Satrio membaca dengan saksama nama-nama karyawan yang akan dapat promosi jabatan di layar monitor. Keningnya mengerut kala menemukan nama Surya Agung di sana. “Apa mungkin dia calon suaminya Vita?” gumamnya. Dia ingat beberapa kali Vita menyebut dan menyombong kalau calon suaminya akan naik jabatan. Satrio kemudian melihat profil dan prestasi pria tersebut. “Bay, tunda dulu promosi orang ini.” Dia berkata pada Bayu sambil menunjuk satu nama di layar monitor. Bayu yang dipanggil pun kemudian mendekat pada Satrio. Dia melihat ke arah yang ditunjuk oleh pria berambut ikal itu.“Kenapa, Pak? Saya lihat kinerja dan prestasinya bagus. HRD juga sudah merekomendasikan dia.” Bayu terkejut karena tak biasanya Satrio ikut campur urusan karyawan. “Kamu tidak perlu tahu alasannya. Aku cuma minta ditunda saja, tidak menggagalkan promosinya!” tegas Satrio.“Baik, Pak. Nanti akan saya sampaikan pada HRD,” sahut Bayu. “Apa ada lagi, Pak?” tanyanya kemudian.Satrio menggeleng. “Baik, kalau begitu s
Selesai makan malam bersama, Baskoro mengumpulkan semua anggota keluarganya di ruang depan. Dia bilang ingin membicarakan sesuatu yang penting.“Pak, mau ngomongin apa sih sebenarnya?” Lina sudah tak sabar menunggu.“Bapak mau bicara soal pernikahan Vita. Waktunya ‘kan sudah semakin dekat. Kita sudah harus mulai mempersiapkan banyak hal,” ujar Baskoro. Dia lantas menoleh pada putri bungsunya. “Vit, jadinya keluarga Surya mau membantu biaya resepsi berapa?” tanyanya tanpa basi-basi.Vita melirik pada ibunya, seolah bertanya apakah dia harus bicara jujur atau berbohong soal jumlah uang yang akan diberikan oleh keluarga calon suaminya. Namun Lina sama sekali tak menggubris kode dari putri kandungnya tersebut. Wanita paruh baya itu merasa kesal pada Vita karena sama sekali tidak mau keluar biaya untuk pernikahannya sendiri.“Vit, kenapa diam? Apa keluarga Surya tidak akan membantu biaya resepsi?” Baskoro kembali bertanya pada Vita karena putri bungsunya itu belum menjawab.“Mereka mau mem
“Isha, Vita, cukup! Kita itu sedang membahas hal yang penting, jangan malah ribut!” Baskoro menegur dua putrinya yang berselisih pendapat.“Vita, benar apa yang dibilang Ibu dan Isha, tidak usah bulan madu kalau tidak punya uang. Jangan hidup dengan gengsi kalau ingin hidupmu tenang dan bahagia,” imbuh pria paruh baya itu.Vita semakin cemberut karena tak ada satu pun yang membelanya. Bahkan calon suaminya sendiri juga tidak begitu menginginkan bulan madu. “Sekarang kita fokus membahas persiapan pernikahan saja. Tidak usah membahas lainnya,” tegas Baskoro.“Satrio dan Isha, bisa ‘kan mencari informasi gedung di dekat sini yang harganya terjangkau? Tidak usah terlalu besar, yang penting mudah diakses dan dicari,” Baskoro bicara pada anak dan menantunya.“Insya Allah bisa, Pak. Besok saya dan Dek Isha akan mulai mencari,” sahut Satrio.“Bu, mulai buat daftar apa saja yang harus disiapkan selain undangan dan katering.” Baskoro beralih pada istrinya.Lina mengangguk. “Menurut Ibu lebih e
