“Bang, kita nanti tidur di atas laut ya?” Isha bertanya kala mereka menyusuri jalan yang dibuat dari kayu.“Iya, Dek. Kenapa? Takut?” Satrio menoleh pada istrinya.“Nanti kamarnya kena ombak ga, Bang?” tanya Isha lagi.Satrio tersenyum. “Insya Allah enggak kalau ombak besar. Ini ‘kan letaknya di pantai yang dangkal dan ombaknya kecil, Dek. Ga usah takut ya, ‘kan ada Abang.” Dia mengangkat tangan Isha yang ada di genggamannya lantas mencium punggung tangan sang istri.“Di sini letak cottage-nya mirip seperti di Maldives, Dek. Insya Allah suatu hari, Abang ajak Dek Isha ke Maldives yang asli. Sekarang di sini dulu, yang dekat,” lontar Satrio.Isha melirik suaminya. “Memangnya Maldives itu apa, Bang?”Alis tebal Satrio bertaut. “Dek Isha, tidak tahu Maldives?”Isha mengangguk. “Kalau tahu ya aku ga akan nanya, Bang,” timpalnya.“Maldives itu salah satu tempat bulan madu yang diimpikan banyak orang, Dek,” jelas Satrio.“Itu di luar negeri ya, Bang?” Pertanyaan Isha itu dijawab Satrio deng
Selepas Asar dan sinar matahari sudah tak terlalu menyengat, Satrio mengajak Isha berjalan-jalan ke pantai. Pria itu mengenakan kaos oblong tanpa lengan dan celana pendek selutut. Untuk alas kaki dia memakai sandal jepit, dan kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. Sementara itu Isha mengenakan kaos dan celana panjang yang warnanya senada dengan suaminya. Rambutnya ditutup dengan hijab instan hitam sebatas dada. Dia juga memakai kacamata hitam dan alas kaki yang modelnya sama dengan Satrio. Membuat mereka tampak serasi dan terlihat sebagai pasangan yang harmonis.Kedua sejoli itu berjalan sambil bergandengan tangan. Mereka langsung menuju tempat persewaan jetski. Satrio benar-benar membuktikan omongannya yang akan mengajak istrinya naik jet ski.“Bang Satrio, beneran bisa mengendarai jet ski?” Isha bertanya pada suaminya karena merasa ragu. Walaupun bukan termasuk orang yang senang bergaul, dia tahu harga sewa jet ski tidak murah. Hanya orang yang punya uang dan nyali besar y
Isha mengernyit. “Memangnya aku pernah bilang ga suka sama liburan ini, Bang?”Satrio menggeleng. “Seingat Abang ga pernah, Dek. Abang cuma mau memastikan karena tadi Dek Isha bilang tidak mau liburan seperti ini,” timpalnya.Isha tersenyum. “Siapa yang ga senang dapat liburan gratis, Bang? Aku rasa semua orang pasti senang, termasuk aku. Maksudku tadi itu kalau liburan pakai uang sendiri, lebih baik tidak usah. Mending uangnya ditabung untuk masa depan,” jelas wanita berusia 25 tahun itu.“Oh, maksudnya begitu. Kirain Dek Isha ga senang sama liburan kita sekarang.” Satrio akhirnya menghela napas lega. “Abang rasanya masih belum puas liburan, Dek. Baru hari ini nyampe, besok sudah pulang. Gimana kalau kita nambah sehari atau dua hari?” Dia meminta pendapat sang istri walaupun sebenarnya bisa memutuskan sendiri. Namun Satrio ingin Isha merasa dihargai pendapatnya sebagai istri. Sebagai kepala rumah tangga, dia tidak mau bersikap egois dan otoriter. “Jangan aneh-aneh, Bang! Aku cuma di
