Nadine menatap tajam pada pria yang berdiri tak jauh darinya dan Rafael. Seperti Nadine, Rafael juga bergeming menghadapi lelaki yang seharusnya bisa jadi tempat bersandar, kala dirinya dilanda pedih saat sang kakak meninggal.Namun, nyatanya presensi Arya Bumi Utara justru menghadirkan kebekuan di antara dua kubu yang nyaris tak pernah akur. Arya cukup terkejut mendapati Rafael dan Nadine berada di sana. Terlebih melihat Rafael membawa seikat mawar putih di tangannya. Tak ada kata terucap, bahkan sekedar menyapa Nadine, menantu yang baru dia tahu.Sungguh Arya dibuat tercengang dengan fakta kalau perempuan yang hampir dia lecehkan adalah menantunya sendiri. Entahlah, ketidaksukaan kerap kali membuat manusia melakukan hal di luar akal."Dia lebih suka bunga lily."Hanya itu yang Arya ucapkan saat pria tersebut melewati Nadine dan Rafael. "Apa yang kau tahu soal dia?" pancing Rafael. Dia tidak suka ayahnya sok tahu mengenai kesukaan sang kakak."Tidak banyak, hanya saja aku sedikit t
Senyum Nadine mengembang melihat Paramita, Reva, Dewi, Atma, Mega juga Rion menyambut kedatangannya dan Rafael. Mereka semua bergantian memeluk Nadine sebagai ucapan selamat datang. Kecuali Rion, pria itu merengut ketika tidak diizinkan memeluk Nadine."Ck, posesif amat, kita kan ipar.""Oh, tidak ingat film ipar adalah maut," sambar Rafael galak."Ah elah, itu kan cuma film.""Film tidak dibuat jika tidak ada kejadian di real life."Rion makin manyun, ampun bener kadar cemburu Rafael, begitu disebut bucin Rafael tidak terima. "Kalau ipar adalah maut beneran, harusnya kau waspada dengan dia," bisik Rion seraya menunjuk seseorang yang duduk di sofa dengan dagunya.Pria itu sejak tadi tidak melepaskan pandangannya dari Nadine. Sesuatu yang membuat Rafael geram. Di tambah satu lagi pria yang juga menatap tidak berkedip pada istrinya."Jadi kalian ikut juga?" Pertanyaan barusan membuat David dan Rio mengalihkan atensi mereka pada Rafael. Pria itu duduk tegak dengan dua tangan berada di s
"Jadi aslinya kamu sudah tahu dia sepupumu?"Nadine melipat dada seraya bertanya pada Rafael. Makan malam telah selesai, pasutri itu sudah masuk ke kamar mereka di lantai tiga."Waktu itu aku tidak terlalu yakin, tapi lama-lama aku yakin dia David sepupuku," balas Rafael yang kini balik memicing pada sang istri."Pakai baju dulu!" Nadine lumayan terganggu dengan tampilan topless sang suami. "Ini kamar aku, suka-suka aku." Rafael mendekati Nadine yang reflek mundur menghindar."Mau apa?" Nadine bertanya kali ini gugup menghadapi tatapan Rafael."Berapa lama kalian pacaran, bagaimana kalian bisa kenal? Apa yang sudah kalian lakukan selama kalian pacaran?"Tidak tahu kenapa Rafael jadi kepo akan gaya pacaran Nadine dan David. "Kenapa sekarang jadi ingin tahu? Memangnya itu penting?""Pentinglah!""Kamu meragukan aku? Bukannya kamu tahu sendiri kalau aku masih perawan waktu kamu nyentuh aku. Masih kurang bukti kalau aku tidak pernah ngapa-ngapain sama sepupumu itu." Gusarlah hati Nadine
Kegilaan Rafael nyatanya tidak berhenti di ruang walk in closet saja. Setelah miliknya kembali muntah, dia membawa tubuh Nadine masuk ke kamar mandi super luas, setara ruang tamu rumah Nadine. Tanpa kata Rafael langsung masuk ke bathtube yang sudah terisi air hangat.Nadine menggeliat pelan, saat tubuhnya bersentuhan dengan air. Rasanya nyaman, menyegarkan. Apalagi ketika Rafael bantu memijat pundak dan lehernya. Namun kegiatan normal itu hanya berlangsung lima menit.Sebab tangan Rafael kembali usil menggerayangi tubuh Nadine. Meremas dada dengan bibir mulai menyusuri lehernya."Raf ...," protes Nadine."Sstt, diam saja. Nikmatilah, aku yang bekerja."Nadine menggeleng pasrah, karena tak lama kemudian air di dalam bathtube mulai beriak, untuk kemudian membentuk gelombang. Tumpah-tumpah ke lantai ketika Rafael kembali menerkam Nadine di tempat itu.Sensasinya berbeda, sungguh luar biasa. Rafael sangat menikmati remasan juga pijatan dinding kewanitaan sang istri. Kali ini lima belas me
