Satrio sontak menoleh ke arah suara yang memanggil. Dia mengernyit lalu menghentikan langkah. Membuat Isha pun ikut berhenti. Seorang wanita berambut panjang bergelombang yang dicat warna kemerahan dan mengenakan pakaian seksi tersenyum padanya. “Apa kabar, Bhumi?” Wanita itu mendekat lalu tiba-tiba memeluk dan mencium pipi Satrio.Pria berambut ikal itu terkejut. Tak menduga akan mendapat pelukan dan ciuman dari wanita lain di depan istrinya. Sontak dia melepas genggaman tangannya dengan Isha lantas mendorong saat wanita tadi ingin mencium sisi pipinya yang lain. “Jangan bersikap seperti ini, Gwen! Aku sudah punya istri,” ucap Satrio dengan tegas. Raut wajahnya terlihat serius dan rahangnya tampak mengetat.Wanita tadi membelalakkan mata begitu mendengar ucapan Satrio. “Apa? Kamu sudah nikah? Jangan bercanda, Bhumi!” Dia tak mau percaya begitu saja.“Aku tidak bercanda. Ini istriku.” Satrio menoleh pada Isha yang sejak tadi hanya diam melihat suaminya didekati wanita yang penampilann
Isha terkesiap saat Satrio tiba-tiba memeluknya dari belakang. Tubuh gadis itu pun seketika membeku. Dia berdiri mematung, hanya dadanya yang terlihat bergerak teratur. “Dek, beneran masih marah sama Abang ya?” Satrio kembali bertanya pada istrinya karena Isha sama sekali tak merespons. “Apa yang harus Abang lakukan biar Dek Isha memaafkan Abang?” Satrio semakin memeluk erat istrinya. Berharap dengan itu, Isha mau memberi respons. Tidak hanya diam.“Bang, aku sesak.” Isha akhirnya bersuara meskipun tak menanggapi ucapan suaminya. Dia berusaha mengendurkan pelukan Satrio di tubuhnya.Begitu mendengar suara sang istri, Satrio lantas mengurai pelukan. Dengan cepat dia bergerak lalu berdiri di hadapan Isha. Kedua tangan Satrio kemudian memegang bahu istrinya.“Dek, bilang sama Abang apa yang harus Abang lakukan untuk mendapat maaf dari Dek Isha? Tolong jangan diam saja karena Abang tidak bisa membaca pikiran Dek Isha,” pintanya dengan tatapan memohon. Pria itu terlihat frustrasi.Isha b
“Terima kasih, Dek. I love you.” Satrio mengecup lembut kening Isha yang tampak basah oleh keringat. Pria berambut ikal itu kemudian bergerak ke samping. Menarik selimut untuk menutupi tubuh polos sang istri dan tubuhnya, lantas berbaring miring menghadap Isha yang masih mengatur napas.Satrio tersenyum sangat lebar sesudah mendapatkan haknya sebagai suami. Malam ini merupakan malam terindah untuknya dan juga Isha karena menjadi malam pertama mereka menyatukan jiwa dan raga sebagai suami istri. Isha akhirnya dengan sukarela menyerahkan mahkotanya yang paling berharga untuk Satrio.“Capek, Dek?” Satrio bertanya setelah napas Isha sudah tidak memburu.Isha menggeleng. Dia menarik selimut ke atas untuk menutupi bahunya yang terbuka. Wanita yang baru saja melepas kegadisannya itu mulai merasa kedinginan karena tak terbiasa di ruangan ber-AC. Tadi Satrio hanya menyelimutinya sampai batas dada. “Abang naikkan suhu AC-nya ya biar Dek Isha ga kedinginan.” Satrio mengambil remote AC lalu mena
