Satrio mengajak Isha ke salah satu mal terbesar di Jakarta. Setelah memarkirkan motor, pria itu menggandeng istrinya masuk ke mal.“Bang, malnya bagus dan besar banget. Pasti di sini harganya mahal-mahal ya?” Isha bertanya pada suaminya begitu memasuki area mal.“Mahal atau murah itu relatif, Dek. Selama kita mampu, tidak mahal. Insya Allah uang kita cukup untuk belanja di sini.” Satrio menenangkan istrinya.“Bang, pakaian orang-orang yang ke sini bagus-bagus. Tidak seperti pakaianku ini.” Isha jadi minder melihat penampilan pengunjung mal lainnya.Satrio seketika menghentikan langkah hingga membuat Isha ikut berhenti. Dia memindai penampilan istrinya dari ujung kepala sampai kaki. Memang pakaian istrinya sederhana dan tidak bermerek, tapi sopan dan pantas untuk bepergian.“Memangnya pakaian Dek Isha kenapa? Bagus dan cocok kok,” ucapnya agar sang istri tidak merasa rendah diri.“Masa sih, Bang?” Isha tak mau percaya begitu saja pada suaminya.Satrio mengangguk. “Iya. Masa Dek Isha ti
“Assalamu’alaikum.” Isha mengucap salam saat membuka pintu rumah karena lampu ruang tamu masih menyala. Menandakan masih ada yang duduk di sana.“Wa’alaikumussalam,” balas Lina. “Mana martabak pesanan Ibu?” tanyanya tanpa basa-basi.“Ini, Bu.” Isha meletakkan kantong plastik yang berisi martabak manis kesukaan ibu tirinya di atas meja ruang tamu.“Ini rasa apa?” tanya Lina sembari mengeluarkan kemasan kardus dari kantong plastik.“Ya, seperti yang biasa Bapak beli, Bu,” jawab Isha dengan tenang.“Ya sudah, Ibu kira rasa lainnya. Ambilkan piring sama garpu sana!” titah wanita paruh baya itu pada anak tirinya.“Kenapa ga nyuruh Vita saja, Bu? Dia nganggur tuh. Aku ‘kan baru pulang, mau istirahat.” Isha menunjuk adik tirinya yang tiduran di sofa sambil memainkan gawai.“Kamu ‘kan yang masih berdiri, biar sekalian jalannya. Ambilin piring sama garpu dulu baru ke kamar, apa sih susahnya?” Lina memandang Isha dengan kesal.“Kenapa, Dek?” Satrio langsung bertanya pada Isha begitu melihat ket
“Bu, ayo ke kamar Mbak Isha.” Vita mengajak sang ibu setelah memastikan Isha dan Satrio sudah pergi.Lina mengernyit. “Mau ngapain, Vit? Kamu kurang kerjaan?”“Ck, Ibu lupa ya rencana semalam? Kita cek barang-barang yang dibeli Mbak Isha sama Bang Satrio asli atau kw,” jawab Vita dengan penuh antusias.“Terus kalau ternyata asli kenapa? Kalau kw kenapa?” Lina menyahut dengan malas.Vita menghela napas panjang. “Kalau asli berarti Mbak Isha dan Bang Satrio punya uang, Bu. Kalau kw ya, mereka cuma gaya-gayaan aja biar kelihatan keren,” jelasnya.“Ayo, Bu. Mumpung Bapak ga ada.” Vita menarik sang ibu yang terlihat tidak bersemangat. Akhirnya Lina mengikuti langkah putrinya masuk ke kamar Isha.Vita mencoba membuka lemari, tapi tidak bisa karena dikunci. Dia kemudian melihat ke meja rias Isha, tidak ada barang mahal di sana. Merek kosmetik yang dipakai Isha hanya merek pasaran dengan harga standar.Gadis itu lalu beralih ke gantungan yang ada di belakang pintu. Matanya membelalak kala meli
“Pak, Bu, sore ini saya dan Dek Isha akan pergi berlibur selama dua hari. Insya Allah kami pulang Selasa sore.” Satrio bicara pada Lina dan Baskoro yang sedang duduk bersantai di ruang tamu sambil menonton televisi.“Ya, jaga diri kalian. Hati-hati di jalan,” sahut Baskoro dengan tenang. Dia langsung mengizinkan Isha pergi bersama suaminya tanpa bertanya ke mana tujuan mereka.“Mau pergi ke mana kalian?” Lina bertanya dengan ketus. Dia masih kesal karena merasa dibohongi Satrio yang mengaku tidak punya uang tapi kemarin membeli barang-barang mahal dan sekarang malah mau pergi liburan. “Insya Allah ke Pulau Ayer, Bu,” jawab Satrio.“Hah! Pulau Ayer!” Vita yang mendengar hal itu sontak berseru. “Vita! Ngapain kamu teriak gitu!” Lina menegur putri kandungnya.“Bang Sat sama Mbak Isha mau bulan madu di sana?” Vita malah kepo, tak mengindahkan teguran sang ibu.Satrio mengulum senyum. “Bisa dibilang begitu,” akunya.“Vita, panggil Satrio yang benar! Jangan seperti orang mengumpat begitu!
