"Lima kali." Sandy terkikik melihat bagaimana Heni jatuh bangun dari pingsannya. Perempuan itu syok level akut setelah diberi surprise luar biasa oleh keluarga sang mantu. Rafael betulan orang kaya, bukan kurir tapi yang punya perusahaan ekspedisi."Lunas ya, Nak?" Hermawan ikut terkekeh geli melihat sang istri sekarang melirik takut-takut pada Rafael.Pun dengan Sita. Adik Nadine mendadak diam seribu bahasa saat berada di dekat Rafael. Wanita itu tentu mengetahui kalau sosok Rafael saat ini lebih menakutkan dari mafia manapun yang pernah dia baca di novel online."Adik iparmu malah lebih parah, dia nganggap kamu mafia." Sandy kembali terbahak kali ini disambut gelengan kepala Hermawan.Keluarga Rafael sudah pulang sejak sepuluh menit yang lalu setelah Heni pingsan lima kali. Meninggalkan tumpukan hadiah untuk Nadine dan keluarganya. Benda yang tertata rapi di lantai juga meja ruang makan dan ruang tengah.Ada beberapa benda yang dikhususkan untuk Nadine sebagai hadiah pernikahan yan
Bohong jika Nadine tak tersentuh dengan ucapan Rafael barusan. Pria itu memang cenderung act of service dibanding mengumbar word affirmation di merata tempat. Separah apapun kelakuan Nadine di awal pernikahan mereka, pria itu tak pernah protes, tidak pernah marah.Padahal harusnya Rafael yang rugi dengan pernikahan dadakan mereka. Mustinya Nadine berterima kasih pada Rafael karena sudah menyelamatkan kehormatan dan nama baik keluarganya. Jika tidak ada Rafael, Nadine dan keluarganya sudah pasti jadi bahan gunjingan warga sekomplek."Mau ikut gak?""Gak!" balas Nadine judes ketika Rafael memakai jaket juga meraih kunci di atas meja. Helaan napas terdengar. Inilah sisi lain seorang Nadine yang harus Rafael hadapi.Rafael mulai menunjukkan siapa dirinya. Sebuah Audi R8 terparkir di belakang mobil Nadine. Tampak seperti mobil sedan biasa, tapi siapa sangka jika harga benda berwarna hitam legam itu sangat fantastis."Aku pulang ke Blue Paradise sebentar. Kakek ingin bicara. Nanti aku pulan
Hari pertama bekerja setelah Nadine tahu siapa dirinya. Perempuan itu masih memasang tampang kesal meski sempat membantu Rafael berpakaian. Perempuan itu protes ketika Rafael minta untuk memilihkan pakaian untuk ke kantor."Aku gak pandai, nanti malah nabrak warnanya," kilah Nadine. Dia sendiri telah siap dengan blus coklatnya."Biarpun warnanya nabrak kiri kanan, aku bakalan pakai kalau itu kamu yang pilih."Rafael duduk di tepi ranjang mengenakan celana pendek, juga kaos kutang. Mengamati Nadine yang menyemprotkan parfum ke tubuhnya."Nanti kamu diketawain satu kantor," Nadine memberi alasan."Ayolah, sudah lama aku nunggu. Dingin tahu."Nadine menoleh lantas mengambil remot AC, menaikkan suhunya jadi dua puluh derajat. "Panas, Nya.""Ke kutub kalau mau adem.""Ayukkk, kata Rion kamu pengen ke Swiss.""Ehem, dalam mimpi tapi." Eh? Nadine kaget ketika Rafael memeluknya dari belakang, pria itu juga meletakkan dagu di bahu Nadine."Tulung, bajuku kusut lagi nanti.""Ganti lagi. Aku s
"Gitu pulak. Emang agak lain istrimu." "Kalau yang lain sudah bingung konfirmasi buat dapat validasi dari para netijrong. Eh, istrimu minta statusnya dirahasiakan. Betah berapa lama?"Rafael mengedikkan bahu dengan tangan dan mata fokus pada pekerjaannya. Tidak terlalu peduli pada ocehan dua aspri-nya."Yang jelas karena dia masih belajar menerima siapa elu.""Bisa jadi. Dia saja berlagak tak kenal sama kamu tadi.""Biarkan saja. Asal dia tidak minta pisah. Tapi aku juga tidak bisa lama-lama sembunyikan status kami. Satu dua hari akan kuturuti. Tapi setelah itu, lihat saja. Mungkin aku perlu konferensi pers untuk mengumumkan pernikahan kami."Sandy dan Rafael mengangguk setuju dengan ide Rafael. Maka hari itu semua berjalan normal. Rafael dan Nadine memang berangkat bersama-sama, tapi Nadine tidak turun di lobi bareng Rafael. "Besok temani aku bertemu tuan Chen. Sekalian kita jalan."Nadine tidak menjawab, jemarinya sibuk menari di atas keyboard laptop milik Rafael. Pria itu memang
