Isha terkesiap saat Satrio tiba-tiba memeluknya dari belakang. Tubuh gadis itu pun seketika membeku. Dia berdiri mematung, hanya dadanya yang terlihat bergerak teratur. “Dek, beneran masih marah sama Abang ya?” Satrio kembali bertanya pada istrinya karena Isha sama sekali tak merespons. “Apa yang harus Abang lakukan biar Dek Isha memaafkan Abang?” Satrio semakin memeluk erat istrinya. Berharap dengan itu, Isha mau memberi respons. Tidak hanya diam.“Bang, aku sesak.” Isha akhirnya bersuara meskipun tak menanggapi ucapan suaminya. Dia berusaha mengendurkan pelukan Satrio di tubuhnya.Begitu mendengar suara sang istri, Satrio lantas mengurai pelukan. Dengan cepat dia bergerak lalu berdiri di hadapan Isha. Kedua tangan Satrio kemudian memegang bahu istrinya.“Dek, bilang sama Abang apa yang harus Abang lakukan untuk mendapat maaf dari Dek Isha? Tolong jangan diam saja karena Abang tidak bisa membaca pikiran Dek Isha,” pintanya dengan tatapan memohon. Pria itu terlihat frustrasi.Isha b
“Terima kasih, Dek. I love you.” Satrio mengecup lembut kening Isha yang tampak basah oleh keringat. Pria berambut ikal itu kemudian bergerak ke samping. Menarik selimut untuk menutupi tubuh polos sang istri dan tubuhnya, lantas berbaring miring menghadap Isha yang masih mengatur napas.Satrio tersenyum sangat lebar sesudah mendapatkan haknya sebagai suami. Malam ini merupakan malam terindah untuknya dan juga Isha karena menjadi malam pertama mereka menyatukan jiwa dan raga sebagai suami istri. Isha akhirnya dengan sukarela menyerahkan mahkotanya yang paling berharga untuk Satrio.“Capek, Dek?” Satrio bertanya setelah napas Isha sudah tidak memburu.Isha menggeleng. Dia menarik selimut ke atas untuk menutupi bahunya yang terbuka. Wanita yang baru saja melepas kegadisannya itu mulai merasa kedinginan karena tak terbiasa di ruangan ber-AC. Tadi Satrio hanya menyelimutinya sampai batas dada. “Abang naikkan suhu AC-nya ya biar Dek Isha ga kedinginan.” Satrio mengambil remote AC lalu mena
Isha kembali menggeleng. “Ga usah, Bang. Aku gapapa kok. Aku bisa jalan ke kamar mandi sendiri.” Dia menolak tawaran suaminya begitu menyadari kalau Satrio hanya melilitkan handuk di pinggang dan bagian atas tubuhnya terbuka. Menampakkan otot perut dan dada yang terbentuk dengan sempurna. Untuk pertama kalinya dia melihat pemandangan indah itu di depan mata.Semalam mereka memang sama-sama polos, tapi tak ada waktu untuk Isha melihat keindahan tubuh suaminya. Setiap sentuhan Satrio begitu melenakan dirinya hingga hanya menikmati beragam rasa yang baru pertama kali dirasakannya. Puncaknya, Satrio membuatnya menggapai surga dunia, melambungkan sejuta rasa yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.Membayangkan apa yang terjadi tadi malam membuat wajah Isha jadi semakin merah. Dia terhenyak saat merasakan tubuhnya melayang dan aroma sabun yang segar memenuhi indra penciumannya. Satrio ternyata membopongnya menuju kamar mandi tanpa disadarinya.“Bang, lepas. Aku bisa jalan sendiri,” prot
“Dek, kita sarapan di restoran yuk.” Satrio mengajak istrinya makan pagi karena dia sudah merasa lapar. Kegiatan yang mereka lakukan semalam, benar-benar menguras energi.“Aku rapikan dulu tempat tidurnya, Bang.” Isha menarik selimut, berniat melipatnya. Namun kemudian dia terpaku kala melihat ada noda merah di seprai yang berwarna putih. Seketika wajahnya memerah begitu sadar kalau noda tersebut berasal dari bagian intinya yang semalam dibobol oleh sang suami.Isha pun gegas melipat selimut lantas meletakkannya di atas noda merah itu. Berusaha menutupi agar Satrio tidak melihatnya. Selesai merapikan tempat tidur, dia pergi ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Sambil menunggu Isha bersiap, Satrio melakukan panggilan di balkon kamar.“Dek, nanti kalau ketemu siapa pun, tetap bersikap biasa ya. Jangan seperti kemarin!” pesan Satrio saat mereka dalam perjalanan ke restoran.Isha mengangguk. “Iya, Bang.”Satrio tersenyum lantas mengeratkan genggaman tangannya dengan sang istri tercinta.
