Suasana pemakaman umum di Jakarta Barat terlihat tidak terlalu ramai di pagi hari, hanya ada beberapa penjaga yang tengah membersihkan area makam.
Terlihat sebuah mobil sedan mewah milik Bumi terparkir di halaman pemakaman.Salah seorang penjaga menghampiri mobil tersebut. "Saya kira Anda tidak akan datang. Karena sudah dua minggu Anda tidak ke sini," ucapnya pada Bumi yang baru saja turun seraya memegang setangkai bunga mawar putih.Bumi tersenyum formal. "Maaf, saya sedang berada di luar negeri," balasnya.Si penjaga mengangguk mengerti. "Seperti biasa?"Bumi mengangguk."Hati-hati. Tadi malam turun hujan. Tanahnya jadi basah."Bumi kembali mengangguk, lalu berpamitan pada si penjaga. Dia terus membawa langkahnya pada salah satu makam yang terawat.Bagus Hendrawan Bin Asep Sunandar.Itu adalah nama nisan makam yang Bumi hampiri.Bumi meletakkan setangkai bunga mawar putih di bawah nisan, lalu duduk di sekitar makam. "Halo, Bapak Bagus," sapanya."Bagaimana keadaan Bapak di atas sana? Semoga Bapak tidak bosan melihat saya yang selalu datang ke sini."Bumi menatap nama yang tertera di nisan dengan tatapan penuh penyesalan."Saya tahu mungkin Bapak sudah bosan dengan ucapan maaf dari saya. Tapi, saya benar-benar meminta maaf pada Bapak dari hati tentang kejadian 13 tahun lalu.""Maaf, karena saya Bapak harus meninggal di tempat. Karena saya Bapak harus meninggalkan keluarga Bapak secara paksa. Dan karena saya keluarga Bapak harus hidup dengan kesusahan.""Apalagi putri Bapak satu-satunya yang bernama Karina Lavina harus rela bekerja di sela-sela kegiatan sekolahnya.""Sedangkan saya, saya malah kabur ke luar negeri tanpa bertanggung jawab atas kesalahan saya sendiri, dan hidup tanpa kekurangan apa pun."Bumi kembali mengingat peristiwa kelamnya tiga belas tahun lalu, saat dirinya tengah melakukan balap liar, dan tidak sengaja menabrak seorang pria dewasa yang tengah menyebrang.Bingung dan takut.Adalah dua perasaan yang dirasakan oleh Bumi kala itu. Dia tidak mau masuk penjara di usia terbilang muda, dua puluh tahun.Maka, Bumi meminta sang kakek untuk mengirimkannya ke salah satu perusahaan yang berada di negara Swiss.Selama di Swiss sampai sekarang pun Bumi selalu bermimpi tentang tabrakan yang dilakukan olehnya."Pak Bagus, saya pernah berjanji akan bertanggung jawab atas kesalahan saya pada keluarga Bapak." Bumi melanjutkan ceritanya pada makam ayahnya Karina."Untuk itu saya meminta izin untuk mempersunting putri Anda sebagai istri saya. Saya berjanji akan selalu melindungi dia apa pun yang terjadi.""Pak Bagus tidak perlu khawatir tentang adanya niat lain yang saya akan lakukan, karena saya murni menikah dengan Karina hanya sebuah pertanggungjawaban atas kesalahan saya pada Bapak 13 tahun lalu. Dan saya berjanji tidak akan jatuh cinta pada Karina.""Karena bagaimanapun seorang pengecut seperti saya tidak pantas mencintai seorang malaikat seperti Karina Lavina."Bumi melihat jam tangan yang berada di pergelangan tangan kirinya. Sudah hampir dua jam dia berada di sana, dan bercerita dengan makam Pak Bagus.Dia menghela napas panjang, lalu berdiri. "Pak Bagus, maaf saya tidak bisa berlama-lama di sini. Karena saya ada pertemuan dengan putri Bapak, untuk membicarakan tentang pernikahan kita berdua.""Pak Bagus, saya pamit untuk pergi dari sini. Saya janji akan lebih sering untuk berkunjung ke sini."Sebelum benar-benar pergi dari sana, Bumi membungkukkan badannya. "Saya benar-benar meminta maaf pada Anda."Bumi pun pergi dari makam yang bernama Bagus Hendrawan menuju mobilnya.Selama menuju mobil, Bumi teringat bagaimana usahanya untuk menemukan keberadaan keluarga Pak Bagus.Dia membutuhkan satu tahun dalam pencariannya setelah kembali