“Dek, kita sarapan di restoran yuk.” Satrio mengajak istrinya makan pagi karena dia sudah merasa lapar. Kegiatan yang mereka lakukan semalam, benar-benar menguras energi.“Aku rapikan dulu tempat tidurnya, Bang.” Isha menarik selimut, berniat melipatnya. Namun kemudian dia terpaku kala melihat ada noda merah di seprai yang berwarna putih. Seketika wajahnya memerah begitu sadar kalau noda tersebut berasal dari bagian intinya yang semalam dibobol oleh sang suami.Isha pun gegas melipat selimut lantas meletakkannya di atas noda merah itu. Berusaha menutupi agar Satrio tidak melihatnya. Selesai merapikan tempat tidur, dia pergi ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Sambil menunggu Isha bersiap, Satrio melakukan panggilan di balkon kamar.“Dek, nanti kalau ketemu siapa pun, tetap bersikap biasa ya. Jangan seperti kemarin!” pesan Satrio saat mereka dalam perjalanan ke restoran.Isha mengangguk. “Iya, Bang.”Satrio tersenyum lantas mengeratkan genggaman tangannya dengan sang istri tercinta.
“Bang, kita nanti tidur di atas laut ya?” Isha bertanya kala mereka menyusuri jalan yang dibuat dari kayu.“Iya, Dek. Kenapa? Takut?” Satrio menoleh pada istrinya.“Nanti kamarnya kena ombak ga, Bang?” tanya Isha lagi.Satrio tersenyum. “Insya Allah enggak kalau ombak besar. Ini ‘kan letaknya di pantai yang dangkal dan ombaknya kecil, Dek. Ga usah takut ya, ‘kan ada Abang.” Dia mengangkat tangan Isha yang ada di genggamannya lantas mencium punggung tangan sang istri.“Di sini letak cottage-nya mirip seperti di Maldives, Dek. Insya Allah suatu hari, Abang ajak Dek Isha ke Maldives yang asli. Sekarang di sini dulu, yang dekat,” lontar Satrio.Isha melirik suaminya. “Memangnya Maldives itu apa, Bang?”Alis tebal Satrio bertaut. “Dek Isha, tidak tahu Maldives?”Isha mengangguk. “Kalau tahu ya aku ga akan nanya, Bang,” timpalnya.“Maldives itu salah satu tempat bulan madu yang diimpikan banyak orang, Dek,” jelas Satrio.“Itu di luar negeri ya, Bang?” Pertanyaan Isha itu dijawab Satrio deng
Selepas Asar dan sinar matahari sudah tak terlalu menyengat, Satrio mengajak Isha berjalan-jalan ke pantai. Pria itu mengenakan kaos oblong tanpa lengan dan celana pendek selutut. Untuk alas kaki dia memakai sandal jepit, dan kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. Sementara itu Isha mengenakan kaos dan celana panjang yang warnanya senada dengan suaminya. Rambutnya ditutup dengan hijab instan hitam sebatas dada. Dia juga memakai kacamata hitam dan alas kaki yang modelnya sama dengan Satrio. Membuat mereka tampak serasi dan terlihat sebagai pasangan yang harmonis.Kedua sejoli itu berjalan sambil bergandengan tangan. Mereka langsung menuju tempat persewaan jetski. Satrio benar-benar membuktikan omongannya yang akan mengajak istrinya naik jet ski.“Bang Satrio, beneran bisa mengendarai jet ski?” Isha bertanya pada suaminya karena merasa ragu. Walaupun bukan termasuk orang yang senang bergaul, dia tahu harga sewa jet ski tidak murah. Hanya orang yang punya uang dan nyali besar y
Isha mengernyit. “Memangnya aku pernah bilang ga suka sama liburan ini, Bang?”Satrio menggeleng. “Seingat Abang ga pernah, Dek. Abang cuma mau memastikan karena tadi Dek Isha bilang tidak mau liburan seperti ini,” timpalnya.Isha tersenyum. “Siapa yang ga senang dapat liburan gratis, Bang? Aku rasa semua orang pasti senang, termasuk aku. Maksudku tadi itu kalau liburan pakai uang sendiri, lebih baik tidak usah. Mending uangnya ditabung untuk masa depan,” jelas wanita berusia 25 tahun itu.“Oh, maksudnya begitu. Kirain Dek Isha ga senang sama liburan kita sekarang.” Satrio akhirnya menghela napas lega. “Abang rasanya masih belum puas liburan, Dek. Baru hari ini nyampe, besok sudah pulang. Gimana kalau kita nambah sehari atau dua hari?” Dia meminta pendapat sang istri walaupun sebenarnya bisa memutuskan sendiri. Namun Satrio ingin Isha merasa dihargai pendapatnya sebagai istri. Sebagai kepala rumah tangga, dia tidak mau bersikap egois dan otoriter. “Jangan aneh-aneh, Bang! Aku cuma di
