hal yang sangat sensitif.Bagaimana jika Karina mencoba mengecohnya? Dan membawa kabur uang miliknya setelah menerima benda mati itu? Bumi hanya berhati-hati terhadap apa yang dia miliki.Karina menunduk seraya meremas kedua ujung baju dengan masing-masing tangannya.Apa dia harus menceritakan juga kenapa dirinya sangat membutuhkan uang dalam waktu yang bisa dikatakan sangat singkat ini? Namun, setelah berpikir kembali dengan pikiran yang sedikit tenang, apa yang diucapkan oleh Bumi ada benarnya."Mama," lirihnya pada akhirnya.Di sisi lain, Bumi mengerutkan kening bingung. "Maaf?"Karina mengangkat kepalanya, dan menatap Bumi. "Mama saya. Uang itu untuk Mama saya. Be-beliau ....""Beliau saat ini sedang berada di rumah sakit, karena menjadi korban tabrak lari," lanjutnya. Lalu mengedipkan kelopak mata sehingga cairan bening itu meluncur bebas di pipi. "Akibat dari tabrakan itu, Mama saya harus menjalani operasi karena ada pendarahan hebat di otak. Saya perlu uang 150 juta agar Mama saya bisa dioperasi secepatnya dan selamat.""Mama adalah anggota keluarga satu-satunya yang saya punya setelah meninggalnya Ayah."Deg!Bersambung.Bumi seketika tertegun mendengar cerita Karina tentang mengubah penawaran yang dia berikan. Entah mengapa, dia merasa terganggu dengan cairan bening yang keluar dari mata perempuan itu. Sayangnya, Karina justru menganggap lain respon Bumi.Terlebih, sudah lima menit berlalu, dan Bumi tidak mengeluarkan satu kata pun membuat Karina berhenti berharap. "Baik, jika Anda menolak permintaan saya, dengan begitu saya pun menolak tawaran--""Tidak." Bumi memotong ucapan Karina tiba-tiba. "Saya setuju dengan perubahan itu." "Berikan saya, nomor rekening kamu agar saya dapat mentransfernya segera," ucap Bumi lagi dengan tegas. Kedua sudut bibir Karina terangkat, memamerkan senyuman bahagia dan lega. "Terima kasih, terima kasih banyak, Anda mau menyetujuinya. Saya sangat senang," tukasnya.Secara refleks, dia bahkan berjalan menghampiri meja kerja Bumi, dan menggenggam erat tangan pria itu. Tubuh Bumi lantas menegang saat Karina menggenggam tangannya. Setelah berhasil menguasai tubuhnya, p
Suasana pemakaman umum di Jakarta Barat terlihat tidak terlalu ramai di pagi hari, hanya ada beberapa penjaga yang tengah membersihkan area makam. Terlihat sebuah mobil sedan mewah milik Bumi terparkir di halaman pemakaman. Salah seorang penjaga menghampiri mobil tersebut. "Saya kira Anda tidak akan datang. Karena sudah dua minggu Anda tidak ke sini," ucapnya pada Bumi yang baru saja turun seraya memegang setangkai bunga mawar putih. Bumi tersenyum formal. "Maaf, saya sedang berada di luar negeri," balasnya. Si penjaga mengangguk mengerti. "Seperti biasa?" Bumi mengangguk. "Hati-hati. Tadi malam turun hujan. Tanahnya jadi basah." Bumi kembali mengangguk, lalu berpamitan pada si penjaga. Dia terus membawa langkahnya pada salah satu makam yang terawat. Bagus Hendrawan Bin Asep Sunandar. Itu adalah nama nisan makam yang Bumi hampiri. Bumi meletakkan setangkai bunga mawar putih di bawah nisan, lalu duduk di sekitar makam. "Halo, Bapak Bagus," sapanya. "Bagaimana keadaan Bapak d
"Gara-gara dia, hidup saya dan Mama harus hidup dalam kekurangan. Dan gara-gara dia juga, saya harus kehilangan kasih sayang seorang ayah," lanjut Karina lagi.Bumi merasa tidak nyaman. Dia tidak bisa membayangkan nasibnya jika Karina mengetahui yang sebenarnya.Hanya saja, ada satu pertanyaan yang sangat pria itu ingin tahu. "Lalu apa yang akan kamu lakukan jika si pe-pengecut itu datang untuk meminta maaf pada kamu?" Karina menatap Bumi dengan yakin, lalu menjawab, "Apa lagi? Tentu saja saya akan menjebloskan dia ke penjara, atau jika perlu dia harus bernasib sama seperti Ayah saya." Hening cukup lama di antara keduanya, hingga akhirnya Bumi memilih berdeham untuk mengalihkan Karina. "Ekhem!" "Bisa kita mulai? Saya masih ada pertemuan yang harus dihadiri," ucap Bumi cepat.Seakan disadarkan tujuan awalnya berkunjung ke makam sang ayah, Karina menepuk dahinya. "Astaghfirullah. Maaf, maaf. Saya beneran lupa tujuan awal saya datang ke sini." Bumi mengangguk singkat, lalu membuat ges