"Aku akan menyembuhkan traumamu, kita sama-sama menyembuhkan."Kalimat itu terngiang di telinga Sita ketika dia duduk di teras belakang rumah mereka. Bukannya segera mengangkat jemuran, Sita justru melamun di sana. Helaan napas terdengar dari bibir adik Nadine.Dia tidak tahu apa yang salah dengan dirinya. Kenapa dia menerima lamaran Sandya hari itu, tapi sekarang dia ragu ketika kakak Melani kian menunjukkan keseriusannya. "Jangan kelamaan mikir." Sita tersentak oleh dorongan kaki Rafael yang lewat kemudian mengambil jemuran miliknya dan istrinya. Sita terkekeh melihat aksi Rafael. "Cuma di sini CEO DA Grup ternistakan. Bener kata bapak.""Mulutmu!" Rafael makin hari makin lancar mengikuti ritme kehidupan di keluarga Nadine. Bukan bermaksud kasar, tapi kadang candaan seperti tadi justru bisa mengakrabkan. Coba di rumah orang kaya, mana ada yang berucap seperti barusan. Bisa dipelototi orang banyak. Tapi sebab itulah kehidupan kaum kelas atas terkesan kaku. Tidak easy going macam k
Bisikan kalimat Sita terus terngiang di telinga Nadine. Mengoyak keyakinan perempuan itu soal apa yang dia lakukan adalah benar. Nadine terus mendoktrin dirinya, kalau kemarahannya adalah wajar. Karena Rafael sudah membohonginya.Boleh to dia marah. Itu yang dipikirkan Nadine, tanpa dia sadari kalau sikapnya justru menunjukkan betapa kekanak-kanakkannya dirinya dalam menghadapi kebohongan Rafael.Seperti kata Sita, Nadine beruntung bersuamikan Rafael yang dengan sabar meladeni tingkah sang istei kalau sedang tantrum. Pribadi Nadine memang sering berubah layaknya penyandang kepribadian ganda. Tapi tidak, Nadine hanya terlalu menuruti emosi tanpa dibarengi logika untuk menelaah sebuah masalah lebih dalam. Itulah salah satu kekurangan Nadine. Ingat, tidak ada yang sempurna di dunia, sebab kesempurnaan hanya milik sang pencipta. "Nad, mau ikut tidak? Pulang."Nadine hampir menyahut tidak, ketika kemudian teringat nasihat Sita, "Coba kurangi sikapmu yang seperti bocil itu. Jangan sampai
Nadine menatap tajam pada pria yang berdiri tak jauh darinya dan Rafael. Seperti Nadine, Rafael juga bergeming menghadapi lelaki yang seharusnya bisa jadi tempat bersandar, kala dirinya dilanda pedih saat sang kakak meninggal.Namun, nyatanya presensi Arya Bumi Utara justru menghadirkan kebekuan di antara dua kubu yang nyaris tak pernah akur. Arya cukup terkejut mendapati Rafael dan Nadine berada di sana. Terlebih melihat Rafael membawa seikat mawar putih di tangannya. Tak ada kata terucap, bahkan sekedar menyapa Nadine, menantu yang baru dia tahu.Sungguh Arya dibuat tercengang dengan fakta kalau perempuan yang hampir dia lecehkan adalah menantunya sendiri. Entahlah, ketidaksukaan kerap kali membuat manusia melakukan hal di luar akal."Dia lebih suka bunga lily."Hanya itu yang Arya ucapkan saat pria tersebut melewati Nadine dan Rafael. "Apa yang kau tahu soal dia?" pancing Rafael. Dia tidak suka ayahnya sok tahu mengenai kesukaan sang kakak."Tidak banyak, hanya saja aku sedikit t
Senyum Nadine mengembang melihat Paramita, Reva, Dewi, Atma, Mega juga Rion menyambut kedatangannya dan Rafael. Mereka semua bergantian memeluk Nadine sebagai ucapan selamat datang. Kecuali Rion, pria itu merengut ketika tidak diizinkan memeluk Nadine."Ck, posesif amat, kita kan ipar.""Oh, tidak ingat film ipar adalah maut," sambar Rafael galak."Ah elah, itu kan cuma film.""Film tidak dibuat jika tidak ada kejadian di real life."Rion makin manyun, ampun bener kadar cemburu Rafael, begitu disebut bucin Rafael tidak terima. "Kalau ipar adalah maut beneran, harusnya kau waspada dengan dia," bisik Rion seraya menunjuk seseorang yang duduk di sofa dengan dagunya.Pria itu sejak tadi tidak melepaskan pandangannya dari Nadine. Sesuatu yang membuat Rafael geram. Di tambah satu lagi pria yang juga menatap tidak berkedip pada istrinya."Jadi kalian ikut juga?" Pertanyaan barusan membuat David dan Rio mengalihkan atensi mereka pada Rafael. Pria itu duduk tegak dengan dua tangan berada di s