“Hah!” Isha refleks berseru. Dia tidak menduga Satrio langsung bertanya soal itu padanya.Kedua alis tebal pria itu bertaut. “Kenapa Dek Isha terkejut begitu? Apa Dek Isha tidak mau?” cecarnya.Isha menggeleng. “Bukan tidak mau, Bang. Siapa yang tidak kaget kalau ditanya seperti itu?” kilahnya.Pria berambut ikal itu mengangguk-angguk. “Oke. Berarti Dek Isha mau ‘kan punya anak dari Abang?”“Apa aku boleh menolak?” Isha balik bertanya pada suaminya.“Kalau Abang bilang tidak boleh, gimana?” sahut Satrio.“Berarti aku harus mau ‘kan, Bang?” Isha memandang pria yang duduk di sebelahnya.Satrio mengangguk. “Kalau Dek Isha tidak mau, siapa yang akan hamil dan melahirkan anak-anak Abang?”“Ya siapa tahu Bang Satrio ingin wanita yang lebih cantik, baik, berpendidikan. Tidak seperti aku yang—” Satrio langsung membungkam mulut sang istri dengan ciuman padahal Isha belum selesai bicara.Pria itu mengulum dan menyesap bibir Isha. Sentuhan Satrio yang sangat mendadak, membuat Isha jadi terpaku.
Satrio mengajak Isha ke salah satu mal terbesar di Jakarta. Setelah memarkirkan motor, pria itu menggandeng istrinya masuk ke mal.“Bang, malnya bagus dan besar banget. Pasti di sini harganya mahal-mahal ya?” Isha bertanya pada suaminya begitu memasuki area mal.“Mahal atau murah itu relatif, Dek. Selama kita mampu, tidak mahal. Insya Allah uang kita cukup untuk belanja di sini.” Satrio menenangkan istrinya.“Bang, pakaian orang-orang yang ke sini bagus-bagus. Tidak seperti pakaianku ini.” Isha jadi minder melihat penampilan pengunjung mal lainnya.Satrio seketika menghentikan langkah hingga membuat Isha ikut berhenti. Dia memindai penampilan istrinya dari ujung kepala sampai kaki. Memang pakaian istrinya sederhana dan tidak bermerek, tapi sopan dan pantas untuk bepergian.“Memangnya pakaian Dek Isha kenapa? Bagus dan cocok kok,” ucapnya agar sang istri tidak merasa rendah diri.“Masa sih, Bang?” Isha tak mau percaya begitu saja pada suaminya.Satrio mengangguk. “Iya. Masa Dek Isha ti
“Assalamu’alaikum.” Isha mengucap salam saat membuka pintu rumah karena lampu ruang tamu masih menyala. Menandakan masih ada yang duduk di sana.“Wa’alaikumussalam,” balas Lina. “Mana martabak pesanan Ibu?” tanyanya tanpa basa-basi.“Ini, Bu.” Isha meletakkan kantong plastik yang berisi martabak manis kesukaan ibu tirinya di atas meja ruang tamu.“Ini rasa apa?” tanya Lina sembari mengeluarkan kemasan kardus dari kantong plastik.“Ya, seperti yang biasa Bapak beli, Bu,” jawab Isha dengan tenang.“Ya sudah, Ibu kira rasa lainnya. Ambilkan piring sama garpu sana!” titah wanita paruh baya itu pada anak tirinya.“Kenapa ga nyuruh Vita saja, Bu? Dia nganggur tuh. Aku ‘kan baru pulang, mau istirahat.” Isha menunjuk adik tirinya yang tiduran di sofa sambil memainkan gawai.“Kamu ‘kan yang masih berdiri, biar sekalian jalannya. Ambilin piring sama garpu dulu baru ke kamar, apa sih susahnya?” Lina memandang Isha dengan kesal.“Kenapa, Dek?” Satrio langsung bertanya pada Isha begitu melihat ket
“Bu, ayo ke kamar Mbak Isha.” Vita mengajak sang ibu setelah memastikan Isha dan Satrio sudah pergi.Lina mengernyit. “Mau ngapain, Vit? Kamu kurang kerjaan?”“Ck, Ibu lupa ya rencana semalam? Kita cek barang-barang yang dibeli Mbak Isha sama Bang Satrio asli atau kw,” jawab Vita dengan penuh antusias.“Terus kalau ternyata asli kenapa? Kalau kw kenapa?” Lina menyahut dengan malas.Vita menghela napas panjang. “Kalau asli berarti Mbak Isha dan Bang Satrio punya uang, Bu. Kalau kw ya, mereka cuma gaya-gayaan aja biar kelihatan keren,” jelasnya.“Ayo, Bu. Mumpung Bapak ga ada.” Vita menarik sang ibu yang terlihat tidak bersemangat. Akhirnya Lina mengikuti langkah putrinya masuk ke kamar Isha.Vita mencoba membuka lemari, tapi tidak bisa karena dikunci. Dia kemudian melihat ke meja rias Isha, tidak ada barang mahal di sana. Merek kosmetik yang dipakai Isha hanya merek pasaran dengan harga standar.Gadis itu lalu beralih ke gantungan yang ada di belakang pintu. Matanya membelalak kala meli
“Pak, Bu, sore ini saya dan Dek Isha akan pergi berlibur selama dua hari. Insya Allah kami pulang Selasa sore.” Satrio bicara pada Lina dan Baskoro yang sedang duduk bersantai di ruang tamu sambil menonton televisi.“Ya, jaga diri kalian. Hati-hati di jalan,” sahut Baskoro dengan tenang. Dia langsung mengizinkan Isha pergi bersama suaminya tanpa bertanya ke mana tujuan mereka.“Mau pergi ke mana kalian?” Lina bertanya dengan ketus. Dia masih kesal karena merasa dibohongi Satrio yang mengaku tidak punya uang tapi kemarin membeli barang-barang mahal dan sekarang malah mau pergi liburan. “Insya Allah ke Pulau Ayer, Bu,” jawab Satrio.“Hah! Pulau Ayer!” Vita yang mendengar hal itu sontak berseru. “Vita! Ngapain kamu teriak gitu!” Lina menegur putri kandungnya.“Bang Sat sama Mbak Isha mau bulan madu di sana?” Vita malah kepo, tak mengindahkan teguran sang ibu.Satrio mengulum senyum. “Bisa dibilang begitu,” akunya.“Vita, panggil Satrio yang benar! Jangan seperti orang mengumpat begitu!