“Bu, aku besok juga mau bulan madu kaya Mbak Isha.” Vita bicara pada ibunya setelah Isha dan Satrio pergi, dan Baskoro ke kamar mandi.“Memangnya kamu sama Surya punya uang buat pergi bulan madu?” Lina menatap lekat putri kandungnya itu.Vita berdecak. “Ibu kok ngomongnya gitu sih? Bukannya mendukung apa gimana biar aku enggak kalah sama Mbak Isha,” protesnya.“Kalau yang kamu maksud mendukung itu dengan membiayai bulan madu kalian, Ibu tidak bisa. Biaya buat resepsi saja masih belum cukup, kamu sudah memikirkan bulan madu. Lagian bulan madu itu tidak wajib dilakukan suami istri,” timpal Lina.“Aku nanti malu sama Mbak Isha kalau tidak bulan madu, Bu. Masa dia yang karyawan toko bisa bulan madu, aku yang kerja di perusahaan besar malah tidak,” tukas Vita.“Kalau memang kamu mau bulan madu, pakai uangmu sendiri. Atau berdoa ada orang baik yang seperti temannya Satrio mau memberikan hadiah bulan madu buatmu sama Surya,” lontar wanita paruh baya itu.“Aku jadi penasaran sama temannya Ban
Satrio sontak menoleh ke arah suara yang memanggil. Dia mengernyit lalu menghentikan langkah. Membuat Isha pun ikut berhenti. Seorang wanita berambut panjang bergelombang yang dicat warna kemerahan dan mengenakan pakaian seksi tersenyum padanya. “Apa kabar, Bhumi?” Wanita itu mendekat lalu tiba-tiba memeluk dan mencium pipi Satrio.Pria berambut ikal itu terkejut. Tak menduga akan mendapat pelukan dan ciuman dari wanita lain di depan istrinya. Sontak dia melepas genggaman tangannya dengan Isha lantas mendorong saat wanita tadi ingin mencium sisi pipinya yang lain. “Jangan bersikap seperti ini, Gwen! Aku sudah punya istri,” ucap Satrio dengan tegas. Raut wajahnya terlihat serius dan rahangnya tampak mengetat.Wanita tadi membelalakkan mata begitu mendengar ucapan Satrio. “Apa? Kamu sudah nikah? Jangan bercanda, Bhumi!” Dia tak mau percaya begitu saja.“Aku tidak bercanda. Ini istriku.” Satrio menoleh pada Isha yang sejak tadi hanya diam melihat suaminya didekati wanita yang penampilann
Isha terkesiap saat Satrio tiba-tiba memeluknya dari belakang. Tubuh gadis itu pun seketika membeku. Dia berdiri mematung, hanya dadanya yang terlihat bergerak teratur. “Dek, beneran masih marah sama Abang ya?” Satrio kembali bertanya pada istrinya karena Isha sama sekali tak merespons. “Apa yang harus Abang lakukan biar Dek Isha memaafkan Abang?” Satrio semakin memeluk erat istrinya. Berharap dengan itu, Isha mau memberi respons. Tidak hanya diam.“Bang, aku sesak.” Isha akhirnya bersuara meskipun tak menanggapi ucapan suaminya. Dia berusaha mengendurkan pelukan Satrio di tubuhnya.Begitu mendengar suara sang istri, Satrio lantas mengurai pelukan. Dengan cepat dia bergerak lalu berdiri di hadapan Isha. Kedua tangan Satrio kemudian memegang bahu istrinya.“Dek, bilang sama Abang apa yang harus Abang lakukan untuk mendapat maaf dari Dek Isha? Tolong jangan diam saja karena Abang tidak bisa membaca pikiran Dek Isha,” pintanya dengan tatapan memohon. Pria itu terlihat frustrasi.Isha b
