"To-tolong ... tolong, aku!"
Seorang gadis yang sedang terbaring tak berdaya di atas aspal mengulurkan tangan pada seseorang yang terlihat melangkah ke arahnya.
Samar-samar ia melihat langkah kaki itu mendekat. Namun, ia tak dapat melihat ke arah wajah karena posisinya yang tidak memungkinkan, tetapi ia sempat melihat pergelangan kaki orang tersebut ada tato bentuk love dengan panah menancap di tengah.
Perlahan beberapa langkah kaki itu terdengar menjauh, lalu disusul suara ban yang beradu dengan aspal dan deru mobil yang meninggalkan tempat itu.
"Tolong!" desisnya sekali lagi. Kemudian ia pingsan karena tidak kuat menahan beban motor yang menimpa dirinya.
Sementara orang yang menabraknya pergi begitu saja menyisakan sebuah misteri.
Entah siapa yang menolongnya, saat tersadar, gadis itu sudah berada di ranjang rumah sakit dalam keadaan kaki yang diperban.
Saat hendak menggerakkan kakinya yang sebelah kiri dia terkejut mendapati kakinya terasa kaku dan tak bisa digerakkan sama sekali.
"Tidakkkkkkkk!" teriaknya histeris.
Seorang wanita paruh baya berlari ke kamar anaknya dengan tergesa-gesa saat mendengar teriakannya.
"Astagfirullah, Kafizah. Kamu kenapa, Nak? Ayo bangun!"
Gadis cantik yang masih terbungkus dengan selimut itu langsung kaget dan terbangun dari mimpi yang menurutnya sangat buruk.
Dia langsung memeluk ibunya. "Bu ... Kafizah mimpi, Bu."
Sebenarnya itu bukanlah mimpi, tetapi sebuah gambaran dari masa lalunya yang kelam dan selalu datang dalam tidurnya.
Kejadian empat tahun silam selalu mengusik pikirannya. Apalagi kejadian itu menyisakan luka batin dan luka fisik untuknya.
Luka fisiknya yaitu, kakinya sebelah harus lumpuh seumur hidup dan berjalan dengan bantuan tongkat.
Lalu, batinnya terluka karena melihat orang yang telah menabraknya memiliki tato love terkena panah dan orang itu pergi begitu saja, tidak menolongnya sama sekali. Membuat Ia trauma dengan simbol itu hingga ia sulit untuk jatuh cinta.
Di hatinya akan timbul rasa benci dan emosi saat ada seseorang yang memberikan gambaran cinta padanya.
"Mimpi itu lagi?" tanya sang Ibu sambil mengusap kepala putrinya lalu mengelap keringat di dahi sang anak.
Gadis yang bernama lengkap Nurul Kafizah itu mengangguk pelan dengan napas yang ngos-ngosan.
Bu Marni-ibunya Kafizah hanya bisa menghela napas kasar.
"Mimpi itu akan selalu datang jika kamu selalu memikirkannya. Coba perlahan-lahan kamu lupakan kejadian itu, Nak."
Kafizah menggeleng pelan. "Tidak bisa, Bu."
"Usahakan, Nak! Kamu harus ikhlas menerima semua takdir yang sudah Allah tentukan." Bu Marni memeluk erat sang anak demi menenangkannya.
"Kafizah tidak akan tenang kalau pelakunya belum ditangkap, Bu," ucap gadis itu dengan suara bergetar.
"Kita bisa apa, Nak. Bahkan polisi pun tidak berpihak sama kita," ucap Bu Marni menyeka sudut matanya.
"Orang seperti kita tidak bisa mendapatkan keadilan. Jadi ikhlaskan, biar hukum Allah yang berkerja jika hukum dunia tidak berlaku," tambah Bu Marni.
"Tenangkan dirimu, dan jangan terus-terusan mengingat kejadian itu!"
Gadis cantik itu terdiam dan mencoba menenangkan dirinya.
"Bagaimana caranya, Bu?" tanyanya sambil menatap wajah sendu sang Ibu.
"Coba lebih sibukkan lagi dirimu, Nak. Banyak-banyak istighfar, banyakin zikir dan sering-sering ajak bunga di toko kita untuk mengobrol," ucap ibunya mencoba menghibur sang anak.