Satrio yang memandang Isha sembari tersenyum pun mengangguk. “Iya. Abang mau lihat Dek Isha pakai itu, Mau ya?” bujuknya.“Bang, ini ‘kan bukan baju tidur. Bisa masuk angin aku kalau pakai itu semalaman.” Isha sontak melayangkan protes pada suaminya. “Lagian baju transparan gini ya ga bisa nutupin aurat, Bang,” tambahnya.“Insya Allah ga akan masuk angin. Tidurnya ‘kan Abang peluk,” timpal Satrio. “Lagi pula makai baju itu cuma di depan Abang saja, Dek. Ga di depan orang lain. Abang juga ga akan mengizinkan Dek Isha pakai itu di sembarang tempat. Hanya boleh dipakai di kamar dan sedang berduaan sama Abang,” imbuhnya.“Kata orang-orang sih itu baju dinas istri buat nyenengin suami, Dek,” tandas pria berambut ikal itu.Isha membelalakkan mata karena terkejut. “Ba—ju dinas, Bang?” tanyanya tak percaya.Satrio mengangguk. “Iya, Dek. Kalau ga percaya lihat aja di internet.” Dia mengambil gawai lantas membuka situs pencarian dan mengetikkan ‘baju dinas istri’. Tak lama kemudian muncul berba
“Terima kasih, Pak,” kata Satrio sebelum membuka pintu taksi daring yang membawanya dan Isha pulang ke rumah Baskoro usai bulan madu. Dia keluar dari mobil terlebih dahulu, baru kemudian Isha. Pengemudi taksi daring menyerahkan koper pada Satrio setelah membuka bagasi belakang.“Silakan dicek barang-barangnya, jangan sampai ada yang tertinggal, Pak, Bu,” pinta sang pengemudi.Satrio lantas melihat-lihat kabin tengah dan bagasi, memastikan tidak ada lagi barang mereka di dalamnya. “Aman, Pak,” cakapnya kemudian.“Alhamdulillah. Kalau begitu saya permisi dulu.” Pengemudi itu kemudian masuk kembali ke mobil. Dia membunyikan klakson sekali sebelum melajukan mobilnya sebagai tanda sopan santun.Satrio kemudian menggandeng tangan Isha saat mereka berjalan menuju rumah. Dia membuka pintu rumah yang tertutup karena sudah pukul setengah delapan malam. “Assalamu’alaikum.” Isha mengucap salam kala melangkahkan kaki masuk ke rumah.“Wa’alaikumussalam,” jawab Baskoro yang sedang duduk di ruang de
“Kamu langsung masuk pagi, Is?” Baskoro heran melihat putri sulungnya yang pagi ini mengenakan seragam kerja saat makan pagi bersama.“Iya, Pak. Kemarin ‘kan aku sudah libur dua hari. Jadi ga bisa minta ganti jadwal lagi,” sahut Isha seraya mengambilkan nasi untuk suaminya setelah itu mengambilkan sayur dan lauk sebagai pendamping. Sejak Satrio memberikan uang belanja pada Lina, menu makanan tidak dibeda-bedakan lagi, semua mendapat sayur dan lauk yang sama.“Cukup, Dek,” lontar Satrio saat sang istri mau menambahkan sayur di piringnya. Isha kemudian meletakkan piring di hadapan suaminya. “Terima kasih, Dek,” ucap Satrio yang dibalas Isha dengan anggukan.“Gimana liburannya, Mbak? Seru ga?” celetuk Vita yang baru bergabung di meja makan.“Seru banget! Aku diajak naik jet ski sama Bang Satrio terus lihat matahari terbenam. Malamnya makan malam romantis di pinggir pantai.” Isha sengaja memanas-manasi adik tirinya.Vita membelalakkan mata. “Mbak Isha sama Bang Satrio naik jet ski?” tany
Satrio membaca dengan saksama nama-nama karyawan yang akan dapat promosi jabatan di layar monitor. Keningnya mengerut kala menemukan nama Surya Agung di sana. “Apa mungkin dia calon suaminya Vita?” gumamnya. Dia ingat beberapa kali Vita menyebut dan menyombong kalau calon suaminya akan naik jabatan. Satrio kemudian melihat profil dan prestasi pria tersebut. “Bay, tunda dulu promosi orang ini.” Dia berkata pada Bayu sambil menunjuk satu nama di layar monitor. Bayu yang dipanggil pun kemudian mendekat pada Satrio. Dia melihat ke arah yang ditunjuk oleh pria berambut ikal itu.“Kenapa, Pak? Saya lihat kinerja dan prestasinya bagus. HRD juga sudah merekomendasikan dia.” Bayu terkejut karena tak biasanya Satrio ikut campur urusan karyawan. “Kamu tidak perlu tahu alasannya. Aku cuma minta ditunda saja, tidak menggagalkan promosinya!” tegas Satrio.“Baik, Pak. Nanti akan saya sampaikan pada HRD,” sahut Bayu. “Apa ada lagi, Pak?” tanyanya kemudian.Satrio menggeleng. “Baik, kalau begitu s
