"Gitu pulak. Emang agak lain istrimu." "Kalau yang lain sudah bingung konfirmasi buat dapat validasi dari para netijrong. Eh, istrimu minta statusnya dirahasiakan. Betah berapa lama?"Rafael mengedikkan bahu dengan tangan dan mata fokus pada pekerjaannya. Tidak terlalu peduli pada ocehan dua aspri-nya."Yang jelas karena dia masih belajar menerima siapa elu.""Bisa jadi. Dia saja berlagak tak kenal sama kamu tadi.""Biarkan saja. Asal dia tidak minta pisah. Tapi aku juga tidak bisa lama-lama sembunyikan status kami. Satu dua hari akan kuturuti. Tapi setelah itu, lihat saja. Mungkin aku perlu konferensi pers untuk mengumumkan pernikahan kami."Sandy dan Rafael mengangguk setuju dengan ide Rafael. Maka hari itu semua berjalan normal. Rafael dan Nadine memang berangkat bersama-sama, tapi Nadine tidak turun di lobi bareng Rafael. "Besok temani aku bertemu tuan Chen. Sekalian kita jalan."Nadine tidak menjawab, jemarinya sibuk menari di atas keyboard laptop milik Rafael. Pria itu memang
"Aku akan menyembuhkan traumamu, kita sama-sama menyembuhkan."Kalimat itu terngiang di telinga Sita ketika dia duduk di teras belakang rumah mereka. Bukannya segera mengangkat jemuran, Sita justru melamun di sana. Helaan napas terdengar dari bibir adik Nadine.Dia tidak tahu apa yang salah dengan dirinya. Kenapa dia menerima lamaran Sandya hari itu, tapi sekarang dia ragu ketika kakak Melani kian menunjukkan keseriusannya. "Jangan kelamaan mikir." Sita tersentak oleh dorongan kaki Rafael yang lewat kemudian mengambil jemuran miliknya dan istrinya. Sita terkekeh melihat aksi Rafael. "Cuma di sini CEO DA Grup ternistakan. Bener kata bapak.""Mulutmu!" Rafael makin hari makin lancar mengikuti ritme kehidupan di keluarga Nadine. Bukan bermaksud kasar, tapi kadang candaan seperti tadi justru bisa mengakrabkan. Coba di rumah orang kaya, mana ada yang berucap seperti barusan. Bisa dipelototi orang banyak. Tapi sebab itulah kehidupan kaum kelas atas terkesan kaku. Tidak easy going macam k
Bisikan kalimat Sita terus terngiang di telinga Nadine. Mengoyak keyakinan perempuan itu soal apa yang dia lakukan adalah benar. Nadine terus mendoktrin dirinya, kalau kemarahannya adalah wajar. Karena Rafael sudah membohonginya.Boleh to dia marah. Itu yang dipikirkan Nadine, tanpa dia sadari kalau sikapnya justru menunjukkan betapa kekanak-kanakkannya dirinya dalam menghadapi kebohongan Rafael.Seperti kata Sita, Nadine beruntung bersuamikan Rafael yang dengan sabar meladeni tingkah sang istei kalau sedang tantrum. Pribadi Nadine memang sering berubah layaknya penyandang kepribadian ganda. Tapi tidak, Nadine hanya terlalu menuruti emosi tanpa dibarengi logika untuk menelaah sebuah masalah lebih dalam. Itulah salah satu kekurangan Nadine. Ingat, tidak ada yang sempurna di dunia, sebab kesempurnaan hanya milik sang pencipta. "Nad, mau ikut tidak? Pulang."Nadine hampir menyahut tidak, ketika kemudian teringat nasihat Sita, "Coba kurangi sikapmu yang seperti bocil itu. Jangan sampai
Nadine menatap tajam pada pria yang berdiri tak jauh darinya dan Rafael. Seperti Nadine, Rafael juga bergeming menghadapi lelaki yang seharusnya bisa jadi tempat bersandar, kala dirinya dilanda pedih saat sang kakak meninggal.Namun, nyatanya presensi Arya Bumi Utara justru menghadirkan kebekuan di antara dua kubu yang nyaris tak pernah akur. Arya cukup terkejut mendapati Rafael dan Nadine berada di sana. Terlebih melihat Rafael membawa seikat mawar putih di tangannya. Tak ada kata terucap, bahkan sekedar menyapa Nadine, menantu yang baru dia tahu.Sungguh Arya dibuat tercengang dengan fakta kalau perempuan yang hampir dia lecehkan adalah menantunya sendiri. Entahlah, ketidaksukaan kerap kali membuat manusia melakukan hal di luar akal."Dia lebih suka bunga lily."Hanya itu yang Arya ucapkan saat pria tersebut melewati Nadine dan Rafael. "Apa yang kau tahu soal dia?" pancing Rafael. Dia tidak suka ayahnya sok tahu mengenai kesukaan sang kakak."Tidak banyak, hanya saja aku sedikit t