"Sudah, ya! Makanya, jangan suka tidur di waktu petang hari kan sudah sering Ibu bilangin," tegur ibunya mencoba mengalihkan pikiran cemas sang anak.
"Maaf, Bu. Tadi Kafizah tuh baca buku sebentar Eh ... malah ketiduran," katanya sambil mengangkat buku yang berada di dekatnya.
"Ya sudah, sekarang kamu bangun terus mandi! Sebentar lagi waktu salat Magrib. Kamu harus salat selanjutnya bantuin Ibu bikin cemilan untuk menyambut teman bapakmu bersama putranya."
"Perjodohan lagi?" tanyanya dengan wajah lesu tak bersemangat.
Bu Marni yang hendak pergi mendadak kembali duduk di samping Kafizah.
"Iya, bapakmu ingin melihatmu segera menikah dan tidak lagi jadi gunjingan orang-orang," balas ibunya, "usiamu sudah 25 tahun dan umur segitu sudah dianggap perawan tua di lingkungan kita."
"Apa Ibu juga menganggapku sebagai perawan tua?"
"Tidak, Nak. Ibu tidak berpikir begitu. Ibu hanya patuh pada bapakmu dan kamu sebagai anak harus mengerti itu."
"Lalu, kenapa Bapak tidak mengerti aku, Bu? Aku malu jika harus terus dijodohkan begini dan berakhir dengan penolakan karena kondisiku." gadis itu menangiskembali di pelukan ibunya.
"Ini pria yang ke sembilan yang akan Bapak kenalkan padaku dan tujuh di antaranya menolak dan menghina habis-habisan fisikku, Bu."
"Satu di antaranya kamu yang menolaknya, bukan?" tanya ibunya sembari melerai pelukan.
"Itu karena dia terlalu romantis, Bu. Setiap hari mengirimkan aku kertas yang ada gambar itu dan aku benci gambar itu, Bu. Gambar itu mengingatkan aku dengan kejadian --"
Bu Marni menyimpan jari telunjuknya di bibir Kafizah yang mulai cemas jika mengingat masa kelam itu.
"Ssstt ... Lupakan! Lupakan! Tarik napas dalam-dalam dan buang perlahan-lahan!" titahnya.
Kafizah mengikuti arahan sang Ibu agar kembali tenang dan tidak gelisah lagi.
"Beri pria ke sembilan ini kesempatan. Barangkali, dia pria yang berbeda serta baik dan mau menerimamu apa adanya, juga membantumu melupakan trauma itu."
"Mandilah! Dan jangan lupa salat Magrib!" titah wanita paruh baya itu lalu melangkah keluar dan menghilang di balik pintu kamar.
Nurul Kafizah membuang napas panjang dan segera melakukan ritual yang ibunya perintahkan.
***
"Kafizah! tamunya sudah datang, Nak!" ucap Bu Marni yang menghampiri putrinya di kamar.
Setelah selesai membantu ibunya di dapur, Kafizah kembali ke kamarnya karena ingin melaksanakan salat Isya. Tamunya datang baru saja.
"Ibu pergi saja duluan, sebentar lagi Kafizah menyusul," ucap gadis itu sambil merapikan jilbab pasmina yang ia kenakan, lalu memakai make up tipis-tipis.
Setelah itu ia meraih tongkat miliknya, lalu berdiri dan melangkah keluar kamar dengan langkah yang tidak normal seperti orang pada umumnya.
Sesampainya di ruang tamu, ia merasa risih karena disambut oleh tatapan menelisik dari pria yang katanya anak dari teman Pak Rahman-bapaknya.
"Ini Kafizah putri saya satu-satunya," ucap Pak Rahman saat putrinya duduk di sampingnya, "Nak! Kenalkan dia Pak Jupri teman lama Bapak dan ini putranya, namanya Raka."
Kafizah mengatupkan tangan pada pria paruh baya itu dan juga putranya.
Pria itu malah menatap Kafizah dari ujung kepala yang tertutup jilbab sampai ujung kaki, membuat Kafizah semakin gelisah dan takut penolakan yang sama akan terjadi lagi.
"Pertemuan ini tujuannya untuk melakukan ta'aruf antara Kafizah-putriku dan Raka-putra Pak Jupri yang sebelumnya sudah kami bahas bersama, bukan begitu, Pak Jupri?" ucap Pak Rahman dengan senyuman khasnya saat membuka obrolan yang sejak tadi hening.