“Bang, kita nanti tidur di atas laut ya?” Isha bertanya kala mereka menyusuri jalan yang dibuat dari kayu.“Iya, Dek. Kenapa? Takut?” Satrio menoleh pada istrinya.“Nanti kamarnya kena ombak ga, Bang?” tanya Isha lagi.Satrio tersenyum. “Insya Allah enggak kalau ombak besar. Ini ‘kan letaknya di pantai yang dangkal dan ombaknya kecil, Dek. Ga usah takut ya, ‘kan ada Abang.” Dia mengangkat tangan Isha yang ada di genggamannya lantas mencium punggung tangan sang istri.“Di sini letak cottage-nya mirip seperti di Maldives, Dek. Insya Allah suatu hari, Abang ajak Dek Isha ke Maldives yang asli. Sekarang di sini dulu, yang dekat,” lontar Satrio.Isha melirik suaminya. “Memangnya Maldives itu apa, Bang?”Alis tebal Satrio bertaut. “Dek Isha, tidak tahu Maldives?”Isha mengangguk. “Kalau tahu ya aku ga akan nanya, Bang,” timpalnya.“Maldives itu salah satu tempat bulan madu yang diimpikan banyak orang, Dek,” jelas Satrio.“Itu di luar negeri ya, Bang?” Pertanyaan Isha itu dijawab Satrio deng
Selepas Asar dan sinar matahari sudah tak terlalu menyengat, Satrio mengajak Isha berjalan-jalan ke pantai. Pria itu mengenakan kaos oblong tanpa lengan dan celana pendek selutut. Untuk alas kaki dia memakai sandal jepit, dan kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. Sementara itu Isha mengenakan kaos dan celana panjang yang warnanya senada dengan suaminya. Rambutnya ditutup dengan hijab instan hitam sebatas dada. Dia juga memakai kacamata hitam dan alas kaki yang modelnya sama dengan Satrio. Membuat mereka tampak serasi dan terlihat sebagai pasangan yang harmonis.Kedua sejoli itu berjalan sambil bergandengan tangan. Mereka langsung menuju tempat persewaan jetski. Satrio benar-benar membuktikan omongannya yang akan mengajak istrinya naik jet ski.“Bang Satrio, beneran bisa mengendarai jet ski?” Isha bertanya pada suaminya karena merasa ragu. Walaupun bukan termasuk orang yang senang bergaul, dia tahu harga sewa jet ski tidak murah. Hanya orang yang punya uang dan nyali besar y
Isha mengernyit. “Memangnya aku pernah bilang ga suka sama liburan ini, Bang?”Satrio menggeleng. “Seingat Abang ga pernah, Dek. Abang cuma mau memastikan karena tadi Dek Isha bilang tidak mau liburan seperti ini,” timpalnya.Isha tersenyum. “Siapa yang ga senang dapat liburan gratis, Bang? Aku rasa semua orang pasti senang, termasuk aku. Maksudku tadi itu kalau liburan pakai uang sendiri, lebih baik tidak usah. Mending uangnya ditabung untuk masa depan,” jelas wanita berusia 25 tahun itu.“Oh, maksudnya begitu. Kirain Dek Isha ga senang sama liburan kita sekarang.” Satrio akhirnya menghela napas lega. “Abang rasanya masih belum puas liburan, Dek. Baru hari ini nyampe, besok sudah pulang. Gimana kalau kita nambah sehari atau dua hari?” Dia meminta pendapat sang istri walaupun sebenarnya bisa memutuskan sendiri. Namun Satrio ingin Isha merasa dihargai pendapatnya sebagai istri. Sebagai kepala rumah tangga, dia tidak mau bersikap egois dan otoriter. “Jangan aneh-aneh, Bang! Aku cuma di
