“Kamu langsung masuk pagi, Is?” Baskoro heran melihat putri sulungnya yang pagi ini mengenakan seragam kerja saat makan pagi bersama.“Iya, Pak. Kemarin ‘kan aku sudah libur dua hari. Jadi ga bisa minta ganti jadwal lagi,” sahut Isha seraya mengambilkan nasi untuk suaminya setelah itu mengambilkan sayur dan lauk sebagai pendamping. Sejak Satrio memberikan uang belanja pada Lina, menu makanan tidak dibeda-bedakan lagi, semua mendapat sayur dan lauk yang sama.“Cukup, Dek,” lontar Satrio saat sang istri mau menambahkan sayur di piringnya. Isha kemudian meletakkan piring di hadapan suaminya. “Terima kasih, Dek,” ucap Satrio yang dibalas Isha dengan anggukan.“Gimana liburannya, Mbak? Seru ga?” celetuk Vita yang baru bergabung di meja makan.“Seru banget! Aku diajak naik jet ski sama Bang Satrio terus lihat matahari terbenam. Malamnya makan malam romantis di pinggir pantai.” Isha sengaja memanas-manasi adik tirinya.Vita membelalakkan mata. “Mbak Isha sama Bang Satrio naik jet ski?” tany
Satrio membaca dengan saksama nama-nama karyawan yang akan dapat promosi jabatan di layar monitor. Keningnya mengerut kala menemukan nama Surya Agung di sana. “Apa mungkin dia calon suaminya Vita?” gumamnya. Dia ingat beberapa kali Vita menyebut dan menyombong kalau calon suaminya akan naik jabatan. Satrio kemudian melihat profil dan prestasi pria tersebut. “Bay, tunda dulu promosi orang ini.” Dia berkata pada Bayu sambil menunjuk satu nama di layar monitor. Bayu yang dipanggil pun kemudian mendekat pada Satrio. Dia melihat ke arah yang ditunjuk oleh pria berambut ikal itu.“Kenapa, Pak? Saya lihat kinerja dan prestasinya bagus. HRD juga sudah merekomendasikan dia.” Bayu terkejut karena tak biasanya Satrio ikut campur urusan karyawan. “Kamu tidak perlu tahu alasannya. Aku cuma minta ditunda saja, tidak menggagalkan promosinya!” tegas Satrio.“Baik, Pak. Nanti akan saya sampaikan pada HRD,” sahut Bayu. “Apa ada lagi, Pak?” tanyanya kemudian.Satrio menggeleng. “Baik, kalau begitu s
Selesai makan malam bersama, Baskoro mengumpulkan semua anggota keluarganya di ruang depan. Dia bilang ingin membicarakan sesuatu yang penting.“Pak, mau ngomongin apa sih sebenarnya?” Lina sudah tak sabar menunggu.“Bapak mau bicara soal pernikahan Vita. Waktunya ‘kan sudah semakin dekat. Kita sudah harus mulai mempersiapkan banyak hal,” ujar Baskoro. Dia lantas menoleh pada putri bungsunya. “Vit, jadinya keluarga Surya mau membantu biaya resepsi berapa?” tanyanya tanpa basi-basi.Vita melirik pada ibunya, seolah bertanya apakah dia harus bicara jujur atau berbohong soal jumlah uang yang akan diberikan oleh keluarga calon suaminya. Namun Lina sama sekali tak menggubris kode dari putri kandungnya tersebut. Wanita paruh baya itu merasa kesal pada Vita karena sama sekali tidak mau keluar biaya untuk pernikahannya sendiri.“Vit, kenapa diam? Apa keluarga Surya tidak akan membantu biaya resepsi?” Baskoro kembali bertanya pada Vita karena putri bungsunya itu belum menjawab.“Mereka mau mem
“Isha, Vita, cukup! Kita itu sedang membahas hal yang penting, jangan malah ribut!” Baskoro menegur dua putrinya yang berselisih pendapat.“Vita, benar apa yang dibilang Ibu dan Isha, tidak usah bulan madu kalau tidak punya uang. Jangan hidup dengan gengsi kalau ingin hidupmu tenang dan bahagia,” imbuh pria paruh baya itu.Vita semakin cemberut karena tak ada satu pun yang membelanya. Bahkan calon suaminya sendiri juga tidak begitu menginginkan bulan madu. “Sekarang kita fokus membahas persiapan pernikahan saja. Tidak usah membahas lainnya,” tegas Baskoro.“Satrio dan Isha, bisa ‘kan mencari informasi gedung di dekat sini yang harganya terjangkau? Tidak usah terlalu besar, yang penting mudah diakses dan dicari,” Baskoro bicara pada anak dan menantunya.“Insya Allah bisa, Pak. Besok saya dan Dek Isha akan mulai mencari,” sahut Satrio.“Bu, mulai buat daftar apa saja yang harus disiapkan selain undangan dan katering.” Baskoro beralih pada istrinya.Lina mengangguk. “Menurut Ibu lebih e
