Keriwehan kantor kembali jadi makanan Nadine dan yang lain. Mereka benar-benar sibuk. Apalagi untuk Rafael, Nadine, Sandy dan Rion. Keempatnya harus kerja ekstra keras. Sebab mereka punya rencana mengambil cuti di hari yang sama. Saat Sandy dan Sita menikah.Tak pelak hal ini membuat kesibukan mereka bertambah. Semua hal harus diselesaikan sebelum hari itu. Nadine dan Rafael makin sering keluar bersama. Imbasnya, gosip miring itu makin santer berhembus. Bahkan di lantai dua puluh lima sendiri. Beberapa staf sudah mulai berbisik-bisik jika ada waktu luang. Saling melempar kode untuk membahas bos mereka. Hal ini membuat Rey dan Tia sempat dilanda emosi.Namun keduanya belum bicara pada Nadine terkait hal ini. Mereka tahu, Nadine dilanda kerepotan tingkat tinggi. Sibuk bekerja juga riweuh membantu mengurusi persiapan pernikahan Sita. Tia tentu mengetahui hal ini dibanding siapapun.Perempuan itu bahkan beberapa kali juga terlibat, dimintai pendapat soal ini dan itu. Tia jelas tidak kebe
H-1 sebelum pernikahan Sita. Seharusnya Nadine sudah tidak masuk kerja. Namun apalah daya ketika Rafael mengirim pesan, dia minta ditemani untuk menemui tuan Chen, klien yang dari Cina hari itu.Nadine datang ke kantor hampir pukul sembilan. Dia pikir tidak ngantor jadi dia hanya menyiapkan keperluan Rafael lalu membantu sang ibu yang sibuk di dapur. Tidak banyak yang diundang ke akad nikah Sita, mengingat rumah mereka memang tidak besar. Namun resepsi akbar Sandy siapkan dengan mengundang warga komplek perumahan tempat tinggal Hermawan. Kedatangannya langsung mendapat tatapan tidak suka dari Rena. Nadine tidak peduli, sesuai saran dari Rafael, abaikan saja mereka. Seperti yang Nadine lakukan saat ini. Dia diam saja ketika Rena terus menatapnya. Perempuan itu tidak mengajaknya bicara, dia pun tidak mau repot-repot membuang tenaga untuk mencari perhatian.Dulu dia sudah kenyang dibuli dan dicemooh, setidaknya sekarang dia lumayan siap mental untuk menghadapi semua itu. "Ya, halo." R
Rafael dipaksa berlari sejak keluar dari lift menuju mobil yang sudah Rion persiapkan. Lelehan darah segar terlihat dari paha Nadine terus melewati betis wanita itu. Bagaimana Rafael tidak panik, ditambah wajah Nadine mulai pucat sejak mereka masuk lift di lantai dua puluh lima."Raf ....""Ssst, diam. Maafkan aku, lagi-lagi karena aku kamu terluka. Kutukan kali ya jadi istriku."Ingin rasanya Nadine tertawa, tapi yang keluar justru ringisan kesakitan. "Iyalah, kutukan. Kan lakinya dari pertama suka bohong.""Iya, iya, aku minta maaf untuk itu. Enggak-enggak lagi bohongin kamu, takut kualat aku." Rafael berulang kali mencium kening dan kepala Nadine. Rasa sakit itu masih terasa, bahkan makin menjadi. Namun dalam pelukan Rafael, Nadine merasakan nyaman, hingga dia sanggup menahan rasa itu sampai mereka sampai di rumah sakit lima belas menit kemudian. Di mana ada Reva yang langsung menyambut kedatangan kakak dan kakak iparnya."Sakit, Re," rintih Nadine. Perempuan itu tertegun sejenak
"Ovariumnya atau indung telurnya terluka, kita tidak menyebutnya parah. Namun kami yakin, hal itu bisa jadi hambatan saat kalian ingin punya anak. Stop pil KB-nya. Kalau Nadine bisa hamil, biarkan saja. Usiamu berapa, sudah waktunya punya anak."Rafael termenung di sisi tempat tidur Nadine. Lelaki itu terus menggenggam tangan Nadine yang masih tidur, lebih tepatnya ditidurkan. Kenapa hal ini terjadi lagi? Kenapa orang yang dekat dengannya selalu terluka.Apa ini sebuah kutukan? Kakaknya, adiknya, istrinya malah dua kali atau entah berapa kali terluka. Juga orang itu bahkan sampai meninggal, jadi korban pelampiasan emosinya. Semua karena dirinya.Apa dirinya pembawa sial? Tanya itu kembali muncul, seiring dengan jiwa Rafael yang bergejolak. Dia tidak mau hal ini terjadi, dia hanya ingin hidup tenang, tidak lebih. Tapi kenapa? Musibah itu datang silih berganti, bahkan terjadi di depan mata."Maafkan aku," lirih Rafael dengan netra kelamnya mula berembun."Aku tidak mau melukai kalian, t
