Kegilaan Rafael nyatanya tidak berhenti di ruang walk in closet saja. Setelah miliknya kembali muntah, dia membawa tubuh Nadine masuk ke kamar mandi super luas, setara ruang tamu rumah Nadine. Tanpa kata Rafael langsung masuk ke bathtube yang sudah terisi air hangat.Nadine menggeliat pelan, saat tubuhnya bersentuhan dengan air. Rasanya nyaman, menyegarkan. Apalagi ketika Rafael bantu memijat pundak dan lehernya. Namun kegiatan normal itu hanya berlangsung lima menit.Sebab tangan Rafael kembali usil menggerayangi tubuh Nadine. Meremas dada dengan bibir mulai menyusuri lehernya."Raf ...," protes Nadine."Sstt, diam saja. Nikmatilah, aku yang bekerja."Nadine menggeleng pasrah, karena tak lama kemudian air di dalam bathtube mulai beriak, untuk kemudian membentuk gelombang. Tumpah-tumpah ke lantai ketika Rafael kembali menerkam Nadine di tempat itu.Sensasinya berbeda, sungguh luar biasa. Rafael sangat menikmati remasan juga pijatan dinding kewanitaan sang istri. Kali ini lima belas me
"Apa tujuanmu mendekati putraku?"Pertanyaan itu seketika membuat Nadine merasa terhina. "Setelah berniat melecehkan saya, sekarang Anda juga menuduh saya punya maksud tersembunyi pada putra Anda?""Wajar jika saya punya pemikiran demikian. Mengingat latar belakangmu."Oke, Nadine tersinggung sekarang. Ingin rasanya dia menghajar pria yang statusnya adalah ayah mertua untuknya. Pria yang sengaja mendatangi Nadine di kantor adalah Arya. Pria itu kini berdiri di hadapan Nadine, di sudut ruangan yang agak tersembuyi. "Saya memang miskin tapi saya tidak sepicik otak Anda saat berpikir.""Jangan munafik! Akan kuberikan apapun yang kamu mau asal pergi dari sisi Rafael. "Kalau saya tidak mau?""Saya bisa memberimu apapun, asal kau tinggalkan dia.""Memangnya berapa yang bisa Anda berikan?" tantang Nadine.Arya menyeringai, dia tahu kalau Nadine hanya berpura-pura baik di depan putranya. Aslinya perempuan di hadapannya sama dengan wanita lain di luaran sana. Matre, selalu saja uang yang jad
Rafael melengkungkan bibir, duduk dengan santai seraya melihat ke arah Mega yang hanya memandang sekilas pria yang berdiri di hadapannya."Setidaknya aku bertemu di keramaian, tidak di kamar berduaan," jawaban Rafael telak membakar emosi David juga Eva yang berdiri di sisi lain ruangan. Mencoba sembunyi, tapi ternyata Rafael cukup jeli menyadari jika David tidak akan pergi ke tempat ini tanpa tujuan.David sendiri sudah Rafael pindahkan ke sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengadaan alat-alat kesehatan juga distribusi obat. Satu bidang yang akan sangat mendukung profesi Mega. Rafael berharap, suatu hari David bisa meng-handle hospitalisasi bersama Reva sang adik."Kau ...."Kalimat David terpotong ketika Rafael mengangkat tangan, pertanda dia tidak mau mendengar ucapan apapun dari sang sepupu."Apa jadinya jika istrimu tahu kalian bertemu diam-diam," David rupanya telah mengambil foto Rafael dan Mega yang tengah duduk berdua meski berbeda tempat. Pria itu lantas mengirimkanny
Nadine memasukkan ponsel ke dalam tas begitu membalas pesan David. Nadine tidak boleh terpengaruh apapun itu yang berasal dari David. Pria itu plin plan, apalagi ada Eva di belakang David saat ini."Isinya pasti rayuan maut, bisik-bisik pitenah. Kayak gak ada yang lain aja buat kamu ajakin bobo bareng. Eva lagi, Eva lagi. Demen bener sama yang bekas kalau ada yang original punya depan mata."Nadine ngedumel sepanjang sisa waktu kerja. Hari ini dia harus pulang ke rumah Hermawan. Rencana pernikahan Sita dan Sandy tinggal menghitung hari. Pria itu memang tidak mau menunggu lebih lama lagi. Sandy berujar, sudah lumutan nungguin dari zaman lamaran sampai kata oke meluncur dari bibir Sita untuk segera disahkan secara agama dan negara.Rencananya akhir minggu nanti akad akan digelar dengan resepsi bakal dihelat dua minggu setelahnya. Sandy ingin resepsi di rumahnya sendiri sekalian peresmian kediamannya yang baru.Saat itu juga Rafael berniat mengumumkan pada publik siapa istrinya. Tentunya