Isha kembali menggeleng. “Ga usah, Bang. Aku gapapa kok. Aku bisa jalan ke kamar mandi sendiri.” Dia menolak tawaran suaminya begitu menyadari kalau Satrio hanya melilitkan handuk di pinggang dan bagian atas tubuhnya terbuka. Menampakkan otot perut dan dada yang terbentuk dengan sempurna. Untuk pertama kalinya dia melihat pemandangan indah itu di depan mata.Semalam mereka memang sama-sama polos, tapi tak ada waktu untuk Isha melihat keindahan tubuh suaminya. Setiap sentuhan Satrio begitu melenakan dirinya hingga hanya menikmati beragam rasa yang baru pertama kali dirasakannya. Puncaknya, Satrio membuatnya menggapai surga dunia, melambungkan sejuta rasa yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.Membayangkan apa yang terjadi tadi malam membuat wajah Isha jadi semakin merah. Dia terhenyak saat merasakan tubuhnya melayang dan aroma sabun yang segar memenuhi indra penciumannya. Satrio ternyata membopongnya menuju kamar mandi tanpa disadarinya.“Bang, lepas. Aku bisa jalan sendiri,” prot
“Dek, kita sarapan di restoran yuk.” Satrio mengajak istrinya makan pagi karena dia sudah merasa lapar. Kegiatan yang mereka lakukan semalam, benar-benar menguras energi.“Aku rapikan dulu tempat tidurnya, Bang.” Isha menarik selimut, berniat melipatnya. Namun kemudian dia terpaku kala melihat ada noda merah di seprai yang berwarna putih. Seketika wajahnya memerah begitu sadar kalau noda tersebut berasal dari bagian intinya yang semalam dibobol oleh sang suami.Isha pun gegas melipat selimut lantas meletakkannya di atas noda merah itu. Berusaha menutupi agar Satrio tidak melihatnya. Selesai merapikan tempat tidur, dia pergi ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Sambil menunggu Isha bersiap, Satrio melakukan panggilan di balkon kamar.“Dek, nanti kalau ketemu siapa pun, tetap bersikap biasa ya. Jangan seperti kemarin!” pesan Satrio saat mereka dalam perjalanan ke restoran.Isha mengangguk. “Iya, Bang.”Satrio tersenyum lantas mengeratkan genggaman tangannya dengan sang istri tercinta.
“Bang, kita nanti tidur di atas laut ya?” Isha bertanya kala mereka menyusuri jalan yang dibuat dari kayu.“Iya, Dek. Kenapa? Takut?” Satrio menoleh pada istrinya.“Nanti kamarnya kena ombak ga, Bang?” tanya Isha lagi.Satrio tersenyum. “Insya Allah enggak kalau ombak besar. Ini ‘kan letaknya di pantai yang dangkal dan ombaknya kecil, Dek. Ga usah takut ya, ‘kan ada Abang.” Dia mengangkat tangan Isha yang ada di genggamannya lantas mencium punggung tangan sang istri.“Di sini letak cottage-nya mirip seperti di Maldives, Dek. Insya Allah suatu hari, Abang ajak Dek Isha ke Maldives yang asli. Sekarang di sini dulu, yang dekat,” lontar Satrio.Isha melirik suaminya. “Memangnya Maldives itu apa, Bang?”Alis tebal Satrio bertaut. “Dek Isha, tidak tahu Maldives?”Isha mengangguk. “Kalau tahu ya aku ga akan nanya, Bang,” timpalnya.“Maldives itu salah satu tempat bulan madu yang diimpikan banyak orang, Dek,” jelas Satrio.“Itu di luar negeri ya, Bang?” Pertanyaan Isha itu dijawab Satrio deng
Selepas Asar dan sinar matahari sudah tak terlalu menyengat, Satrio mengajak Isha berjalan-jalan ke pantai. Pria itu mengenakan kaos oblong tanpa lengan dan celana pendek selutut. Untuk alas kaki dia memakai sandal jepit, dan kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. Sementara itu Isha mengenakan kaos dan celana panjang yang warnanya senada dengan suaminya. Rambutnya ditutup dengan hijab instan hitam sebatas dada. Dia juga memakai kacamata hitam dan alas kaki yang modelnya sama dengan Satrio. Membuat mereka tampak serasi dan terlihat sebagai pasangan yang harmonis.Kedua sejoli itu berjalan sambil bergandengan tangan. Mereka langsung menuju tempat persewaan jetski. Satrio benar-benar membuktikan omongannya yang akan mengajak istrinya naik jet ski.“Bang Satrio, beneran bisa mengendarai jet ski?” Isha bertanya pada suaminya karena merasa ragu. Walaupun bukan termasuk orang yang senang bergaul, dia tahu harga sewa jet ski tidak murah. Hanya orang yang punya uang dan nyali besar y