“Terima kasih, Dek. I love you.” Satrio mengecup lembut kening Isha yang tampak basah oleh keringat. Pria berambut ikal itu kemudian bergerak ke samping. Menarik selimut untuk menutupi tubuh polos sang istri dan tubuhnya, lantas berbaring miring menghadap Isha yang masih mengatur napas.Satrio tersenyum sangat lebar sesudah mendapatkan haknya sebagai suami. Malam ini merupakan malam terindah untuknya dan juga Isha karena menjadi malam pertama mereka menyatukan jiwa dan raga sebagai suami istri. Isha akhirnya dengan sukarela menyerahkan mahkotanya yang paling berharga untuk Satrio.“Capek, Dek?” Satrio bertanya setelah napas Isha sudah tidak memburu.Isha menggeleng. Dia menarik selimut ke atas untuk menutupi bahunya yang terbuka. Wanita yang baru saja melepas kegadisannya itu mulai merasa kedinginan karena tak terbiasa di ruangan ber-AC. Tadi Satrio hanya menyelimutinya sampai batas dada. “Abang naikkan suhu AC-nya ya biar Dek Isha ga kedinginan.” Satrio mengambil remote AC lalu mena
“Bu, kita kabur aja yuk! Aku ga tahan hidup di sini.” Vita mengeluh pada ibunya saat mereka berbaring sebelum tidur. Lina menatap lekat putrinya meskipun dalam cahaya remang-remang. “Ga usah aneh-aneh, Vit. Apa kamu lupa kemarin ada yang kabur terus ketangkap? Sekarang dia dimasukkan ke ruang isolasi. Kamu mau hidup di ruangan sempit, gelap, pengap, dan ga bisa keluar sama sekali?” “Lebih baik aku mati saja daripada dikurung di sana, Bu,” timpal Vita dengan bibir mengerucut. “Ya sudah, kalau gitu terima aja apa adanya!” tukas Lina. “Tapi aku capek banget kalau kaya gini tiap hari, Bu. Kulitku jadi cokelat, kukuku juga rusak semua. Sia-sia perawatan yang aku lakukan selama ini,” keluh Vita. “Vit, kita seperti ini sekarang karena siapa? Kamu ‘kan! Kalau kamu ga mendorong Isha dari tangga, Satrio ga akan semarah itu sama kita. Ya sudah, sekarang kamu terima aja konsekuensinya!” Lama-lama Lina merasa kesal pada Vita yang selalu dia banggakan. “Kita dibiarkan hidup sama Satrio sudah
Kondisi Abi setiap hari semakin membaik. Berat badannya terus naik karena rutin minum ASI sang ibu. Paru-parunya sudah berfungsi dengan baik, hingga tak perlu alat bantu pernapasan lagi. Jantungnya pun detaknya sudah normal. Pada hari ke-6, Abi pun keluar dari NICU, tapi belum diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter masih harus mengobservasi kondisi Abi setelah tidak berada di inkubator. Sebenarnya di hari ketiga paska-operasi, Isha sudah diperbolehkan pulang. Namun karena tak tega meninggalkan Abi sendiri di sana, dan repot kalau harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memberikan ASI-nya, akhirnya Isha tetap tinggal di ruangan rawat inapnya. Satrio yang bolak-balik karena dia tetap harus pergi ke kantor untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai presdir Digdaya Grup. Marni juga setiap hari ke rumah sakit, membawakan baju ganti untuk Isha, Satrio, dan Abi, lalu pulangnya membawa baju mereka yang kotor untuk dicuci di rumah. Selain baju, dia juga membawakan jamu pelancar ASI untuk Isha