Senyum Nadine mengembang melihat Paramita, Reva, Dewi, Atma, Mega juga Rion menyambut kedatangannya dan Rafael. Mereka semua bergantian memeluk Nadine sebagai ucapan selamat datang. Kecuali Rion, pria itu merengut ketika tidak diizinkan memeluk Nadine."Ck, posesif amat, kita kan ipar.""Oh, tidak ingat film ipar adalah maut," sambar Rafael galak."Ah elah, itu kan cuma film.""Film tidak dibuat jika tidak ada kejadian di real life."Rion makin manyun, ampun bener kadar cemburu Rafael, begitu disebut bucin Rafael tidak terima. "Kalau ipar adalah maut beneran, harusnya kau waspada dengan dia," bisik Rion seraya menunjuk seseorang yang duduk di sofa dengan dagunya.Pria itu sejak tadi tidak melepaskan pandangannya dari Nadine. Sesuatu yang membuat Rafael geram. Di tambah satu lagi pria yang juga menatap tidak berkedip pada istrinya."Jadi kalian ikut juga?" Pertanyaan barusan membuat David dan Rio mengalihkan atensi mereka pada Rafael. Pria itu duduk tegak dengan dua tangan berada di s
"Jadi aslinya kamu sudah tahu dia sepupumu?"Nadine melipat dada seraya bertanya pada Rafael. Makan malam telah selesai, pasutri itu sudah masuk ke kamar mereka di lantai tiga."Waktu itu aku tidak terlalu yakin, tapi lama-lama aku yakin dia David sepupuku," balas Rafael yang kini balik memicing pada sang istri."Pakai baju dulu!" Nadine lumayan terganggu dengan tampilan topless sang suami. "Ini kamar aku, suka-suka aku." Rafael mendekati Nadine yang reflek mundur menghindar."Mau apa?" Nadine bertanya kali ini gugup menghadapi tatapan Rafael."Berapa lama kalian pacaran, bagaimana kalian bisa kenal? Apa yang sudah kalian lakukan selama kalian pacaran?"Tidak tahu kenapa Rafael jadi kepo akan gaya pacaran Nadine dan David. "Kenapa sekarang jadi ingin tahu? Memangnya itu penting?""Pentinglah!""Kamu meragukan aku? Bukannya kamu tahu sendiri kalau aku masih perawan waktu kamu nyentuh aku. Masih kurang bukti kalau aku tidak pernah ngapa-ngapain sama sepupumu itu." Gusarlah hati Nadine
Kegilaan Rafael nyatanya tidak berhenti di ruang walk in closet saja. Setelah miliknya kembali muntah, dia membawa tubuh Nadine masuk ke kamar mandi super luas, setara ruang tamu rumah Nadine. Tanpa kata Rafael langsung masuk ke bathtube yang sudah terisi air hangat.Nadine menggeliat pelan, saat tubuhnya bersentuhan dengan air. Rasanya nyaman, menyegarkan. Apalagi ketika Rafael bantu memijat pundak dan lehernya. Namun kegiatan normal itu hanya berlangsung lima menit.Sebab tangan Rafael kembali usil menggerayangi tubuh Nadine. Meremas dada dengan bibir mulai menyusuri lehernya."Raf ...," protes Nadine."Sstt, diam saja. Nikmatilah, aku yang bekerja."Nadine menggeleng pasrah, karena tak lama kemudian air di dalam bathtube mulai beriak, untuk kemudian membentuk gelombang. Tumpah-tumpah ke lantai ketika Rafael kembali menerkam Nadine di tempat itu.Sensasinya berbeda, sungguh luar biasa. Rafael sangat menikmati remasan juga pijatan dinding kewanitaan sang istri. Kali ini lima belas me
"Apa tujuanmu mendekati putraku?"Pertanyaan itu seketika membuat Nadine merasa terhina. "Setelah berniat melecehkan saya, sekarang Anda juga menuduh saya punya maksud tersembunyi pada putra Anda?""Wajar jika saya punya pemikiran demikian. Mengingat latar belakangmu."Oke, Nadine tersinggung sekarang. Ingin rasanya dia menghajar pria yang statusnya adalah ayah mertua untuknya. Pria yang sengaja mendatangi Nadine di kantor adalah Arya. Pria itu kini berdiri di hadapan Nadine, di sudut ruangan yang agak tersembuyi. "Saya memang miskin tapi saya tidak sepicik otak Anda saat berpikir.""Jangan munafik! Akan kuberikan apapun yang kamu mau asal pergi dari sisi Rafael. "Kalau saya tidak mau?""Saya bisa memberimu apapun, asal kau tinggalkan dia.""Memangnya berapa yang bisa Anda berikan?" tantang Nadine.Arya menyeringai, dia tahu kalau Nadine hanya berpura-pura baik di depan putranya. Aslinya perempuan di hadapannya sama dengan wanita lain di luaran sana. Matre, selalu saja uang yang jad