"Iya, betul itu Pak Rahman," sahut Pak Jupri melirik putranya, "Bagaimana, Nak Kafizah? Apakah kamu bersedia jadi menantuku? Jadi istri dari putraku-Raka?"
Gadis bermata teduh itu hanya menunduk dan meremas jemarinya. Ia bingung harus menjawab apa. Sementara pria yang akan menjadi calon suaminya terus saja menatap dirinya dengan tatapan menguliti.
"Kenapa Ayah malah bertanya ke dia? Harusnya Ayah bertanya padaku terlebih dulu," protes pria bernama Raka itu.
Kafizah mengangkat wajahnya dan memberanikan diri menatap Raka, sedangkan Pak Rahman menatap temannya dengan penuh tanya.
"Apa maksud semua ini Pak Jupri?" tanya Pak Rahman terkejut. Pria paruh baya itu mengira kalau Raka sudah turut sepakat dengan perjodohan ini.
Baru saja Pak Jupri mau menjelaskan tiba-tiba Raka berucap, "Ayahku belum bertanya padaku, apakah aku siap menikah dengan gadis cacat itu atau tidak." Raka fokus menatap kaki Kafizah yang terhalang rok.
"Ayah hanya bilang, ingin membawaku bertemu dengan seorang wanita cantik putri dari temannya. Tapi Ayah tidak bilang kalau wanita itu ternyata ... cacat dan jalan saja harus dibantu dengan tongkat," celoteh pria itu tanpa memperdulikan perasaan Kafizah.
"Jaga sikapmu, Raka!" tekan Pak Jupri.
"Memang seperti itu kenyataannya, Ayah," balas pria itu tidak mau kalah.
"Ayah sengaja tidak memberitahu kekurangan Kafizah, karena bagi Ayah itu tidak penting untuk dinilai. Yang terpenting Kafizah gadis baik-baik dan dari keluarga baik pula."
Pak Jufri berusaha menjelaskan pada putranya.
Pak Rahman menatap putrinya yang langsung berdiri dan meninggalkan ruang tamu.
Ada sesal di hati Pak Rahman karena kembali penolakan terjadi dan itu semakin melukai perasaan putri semata wayangnya.
"Aku tidak bisa menerima perjodohan ini, Ayah!" ujar Raka menatap ayahnya dengan sengit.
"Kenapa? Kafizah gadis yang baik dan sangat cantik, Nak."
"Baik saja tidak cukup, Ayah!" tandas pria itu, "percuma cantik tapi cacat, buat apa? Gak ada gunanya."
Kata-kata pria itu terdengar jelas hingga ke kamar Kafizah dan membuat gadis itu menutup telinganya dengan bantal.
Bu Marni menghampiri putrinya dan berusaha menghibur Kafizah supaya tidak meratapi nasibnya.
"Lalu apa standar wanita yang layak kau jadikan istri?" tanya Pak Rahman menatap Raka, tetapi dengan tangan mengepal dan urat-uratnya terlihat jelas.
Bersambung...
"Lalu apa standar wanita yang layak kau jadikan istri?" tanya Pak Rahman menatap Raka, tetapi dengan tangan mengepal dan urat-uratnya yang terlihat jelas. "Saya mau wanita yang cantik, baik seperti yang ayahku bilang, tentunya saja semua anggota tubuhnya sempurna," papar Raka dengan bangganya. "Lalu apa salahnya kalau wanita itu cacat?" tanya Pak Rahman lagi dengan nada berat "Jelas salah. Karena dia tidak bisa apa-apa dan akan menyusahkan. Hidupnya akan selalu bergantung, itu merepotkan sekali." Raka membuang napas kasar "Lagi pula, saya ini pengusaha yang setiap ada pertemuan pasti akan membawa istriku ke manapun sementara gadis itu ... jangankan membawanya ke mana-mana, melihatnya saja aku tak sudi," celoteh pria itu memancing amarah Pak Rahman. "Hentikan, Raka!" bentak pak Jupri tidak menyangka putranya akan bicara seperti itu, "ucapanmu sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang pengusaha." "Pak Rahman! Tolong maafkan putraku." Pak Jupri mengatupkan tangan pada sahabatnya.