“Sudah, tapi nanti saja aku kasih tahu kalau semua kumpul biar sekalian jelasin arti namanya.” Satrio menjawab rasa penasaran adiknya. Nila berdecak. “Terus selama Kak Bhumi belum ngasih tahu namanya, kita manggilnya apa dong? Masa Baby sih?” protes gadis yang masih kuliah semester akhir itu. “Kalau begitu panggil saja Abi. Itu nama panggilan yang diambil dari nama tengahnya,” sahut Satrio setelah berpikir beberapa saat. “Iya, deh. Suka-suka, Kak Bhumi, aja. Lagian sok misterius banget namanya sampai ga mau nyebutin.” Nila merasa gemas pada kakak sulungnya itu. “Bukannya sok misterius, tadi aku dah bilang ‘kan alasannya,” tukas Satrio. “Terus kapan rencanamu mau ngadain akikah buat Abi?” Kali ini Krisna yang bertanya. “Sunahnya tujuh hari ‘kan, Pa? Tapi aku belum tahu nanti pas itu Abi sudah bisa pulang atau belum. Menurut Papa sebaiknya gimana?” Satrio memandang papanya. “Tidak harus tujuh hari tidak apa-apa bisa setelah empat belas atau dua puluh satu hari. Tapi kalau kamu mau
Isha langsung diberi ucapan selamat oleh Baskoro, Bisman, Bayu, Marni, dan Kasno begitu dia dibawa ke kamar oleh petugas. Wanita yang baru menjadi ibu itu mengucapkan terima kasih atas perhatian dan doa-doanya mereka. Baru setelah itu Satrio mendekati sang istri yang duduk menyandar pada bagian atas brankar yang dinaikkan dan diatur posisinya sampai Isha merasa nyaman. “Makasih ya, Dek, sudah bertahan dan berjuang bersama anak kita. Terima kasih sudah melahirkan jagoan di keluarga kita,” lontar Satrio sambil menggenggam tangan sang istri tercinta. Dia duduk di kursi samping brankar, menghadap belahan jiwanya itu. Isha mengangguk. Wajahnya yang masih tampak pucat tersenyum. “Bang Satrio udah ketemu anak kita?” Dia berusaha tetap tegar dan tenang walaupun sang putra saat ini menjalani perawatan yang intensif. Pria yang kini mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung sampai siku itu, menggeleng. “Belum, Dek. Katanya kalau mau ketemu harus ke NICU. Abang maunya ke sana sama Dek
Satrio sontak berdiri kala melihat dokter keluar dari ruang operasi. Dia gegas menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana operasinya, Dok? Lancar ‘kan?” tanyanya tak sabar. Dokter itu tersenyum. “Alhamdulillah lancar. Kondisi Ibu sejauh ini stabil, tapi putra Bapak harus mendapatkan perawatan intensif karena lahir prematur dan berat badan lahirnya rendah,” jawabnya. Satrio menghela napas lega meskipun kondisi sang anak masih belum bagus. Setidaknya istri dan anaknya selamat. “Alhamdulillah. Berarti saya boleh menemui istri dan anak saya sekarang, Dok?” tanyanya lagi. Sang dokter menggeleng. “Untuk saat ini belum, Pak. Ibu masih di ruang pemulihan untuk diobservasi. Kalau putra Bapak nanti bisa ditemui di NICU, sekarang masih ditangani oleh dokter anak,” jelasnya. Bahu Satrio meluruh karena tidak bisa menemui istri dan anaknya. “Kalau begitu sebaiknya saya menunggu di mana, Dok? Di sini atau di kamarnya?” Dia kembali bertanya. “Di sini boleh. Di kamar juga boleh. Nanti kalau Ibu seles
“Vit, ada tamu tuh. Sana buka pintunya!” titah Lina yang sedang tiduran di sofa depan televisi pada putrinya setelah mendengar bel rumah berbunyi.“Siapa sih? Ganggu aja orang lagi santai!” Meskipun menggerutu, Vita tetap melangkah menuju pintu depan. Keningnya mengerut kala melihat beberapa sosok pria berbadan tinggi, kekar, dan mengenakan pakaian serba hitam. Sejujurnya dia takut melihat para pria di hadapannya yang tampangnya tampak menyeramkan dan sama sekali tak ramah.“Kalau kalian mencari Bang Satrio dan Mbak Isha, mereka tidak ada di rumah!” Vita bicara dengan ketus untuk menutupi ketakutannya.“Siapa, Vit?” Lina menyusul ke depan karena penasaran dengan tamu yang datang.“Ga tahu, Bu!” Vita menggeleng.Lina terkesiap melihat orang-orang yang bertamu. Dia langsung menelan ludah dan mendekat pada putrinya. “Mereka bukan debt collector yang mau nagih utang Satrio atau Isha ‘kan?” bisiknya.“Mana kutahu, Bu. Sejak tadi mereka cuma diam. Ga ngomong apa-apa,” balas Vita juga dengan