Satrio yang memandang Isha sembari tersenyum pun mengangguk. “Iya. Abang mau lihat Dek Isha pakai itu, Mau ya?” bujuknya.“Bang, ini ‘kan bukan baju tidur. Bisa masuk angin aku kalau pakai itu semalaman.” Isha sontak melayangkan protes pada suaminya. “Lagian baju transparan gini ya ga bisa nutupin aurat, Bang,” tambahnya.“Insya Allah ga akan masuk angin. Tidurnya ‘kan Abang peluk,” timpal Satrio. “Lagi pula makai baju itu cuma di depan Abang saja, Dek. Ga di depan orang lain. Abang juga ga akan mengizinkan Dek Isha pakai itu di sembarang tempat. Hanya boleh dipakai di kamar dan sedang berduaan sama Abang,” imbuhnya.“Kata orang-orang sih itu baju dinas istri buat nyenengin suami, Dek,” tandas pria berambut ikal itu.Isha membelalakkan mata karena terkejut. “Ba—ju dinas, Bang?” tanyanya tak percaya.Satrio mengangguk. “Iya, Dek. Kalau ga percaya lihat aja di internet.” Dia mengambil gawai lantas membuka situs pencarian dan mengetikkan ‘baju dinas istri’. Tak lama kemudian muncul berba
“Terima kasih, Pak,” kata Satrio sebelum membuka pintu taksi daring yang membawanya dan Isha pulang ke rumah Baskoro usai bulan madu. Dia keluar dari mobil terlebih dahulu, baru kemudian Isha. Pengemudi taksi daring menyerahkan koper pada Satrio setelah membuka bagasi belakang.“Silakan dicek barang-barangnya, jangan sampai ada yang tertinggal, Pak, Bu,” pinta sang pengemudi.Satrio lantas melihat-lihat kabin tengah dan bagasi, memastikan tidak ada lagi barang mereka di dalamnya. “Aman, Pak,” cakapnya kemudian.“Alhamdulillah. Kalau begitu saya permisi dulu.” Pengemudi itu kemudian masuk kembali ke mobil. Dia membunyikan klakson sekali sebelum melajukan mobilnya sebagai tanda sopan santun.Satrio kemudian menggandeng tangan Isha saat mereka berjalan menuju rumah. Dia membuka pintu rumah yang tertutup karena sudah pukul setengah delapan malam. “Assalamu’alaikum.” Isha mengucap salam kala melangkahkan kaki masuk ke rumah.“Wa’alaikumussalam,” jawab Baskoro yang sedang duduk di ruang de
“Kamu langsung masuk pagi, Is?” Baskoro heran melihat putri sulungnya yang pagi ini mengenakan seragam kerja saat makan pagi bersama.“Iya, Pak. Kemarin ‘kan aku sudah libur dua hari. Jadi ga bisa minta ganti jadwal lagi,” sahut Isha seraya mengambilkan nasi untuk suaminya setelah itu mengambilkan sayur dan lauk sebagai pendamping. Sejak Satrio memberikan uang belanja pada Lina, menu makanan tidak dibeda-bedakan lagi, semua mendapat sayur dan lauk yang sama.“Cukup, Dek,” lontar Satrio saat sang istri mau menambahkan sayur di piringnya. Isha kemudian meletakkan piring di hadapan suaminya. “Terima kasih, Dek,” ucap Satrio yang dibalas Isha dengan anggukan.“Gimana liburannya, Mbak? Seru ga?” celetuk Vita yang baru bergabung di meja makan.“Seru banget! Aku diajak naik jet ski sama Bang Satrio terus lihat matahari terbenam. Malamnya makan malam romantis di pinggir pantai.” Isha sengaja memanas-manasi adik tirinya.Vita membelalakkan mata. “Mbak Isha sama Bang Satrio naik jet ski?” tany
Satrio membaca dengan saksama nama-nama karyawan yang akan dapat promosi jabatan di layar monitor. Keningnya mengerut kala menemukan nama Surya Agung di sana. “Apa mungkin dia calon suaminya Vita?” gumamnya. Dia ingat beberapa kali Vita menyebut dan menyombong kalau calon suaminya akan naik jabatan. Satrio kemudian melihat profil dan prestasi pria tersebut. “Bay, tunda dulu promosi orang ini.” Dia berkata pada Bayu sambil menunjuk satu nama di layar monitor. Bayu yang dipanggil pun kemudian mendekat pada Satrio. Dia melihat ke arah yang ditunjuk oleh pria berambut ikal itu.“Kenapa, Pak? Saya lihat kinerja dan prestasinya bagus. HRD juga sudah merekomendasikan dia.” Bayu terkejut karena tak biasanya Satrio ikut campur urusan karyawan. “Kamu tidak perlu tahu alasannya. Aku cuma minta ditunda saja, tidak menggagalkan promosinya!” tegas Satrio.“Baik, Pak. Nanti akan saya sampaikan pada HRD,” sahut Bayu. “Apa ada lagi, Pak?” tanyanya kemudian.Satrio menggeleng. “Baik, kalau begitu s