"Kamu ...," ucap Kafizah dan pria itu bersamaan sambil sama-sama menunjuk satu sama lain dan keduanya pun tampak sangat terkejut."Raka?" "Kafizah?"Lagi keduanya berucap bersamaan."Kamu karyawan di sini?" tanya pria itu penasaran."Tidak penting aku karyawan atau bukan," balas Kafizah mencoba cuek sambil meraih buket bunga dari Salsa."Dih ... sombong banget, padahal cuma karyawan tapi berlagak kayak bos," cibir Raka menatap sinis gadis yang duduk di balik meja kasir."Sombong teriak sombong," bantin Kafizah.Kafizah memilih diam tak menanggapi ocehan pria itu, tetapi hatinya mengutuk pria tersebut.Salsa hanya melongo melihat bos dan pelanggan yang ternyata sudah saling mengenal satu sama lain.Ia memilih ke depan dan menyiram bunga-bunga hidup agar terlihat semakin segar.Raka yang merasa dianggurin langsung berucap, "Kamu marah karena aku menolak perjodohan kita, ya?"Nurul Kafizah tidak menanggapi ucapan pria tersebut."Mau bayar kes atau pakai kartu kredit?" tanya Kafizah samb
"Kenapa harus ketemu dia sih? Di toko miliknya pulak tuh," gerutu Raka dengan kesal. "Gak bener! Ini pasti rencana Ayah dan sengaja dia menyuruhku ke toko ini karena dia tahu siapa pemiliknya. Pantas dia ngotot nyuruh aku beli bunga di sini. Padahal toko bunga yang lain pun banyak kulewati tadi. Bahkan dia keukeu agar aku ketemu pemiliknya." Pria berambut klimis itu masih saja misuh-misuh tidak jelas saat memasuki kendaraan roda empatnya. Setelah keluar dari toko bunga milik gadis yang ia hina karena cacat. Raka Ghifari Adhyaksa langsung melesat meninggalkan pelataran toko. Di dalam mobil, pria itu terus saja menggerutu dan memaki. Tapi entah siapa yang dia tuju. Yang pasti dia sangat kesal dengan ayahnya. "Awas saja, Yah. Sesampainya aku di rumah. Aku akan komplain sama Ayah," ucapnya sambil melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Setelah sampai di depan rumah mewah miliknya. Pria tampan itu langsung turun dan mengayunkan langkah ke arah pria paruh baya yang menya
"Asal kamu tahu, ya Raka. Mama itu habis dicopet---""Apa? Mama dicopet sama gadis itu," pekiknya langsung menuduh Kafizah."Enggaklah. Kamu salah paham," jawab ibunya menahan kesal."Gadis itu malah menolong Mama dari pencopet yang sudah merampas tas Mama. Saat orang itu merampas gelang Mama, pisau yang orang itu pakai buat mengancam kena ke tangan Mama," ucap Bu Liana menjelaskan panjang lebar duduk perkaranya."Jadi mama kecopetan?" tanya Raka terkejut "Iya.""Dan gadis itu menolong Mama?" tanyanya lagi dan langsung membekap mulutnya."Iya," jawab Bu Liana dengan kesal dan meraih kain baju milik Kafizah untuk dibungkuskan ke lukanya agar darah berhenti mengalir."Asal kamu tahu, gadis itu sangat berani menolong Mama padahal dia sendiri susah berjalan bahkan dia menggunakan tongkatnya untuk memukul pencop*t itu." Bu Liana menunjuk tongkat Kafizah yang berserakan di tanah.Raka menatap nanar tongkat milik gadis yang ia usir dan maki-maki sekarang sudah patah dan tak berbentuk.Panta
"Kafizah ...!" pekik Bu Marni sambil berlari ke arah suara barang yang terjatuh. Raka juga berdiri hendak menyusul, tetapi Pak Rahman langsung mencegah hingga pria tersebut kembali duduk di tempat semula. "Kamu tunggu dulu di sini, Nak. Saya lihat putri saya dulu." Pak Rahman segera beranjak dari duduknya dan melihat sang istri kewalahan memapah Kafizah. Pria paruh baya itu segera membantu sang anak untuk sampai di tempat tidur. Raka diam-diam berdiri di balik sekat pemisah antara ruang tamu dengan ruang tengah. "Nak Raka kemari untuk melamarmu, Nak," ungkap sang bapak membuat gadis bermata bulat tersebut memalingkan wajah. "Tolak saja, Pak!" sela Kafizah. "Apa kamu tidak mau memikirkannya lagi, Nak? Minimal dua tiga hari atau bahkan seminggu untuk kamu mempertimbangkan kembali," usul sang bapak membuat Kafizah mendongak dan memejamkan mata. Gadis itu masih mengingat dengan jelas bagaimana ekspresi pria bermata elang itu saat pertama kali melihatnya, lalu menolaknya, kemudian me