dari Swiss selama sebelas tahun dirinya hidup di sana.BRUK!"Maaf, maaf ... saya tidak lihat ada orang lain di si-- Bumi?"Bumi terkejut dengan kehadiran Karina di pemakaman secara tiba-tiba.Dia bertanya-tanya apakah Karina melihat dirinya baru saja dari makam ayahnya, atau tidak?"Lagi ziarah, ya?" tanya Karina mengagetkan Bumi."Hah? Oh, iya," jawab Bumi sedikit gugup."Siapa?""Hah? Oh, keluarga. Saya habis ziarah ke makam keluarga," balas Bumi tanpa pikir panjang.Karina sedikit bingung dengan sikat Bumi yang terlihat gugup dari biasanya. Namun, dia mengabaikannya."Oh, ziarah ke makam keluarga. Kirain makam keluarga kamu ada di pemakaman elit, enggak tahunya ada di sini, di pemakaman umum yang sederhana."Bumi diam-diam merutuki jawaban asalnya.Yang dikatakan oleh Karina pun benar, makam keluarganya tidak berada di sini, tetapi berada di pemakaman elit."Oh itu ... mereka yang ingin dimakamkan di sini."Karina hanya mengangguk, memercayai ucapan Bumi. "Oh begitu.""Kalau begitu ... saya izin untuk pergi terlebih dulu," ucap Bumi.Karina kembali mengangguk.Bumi pun segera meninggalkan kawasan pemakaman umum itu sebelum Karina lebih curiga padanya. Namun, baru saja dua langkah Karina memanggil dirinya."Bumi?"Maka, Bumi pun mau tak mau harus berbalik. "Ya?"Karina meremas kedua tangannya gugup. Entah mengapa dia ingin sekali membawa Bumi untuk berkunjung ke makam ayahnya.Dia tahu bahwa ini hanya pernikahan kontrak, tetapi tidak ada salahnya meminta izin terlebih dahulu pada sang ayah.Karina menelan ludahnya sebelum berucap, "Jika Anda tidak keberatan, bolehkah saya memperkenalkan Anda pada almarhum Ayah saya."Bumi terdiam, tidak menyangka bahwa Karina ingin memperkenalkan dirinya pada ayah perempuan itu."Saya tahu bahwa pernikahan ini hanya bersifat sementara, tapi saya tetap ingin memperkenalkan calon suami saya pada almarhum Ayah saya." Karina kembali berucap karena Bumi belum memberikan jawaban.Akhirnya Bumi mengangguk. "Baiklah."Bumi membuat gestur agar Karina jalan terlebih dahulu.Karina berjalan di depan, menunjukkan jalan ke arah makam ayahnya pada Bumi."Huh? Bunga mawar putih lagi?" ucap Karina setelah sampai di makam ayahnya.Karina mengambil setangkai bunga mawar putih di bawah nisan ayahnya, lalu memperlihatkan pada Bumi."Saya gak tahu siapa yang menyimpan ini di makam Ayah. Setiap kali saya ke sini, selalu saja ada setangkai bunga mawar putih," ceritanya pada Bumi.Bumi terdiam melihat setangkai bunga mawar putih di genggaman Karina. Tidak mungkin 'kan dirinya mengakui perbuatannya sekarang pada Karina?"Mungkin itu dari teman Ayah kamu," kata Bumi.Karina menggeleng. "Saya yakin ini bukan dari teman Ayah saya.""Kenapa kamu sampai berpikiran seperti itu?"Karina menatap Bumi. "Karena teman yang Ayah kenal sudah gak ada di dunia ini. Semua teman-teman Ayah sudah berpulang 5 tahun lalu," tukasnya yakin.Deg!Jantung Bumi berdetak kencang. "La-lalu?""Penyesalan, dan harapan pengampunan yang kuat.""Maksudnya?"Karina menatap bunga mawar putih di tangannya. "Saya yakin ini dari orang yang sudah menabrak Ayah saya sampai mati.""Kenapa kamu berpikiran seperti itu?""Gara-gara dia, hidup saya dan Mama harus hidup dalam kekurangan. Dan gara-gara dia juga, saya harus kehilangan kasih sayang seorang ayah," lanjut Karina lagi.Bumi merasa tidak nyaman. Dia tidak bisa membayangkan nasibnya jika Karina mengetahui yang sebenarnya.Hanya saja, ada satu pertanyaan yang sangat pria itu ingin tahu. "Lalu apa yang akan kamu lakukan jika si pe-pengecut itu datang untuk meminta maaf pada kamu?" Karina menatap Bumi dengan yakin, lalu menjawab, "Apa lagi? Tentu saja saya akan menjebloskan dia ke penjara, atau jika perlu dia harus bernasib sama seperti Ayah saya." Hening cukup lama di antara keduanya, hingga akhirnya Bumi memilih berdeham untuk mengalihkan Karina. "Ekhem!" "Bisa kita mulai? Saya masih ada pertemuan yang harus dihadiri," ucap Bumi cepat.Seakan disadarkan tujuan awalnya berkunjung ke makam sang ayah, Karina menepuk dahinya. "Astaghfirullah. Maaf, maaf. Saya beneran lupa tujuan awal saya datang ke sini." Bumi mengangguk singkat, lalu membuat ges