Bayu mendekat pada Satrio yang sedang makan siang dengan para pejabat daerah dan pengusaha lokal—yang datang di acara pembukaan anak perusahaan Digdaya Grup. "Pak, saya baru dapat kabar kalau Bu Isha jatuh dari tangga dan sekarang sedang dalam perjalanan ke rumah sakit," bisiknya usai mendapat pesan dari Marni. Satrio sontak menghentikan makan lalu mengelap mulut dengan sapu tangan. "Segera siapkan helikopter. Kita pulang ke Jakarta sekarang!" perintahnya juga dengan berbisik. "Baik, Pak." Bayu menjauh lalu melakukan koordinasi dengan yang lain untuk mengatur kepulangan sang atasan. Di setiap kantor anak perusahaan Digdaya Grup memang ada helipad untuk memudahkan transportasi para petinggi perusahaan bila ada kepentingan yang mendesak. Meskipun mengkhawatirkan keselamatan istri dan calon anaknya, Satrio tetap berusaha bersikap tenang di hadapan yang lain. Dia minta maaf pada para pejabat dan pengusaha yang semeja dengannya karena tidak bisa menemani makan siang sampai selesai. Tak l
“Mau ke mana, Bi?” tanya Vita saat melihat ART Isha akan menaiki tangga.“Saya mau manggil Ibu untuk makan siang, Mbak,” jawab Marni.“Bi Marni, lakukan pekerjaan lain saja. Biar aku yang panggil Mbak Isha.” Vita menawakan diri.“Tapi Bapak sudah pesan kalau saya sendiri yang harus manggil Ibu di kamar, Mbak.” Marni tak mau begitu saja menerima tawaran adik tiri Isha itu.Vita tampak mengernyit. “Kenapa memangnya?”“Soalnya Bapak minta saya membantu Ibu waktu turun tangga karena Bapak khawatir Ibu jatuh atau kepleset.” Marni mengungkapkan alasannya.“Kalau cuma bantu Mbak Isha turun tangga, aku juga bisa, Bi. Sudah sana Bi Marni siapin aja makannya, aku yang akan manggil Mbak Isha.” Vita meminta ART itu pergi.“Biar saya yang manggil Ibu, Mbak. Makanannya sudah siap semua kok di meja makan. Lebih baik Mbak Vita panggil bapak dan ibunya atau langsung ke ruang makan saja.” Marni tetap bersikeras memanggil Isha.“Kenapa sih ga mau dibantu, Bi? Takut saya ngapa-ngapain Mbak Isha?” tukas Vi
Vita kembali ke rumah Baskoro setelah dokter mengizinkan dia pulang dari rumah sakit. Sejak Vita dirawat sampai pulang, Surya selalu memberi perhatian walau sering diabaikan oleh sang istri. Namun pria itu tak mau menyerah begitu saja untuk mengambil hati istri yang pernah disakitinya. Walaupun Surya sudah menunjukkan perubahannya, Vita tetap bersikeras untuk bercerai. Sejak awal Surya memang tidak mau berpisah dengan istrinya. Dia ingin mempertahankan pernikahan mereka. Surya menunjukkan kesungguhannya dengan meninggalkan Ike dan tidak pernah berhubungan lagi dengan teman kuliahnya itu. Dia juga janji akan bekerja di perusahaan yang direkomendasikan oleh Satrio demi masa depan mereka meskipun harus tinggal di luar Pulau Jawa. Orang tua dari kedua belah pihak sudah berusaha menasihati dan menengahi permasalahan antara Vita dan Surya. Namun Vita tetap pada pendiriannya. Dia ingin bercerai dari Surya. Vita sudah tidak bisa percaya lagi pada suaminya jadi percuma kalau tetap bersama t