"Ibu tetap tidak setuju!""Tidak setujunya di mana?"Sandy memijat pelipisnya, bersamaan dengan Nadine dan Rafael yang muncul dari arah depan. "Kenapa?" Nadine berbisik, menilik orang tuanya yang tampak berdebat sendiri."Soal mahar," balas Sandy dengan wajah mendung."Ibu tidak mau yang mencolok, sederhana tapi bernilai," tambah Sandy tak lama kemudian."Emang mau kamu kasih apa?""Rumah itu mau aku kasihkan atas nama Sita, tapi ibu bilang berlebihan."Percakapan bisik-bisik Rafael, Nadine dan Sandy terjeda ketika dari arah Hermawan dan Heni ketegangan perdebatan keduanya makin meningkat. Sita yang sejak tadi mencoba menengahi tidak berhasil melerai adu argumen dua orang tuanya."Ehem, makan dulu, Pak, Bu."Kalimat Rafael sontak membuat dua orang itu menoleh, baru sadar akan kedatangan putri dan menantunya."Cicipi dulu, ini enak. Aman buat jantung, Bapak dan darah tinggi Ibu." Nadine meletakkan seporsi seblak di depan Hermawan dan Heni. Juga martabak serta siomay yang sudah dipinda
Keriwehan kantor kembali jadi makanan Nadine dan yang lain. Mereka benar-benar sibuk. Apalagi untuk Rafael, Nadine, Sandy dan Rion. Keempatnya harus kerja ekstra keras. Sebab mereka punya rencana mengambil cuti di hari yang sama. Saat Sandy dan Sita menikah.Tak pelak hal ini membuat kesibukan mereka bertambah. Semua hal harus diselesaikan sebelum hari itu. Nadine dan Rafael makin sering keluar bersama. Imbasnya, gosip miring itu makin santer berhembus. Bahkan di lantai dua puluh lima sendiri. Beberapa staf sudah mulai berbisik-bisik jika ada waktu luang. Saling melempar kode untuk membahas bos mereka. Hal ini membuat Rey dan Tia sempat dilanda emosi.Namun keduanya belum bicara pada Nadine terkait hal ini. Mereka tahu, Nadine dilanda kerepotan tingkat tinggi. Sibuk bekerja juga riweuh membantu mengurusi persiapan pernikahan Sita. Tia tentu mengetahui hal ini dibanding siapapun.Perempuan itu bahkan beberapa kali juga terlibat, dimintai pendapat soal ini dan itu. Tia jelas tidak kebe
H-1 sebelum pernikahan Sita. Seharusnya Nadine sudah tidak masuk kerja. Namun apalah daya ketika Rafael mengirim pesan, dia minta ditemani untuk menemui tuan Chen, klien yang dari Cina hari itu.Nadine datang ke kantor hampir pukul sembilan. Dia pikir tidak ngantor jadi dia hanya menyiapkan keperluan Rafael lalu membantu sang ibu yang sibuk di dapur. Tidak banyak yang diundang ke akad nikah Sita, mengingat rumah mereka memang tidak besar. Namun resepsi akbar Sandy siapkan dengan mengundang warga komplek perumahan tempat tinggal Hermawan. Kedatangannya langsung mendapat tatapan tidak suka dari Rena. Nadine tidak peduli, sesuai saran dari Rafael, abaikan saja mereka. Seperti yang Nadine lakukan saat ini. Dia diam saja ketika Rena terus menatapnya. Perempuan itu tidak mengajaknya bicara, dia pun tidak mau repot-repot membuang tenaga untuk mencari perhatian.Dulu dia sudah kenyang dibuli dan dicemooh, setidaknya sekarang dia lumayan siap mental untuk menghadapi semua itu. "Ya, halo." R
Rafael dipaksa berlari sejak keluar dari lift menuju mobil yang sudah Rion persiapkan. Lelehan darah segar terlihat dari paha Nadine terus melewati betis wanita itu. Bagaimana Rafael tidak panik, ditambah wajah Nadine mulai pucat sejak mereka masuk lift di lantai dua puluh lima."Raf ....""Ssst, diam. Maafkan aku, lagi-lagi karena aku kamu terluka. Kutukan kali ya jadi istriku."Ingin rasanya Nadine tertawa, tapi yang keluar justru ringisan kesakitan. "Iyalah, kutukan. Kan lakinya dari pertama suka bohong.""Iya, iya, aku minta maaf untuk itu. Enggak-enggak lagi bohongin kamu, takut kualat aku." Rafael berulang kali mencium kening dan kepala Nadine. Rasa sakit itu masih terasa, bahkan makin menjadi. Namun dalam pelukan Rafael, Nadine merasakan nyaman, hingga dia sanggup menahan rasa itu sampai mereka sampai di rumah sakit lima belas menit kemudian. Di mana ada Reva yang langsung menyambut kedatangan kakak dan kakak iparnya."Sakit, Re," rintih Nadine. Perempuan itu tertegun sejenak