Isha mengernyit. “Memangnya aku pernah bilang ga suka sama liburan ini, Bang?”Satrio menggeleng. “Seingat Abang ga pernah, Dek. Abang cuma mau memastikan karena tadi Dek Isha bilang tidak mau liburan seperti ini,” timpalnya.Isha tersenyum. “Siapa yang ga senang dapat liburan gratis, Bang? Aku rasa semua orang pasti senang, termasuk aku. Maksudku tadi itu kalau liburan pakai uang sendiri, lebih baik tidak usah. Mending uangnya ditabung untuk masa depan,” jelas wanita berusia 25 tahun itu.“Oh, maksudnya begitu. Kirain Dek Isha ga senang sama liburan kita sekarang.” Satrio akhirnya menghela napas lega. “Abang rasanya masih belum puas liburan, Dek. Baru hari ini nyampe, besok sudah pulang. Gimana kalau kita nambah sehari atau dua hari?” Dia meminta pendapat sang istri walaupun sebenarnya bisa memutuskan sendiri. Namun Satrio ingin Isha merasa dihargai pendapatnya sebagai istri. Sebagai kepala rumah tangga, dia tidak mau bersikap egois dan otoriter. “Jangan aneh-aneh, Bang! Aku cuma di
“Beb, benar ini alamat perumahannya Mbak Isha?” tanya Vita pada suaminya waktu mereka tiba di depan gerbang perumahan elite.Surya mengangguk. “Iya. Sesuai alamat dan map yang dikasih sama Bang Satrio.”“Coba deh tanya dulu sama yang jaga, Beb,” pinta Vita.“Kamu aja sana yang tanya. Kan kamu yang ragu,” timpal Surya yang enggan keluar dari mobil.Vita akhirnya turun dari mobil dan bertanya pada petugas yang berjaga di gerbang. “Selamat pagi, Pak. Apa benar Mbak Isha dan Bang Satrio tinggal di komplek ini?” tanyanya.“Tinggal di blok apa dan nomor rumahnya berapa ya, Bu? Mohon maaf kami tidak hafal nama panggilan setiap pemilik rumah,” timpal sang penjaga.Vita membuka gawai lantas menunjukkan undangan digital yang dikirim oleh Isha beberapa hari yang lalu pada penjaga tersebut. “Ini alamatnya, Pak. Hari ini mereka ngadain acara syukuran di rumahnya,” ucapnya.“Oh, rumahnya Pak Bhumi. Benar di sini rumahnya,” sahut penjaga itu.“Kalau begitu bisa minta tolong dibukakan gerbangnya, Pak
“Beb, Sabtu besok kita diundang syukuran empat bulanan hamilnya Mbak Isha sekaligus syukuran rumah. Kamu bisa ikut ‘kan?” Vita bicara pada Surya yang sedang asyik berbalas pesan di gawainya padahalSurya menoleh pada istrinya. “Jam berapa? Sabtu besok aku ada rapat persiapan reuni lagi,” ucapnya.“Pagi, jam 9.00. Bisa ‘kan?” Vita memandang suaminya dengan penuh harap.“Bisa, tapi aku paling sebentar. Setor muka aja soalnya teman-teman janjiannya jam 10.00 pagi,” timpal Surya yang kembali asyik dengan gawainya.“Emang ga bisa ya telat datang rapatnya atau izin sehari aja ga ikut? Kamu tuh setiap minggu rapat terus. Apa aja sih yang dibahas sampai harus setiap Sabtu dan Minggu rapatnya?” protes Vita.“Karena setiap Sabtu dan Minggu kamu pergi, kita itu sampai ga punya waktu buat berdua, Mas,” sambung wanita yang sedang hamil itu.“Kita ‘kan setiap hari ketemu, Vit. Tiap malam tidur bareng. Berangkat dan pulang kerja juga selalu bareng. Lima hari loh kita bersama terus,” sahut Surya.“Re