Selesai makan malam bersama, Baskoro mengumpulkan semua anggota keluarganya di ruang depan. Dia bilang ingin membicarakan sesuatu yang penting.“Pak, mau ngomongin apa sih sebenarnya?” Lina sudah tak sabar menunggu.“Bapak mau bicara soal pernikahan Vita. Waktunya ‘kan sudah semakin dekat. Kita sudah harus mulai mempersiapkan banyak hal,” ujar Baskoro. Dia lantas menoleh pada putri bungsunya. “Vit, jadinya keluarga Surya mau membantu biaya resepsi berapa?” tanyanya tanpa basi-basi.Vita melirik pada ibunya, seolah bertanya apakah dia harus bicara jujur atau berbohong soal jumlah uang yang akan diberikan oleh keluarga calon suaminya. Namun Lina sama sekali tak menggubris kode dari putri kandungnya tersebut. Wanita paruh baya itu merasa kesal pada Vita karena sama sekali tidak mau keluar biaya untuk pernikahannya sendiri.“Vit, kenapa diam? Apa keluarga Surya tidak akan membantu biaya resepsi?” Baskoro kembali bertanya pada Vita karena putri bungsunya itu belum menjawab.“Mereka mau mem
“Bu, kita kabur aja yuk! Aku ga tahan hidup di sini.” Vita mengeluh pada ibunya saat mereka berbaring sebelum tidur. Lina menatap lekat putrinya meskipun dalam cahaya remang-remang. “Ga usah aneh-aneh, Vit. Apa kamu lupa kemarin ada yang kabur terus ketangkap? Sekarang dia dimasukkan ke ruang isolasi. Kamu mau hidup di ruangan sempit, gelap, pengap, dan ga bisa keluar sama sekali?” “Lebih baik aku mati saja daripada dikurung di sana, Bu,” timpal Vita dengan bibir mengerucut. “Ya sudah, kalau gitu terima aja apa adanya!” tukas Lina. “Tapi aku capek banget kalau kaya gini tiap hari, Bu. Kulitku jadi cokelat, kukuku juga rusak semua. Sia-sia perawatan yang aku lakukan selama ini,” keluh Vita. “Vit, kita seperti ini sekarang karena siapa? Kamu ‘kan! Kalau kamu ga mendorong Isha dari tangga, Satrio ga akan semarah itu sama kita. Ya sudah, sekarang kamu terima aja konsekuensinya!” Lama-lama Lina merasa kesal pada Vita yang selalu dia banggakan. “Kita dibiarkan hidup sama Satrio sudah
Kondisi Abi setiap hari semakin membaik. Berat badannya terus naik karena rutin minum ASI sang ibu. Paru-parunya sudah berfungsi dengan baik, hingga tak perlu alat bantu pernapasan lagi. Jantungnya pun detaknya sudah normal. Pada hari ke-6, Abi pun keluar dari NICU, tapi belum diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter masih harus mengobservasi kondisi Abi setelah tidak berada di inkubator. Sebenarnya di hari ketiga paska-operasi, Isha sudah diperbolehkan pulang. Namun karena tak tega meninggalkan Abi sendiri di sana, dan repot kalau harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memberikan ASI-nya, akhirnya Isha tetap tinggal di ruangan rawat inapnya. Satrio yang bolak-balik karena dia tetap harus pergi ke kantor untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai presdir Digdaya Grup. Marni juga setiap hari ke rumah sakit, membawakan baju ganti untuk Isha, Satrio, dan Abi, lalu pulangnya membawa baju mereka yang kotor untuk dicuci di rumah. Selain baju, dia juga membawakan jamu pelancar ASI untuk Isha