Satrio jadi gelagapan begitu diberondong banyak pertanyaan oleh istrinya. Pria itu bingung harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Dia sampai meneguk ludah karena Isha terus menatapnya. Menanti jawaban.“Bang, kok malah diam?” Isha menegur suaminya yang tak juga bersuara. “Apa aku ga berhak tahu keluarga Bang Satrio?” Pria berambut ikal itu sontak menggeleng. “Bukan begitu, Dek. Abang bingung harus menceritakan dari mana karena hubungan Abang dan keluarga agak rumit,” kilahnya.Isha mengernyit. “Rumit gimana, Bang?”“Abang diminta pergi dari rumah sama orang tua Abang karena suatu hal, Dek. Abang baru boleh pulang kalau sudah sukses. Karena itu kemarin waktu kita nikah tidak ada satu pun keluarga Abang yang datang. Maaf ya, Dek. Bukan maksud Abang mau menutupi atau tidak jujur soal keluarga, tapi memang kondisinya yang belum memungkinkan,” papar Satrio. Isha menarik napas panjang usai mendengar penjelasan Satrio. Rasa sesal langsung menggelayut di hati karena mengungkit hal yan
“Beb, sebenarnya kamu jadi dapat promosi jabatan ga sih? Kok belum ada kabarnya sama sekali.” Vita bertanya pada Surya saat keduanya makan siang bersama di kantin kantor.Surya mengedikkan bahu. “Aku juga tidak tahu, Beb. Promosi jabatan ‘kan tidak hanya butuh rekomendasi dari manajer, tapi juga keputusan dari HR, manajer operasional, dan pimpinan perusahaan. Makanya kamu bantu doa dong biar cepat turun SK promosiku. Kalau aku naik jabatan ‘kan gajiku juga naik jadi bisa buat bulan madu tipis-tipis seperti yang kamu mau,” ujarnya.Bibir Vita langsung melengkung membentuk bulan sabit begitu mendengar kata bulan madu. “Iya, aku bantu doa biar kamu cepat dapat promosi. Kamu juga harus berdoa, tidak hanya aku. Kalau perlu minta doa sama semua keluarga biar diijabah sama Allah,” timpalnya.“Iya, nanti aku minta mama, papa, sama kakakku buat mendoakan aku. Kamu juga minta doa dari bapak, ibu sama kakakmu ya,” ucap Surya usai mengelap bibir dengan tisu. Dia kemudian menandaskan es teh yang t
Surya banyak menghela napas panjang usai bertemu dengan salah satu staf HRD. Dia menanyakan soal promosi karena dirinya tidak mendapat surel seperti rekan lain yang menjalani seleksi berbarengan dengannya. Namun jawaban yang didapat, membuatnya kecewa. Staf HRD itu menyatakan kalau pimpinan tidak menyetujui promosinya.Calon suami Vita itu mengira semua yang diajukan promosi oleh manajer pasti akan mendapatkannya. Namun ternyata tidak seperti itu. Butuh persetujuan beberapa pihak agar promosinya disetujui. Meskipun HRD dan manajer operasional setuju, kalau pimpinan perusahaan tidak setuju, ya gagal promosinya.Surya diberi nasihat oleh staf HRD agar tetap menjaga kinerjanya dengan baik. Akan lebih baik lagi kalau kinerjanya ditingkatkan agar pada kesempatan selanjutnya bisa diajukan promosi lagi."Beb, kamu sudah jadi tanya belum sama HRD?" Vita bertanya pada Surya saat dalam perjalanan pulang dari kantor.Surya mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan. "Sudah," jawabnya."