"Apa? Yang benar, Pak?" sergah Lina tak percaya."Silakan Ibu tanya pada teman saya yang lain, kalau ibu tidak percaya," timpal sang penjaga keamanan."Tapi, ga mungkin itu Satrio. Penampilannya saja beda banget. Satrio itu rambutnya gondrong setelinga, terus ikal gitu. Ga klimis kaya tadi." Lina masih saja menyangkal kenyataan."Silakan Ibu mau percaya atau tidak. Tapi apa yang saya katakan itu benar," tukas penjaga keamanan tadi.“Bu Baskoro ini gimana sih? Masa tidak kenal sama menantunya sendiri. Itu tadi sebenarnya Satrio apa bukan?” celetuk salah satu ibu-ibu.“Kayanya bukan, Bu. Tadi Pak Satpam ‘kan manggilnya Pak Bhumi, bukan Pak Satrio,” timpal yang lainnya."Benar apa yang dikatakan teman Ibu itu. Bukankah tadi Ibu mengaku mertuanya Pak Bhumi? Tapi Ibu sama sekali tidak kenal waktu Pak Bhumi lewat. Pak Bhumi pun tidak menyapa Ibu, padahal beliau jelas tahu Ibu berdiri di sini. Sudahlah, Bu, tidak usah menipu kami dengan mengatakan hal yang tidak masuk akal seperti tadi," lon
“Beberapa hari ini kok rumahnya sepi, Bu? Pulang ke kampung ya?” tanya pemilik warung pada Lina saat sedang belanja di sana.Lina tersenyum. “Bukan ke kampung, Bu, tapi ke puncak. Menantu saya ngajak staycation di vila miliknya,” jawabnya dengan penuh rasa bangga.“Suaminya Vita ya, yang ngajak,” tebak seorang tetangga yang juga sedang belanja di warung tersebut. Sepengetahuan para tetangga, keluarga Surya adalah orang berada karena Lina sering memuji suami Vita saat belanja di warung.Lina menggeleng. “Bukan, Bu. Tapi Satrio, suaminya Isha,” ungkapnya.“Apa? Satrio yang pengangguran itu, Bu?” seru salah satu ibu-ibu yang terkejut mendengar ucapan Lina.Istri Baskoro itu mengangguk. “Iya. Ibu-ibu pasti kaget ‘kan?” tanyanya sambil melayangkan pandangan pada ibu-ibu yang sedang belanja di sana dan dijawab dengan anggukan oleh mereka.“Saya juga kaget waktu tahu siapa sebenarnya Satrio,” ucap Lina sambil tersenyum menyeringai.“Memangnya siapa sebenarnya Satrio, Bu? Artis sinetron atau
Surya masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Berjaga-jaga kalau Vita tiba-tiba menyusul ke kamar. Setelah memastikan keadaan aman, Surya pun mengambil ponsel pintarnya yang ada di saku celana.“Ke, kenapa kamu telepon? Kamu tahu ‘kan aku lagi ngumpul sama keluarga istriku?” cecar Surya begitu menerima panggilan di gawainya.“Aku ‘kan khawatir sama kamu, Ya. Tadi katanya mau ngabarin kalau udah nyampai puncak. Tapi kamu sama sekali ga ngabarin aku. Pesanku juga ga kamu buka, apalagi dibalas. Makanya aku telepon biar aku tahu di mana posisimu sekarang.” Ike beralasan.Surya mendesah. “Sori, aku lupa. Tadi begitu nyampe, aku langsung tidur. Aku nyampe sini tadi sekitar jam empat. Aku sekarang lagi barbekuan sama keluarga istriku dan kakak iparku. Udah ya, Ke. Aku ga bisa lama-lama ngomong sama kamu.” Tanpa menunggu tanggapan dari Ike, Surya mengakhiri panggilan tersebut. Suami Vita itu lantas menonaktifkan ponselnya agar Ike tak lagi menghubunginya. Dia memasukkan ponselnya ke tas ransel
Vita terkejut saat bangun karena pinggangnya terasa berat. Begitu tahu kalau tangan Surya yang menindih tubuhnya, Vita pun tersenyum. Wanita itu kemudian memutar badannya hingga berhadapan dengan sang suami tercinta. “Kamu kok sweet banget sih, Beb,” ucap Vita sambil menyentuh wajah suaminya.Surya yang merasa terganggu tidurnya karena mendapat sentuhan, lantas membuka mata. “Sudah bangun, Beb?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.Vita mengangguk. “Jam berapa nyampe? Kok ga ngabarin kalau mau ke sini?” Dia menatap lekat wajah yang sangat dirindukannya itu.“Sekitar jam empat. Emang sengaja ga ngabarin biar jadi kejutan,” timpal Surya sambil meringis. “Kamu pasti terkejut ‘kan. Hayo ngaku!” sambungnya.Wanita yang sedang hamil itu kembali mengangguk. “Aku benar-benar terkejut sih, Beb. Kirain tadi Ibu yang pindah tidur di sini. Tapi aku bingung, kok pakai meluk pinggang segala? Ibu ‘kan ga pernah meluk pinggangku kalau tidur bareng. Setelah kulihat kok ternyata tanganmu, Be