“Sudah, tapi nanti saja aku kasih tahu kalau semua kumpul biar sekalian jelasin arti namanya.” Satrio menjawab rasa penasaran adiknya. Nila berdecak. “Terus selama Kak Bhumi belum ngasih tahu namanya, kita manggilnya apa dong? Masa Baby sih?” protes gadis yang masih kuliah semester akhir itu. “Kalau begitu panggil saja Abi. Itu nama panggilan yang diambil dari nama tengahnya,” sahut Satrio setelah berpikir beberapa saat. “Iya, deh. Suka-suka, Kak Bhumi, aja. Lagian sok misterius banget namanya sampai ga mau nyebutin.” Nila merasa gemas pada kakak sulungnya itu. “Bukannya sok misterius, tadi aku dah bilang ‘kan alasannya,” tukas Satrio. “Terus kapan rencanamu mau ngadain akikah buat Abi?” Kali ini Krisna yang bertanya. “Sunahnya tujuh hari ‘kan, Pa? Tapi aku belum tahu nanti pas itu Abi sudah bisa pulang atau belum. Menurut Papa sebaiknya gimana?” Satrio memandang papanya. “Tidak harus tujuh hari tidak apa-apa bisa setelah empat belas atau dua puluh satu hari. Tapi kalau kamu mau
Isha langsung diberi ucapan selamat oleh Baskoro, Bisman, Bayu, Marni, dan Kasno begitu dia dibawa ke kamar oleh petugas. Wanita yang baru menjadi ibu itu mengucapkan terima kasih atas perhatian dan doa-doanya mereka. Baru setelah itu Satrio mendekati sang istri yang duduk menyandar pada bagian atas brankar yang dinaikkan dan diatur posisinya sampai Isha merasa nyaman. “Makasih ya, Dek, sudah bertahan dan berjuang bersama anak kita. Terima kasih sudah melahirkan jagoan di keluarga kita,” lontar Satrio sambil menggenggam tangan sang istri tercinta. Dia duduk di kursi samping brankar, menghadap belahan jiwanya itu. Isha mengangguk. Wajahnya yang masih tampak pucat tersenyum. “Bang Satrio udah ketemu anak kita?” Dia berusaha tetap tegar dan tenang walaupun sang putra saat ini menjalani perawatan yang intensif. Pria yang kini mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung sampai siku itu, menggeleng. “Belum, Dek. Katanya kalau mau ketemu harus ke NICU. Abang maunya ke sana sama Dek
Satrio sontak berdiri kala melihat dokter keluar dari ruang operasi. Dia gegas menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana operasinya, Dok? Lancar ‘kan?” tanyanya tak sabar. Dokter itu tersenyum. “Alhamdulillah lancar. Kondisi Ibu sejauh ini stabil, tapi putra Bapak harus mendapatkan perawatan intensif karena lahir prematur dan berat badan lahirnya rendah,” jawabnya. Satrio menghela napas lega meskipun kondisi sang anak masih belum bagus. Setidaknya istri dan anaknya selamat. “Alhamdulillah. Berarti saya boleh menemui istri dan anak saya sekarang, Dok?” tanyanya lagi. Sang dokter menggeleng. “Untuk saat ini belum, Pak. Ibu masih di ruang pemulihan untuk diobservasi. Kalau putra Bapak nanti bisa ditemui di NICU, sekarang masih ditangani oleh dokter anak,” jelasnya. Bahu Satrio meluruh karena tidak bisa menemui istri dan anaknya. “Kalau begitu sebaiknya saya menunggu di mana, Dok? Di sini atau di kamarnya?” Dia kembali bertanya. “Di sini boleh. Di kamar juga boleh. Nanti kalau Ibu seles
“Vit, ada tamu tuh. Sana buka pintunya!” titah Lina yang sedang tiduran di sofa depan televisi pada putrinya setelah mendengar bel rumah berbunyi.“Siapa sih? Ganggu aja orang lagi santai!” Meskipun menggerutu, Vita tetap melangkah menuju pintu depan. Keningnya mengerut kala melihat beberapa sosok pria berbadan tinggi, kekar, dan mengenakan pakaian serba hitam. Sejujurnya dia takut melihat para pria di hadapannya yang tampangnya tampak menyeramkan dan sama sekali tak ramah.“Kalau kalian mencari Bang Satrio dan Mbak Isha, mereka tidak ada di rumah!” Vita bicara dengan ketus untuk menutupi ketakutannya.“Siapa, Vit?” Lina menyusul ke depan karena penasaran dengan tamu yang datang.“Ga tahu, Bu!” Vita menggeleng.Lina terkesiap melihat orang-orang yang bertamu. Dia langsung menelan ludah dan mendekat pada putrinya. “Mereka bukan debt collector yang mau nagih utang Satrio atau Isha ‘kan?” bisiknya.“Mana kutahu, Bu. Sejak tadi mereka cuma diam. Ga ngomong apa-apa,” balas Vita juga dengan