"Saya sudah ada di tempat parkir rumah sakit." Satu kalimat itu yang Karina dengar setelah mengangkat panggilan telepon dari Bumi. Kemarin saat perjalanan menuju kantor, Bumi meminta nomor kontak Karina dengan alasan agar lebih mudah menghubungi perempuan itu jika ada beberapa hal yang harus dibicarakan. "Jangan ditutup dulu sebelum gue jawab bisa, 'kan?" gerutu Karina pelan saat sambungan telepon sudah berakhir tanpa dia menjawab. Dia menatap sang Ibu yang baru selesai meminum obat, dan kini ibunya sedang berbaring menunggu reaksi obat. "Ma?" panggil Karina. Rahma menatap putrinya. "Iya, Rin?" "Ma, Rina mau izin dulu ke luar sebentar. Rina mau ketemuan dulu sama produser film, katanya ada peran yang cocok buat Rina." Karina terpaksa harus berbohong pada ibunya perihal dia harus meninggalkan sang ibu sebentar di rumah sakit sendirian. Rahma mengangguk pelan. "Iya, kamu pergi aja. Mama gak apa-apa kamu tinggalin di sini. Masih ada suster penjaga, nanti kalau Mama butuh apa-apa
Seperti janji Bumi kemarin, bahwa pria itu akan berkunjung ke rumah sakit untuk bertemu dengan Rahma, ibunya Karina Lavina. Sebelum masuk ke kamar inap, Bumi memeriksa kembali penampilan dan beberapa buah tangan. Hari ini Bumi mengenakan pakaian santai, tetapi masih enak dipandang oleh orang lain. Bumi bersiap untuk mengetuk pintu kamar inap, tetapi sudah lebih dulu dibuka oleh seorang pria. "Akhirnya dateng juga orang yang ditunggu-tunggu," sapa Tiko ceria, dan mendapati Bumi yang terkejut. "Halo, ganteng," tambahnya seraya mengedipkan mata kanannya. Bumi diam-diam meneliti penampilan Tiko. Apakah pria ini yang diceritakan oleh Karina kemarin? Sepertinya iya, karena tingkah pria di depannya ini sama persis dengan yang digambarkan oleh Karina, lebih atraktif saat berhadapan dengan pria. "Jangan dilihat segitunya dong, kan aku jadi malu." Tiko terkikik pelan seraya menatap Bumi malu-malu. "Ti, tamunya udah dateng, ya?" celetuk Rahma, karena Tiko belum juga kembali saat mengata
"Baiklah." Walaupun bingung dengan permintaan Karina, Bumi tetap menyetujui ucapan perempuan itu.Diikutinya Karina keluar dari kamar inap ibunya setelah menundukkan kepala, sopan.***"Saya ingin kita menikah saat Mama saya sudah sembuh," tukas Karina setelah berada di luar kamar inap.Bumi mengerutkan keningnya. "Kamu bawa saya keluar cuma mau ngomong kaya gitu? Saya kira ada yang penting.""Tapi itu sangat penting bagi saya. Walaupun nanti yang membiayai, dan mengurus segala kebutuhan pernikahan adalah kamu. Tapi, saya sangat tahu bagaimana watak Mama saya," pungkas Karina."Mama saya akan tetap berusaha untuk ikut membantu dalam segala kebutuhan pernikahan kita nanti. Dan saya gak ingin Mama kecapean karena belum sepenuhnya sembuh, lalu berakibat fatal nantinya."Bumi tahu apa yang menjadi ketakutan bagi Karina. Toh, dia pun tidak setega itu membuat seorang wanita paruh baya kecapean karena membantu pernikahannya nanti."Kamu tenang saja. Saya tidak akan menikahi kamu dalam waktu