Waktu terus berlalu, tanpa terasa pernikahan Vita dan Surya semakin dekat. Mereka sudah mempercayakan pada wedding organizer untuk mengurus acara akad nikah dan resepsi di gedung. Jadi mereka tidak begitu repot. Hanya membuat keputusan dan memantau sampai sejauh mana persiapan sudah dilakukan.Satrio dan Isha akhirnya memberi tambahan biaya pernikahan sebanyak dua puluh juta karena ternyata muncul biaya tidak terduga atau meleset dari anggaran yang ditetapkan di awal. Hal yang sangat biasa terjadi saat merencanakan pernikahan. Tentu saja itu melegakan Baskoro, Lina, dan juga Vita yang sempat khawatir karena kekurangan biaya. Isha tidak jadi mengambil tabungan karena suaminya memberi uang sejumlah itu padanya. Satrio mengaku mendapat bonus dari bosnya karena bisa menyelesaikan target lebih cepat hingga dia dapat proyek baru lagi. Isha sekarang tak ragu lagi menerima banyak uang dari sang suami karena sudah tahu pekerjaan Satrio yang selama ini disembunyikan dari keluarganya.“Istri Ab
Satrio tertawa mendengar pertanyaan istrinya. Hal itu membuat Isha jadi cemberut. “Bang, ditanya kok malah ketawa sih,” protesnya.“Habisnya pertanyaan Dek Isha lucu,” timpal Satrio sambil menahan tawa.“Lucu gimana sih, Bang? Perasaan pertanyaanku ga lucu sama sekali,” tukas Isha dengan kening mengerut.“Ya, lucu aja menurut Abang. Perasaan Abang ga ada tampang suka pergi ke diskotek atau klub malam, tapi Dek Isha tanyanya begitu,” sahut pria berambut ikal itu dengan santai.“Berarti Bang Satrio sama sekali tidak pernah pergi ke diskotek dan klub malam?” Isha menatap suaminya lekat.Satrio menggeleng. “Jujur saja Abang pernah ke diskotek dan klub malam waktu SMA dan kuliah. Biasalah, diajak teman-teman nongkrong pas weekend. Tapi ga setiap minggu Abang pergi, paling sebulan sekali atau dua kali,” akunya.Isha cukup terkejut mendengar pengakuan suaminya. Namun dia bisa memaklumi apalagi hal itu dilakukan saat suaminya dalam masa pencarian jati diri. “Berarti Bang Satrio dulu sering mi
“Surya belum kembali, Pak?” Satrio bertanya pada Baskoro saat mereka bertemu di restoran hotel untuk makan siang. Dia tak melihat pria itu datang bersama Baskoro, Lina, dan juga Vita. Wajah adik iparnya juga terlihat sendu, tak ceria seperti biasanya.Baskoro menggeleng. “Belum. Bapak, Ibu, dan Vita sudah menghubungi dia berulang kali tapi hapenya tidak aktif. Kirim pesan juga cuma centang satu,” jawabnya lesu.Satrio mengangguk. Dalam hati dia merasa prihatin dengan kejadian yang menimpa sang adik ipar. “Nanti saya coba bantu cari Surya, Pak. Sekarang kita makan siang dulu.” Pria berambut ikal itu mengajak sang mertua duduk di kursi yang berhadapan dengan Krisna."Suaminya Vita mana kok ga ikut ke sini?" tanya Laksmi yang belum tahu kalau Surya pergi. Satrio memang tidak memberi tahu keluarganya karena itu privasi keluarga Isha. Dia tak berhak menyebarluaskan tanpa minta izin pada keluarga istrinya terlebih dahulu."Surya ada keperluan jadi pulang dulu, Bu." Baskoro yang menjawab per