Bayu mendekat pada Satrio yang sedang makan siang dengan para pejabat daerah dan pengusaha lokal—yang datang di acara pembukaan anak perusahaan Digdaya Grup. "Pak, saya baru dapat kabar kalau Bu Isha jatuh dari tangga dan sekarang sedang dalam perjalanan ke rumah sakit," bisiknya usai mendapat pesan dari Marni. Satrio sontak menghentikan makan lalu mengelap mulut dengan sapu tangan. "Segera siapkan helikopter. Kita pulang ke Jakarta sekarang!" perintahnya juga dengan berbisik. "Baik, Pak." Bayu menjauh lalu melakukan koordinasi dengan yang lain untuk mengatur kepulangan sang atasan. Di setiap kantor anak perusahaan Digdaya Grup memang ada helipad untuk memudahkan transportasi para petinggi perusahaan bila ada kepentingan yang mendesak. Meskipun mengkhawatirkan keselamatan istri dan calon anaknya, Satrio tetap berusaha bersikap tenang di hadapan yang lain. Dia minta maaf pada para pejabat dan pengusaha yang semeja dengannya karena tidak bisa menemani makan siang sampai selesai. Tak l
“Mau ke mana, Bi?” tanya Vita saat melihat ART Isha akan menaiki tangga.“Saya mau manggil Ibu untuk makan siang, Mbak,” jawab Marni.“Bi Marni, lakukan pekerjaan lain saja. Biar aku yang panggil Mbak Isha.” Vita menawakan diri.“Tapi Bapak sudah pesan kalau saya sendiri yang harus manggil Ibu di kamar, Mbak.” Marni tak mau begitu saja menerima tawaran adik tiri Isha itu.Vita tampak mengernyit. “Kenapa memangnya?”“Soalnya Bapak minta saya membantu Ibu waktu turun tangga karena Bapak khawatir Ibu jatuh atau kepleset.” Marni mengungkapkan alasannya.“Kalau cuma bantu Mbak Isha turun tangga, aku juga bisa, Bi. Sudah sana Bi Marni siapin aja makannya, aku yang akan manggil Mbak Isha.” Vita meminta ART itu pergi.“Biar saya yang manggil Ibu, Mbak. Makanannya sudah siap semua kok di meja makan. Lebih baik Mbak Vita panggil bapak dan ibunya atau langsung ke ruang makan saja.” Marni tetap bersikeras memanggil Isha.“Kenapa sih ga mau dibantu, Bi? Takut saya ngapa-ngapain Mbak Isha?” tukas Vi
Vita kembali ke rumah Baskoro setelah dokter mengizinkan dia pulang dari rumah sakit. Sejak Vita dirawat sampai pulang, Surya selalu memberi perhatian walau sering diabaikan oleh sang istri. Namun pria itu tak mau menyerah begitu saja untuk mengambil hati istri yang pernah disakitinya. Walaupun Surya sudah menunjukkan perubahannya, Vita tetap bersikeras untuk bercerai. Sejak awal Surya memang tidak mau berpisah dengan istrinya. Dia ingin mempertahankan pernikahan mereka. Surya menunjukkan kesungguhannya dengan meninggalkan Ike dan tidak pernah berhubungan lagi dengan teman kuliahnya itu. Dia juga janji akan bekerja di perusahaan yang direkomendasikan oleh Satrio demi masa depan mereka meskipun harus tinggal di luar Pulau Jawa. Orang tua dari kedua belah pihak sudah berusaha menasihati dan menengahi permasalahan antara Vita dan Surya. Namun Vita tetap pada pendiriannya. Dia ingin bercerai dari Surya. Vita sudah tidak bisa percaya lagi pada suaminya jadi percuma kalau tetap bersama t