Satrio jadi gelagapan begitu diberondong banyak pertanyaan oleh istrinya. Pria itu bingung harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Dia sampai meneguk ludah karena Isha terus menatapnya. Menanti jawaban.“Bang, kok malah diam?” Isha menegur suaminya yang tak juga bersuara. “Apa aku ga berhak tahu keluarga Bang Satrio?” Pria berambut ikal itu sontak menggeleng. “Bukan begitu, Dek. Abang bingung harus menceritakan dari mana karena hubungan Abang dan keluarga agak rumit,” kilahnya.Isha mengernyit. “Rumit gimana, Bang?”“Abang diminta pergi dari rumah sama orang tua Abang karena suatu hal, Dek. Abang baru boleh pulang kalau sudah sukses. Karena itu kemarin waktu kita nikah tidak ada satu pun keluarga Abang yang datang. Maaf ya, Dek. Bukan maksud Abang mau menutupi atau tidak jujur soal keluarga, tapi memang kondisinya yang belum memungkinkan,” papar Satrio. Isha menarik napas panjang usai mendengar penjelasan Satrio. Rasa sesal langsung menggelayut di hati karena mengungkit hal yan
“Beb, sebenarnya kamu jadi dapat promosi jabatan ga sih? Kok belum ada kabarnya sama sekali.” Vita bertanya pada Surya saat keduanya makan siang bersama di kantin kantor.Surya mengedikkan bahu. “Aku juga tidak tahu, Beb. Promosi jabatan ‘kan tidak hanya butuh rekomendasi dari manajer, tapi juga keputusan dari HR, manajer operasional, dan pimpinan perusahaan. Makanya kamu bantu doa dong biar cepat turun SK promosiku. Kalau aku naik jabatan ‘kan gajiku juga naik jadi bisa buat bulan madu tipis-tipis seperti yang kamu mau,” ujarnya.Bibir Vita langsung melengkung membentuk bulan sabit begitu mendengar kata bulan madu. “Iya, aku bantu doa biar kamu cepat dapat promosi. Kamu juga harus berdoa, tidak hanya aku. Kalau perlu minta doa sama semua keluarga biar diijabah sama Allah,” timpalnya.“Iya, nanti aku minta mama, papa, sama kakakku buat mendoakan aku. Kamu juga minta doa dari bapak, ibu sama kakakmu ya,” ucap Surya usai mengelap bibir dengan tisu. Dia kemudian menandaskan es teh yang t
Surya banyak menghela napas panjang usai bertemu dengan salah satu staf HRD. Dia menanyakan soal promosi karena dirinya tidak mendapat surel seperti rekan lain yang menjalani seleksi berbarengan dengannya. Namun jawaban yang didapat, membuatnya kecewa. Staf HRD itu menyatakan kalau pimpinan tidak menyetujui promosinya.Calon suami Vita itu mengira semua yang diajukan promosi oleh manajer pasti akan mendapatkannya. Namun ternyata tidak seperti itu. Butuh persetujuan beberapa pihak agar promosinya disetujui. Meskipun HRD dan manajer operasional setuju, kalau pimpinan perusahaan tidak setuju, ya gagal promosinya.Surya diberi nasihat oleh staf HRD agar tetap menjaga kinerjanya dengan baik. Akan lebih baik lagi kalau kinerjanya ditingkatkan agar pada kesempatan selanjutnya bisa diajukan promosi lagi."Beb, kamu sudah jadi tanya belum sama HRD?" Vita bertanya pada Surya saat dalam perjalanan pulang dari kantor.Surya mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan. "Sudah," jawabnya."