Satrio yang memandang Isha sembari tersenyum pun mengangguk. “Iya. Abang mau lihat Dek Isha pakai itu, Mau ya?” bujuknya.“Bang, ini ‘kan bukan baju tidur. Bisa masuk angin aku kalau pakai itu semalaman.” Isha sontak melayangkan protes pada suaminya. “Lagian baju transparan gini ya ga bisa nutupin aurat, Bang,” tambahnya.“Insya Allah ga akan masuk angin. Tidurnya ‘kan Abang peluk,” timpal Satrio. “Lagi pula makai baju itu cuma di depan Abang saja, Dek. Ga di depan orang lain. Abang juga ga akan mengizinkan Dek Isha pakai itu di sembarang tempat. Hanya boleh dipakai di kamar dan sedang berduaan sama Abang,” imbuhnya.“Kata orang-orang sih itu baju dinas istri buat nyenengin suami, Dek,” tandas pria berambut ikal itu.Isha membelalakkan mata karena terkejut. “Ba—ju dinas, Bang?” tanyanya tak percaya.Satrio mengangguk. “Iya, Dek. Kalau ga percaya lihat aja di internet.” Dia mengambil gawai lantas membuka situs pencarian dan mengetikkan ‘baju dinas istri’. Tak lama kemudian muncul berba
Satrio tertawa mendengar pertanyaan istrinya. Hal itu membuat Isha jadi cemberut. “Bang, ditanya kok malah ketawa sih,” protesnya.“Habisnya pertanyaan Dek Isha lucu,” timpal Satrio sambil menahan tawa.“Lucu gimana sih, Bang? Perasaan pertanyaanku ga lucu sama sekali,” tukas Isha dengan kening mengerut.“Ya, lucu aja menurut Abang. Perasaan Abang ga ada tampang suka pergi ke diskotek atau klub malam, tapi Dek Isha tanyanya begitu,” sahut pria berambut ikal itu dengan santai.“Berarti Bang Satrio sama sekali tidak pernah pergi ke diskotek dan klub malam?” Isha menatap suaminya lekat.Satrio menggeleng. “Jujur saja Abang pernah ke diskotek dan klub malam waktu SMA dan kuliah. Biasalah, diajak teman-teman nongkrong pas weekend. Tapi ga setiap minggu Abang pergi, paling sebulan sekali atau dua kali,” akunya.Isha cukup terkejut mendengar pengakuan suaminya. Namun dia bisa memaklumi apalagi hal itu dilakukan saat suaminya dalam masa pencarian jati diri. “Berarti Bang Satrio dulu sering mi
“Surya belum kembali, Pak?” Satrio bertanya pada Baskoro saat mereka bertemu di restoran hotel untuk makan siang. Dia tak melihat pria itu datang bersama Baskoro, Lina, dan juga Vita. Wajah adik iparnya juga terlihat sendu, tak ceria seperti biasanya.Baskoro menggeleng. “Belum. Bapak, Ibu, dan Vita sudah menghubungi dia berulang kali tapi hapenya tidak aktif. Kirim pesan juga cuma centang satu,” jawabnya lesu.Satrio mengangguk. Dalam hati dia merasa prihatin dengan kejadian yang menimpa sang adik ipar. “Nanti saya coba bantu cari Surya, Pak. Sekarang kita makan siang dulu.” Pria berambut ikal itu mengajak sang mertua duduk di kursi yang berhadapan dengan Krisna."Suaminya Vita mana kok ga ikut ke sini?" tanya Laksmi yang belum tahu kalau Surya pergi. Satrio memang tidak memberi tahu keluarganya karena itu privasi keluarga Isha. Dia tak berhak menyebarluaskan tanpa minta izin pada keluarga istrinya terlebih dahulu."Surya ada keperluan jadi pulang dulu, Bu." Baskoro yang menjawab per
“Maksudmu apa, Vit? Jangan sembarangan bicara! Ibu saja terakhir bertemu Surya tadi malam dan tidak bicara apa-apa.” Lina memandang putri kandungnya dengan tatapan heran.“Ibu memang ga bicara sama Mas Surya, tapi sama aku,” tukas Vita.“Terus gimana ceritanya kamu bisa nyalahin Ibu?” Kerutan di kening Lina semakin dalam.“Gara-gara Ibu ngomong menyesal menjebak Mbak Isha dengan Bang Satrio, dan juga kebahagiaan bisa didapat dengan harta bukan cinta. Aku jadi bilang sama Mas Surya kalau harusnya kami ga nikah dulu sebelum keadaan ekonomi stabil, ga kaya sekarang mau apa-apa ga punya uang. Setelah itu Mas Surya marah dan pergi ninggalin aku,” jawab Vita.