“Bu, aku besok juga mau bulan madu kaya Mbak Isha.” Vita bicara pada ibunya setelah Isha dan Satrio pergi, dan Baskoro ke kamar mandi.“Memangnya kamu sama Surya punya uang buat pergi bulan madu?” Lina menatap lekat putri kandungnya itu.Vita berdecak. “Ibu kok ngomongnya gitu sih? Bukannya mendukung apa gimana biar aku enggak kalah sama Mbak Isha,” protesnya.“Kalau yang kamu maksud mendukung itu dengan membiayai bulan madu kalian, Ibu tidak bisa. Biaya buat resepsi saja masih belum cukup, kamu sudah memikirkan bulan madu. Lagian bulan madu itu tidak wajib dilakukan suami istri,” timpal Lina.“Aku nanti malu sama Mbak Isha kalau tidak bulan madu, Bu. Masa dia yang karyawan toko bisa bulan madu, aku yang kerja di perusahaan besar malah tidak,” tukas Vita.“Kalau memang kamu mau bulan madu, pakai uangmu sendiri. Atau berdoa ada orang baik yang seperti temannya Satrio mau memberikan hadiah bulan madu buatmu sama Surya,” lontar wanita paruh baya itu.“Aku jadi penasaran sama temannya Ban
Satrio sontak menoleh ke arah suara yang memanggil. Dia mengernyit lalu menghentikan langkah. Membuat Isha pun ikut berhenti. Seorang wanita berambut panjang bergelombang yang dicat warna kemerahan dan mengenakan pakaian seksi tersenyum padanya. “Apa kabar, Bhumi?” Wanita itu mendekat lalu tiba-tiba memeluk dan mencium pipi Satrio.Pria berambut ikal itu terkejut. Tak menduga akan mendapat pelukan dan ciuman dari wanita lain di depan istrinya. Sontak dia melepas genggaman tangannya dengan Isha lantas mendorong saat wanita tadi ingin mencium sisi pipinya yang lain. “Jangan bersikap seperti ini, Gwen! Aku sudah punya istri,” ucap Satrio dengan tegas. Raut wajahnya terlihat serius dan rahangnya tampak mengetat.Wanita tadi membelalakkan mata begitu mendengar ucapan Satrio. “Apa? Kamu sudah nikah? Jangan bercanda, Bhumi!” Dia tak mau percaya begitu saja.“Aku tidak bercanda. Ini istriku.” Satrio menoleh pada Isha yang sejak tadi hanya diam melihat suaminya didekati wanita yang penampilann
Isha terkesiap saat Satrio tiba-tiba memeluknya dari belakang. Tubuh gadis itu pun seketika membeku. Dia berdiri mematung, hanya dadanya yang terlihat bergerak teratur. “Dek, beneran masih marah sama Abang ya?” Satrio kembali bertanya pada istrinya karena Isha sama sekali tak merespons. “Apa yang harus Abang lakukan biar Dek Isha memaafkan Abang?” Satrio semakin memeluk erat istrinya. Berharap dengan itu, Isha mau memberi respons. Tidak hanya diam.“Bang, aku sesak.” Isha akhirnya bersuara meskipun tak menanggapi ucapan suaminya. Dia berusaha mengendurkan pelukan Satrio di tubuhnya.Begitu mendengar suara sang istri, Satrio lantas mengurai pelukan. Dengan cepat dia bergerak lalu berdiri di hadapan Isha. Kedua tangan Satrio kemudian memegang bahu istrinya.“Dek, bilang sama Abang apa yang harus Abang lakukan untuk mendapat maaf dari Dek Isha? Tolong jangan diam saja karena Abang tidak bisa membaca pikiran Dek Isha,” pintanya dengan tatapan memohon. Pria itu terlihat frustrasi.Isha b