Waktu terus berlalu, tanpa terasa pernikahan Vita dan Surya semakin dekat. Mereka sudah mempercayakan pada wedding organizer untuk mengurus acara akad nikah dan resepsi di gedung. Jadi mereka tidak begitu repot. Hanya membuat keputusan dan memantau sampai sejauh mana persiapan sudah dilakukan.Satrio dan Isha akhirnya memberi tambahan biaya pernikahan sebanyak dua puluh juta karena ternyata muncul biaya tidak terduga atau meleset dari anggaran yang ditetapkan di awal. Hal yang sangat biasa terjadi saat merencanakan pernikahan. Tentu saja itu melegakan Baskoro, Lina, dan juga Vita yang sempat khawatir karena kekurangan biaya. Isha tidak jadi mengambil tabungan karena suaminya memberi uang sejumlah itu padanya. Satrio mengaku mendapat bonus dari bosnya karena bisa menyelesaikan target lebih cepat hingga dia dapat proyek baru lagi. Isha sekarang tak ragu lagi menerima banyak uang dari sang suami karena sudah tahu pekerjaan Satrio yang selama ini disembunyikan dari keluarganya.“Istri Ab
Satrio cukup terkejut mendengar isi hati bapak mertuanya. Dia tidak mengira Baskoro begitu memikirkannya dan Isha. Mendengar hal itu ingin rasanya membuka rahasia yang selama ini disimpan dengan rapi. Namun belum saatnya Satrio mengungkapkan siapa dia sebenarnya.“Terima kasih atas perhatian Bapak sama saya dan Dek Isha. Insya Allah kami baik-baik saja meskipun Ibu dan Vita kadang bersikap seperti yang Bapak bilang tadi. Maaf karena saya tidak pernah terbuka soal pekerjaan saya selama ini,” ujar Satrio.“Bang Satrio itu sebenarnya punya kerjaan, Pak. Dia bukan pengangguran seperti anggapan orang selama ini,” celetuk Isha yang sejak tadi hanya mendengarkan percakapan sang bapak dan suaminya.Baskoro yang duduk di kabin depan langsung menoleh ke belakang di mana putri sulungnya duduk sendiri. “Apa kamu tahu pekerjaan Satrio, Is?” tanyanya.Isha mengangguk. “Ya tahu, Pak. Aku pernah diajak ke tempat kerja Bang Satrio,” akunya.Baskoro kemudian beralih pada menantunya. “Apa benar yang dik
“Bu, kita kabur aja yuk! Aku ga tahan hidup di sini.” Vita mengeluh pada ibunya saat mereka berbaring sebelum tidur. Lina menatap lekat putrinya meskipun dalam cahaya remang-remang. “Ga usah aneh-aneh, Vit. Apa kamu lupa kemarin ada yang kabur terus ketangkap? Sekarang dia dimasukkan ke ruang isolasi. Kamu mau hidup di ruangan sempit, gelap, pengap, dan ga bisa keluar sama sekali?” “Lebih baik aku mati saja daripada dikurung di sana, Bu,” timpal Vita dengan bibir mengerucut. “Ya sudah, kalau gitu terima aja apa adanya!” tukas Lina. “Tapi aku capek banget kalau kaya gini tiap hari, Bu. Kulitku jadi cokelat, kukuku juga rusak semua. Sia-sia perawatan yang aku lakukan selama ini,” keluh Vita. “Vit, kita seperti ini sekarang karena siapa? Kamu ‘kan! Kalau kamu ga mendorong Isha dari tangga, Satrio ga akan semarah itu sama kita. Ya sudah, sekarang kamu terima aja konsekuensinya!” Lama-lama Lina merasa kesal pada Vita yang selalu dia banggakan. “Kita dibiarkan hidup sama Satrio sudah
Kondisi Abi setiap hari semakin membaik. Berat badannya terus naik karena rutin minum ASI sang ibu. Paru-parunya sudah berfungsi dengan baik, hingga tak perlu alat bantu pernapasan lagi. Jantungnya pun detaknya sudah normal. Pada hari ke-6, Abi pun keluar dari NICU, tapi belum diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter masih harus mengobservasi kondisi Abi setelah tidak berada di inkubator. Sebenarnya di hari ketiga paska-operasi, Isha sudah diperbolehkan pulang. Namun karena tak tega meninggalkan Abi sendiri di sana, dan repot kalau harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memberikan ASI-nya, akhirnya Isha tetap tinggal di ruangan rawat inapnya. Satrio yang bolak-balik karena dia tetap harus pergi ke kantor untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai presdir Digdaya Grup. Marni juga setiap hari ke rumah sakit, membawakan baju ganti untuk Isha, Satrio, dan Abi, lalu pulangnya membawa baju mereka yang kotor untuk dicuci di rumah. Selain baju, dia juga membawakan jamu pelancar ASI untuk Isha