“Maksudmu apa, Vit? Jangan sembarangan bicara! Ibu saja terakhir bertemu Surya tadi malam dan tidak bicara apa-apa.” Lina memandang putri kandungnya dengan tatapan heran.“Ibu memang ga bicara sama Mas Surya, tapi sama aku,” tukas Vita.“Terus gimana ceritanya kamu bisa nyalahin Ibu?” Kerutan di kening Lina semakin dalam.“Gara-gara Ibu ngomong menyesal menjebak Mbak Isha dengan Bang Satrio, dan juga kebahagiaan bisa didapat dengan harta bukan cinta. Aku jadi bilang sama Mas Surya kalau harusnya kami ga nikah dulu sebelum keadaan ekonomi stabil, ga kaya sekarang mau apa-apa ga punya uang. Setelah itu Mas Surya marah dan pergi ninggalin aku,” jawab Vita.“Lagian kenapa kamu ngomong seperti itu sama Surya, Vit? Bukannya kamu yang minta cepat-cepat nikah sama minta dibeliin rumah? Kamu juga selalu ga mau keluar uang kalau mau apa-apa. Wajar kalau Surya marah,” timpal Lina yang tak mau disalahkan begitu saja.“Tapi itu ‘kan gara-gara Ibu ngomong lebih baik aku nikah sama Bang Satrio darip
“Beb, aku ingin kita extend satu hari lagi di sini,” ucap Vita pada suaminya saat mereka duduk menyandar di tempat tidur sambil menonton televisi.“Memangnya kamu sudah bilang sama Mbak Isha atau Bang Satrio?” Surya balik bertanya.Vita menggeleng. “Maksudku kita pakai uang sendiri, Beb. Kalau bilang sama Mbak Isha pasti ga dibolehin sama dia. Ntar aku dibilang ga tahu diri.”Surya menghela napas panjang. “Beb, ingat ‘kan kita harus nabung buat biaya lahiran? Nambah menginap semalam di sini itu lumayan lho harganya. Belum untuk makan. Kalau kamu masih mau extend, ya bilang sama Mbak Isha atau Bang Satrio, siapa tahu mereka mau membantu,” timpalnya.Vita mengerucutkan bibir. “Harusnya kita ga usah nikah dulu kalau kondisi ekonomi belum stabil. Mau apa-apa selalu ga ada uang,” keluhnya.Rahang Surya seketika mengeras. Dia mencengkeram lengan Vita dan membuat istrinya itu menatapnya. “Kamu menyesal nikah sama aku? Siapa yang dulu minta dinikahi cepat-cepat dan minta beli rumah? Aku udah
Satrio sontak menghentikan kegiatannya, lantas balas menatap sang belahan jiwa. “Astaghfirullah. Bukan seperti, Dek. Jangan salah paham,” sanggahnya cepat. “Kayanya Abang pernah cerita kalau Abang naksir Dek Isha sudah lama. Jauh sebelum kita digerebek warga. Abang pindah ke kontrakan yang dekat sama rumah Bapak ‘kan biar bisa sering melihat dan ketemu Dek Isha. Cuma memang Abang ga mau terang-terangan kelihatan lagi pedekate,” beber Satrio. “Alasan Abang mau menikah dengan Dek Isha tentu saja karena cinta. Kalau ga cinta, Abang ga akan mau. Mending Abang diusir dari kontrakan daripada dipaksa menikah sama orang yang ga Abang cintai,” sambung pria berambut ikal itu. Dia meraih kedua tangan istrinya lalu menggenggamnya erat. “Dan secara kebetulan, kriteria yang disyaratkan Kakek ada dalam diri Dek Isha. Demi Allah, Abang cinta sama Dek Isha sejak pertama kali Abang melihat Dek Isha. Sebenarnya Abang sedang menyusun rencana untuk melamar Dek Isha, eh malah sudah keduluan digerebek wa
Vita sependapat kalau hidup itu tidak hanya butuh cinta karena yang paling penting punya harta. Kalau modal cinta tanpa harta, gimana mau bahagia? Terbukti sekarang, dia harus menahan diri kalau ingin sesuatu karena Surya tak bisa memenuhi keinginannya. Salahnya juga dahulu memaksa Surya membeli rumah biar setelah menikah menikah bisa tinggal di rumah sendiri. Nyatanya sampai sekarang malah rumah yang dibeli belum jadi.Wanita yang sedang hamil muda itu menghela napas. “Belum tentu juga Bang Satrio mau nikah sama aku, Bu,” ucapnya kemudian.“Pasti maulah. Buktinya pas digerebek sama Isha langsung mau dia. Asal warga kompak minta kalian nikah, pasti Satrio mau. Ibu benar-benar menyesal. Harusnya kamu yang datang ke kontrakan Satrio, bukan Isha.” Lina kembali menyesali apa yang sudah dia lakukan beberapa bulan yang lalu.“Ibu ‘kan yang merencanakan semuanya, aku cuma ikut saja. Waktu itu kita sengaja pergi ke rumah Mas Surya sampai malam biar Mbak Isha tidak bisa masuk rumah. Ibu yang