"Bagaimana? Sudah kamu temui gadis itu dan melakukan apa yang Mama suruh?" tanya bu Liana pada putranya saat sarapan pagi. "Sudah, Ma," sahutnya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat ayahnya. Jangan sampai sang ayah mendengar omelan sang istri pagi-pagi karena kesalahan dirinya. "Terus?" tanya sang ibu penasaran. "Maksudnya?" Raka malah bertanya balik. "Kamu dimaafkan gak? Tongkatnya sudah kamu ganti?" "Sayangnya enggak," jawabnya cengengesan. "Belum, Mama. Belum sempat." "Kok, belum, sih. Usahain dong buat ganti. Uang buat beli tongkat kan gak seberapa buatmu, Nak." "Iyya, nanti Raka beli, Ma." "Satu lagi ... wajar kalau dia gak mau maafin kamu, karena kamu itu egois, ngegas sama dia yang udah baik mau nolongin Mama. Jadi kamu harus minta maaf lagi sama dia sampai dia maafkan!" titah sang Ibu. "Iyya, Ma. Nanti Raka temui dia lagi," balas Raka segera menghabiskan roti bakar selai coklat miliknya lalu pamit pada ibunya tanpa pamit pada sang ayah yang belum muncul ba
"Kamu ..? kamu siapa berani-beraninya ikut campur urusanku dengan sepupuku," bentak Azura sambil menunjuk Raka yang berdiri tak jauh dari Kafizah. "Saya temannya," jawab Raka asal, membuat Kafizah memutar bola mata malas. Kafizah pun sadar kalau Raka memang tidak benar-benar ingin melamarnya. Jika Raka memang ada perasaan padanya, maka dia akan bilang dengan tegas pada Azura kalau dia adalah calon istrinya. "Apa-apa sih, Kafizah, kamu hanya gadis cacat," bisik Kafizah dalam hati sambil geleng-geleng. Raka tidak memiliki keberanian untuk mengatakan kalau Kafizah calon istrinya di depan sepupu Kafizah yang angkuh karena dia takut ditolak di tempat dan akan membuatnya malu tujuh turunan. Apalagi di depan banyak para pelanggan. Bisa-bisa jatuh tingkat kesombongannya kalau dia ditolak di depan umum oleh gadis cacat. Sementara Salsa yang mendengar ucapan Raka juga ikut geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, kemarin dia datang mengaku-ngaku sebagai calon suami bosnya dan sekarang dia
Setelah pulang dari toko, Kafizah mendapati motor pamannya terparkir di depan rumahnya. Samar-samar ia mendengar suara Reni--istri paman Rahim, "Kami gak mau tahu ya, kalian harus bantu biaya resepsi pernikahan Azura. Dia itu keponakan kalian, jadi sudah sepantasnya kalian mengulurkan dana untuknya!" Kafizah dan Salsa yang hendak masuk langsung berdiri mematung di teras rumah mendengar ucapan tantenya yang lebih mendominasi. "Kami bukannya tidak mau membantu, Ren, Him, tapi kami juga gak punya uang sebanyak itu. Kalau pun kami ada uang segitu, lebih baik uangnya dipakai untuk biaya berobat kaki Kafizah," balas ibunya Kafizah membuat Reni seperti kebakaran jenggot. "Buat apa kalian hambur-hamburkan uang untuk anak cacatmu itu, gak ada gunanya. Toh, dia gak akan laku-laku juga. Jadi biarkan saja dia seperti itu sampai ajal menjemputnya," ocehan Bu Reni membuat Bu Marni naik pitam. "Jaga ucapanmu, Ren! Selama ini saya diam setiap kamu dan anakmu menghina putriku, tapi sekarang tidak