"Saya sudah ada di tempat parkir rumah sakit." Satu kalimat itu yang Karina dengar setelah mengangkat panggilan telepon dari Bumi. Kemarin saat perjalanan menuju kantor, Bumi meminta nomor kontak Karina dengan alasan agar lebih mudah menghubungi perempuan itu jika ada beberapa hal yang harus dibicarakan. "Jangan ditutup dulu sebelum gue jawab bisa, 'kan?" gerutu Karina pelan saat sambungan telepon sudah berakhir tanpa dia menjawab. Dia menatap sang Ibu yang baru selesai meminum obat, dan kini ibunya sedang berbaring menunggu reaksi obat. "Ma?" panggil Karina. Rahma menatap putrinya. "Iya, Rin?" "Ma, Rina mau izin dulu ke luar sebentar. Rina mau ketemuan dulu sama produser film, katanya ada peran yang cocok buat Rina." Karina terpaksa harus berbohong pada ibunya perihal dia harus meninggalkan sang ibu sebentar di rumah sakit sendirian. Rahma mengangguk pelan. "Iya, kamu pergi aja. Mama gak apa-apa kamu tinggalin di sini. Masih ada suster penjaga, nanti kalau Mama butuh apa-apa
Seperti janji Bumi kemarin, bahwa pria itu akan berkunjung ke rumah sakit untuk bertemu dengan Rahma, ibunya Karina Lavina. Sebelum masuk ke kamar inap, Bumi memeriksa kembali penampilan dan beberapa buah tangan. Hari ini Bumi mengenakan pakaian santai, tetapi masih enak dipandang oleh orang lain. Bumi bersiap untuk mengetuk pintu kamar inap, tetapi sudah lebih dulu dibuka oleh seorang pria. "Akhirnya dateng juga orang yang ditunggu-tunggu," sapa Tiko ceria, dan mendapati Bumi yang terkejut. "Halo, ganteng," tambahnya seraya mengedipkan mata kanannya. Bumi diam-diam meneliti penampilan Tiko. Apakah pria ini yang diceritakan oleh Karina kemarin? Sepertinya iya, karena tingkah pria di depannya ini sama persis dengan yang digambarkan oleh Karina, lebih atraktif saat berhadapan dengan pria. "Jangan dilihat segitunya dong, kan aku jadi malu." Tiko terkikik pelan seraya menatap Bumi malu-malu. "Ti, tamunya udah dateng, ya?" celetuk Rahma, karena Tiko belum juga kembali saat mengata
"Baiklah." Walaupun bingung dengan permintaan Karina, Bumi tetap menyetujui ucapan perempuan itu.Diikutinya Karina keluar dari kamar inap ibunya setelah menundukkan kepala, sopan.***"Saya ingin kita menikah saat Mama saya sudah sembuh," tukas Karina setelah berada di luar kamar inap.Bumi mengerutkan keningnya. "Kamu bawa saya keluar cuma mau ngomong kaya gitu? Saya kira ada yang penting.""Tapi itu sangat penting bagi saya. Walaupun nanti yang membiayai, dan mengurus segala kebutuhan pernikahan adalah kamu. Tapi, saya sangat tahu bagaimana watak Mama saya," pungkas Karina."Mama saya akan tetap berusaha untuk ikut membantu dalam segala kebutuhan pernikahan kita nanti. Dan saya gak ingin Mama kecapean karena belum sepenuhnya sembuh, lalu berakibat fatal nantinya."Bumi tahu apa yang menjadi ketakutan bagi Karina. Toh, dia pun tidak setega itu membuat seorang wanita paruh baya kecapean karena membantu pernikahannya nanti."Kamu tenang saja. Saya tidak akan menikahi kamu dalam waktu
Sejak insiden lingerie tadi, Karina tak bisa tenang.Dia bahkan tidak bisa memejamkan matanya. Terlebih, Bumi pun sampai saat ini belum kembali ke kamar setelah acara pesta pernikahan selesai. "Lho? Kenapa gue harus mikirin dia?" ucap Karina tanpa sadar menepuk-nepuk pipinya, "Mendingan gue tidur sekarang."Segera, gadis itu merebahkan tubuhnya dan menarik selimut sampai dada. Hanya saja, baru akan menutup mata, tiba-tiba pintu kamar telah terbuka. Wangi parfum Bumi langsung semerbak memenuhi penciumannya!Dengan cepat, Karina menutup matanya untuk berpura-pura tidur.Di sisi lain, Bumi menoleh ke arah ranjang.Menyadari sang istri sudah tertidur, dia pun membuka jas pengantinnya, lalu berjalan menuju kamar mandi.Karina mengintip sedikit saat mendengar pintu kamar mandi telah tertutup kembali.Hanya saja, baru ia mengembuskan napas lega, tiba-tiba pintu kamar mandi kembali terbuka! "Kok cepet banget sih, mandinya? Dia gak mungkin mandi ular, 'kan?" ucap Karina dalam hati, berusa
"Kakek tahu apa yang sedang kamu rencanain." Deg! Bumi menatap sang kakek dengan sorot penuh kehati-hatian. "Maksud Kakek, apa? Bumi gak ngerti," sanggah Bumi seraya tertawa kecil. Berusaha agar kakeknya tidak mengetahuinya bahwa dia tengah dilanda kepanikan. Namun, sepertinya usaha Bumi yang mengelak menemukan jalan buntu, karena Jimmy menyadarinya. "Jangan tegang begitu, Nak," pungkas Jimmy. Lalu, pria yang sudah tidak muda lagi itu memandangi sesuatu di balik jendela kamar tidur Bumi yang menyajikan pemandangan indah. Sebuah lautan yang dikelilingi oleh tebing gunung yang tinggi. "Kakek punya cerita. Kamu mau denger gak, Mi?" Jimmy menatap Bumi sekilas, lalu kembali menatap ke depan. "Apa itu?" Jimmy menghela napas panjang sebelum memulai cerita. "Kakek punya cucu satu-satunya, namanya Bumi Cakrawala Suherman. Dulu--""Kakek." Bumi melihat sang kakek dengan sorot mata tidak ingin bercanda. Jimmy hanya bisa terkekeh dengan respon Bumi. Lalu mengangguk, "Baik, baik. Kali ini