"Mereka kenapa lagi, perasaan kemarin sudah oke. Kenapa sekarang kelihatannya Nadine marah?"Rion berbisik melihat Rafael dan Nadine duduk di barisan depan kursi yang disiapkan untuk anggota inti keluarga Hermawan. Akad nikad Sandy dan Sita akan dimulai beberapa saat lagi.Nadine dan Rafael memang terlihat baik-baik saja. Namun bagi yang jeli, jelas dua orang itu sedang perang dingin. Keduanya turut menyambut tamu yang hadir, terutama Paramita, Reva dan Rion juga Arya yang secara mengejutkan mau datang.Plus Mega dan David yang juga datang berdua, tapi tetap membentang jarak ribuan mil antara keduanya."Rafael terpaksa ngaku soal pil KB yang dikonsumsi Nadine setahun ini," bisik Reva."Oalah pantas, ngamuk lagi. Itu belum keadaan kemarin kan?"Reva mengangguk. Maksudnya Rafael belum memberitahu kondisi ovarium Nadine yang sedang bermasalah. Pria itu mungkin tidak akan membuka yang satu ini. Rafael sendiri secara pribadi telah bicara pada Paramita terkait kondisi Nadine.Perempuan itu
"Saya minta maaf atas ketidaknyamanannya."Begitu yang Rafael ucapkan saat dia terpaksa memboyong seluruh keluarga Nadine plus pengantin baru ke rumahnya, gegara akad nikah Sandy dan Sita berubah ricuh.Sejumlah warga yang mengenali Rafael sebagai orang kaya, pemilik DA Grup yang terkenal tajir melintir, mulai merangsek masuk ke area rumah Hermawan.Jika mereka tertib, Rafael tidak masalah. Persoalannya, beberapa berubah anarkis, mereka merusak gerbang, main terobos masuk rumah, hanya untuk bertemu, melihat dia dan keluarganya.Keluarga Rafael memang tidak menyembunyikan diri dari publik. Mereka kerap tampil di banyak acara yang dihelat untuk umum. Hanya saja Rafael memang tidak pernah ada, baru beberapa bulan ini dia kembali menduduki posisinya sebagai CEO di kantornya. Belum sempat bersua muka dengan media, apalagi memperkenalkan istrinya ke khalayak ramai.Terang saja kemunculan Rafael di tengah komplek perumahan kelas menengah menarik perhatian warga yang melek berita. Mereka ten
Satu tamparan mendarat di wajah David. Saking kuatnya, hingga bunyi kulit bertemu kulit terdengar nyaring untuk keduanya. Nadine menatap tajam pada David, napasnya memburu menahan amarah yang terpatik karena ulah David barusan."Kau lancang menciumku!" Suara Nadine berdesis penuh emosi tertahan.Sementara David hanya diam membatu dengan rasa perih serta panas menyebar dari pipi ke seluruh wajah. "Dengar David De Angelo. Kisah kita sudah lama tamat, tidak akan ada sequel dalam bentuk apapun. Kau harus ingat kalau kau sendiri yang mengakhiri hubungan kita bukan aku. Mulai saat ini, menjauh dariku. Aku tidak mau melihatmu lagi!" Nadine berbalik arah, dua tangannya mengepal menahan gebu hati yang ingin menghajar pria di belakangnya. Sekuat hati Nadine menahan, demi menjaga perasaan Mega. Dia yakin, perempuan itu sangat tertekan dengan kelakuan David."Kau dengar ucapanku, Nad. Akan ada kesempatan di mana Rafael sendiri yang bakal membuangmu, aku pastikan. Dan itu tidak lama lagi."Nadin
"Masuklah."Hampir tengah malam, ketika Sandy membawa Sita pulang ke rumahnya sendiri. Meski tinggal menyeberang jalan, nyatanya mereka perlu dikawal empat anggota sekuriti dari rumah Rafael.Untungnya kerumunan pemburu berita sudah menghilang, hingga keadaan sudah kembali aman. Sita tampak ragu ketika Sandy menggandeng tangannya memasuki pintu ganda besar hunian milik Sandy, ah salah, rumah mereka.Sita sesaat takjub dengan isi rumah Sandy yang juga mewah, setara dengan kediaman Rafael. Ruang tamu luas dengan sofa empuk, terlihat mahal. Pun dengan tirai yang menjuntai menutupi jendela yang tingginya menjangkau dua lantai. Dindingnya dicat hijau tosca, dengan lampu kristal besar tergantung di langit-langit ruang tamu. Sandy menuntun Sita menuju lift, alih-alih melewati tangga bercat hitam putih dengan aksen emas pada railingnya.Sita memang kesulitan bergerak. Perempuan itu memang belum berganti baju sejak akad nikah mereka tadi. Entah kenapa, apa dia suka dengan kebaya pengantinnya