"Ga mampir ngopi dulu, Ya?" tanya Ike saat Surya menghentikan mobil di depan pintu lobi bangunan apartemen dan tidak masuk ke area parkir.Surya menggeleng. "Makasih. Lain kali aja, Ke," sahutnya sambil menurunkan kaca jendela pintu yang dibuka oleh petugas yang berjaga di depan lobi."Oke. Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari kalau udah nyampe," pesan Ike sebelum turun dari mobil."Siap. Aku pergi dulu," pamit Surya setelah Ike turun dan menutup pintu mobil.Ike melambaikan tangan saat kendaraan milik Surya itu meninggalkan kompleks apartemennya. Setelah mobil tak terlihat lagi, dia baru masuk ke lobi lantas berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai sepuluh di mana unitnya berada.Surya memutuskan menyusul Vita ke puncak untuk mengurangi rasa bersalahnya karena sejak semalam sampai tadi, Ike terus menempel padanya. Wanita itu bahkan tak malu bergelayut manja di lengannya saat berkumpul dengan teman-teman kuliah mereka. Memang tidak semua teman kuliahnya tahu kalau dia su
“Vit, ayo pergi.” Lina menarik putrinya yang tak bergerak dan terus memandangi kakak iparnya padahal mereka sudah berpamitan pada Isha dan Satrio. Baskoro pun sudah beranjak dari taman samping.“Bu, aku ga jadi ikut aja.” Vita coba melepas tangan sang ibu yang menarik lengannya.“Kenapa ga jadi ikut?” Lina mengerutkan kening melihat sikap Vita. “Jangan punya pikiran aneh-aneh, Vit! Mending kamu ikut aja. Bapak sudah nungguin di mobil.” Lina tetap menarik putri kandungnya itu menuju mobil yang akan membawa mereka ke kebun teh.“Ibu kenapa sekarang maksa aku ikut sih,” protes Vita saat sedang berjalan menghampiri mobil yang sudah menanti mereka.“Mau ngapain juga kamu di sini sendirian? Mau jadi obat nyamuk buat Isha sama Satrio? Nanti galau lagi karena ga ada Surya,” lontar Lina dengan frontal.Vita mendengkus mendengar ucapan sang ibu yang kalau dipikir-pikir ada benarnya. Isha dan Satrio pasti terus berduaan. Mereka seperti ga pernah terpisah sebentar saja. Di mana ada Isha pasti ada
"Dek, renang yuk." Satrio mengajak Isha usai mereka menjalankan salat Duha sendiri-sendiri di kamar."Airnya dingin banget ga, Bang?" tanya Isha sambil melipat mukenanya.Satrio yang sedang melepas baju koko, menggeleng. "Ga terlalu, Dek. Ini 'kan udah agak siang. Matahari juga udah nongol dari tadi," jawabnya."Tapi aku ga bawa baju renang, Bang," lontar Isha seraya meletakkan alat salatnya di atas meja."Coba dicek dulu, Dek. Harusnya ada karena kemarin Abang masukin baju renang ke koper," timpal Satrio.Isha tampak terkejut. "Serius, Bang Satrio, masukin baju renang ke koper? Kok aku ga tahu sih?" ucapnya dengan kening yang mengerut."Abang masukin waktu Dek Isha lagi mandi kayanya," cakap Satrio sambil mengingat-ingat saat melakukannya."Masa sih?" Isha kemudian membuka koper pakaian mereka. Dia memang tak mengeluarkan pakaian dari koper dan menatanya di lemari karena semalam sudah capek setelah tiba di vila. Mau dikeluarkan semua juga tanggung karena tinggal semalam lagi mereka m