"Apa tujuanmu mendekati putraku?"Pertanyaan itu seketika membuat Nadine merasa terhina. "Setelah berniat melecehkan saya, sekarang Anda juga menuduh saya punya maksud tersembunyi pada putra Anda?""Wajar jika saya punya pemikiran demikian. Mengingat latar belakangmu."Oke, Nadine tersinggung sekarang. Ingin rasanya dia menghajar pria yang statusnya adalah ayah mertua untuknya. Pria yang sengaja mendatangi Nadine di kantor adalah Arya. Pria itu kini berdiri di hadapan Nadine, di sudut ruangan yang agak tersembuyi. "Saya memang miskin tapi saya tidak sepicik otak Anda saat berpikir.""Jangan munafik! Akan kuberikan apapun yang kamu mau asal pergi dari sisi Rafael. "Kalau saya tidak mau?""Saya bisa memberimu apapun, asal kau tinggalkan dia.""Memangnya berapa yang bisa Anda berikan?" tantang Nadine.Arya menyeringai, dia tahu kalau Nadine hanya berpura-pura baik di depan putranya. Aslinya perempuan di hadapannya sama dengan wanita lain di luaran sana. Matre, selalu saja uang yang jad
Rafael melengkungkan bibir, duduk dengan santai seraya melihat ke arah Mega yang hanya memandang sekilas pria yang berdiri di hadapannya."Setidaknya aku bertemu di keramaian, tidak di kamar berduaan," jawaban Rafael telak membakar emosi David juga Eva yang berdiri di sisi lain ruangan. Mencoba sembunyi, tapi ternyata Rafael cukup jeli menyadari jika David tidak akan pergi ke tempat ini tanpa tujuan.David sendiri sudah Rafael pindahkan ke sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengadaan alat-alat kesehatan juga distribusi obat. Satu bidang yang akan sangat mendukung profesi Mega. Rafael berharap, suatu hari David bisa meng-handle hospitalisasi bersama Reva sang adik."Kau ...."Kalimat David terpotong ketika Rafael mengangkat tangan, pertanda dia tidak mau mendengar ucapan apapun dari sang sepupu."Apa jadinya jika istrimu tahu kalian bertemu diam-diam," David rupanya telah mengambil foto Rafael dan Mega yang tengah duduk berdua meski berbeda tempat. Pria itu lantas mengirimkanny
Nadine memasukkan ponsel ke dalam tas begitu membalas pesan David. Nadine tidak boleh terpengaruh apapun itu yang berasal dari David. Pria itu plin plan, apalagi ada Eva di belakang David saat ini."Isinya pasti rayuan maut, bisik-bisik pitenah. Kayak gak ada yang lain aja buat kamu ajakin bobo bareng. Eva lagi, Eva lagi. Demen bener sama yang bekas kalau ada yang original punya depan mata."Nadine ngedumel sepanjang sisa waktu kerja. Hari ini dia harus pulang ke rumah Hermawan. Rencana pernikahan Sita dan Sandy tinggal menghitung hari. Pria itu memang tidak mau menunggu lebih lama lagi. Sandy berujar, sudah lumutan nungguin dari zaman lamaran sampai kata oke meluncur dari bibir Sita untuk segera disahkan secara agama dan negara.Rencananya akhir minggu nanti akad akan digelar dengan resepsi bakal dihelat dua minggu setelahnya. Sandy ingin resepsi di rumahnya sendiri sekalian peresmian kediamannya yang baru.Saat itu juga Rafael berniat mengumumkan pada publik siapa istrinya. Tentunya
"Ibu tetap tidak setuju!""Tidak setujunya di mana?"Sandy memijat pelipisnya, bersamaan dengan Nadine dan Rafael yang muncul dari arah depan. "Kenapa?" Nadine berbisik, menilik orang tuanya yang tampak berdebat sendiri."Soal mahar," balas Sandy dengan wajah mendung."Ibu tidak mau yang mencolok, sederhana tapi bernilai," tambah Sandy tak lama kemudian."Emang mau kamu kasih apa?""Rumah itu mau aku kasihkan atas nama Sita, tapi ibu bilang berlebihan."Percakapan bisik-bisik Rafael, Nadine dan Sandy terjeda ketika dari arah Hermawan dan Heni ketegangan perdebatan keduanya makin meningkat. Sita yang sejak tadi mencoba menengahi tidak berhasil melerai adu argumen dua orang tuanya."Ehem, makan dulu, Pak, Bu."Kalimat Rafael sontak membuat dua orang itu menoleh, baru sadar akan kedatangan putri dan menantunya."Cicipi dulu, ini enak. Aman buat jantung, Bapak dan darah tinggi Ibu." Nadine meletakkan seporsi seblak di depan Hermawan dan Heni. Juga martabak serta siomay yang sudah dipinda