Sejak insiden lingerie tadi, Karina tak bisa tenang.Dia bahkan tidak bisa memejamkan matanya. Terlebih, Bumi pun sampai saat ini belum kembali ke kamar setelah acara pesta pernikahan selesai. "Lho? Kenapa gue harus mikirin dia?" ucap Karina tanpa sadar menepuk-nepuk pipinya, "Mendingan gue tidur sekarang."Segera, gadis itu merebahkan tubuhnya dan menarik selimut sampai dada. Hanya saja, baru akan menutup mata, tiba-tiba pintu kamar telah terbuka. Wangi parfum Bumi langsung semerbak memenuhi penciumannya!Dengan cepat, Karina menutup matanya untuk berpura-pura tidur.Di sisi lain, Bumi menoleh ke arah ranjang.Menyadari sang istri sudah tertidur, dia pun membuka jas pengantinnya, lalu berjalan menuju kamar mandi.Karina mengintip sedikit saat mendengar pintu kamar mandi telah tertutup kembali.Hanya saja, baru ia mengembuskan napas lega, tiba-tiba pintu kamar mandi kembali terbuka! "Kok cepet banget sih, mandinya? Dia gak mungkin mandi ular, 'kan?" ucap Karina dalam hati, berusa
"Kakek tahu apa yang sedang kamu rencanain." Deg! Bumi menatap sang kakek dengan sorot penuh kehati-hatian. "Maksud Kakek, apa? Bumi gak ngerti," sanggah Bumi seraya tertawa kecil. Berusaha agar kakeknya tidak mengetahuinya bahwa dia tengah dilanda kepanikan. Namun, sepertinya usaha Bumi yang mengelak menemukan jalan buntu, karena Jimmy menyadarinya. "Jangan tegang begitu, Nak," pungkas Jimmy. Lalu, pria yang sudah tidak muda lagi itu memandangi sesuatu di balik jendela kamar tidur Bumi yang menyajikan pemandangan indah. Sebuah lautan yang dikelilingi oleh tebing gunung yang tinggi. "Kakek punya cerita. Kamu mau denger gak, Mi?" Jimmy menatap Bumi sekilas, lalu kembali menatap ke depan. "Apa itu?" Jimmy menghela napas panjang sebelum memulai cerita. "Kakek punya cucu satu-satunya, namanya Bumi Cakrawala Suherman. Dulu--""Kakek." Bumi melihat sang kakek dengan sorot mata tidak ingin bercanda. Jimmy hanya bisa terkekeh dengan respon Bumi. Lalu mengangguk, "Baik, baik. Kali ini
Karina mencebikkan bibirnya melihat bagaimana Bumi memonopoli ibunya. Awalnya dia ingin menolak kehadiran Bumi saat pria itu menawarkan diri untuk bergabung, tetapi ibunya malah menyambut dengan baik. Sedangkan di sisi kanan Karina ada Tiko, pria kemayu itu masih ber-swafoto dari berbagai sudut. "Udah sih, jangan manyun terus kaya gitu. Nanti bibir yeiy pegel, lho," celetuknya ketika melihat raut Karina yang sangat tidak enak dipandang. Karina menoleh pada Tiko sejenak, lalu menghela napas panjang. Dia kembali menatap ke arah ibunya dan Bumi. "Gue tuh pengen hari ini khusus buat jalan-jalan sama Mama, sama lo juga, tanpa ada orang lain sebelum gue tinggal sama Bumi," imbuhnya. "Laki yeiy bukan orang lain. Dia suaminya yeiy." "Iya, tahu. Tapi ...." "Tapi apa, hmm?" Tiko menatap Karina dengan senyuman jahil dan alis yang digerakkan. "Apa sih, Ti?" Karina membalas tatapan Tiko dengan sinis. Tiko seketika tertawa. "Kenapa lo malah ketawa, Ti? Gak ada yang lucu juga di sini," pu
Hari ini adalah kepulangan Rahma, Tiko, Jimmy, dan Diego setelah melaksanakan liburan sekaligus menjadi saksi pernikahan Karina dan Bumi di Swiss. Seperti perkataan Jimmy tempo hari bahwa dia memberi hadiah pada Karina dan Bumi berupa voucher untuk berbulan madu terlebih dulu di Swiss sebelum pulang ke Indonesia. Maka, pengantin baru itu hanya bisa mengantar anggota keluarga mereka sampai ke bandara. "Nanti kalau udah sampe di Indonesia kabarin Rina, ya, Ma." Karina berucap pesan pada sang ibu dengan memeluk wanita paruh baya itu yang sangat dia sayangi. "Iya, nanti Mama kabarin Rina kalau udah sampe," sahut Rahma dengan mengelus rambut panjang anak perempuannya. Karina meregangkan pelukannya, tetapi tangannya masih memegang lengan sang ibu. "Pokoknya jangan lupa kabarin Rina," ingatnya kembali. Rahma mengangguk, "Iya, Rina." Puas akan jawaban sang ibu, kini Karina menatap Tiko. "Lo juga, ya, Ti. Jangan lupa kabarin gue kalau udah sampe Indonesia." "Yeiy tenang aja, nanti yeiy