“Lagian kenapa kamu ngomong seperti itu sama Surya, Vit? Bukannya kamu yang minta cepat-cepat nikah sama minta dibeliin rumah? Kamu juga selalu ga mau keluar uang kalau mau apa-apa. Wajar kalau Surya marah,” timpal Lina yang tak mau disalahkan begitu saja.“Tapi itu ‘kan gara-gara Ibu ngomong lebih baik aku nikah sama Bang Satrio darip
“Beb, aku ingin kita extend satu hari lagi di sini,” ucap Vita pada suaminya saat mereka duduk menyandar di tempat tidur sambil menonton televisi.“Memangnya kamu sudah bilang sama Mbak Isha atau Bang Satrio?” Surya balik bertanya.Vita menggeleng. “Maksudku kita pakai uang sendiri, Beb. Kalau bilang sama Mbak Isha pasti ga dibolehin sama dia. Ntar aku dibilang ga tahu diri.”Surya menghela napas panjang. “Beb, ingat ‘kan kita harus nabung buat biaya lahiran? Nambah menginap semalam di sini itu lumayan lho harganya. Belum untuk makan. Kalau kamu masih mau extend, ya bilang sama Mbak Isha atau Bang Satrio, siapa tahu mereka mau membantu,” timpalnya.Vita mengerucutkan bibir. “Harusnya kita ga usah nikah dulu kalau kondisi ekonomi belum stabil. Mau apa-apa selalu ga ada uang,” keluhnya.Rahang Surya seketika mengeras. Dia mencengkeram lengan Vita dan membuat istrinya itu menatapnya. “Kamu menyesal nikah sama aku? Siapa yang dulu minta dinikahi cepat-cepat dan minta beli rumah? Aku udah
Satrio sontak menghentikan kegiatannya, lantas balas menatap sang belahan jiwa. “Astaghfirullah. Bukan seperti, Dek. Jangan salah paham,” sanggahnya cepat. “Kayanya Abang pernah cerita kalau Abang naksir Dek Isha sudah lama. Jauh sebelum kita digerebek warga. Abang pindah ke kontrakan yang dekat sama rumah Bapak ‘kan biar bisa sering melihat dan ketemu Dek Isha. Cuma memang Abang ga mau terang-terangan kelihatan lagi pedekate,” beber Satrio. “Alasan Abang mau menikah dengan Dek Isha tentu saja karena cinta. Kalau ga cinta, Abang ga akan mau. Mending Abang diusir dari kontrakan daripada dipaksa menikah sama orang yang ga Abang cintai,” sambung pria berambut ikal itu. Dia meraih kedua tangan istrinya lalu menggenggamnya erat. “Dan secara kebetulan, kriteria yang disyaratkan Kakek ada dalam diri Dek Isha. Demi Allah, Abang cinta sama Dek Isha sejak pertama kali Abang melihat Dek Isha. Sebenarnya Abang sedang menyusun rencana untuk melamar Dek Isha, eh malah sudah keduluan digerebek wa
Vita sependapat kalau hidup itu tidak hanya butuh cinta karena yang paling penting punya harta. Kalau modal cinta tanpa harta, gimana mau bahagia? Terbukti sekarang, dia harus menahan diri kalau ingin sesuatu karena Surya tak bisa memenuhi keinginannya. Salahnya juga dahulu memaksa Surya membeli rumah biar setelah menikah menikah bisa tinggal di rumah sendiri. Nyatanya sampai sekarang malah rumah yang dibeli belum jadi.Wanita yang sedang hamil muda itu menghela napas. “Belum tentu juga Bang Satrio mau nikah sama aku, Bu,” ucapnya kemudian.“Pasti maulah. Buktinya pas digerebek sama Isha langsung mau dia. Asal warga kompak minta kalian nikah, pasti Satrio mau. Ibu benar-benar menyesal. Harusnya kamu yang datang ke kontrakan Satrio, bukan Isha.” Lina kembali menyesali apa yang sudah dia lakukan beberapa bulan yang lalu.“Ibu ‘kan yang merencanakan semuanya, aku cuma ikut saja. Waktu itu kita sengaja pergi ke rumah Mas Surya sampai malam biar Mbak Isha tidak bisa masuk rumah. Ibu yang