“Pegal juga berdiri dan salaman sama banyak orang. Belum lagi harus terus tersenyum, bibir ikutan pegal,” keluh Lina begitu bertemu dengan Vita.“Ya, mau gimana lagi, Bu. Tamunya ‘kan jauh lebih banyak dari resepsiku dulu. Setidaknya Ibu ‘kan bisa salaman dan foto sama presiden dan wakilnya,” sahut Vita yang coba membangkitkan semangat sang ibu.Lina seketika tersenyum kala ingat apa yang dikatakan putrinya. “Ibu harus minta foto waktu bareng Pak Presiden dan Wakil Presiden nih sama fotografernya,” cetusnya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling hall.“Ibu, cari siapa?” kepo Vita.“Cari fotografer. Kamu lihat ga, Vit? Ibu mau cepat-cepat pamer,” aku wanita paruh baya itu.“Mungkin lagi makan, Bu. Coba tanya aja sama timnya yang lagi beresin perlengkapan mereka,” timpal Vita seraya menunjuk seorang pria dengan kemeja yang bagian belakangnya bertuliskan nama sang fotografer.“Ibu ke sana dulu ya.” Lina pun gegas bangkit dan pergi menghampiri pria tersebut.“Ibu mau ke mana itu, Vit?
“Bang, beneran itu tadi Pak Presiden?” Isha berbisik pada Satrio saat sang kepala negara sudah meninggalkan pelaminan.Satrio mengangguk. “Kenapa memangnya, Dek?” “Ga nyangka aja bisa ketemu Pak Presiden. Dulu cuma bisa lihat di TV, sekarang bisa salaman, malah didoakan juga tadi,” jawab Isha dengan wajah semringah. Sebagai warga biasa tentu saja dia merasa bangga dan bahagia bisa bertemu langsung dengan presiden.Pria berambut ikal itu tersenyum. “Ke depannya kita akan sering bertemu beliau, wapres, dan menteri-menteri, Dek,” ucapnya.Isha menutup mulut dengan tangan begitu mendengar ucapan suaminya. “Beneran, Bang?” tanyanya kemudian.Satrio mengangguk. “Dek, itu tamu-tamu sudah mulai naik. Ayo, siap-siap salaman lagi.” Dia menunjuk barisan tamu yang mulai berjalan kembali. Mereka tadi dihentikan oleh satuan keamanan untuk memberi waktu pada presiden memberi selamat pada orang tua dan kedua mempelai.Sementara itu di sisi lain hall, Vita dan Surya duduk di kursi yang disediakan khu
Wajah Satrio yang awalnya semringah langsung berubah datar begitu mendengar suara wanita tadi. “Bagaimana kamu bisa masuk ke sini? Seingatku tidak ada undangan untukmu,” cecar Satrio.Wanita itu tersenyum lebar. “Kamu lupa kalau circle pertemanan kita sama? Aku tinggal datang dengan yang dapat undangan. Gampang ‘kan?” ucapnya santai.“Untuk apa kamu datang ke sini?” Satrio menatap wanita itu tajam.“Tentu saja aku ingin melihat wanita yang bisa meluluhkan hatimu," aku wanita tersebut dengan jujur. "Dia yang bersamamu di restoran waktu itu 'kan?” “Siapa wanita yang kunikahi bukan urusanmu!” timpal Satrio dengan ketus.“Tentu saja jadi urusanku. Karena dia, kamu sudah tidak mau lagi dekat denganku,” tukas wanita berpakaian seksi itu dengan penuh percaya diri.Satrio tersenyum sinis. “Dengar ya, Gwen! Dari dulu sampai sekarang aku sama sekali tidak tertarik denganmu. Aku bersikap baik padamu hanya sebagai bentuk sopan santun. Tidak lebih!” tandasnya.“Sebaiknya kamu segera pergi atau ak