“Sudah, tapi nanti saja aku kasih tahu kalau semua kumpul biar sekalian jelasin arti namanya.” Satrio menjawab rasa penasaran adiknya. Nila berdecak. “Terus selama Kak Bhumi belum ngasih tahu namanya, kita manggilnya apa dong? Masa Baby sih?” protes gadis yang masih kuliah semester akhir itu. “Kalau begitu panggil saja Abi. Itu nama panggilan yang diambil dari nama tengahnya,” sahut Satrio setelah berpikir beberapa saat. “Iya, deh. Suka-suka, Kak Bhumi, aja. Lagian sok misterius banget namanya sampai ga mau nyebutin.” Nila merasa gemas pada kakak sulungnya itu. “Bukannya sok misterius, tadi aku dah bilang ‘kan alasannya,” tukas Satrio. “Terus kapan rencanamu mau ngadain akikah buat Abi?” Kali ini Krisna yang bertanya. “Sunahnya tujuh hari ‘kan, Pa? Tapi aku belum tahu nanti pas itu Abi sudah bisa pulang atau belum. Menurut Papa sebaiknya gimana?” Satrio memandang papanya. “Tidak harus tujuh hari tidak apa-apa bisa setelah empat belas atau dua puluh satu hari. Tapi kalau kamu mau
Isha langsung diberi ucapan selamat oleh Baskoro, Bisman, Bayu, Marni, dan Kasno begitu dia dibawa ke kamar oleh petugas. Wanita yang baru menjadi ibu itu mengucapkan terima kasih atas perhatian dan doa-doanya mereka. Baru setelah itu Satrio mendekati sang istri yang duduk menyandar pada bagian atas brankar yang dinaikkan dan diatur posisinya sampai Isha merasa nyaman. “Makasih ya, Dek, sudah bertahan dan berjuang bersama anak kita. Terima kasih sudah melahirkan jagoan di keluarga kita,” lontar Satrio sambil menggenggam tangan sang istri tercinta. Dia duduk di kursi samping brankar, menghadap belahan jiwanya itu. Isha mengangguk. Wajahnya yang masih tampak pucat tersenyum. “Bang Satrio udah ketemu anak kita?” Dia berusaha tetap tegar dan tenang walaupun sang putra saat ini menjalani perawatan yang intensif. Pria yang kini mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung sampai siku itu, menggeleng. “Belum, Dek. Katanya kalau mau ketemu harus ke NICU. Abang maunya ke sana sama Dek
Satrio sontak berdiri kala melihat dokter keluar dari ruang operasi. Dia gegas menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana operasinya, Dok? Lancar ‘kan?” tanyanya tak sabar. Dokter itu tersenyum. “Alhamdulillah lancar. Kondisi Ibu sejauh ini stabil, tapi putra Bapak harus mendapatkan perawatan intensif karena lahir prematur dan berat badan lahirnya rendah,” jawabnya. Satrio menghela napas lega meskipun kondisi sang anak masih belum bagus. Setidaknya istri dan anaknya selamat. “Alhamdulillah. Berarti saya boleh menemui istri dan anak saya sekarang, Dok?” tanyanya lagi. Sang dokter menggeleng. “Untuk saat ini belum, Pak. Ibu masih di ruang pemulihan untuk diobservasi. Kalau putra Bapak nanti bisa ditemui di NICU, sekarang masih ditangani oleh dokter anak,” jelasnya. Bahu Satrio meluruh karena tidak bisa menemui istri dan anaknya. “Kalau begitu sebaiknya saya menunggu di mana, Dok? Di sini atau di kamarnya?” Dia kembali bertanya. “Di sini boleh. Di kamar juga boleh. Nanti kalau Ibu seles