“Pegal juga berdiri dan salaman sama banyak orang. Belum lagi harus terus tersenyum, bibir ikutan pegal,” keluh Lina begitu bertemu dengan Vita.“Ya, mau gimana lagi, Bu. Tamunya ‘kan jauh lebih banyak dari resepsiku dulu. Setidaknya Ibu ‘kan bisa salaman dan foto sama presiden dan wakilnya,” sahut Vita yang coba membangkitkan semangat sang ibu.Lina seketika tersenyum kala ingat apa yang dikatakan putrinya. “Ibu harus minta foto waktu bareng Pak Presiden dan Wakil Presiden nih sama fotografernya,” cetusnya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling hall.“Ibu, cari siapa?” kepo Vita.“Cari fotografer. Kamu lihat ga, Vit? Ibu mau cepat-cepat pamer,” aku wanita paruh baya itu.“Mungkin lagi makan, Bu. Coba tanya aja sama timnya yang lagi beresin perlengkapan mereka,” timpal Vita seraya menunjuk seorang pria dengan kemeja yang bagian belakangnya bertuliskan nama sang fotografer.“Ibu ke sana dulu ya.” Lina pun gegas bangkit dan pergi menghampiri pria tersebut.“Ibu mau ke mana itu, Vit?
“Bang, beneran itu tadi Pak Presiden?” Isha berbisik pada Satrio saat sang kepala negara sudah meninggalkan pelaminan.Satrio mengangguk. “Kenapa memangnya, Dek?” “Ga nyangka aja bisa ketemu Pak Presiden. Dulu cuma bisa lihat di TV, sekarang bisa salaman, malah didoakan juga tadi,” jawab Isha dengan wajah semringah. Sebagai warga biasa tentu saja dia merasa bangga dan bahagia bisa bertemu langsung dengan presiden.Pria berambut ikal itu tersenyum. “Ke depannya kita akan sering bertemu beliau, wapres, dan menteri-menteri, Dek,” ucapnya.Isha menutup mulut dengan tangan begitu mendengar ucapan suaminya. “Beneran, Bang?” tanyanya kemudian.Satrio mengangguk. “Dek, itu tamu-tamu sudah mulai naik. Ayo, siap-siap salaman lagi.” Dia menunjuk barisan tamu yang mulai berjalan kembali. Mereka tadi dihentikan oleh satuan keamanan untuk memberi waktu pada presiden memberi selamat pada orang tua dan kedua mempelai.Sementara itu di sisi lain hall, Vita dan Surya duduk di kursi yang disediakan khu
Wajah Satrio yang awalnya semringah langsung berubah datar begitu mendengar suara wanita tadi. “Bagaimana kamu bisa masuk ke sini? Seingatku tidak ada undangan untukmu,” cecar Satrio.Wanita itu tersenyum lebar. “Kamu lupa kalau circle pertemanan kita sama? Aku tinggal datang dengan yang dapat undangan. Gampang ‘kan?” ucapnya santai.“Untuk apa kamu datang ke sini?” Satrio menatap wanita itu tajam.“Tentu saja aku ingin melihat wanita yang bisa meluluhkan hatimu," aku wanita tersebut dengan jujur. "Dia yang bersamamu di restoran waktu itu 'kan?” “Siapa wanita yang kunikahi bukan urusanmu!” timpal Satrio dengan ketus.“Tentu saja jadi urusanku. Karena dia, kamu sudah tidak mau lagi dekat denganku,” tukas wanita berpakaian seksi itu dengan penuh percaya diri.Satrio tersenyum sinis. “Dengar ya, Gwen! Dari dulu sampai sekarang aku sama sekali tidak tertarik denganmu. Aku bersikap baik padamu hanya sebagai bentuk sopan santun. Tidak lebih!” tandasnya.“Sebaiknya kamu segera pergi atau ak