“Vit, ada tamu tuh. Sana buka pintunya!” titah Lina yang sedang tiduran di sofa depan televisi pada putrinya setelah mendengar bel rumah berbunyi.“Siapa sih? Ganggu aja orang lagi santai!” Meskipun menggerutu, Vita tetap melangkah menuju pintu depan. Keningnya mengerut kala melihat beberapa sosok pria berbadan tinggi, kekar, dan mengenakan pakaian serba hitam. Sejujurnya dia takut melihat para pria di hadapannya yang tampangnya tampak menyeramkan dan sama sekali tak ramah.“Kalau kalian mencari Bang Satrio dan Mbak Isha, mereka tidak ada di rumah!” Vita bicara dengan ketus untuk menutupi ketakutannya.“Siapa, Vit?” Lina menyusul ke depan karena penasaran dengan tamu yang datang.“Ga tahu, Bu!” Vita menggeleng.Lina terkesiap melihat orang-orang yang bertamu. Dia langsung menelan ludah dan mendekat pada putrinya. “Mereka bukan debt collector yang mau nagih utang Satrio atau Isha ‘kan?” bisiknya.“Mana kutahu, Bu. Sejak tadi mereka cuma diam. Ga ngomong apa-apa,” balas Vita juga dengan
Bayu mendekat pada Satrio yang sedang makan siang dengan para pejabat daerah dan pengusaha lokal—yang datang di acara pembukaan anak perusahaan Digdaya Grup. "Pak, saya baru dapat kabar kalau Bu Isha jatuh dari tangga dan sekarang sedang dalam perjalanan ke rumah sakit," bisiknya usai mendapat pesan dari Marni. Satrio sontak menghentikan makan lalu mengelap mulut dengan sapu tangan. "Segera siapkan helikopter. Kita pulang ke Jakarta sekarang!" perintahnya juga dengan berbisik. "Baik, Pak." Bayu menjauh lalu melakukan koordinasi dengan yang lain untuk mengatur kepulangan sang atasan. Di setiap kantor anak perusahaan Digdaya Grup memang ada helipad untuk memudahkan transportasi para petinggi perusahaan bila ada kepentingan yang mendesak. Meskipun mengkhawatirkan keselamatan istri dan calon anaknya, Satrio tetap berusaha bersikap tenang di hadapan yang lain. Dia minta maaf pada para pejabat dan pengusaha yang semeja dengannya karena tidak bisa menemani makan siang sampai selesai. Tak l
“Mau ke mana, Bi?” tanya Vita saat melihat ART Isha akan menaiki tangga.“Saya mau manggil Ibu untuk makan siang, Mbak,” jawab Marni.“Bi Marni, lakukan pekerjaan lain saja. Biar aku yang panggil Mbak Isha.” Vita menawakan diri.“Tapi Bapak sudah pesan kalau saya sendiri yang harus manggil Ibu di kamar, Mbak.” Marni tak mau begitu saja menerima tawaran adik tiri Isha itu.Vita tampak mengernyit. “Kenapa memangnya?”“Soalnya Bapak minta saya membantu Ibu waktu turun tangga karena Bapak khawatir Ibu jatuh atau kepleset.” Marni mengungkapkan alasannya.“Kalau cuma bantu Mbak Isha turun tangga, aku juga bisa, Bi. Sudah sana Bi Marni siapin aja makannya, aku yang akan manggil Mbak Isha.” Vita meminta ART itu pergi.“Biar saya yang manggil Ibu, Mbak. Makanannya sudah siap semua kok di meja makan. Lebih baik Mbak Vita panggil bapak dan ibunya atau langsung ke ruang makan saja.” Marni tetap bersikeras memanggil Isha.“Kenapa sih ga mau dibantu, Bi? Takut saya ngapa-ngapain Mbak Isha?” tukas Vi
Vita kembali ke rumah Baskoro setelah dokter mengizinkan dia pulang dari rumah sakit. Sejak Vita dirawat sampai pulang, Surya selalu memberi perhatian walau sering diabaikan oleh sang istri. Namun pria itu tak mau menyerah begitu saja untuk mengambil hati istri yang pernah disakitinya. Walaupun Surya sudah menunjukkan perubahannya, Vita tetap bersikeras untuk bercerai. Sejak awal Surya memang tidak mau berpisah dengan istrinya. Dia ingin mempertahankan pernikahan mereka. Surya menunjukkan kesungguhannya dengan meninggalkan Ike dan tidak pernah berhubungan lagi dengan teman kuliahnya itu. Dia juga janji akan bekerja di perusahaan yang direkomendasikan oleh Satrio demi masa depan mereka meskipun harus tinggal di luar Pulau Jawa. Orang tua dari kedua belah pihak sudah berusaha menasihati dan menengahi permasalahan antara Vita dan Surya. Namun Vita tetap pada pendiriannya. Dia ingin bercerai dari Surya. Vita sudah tidak bisa percaya lagi pada suaminya jadi percuma kalau tetap bersama t