"Jadi ini toko bunga milik calon menantu Mama?" tanya Bu Liana saat berada di depan bangunan kokoh di tepi jalan raya dengan aneka macam bunga-bunga tersusun rapi. Baik bunga hidup maupun bunga hias atau plastik.Pengunjung bebas memilih bunga apa yang mereka sukai."Iya, Ma," sahut Raka saat berdiri di samping mamanya.Hari ini, Bu Liana memaksa Raka untuk membawanya ke toko milik Kafizah, karena ingin berterima kasih sekaligus meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi di tempat wisata waktu itu."Hebat sih ... tokonya juga terlihat sangat ramai pembeli." Bu Liana tampak berdecak kagum sambil melangkah dengan anggun mencari sosok gadis yang pernah menolongnya.Wanita paruh baya yang tengah menenteng tas miliknya itu langsung memandang satu persatu wajah orang-orang yang ada di sana.Hingga tatapannya tertuju pada seorang gadis yang tengah sibuk melayani
"Apa? Kafizah dibawa ke rumah sakit?" pekik Bu Marni saat menerima sambungan telepon dari Salsa."Iya, Tante," jawab Salsa sedikit gugup."Siapa yang bawa?" tanya Bu Marni memelankan suaranya."I-itu siapa namanya aduh." Salsa menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan berusaha mengingat nama pemuda yang membawa Kafizah. "Namanya Raka dan ibunya Bu Liana.""Kafizah kenapa tiba-tiba sakit, Sa? Apanya yang sakit?" Bu Marni masih memberondong Salsa dengan berbagi pertanyaan."Salsa gak ngerti, Bu. Bu Marni langsung saja ke rumah sakit!" titah Salsa pura-pura tidak tahu tentang penyakit Kafizah. Padahal dia sudah tahu, hanya saja ia tidak berani memberitahu karena ia sudah dipaksa oleh Kafizah untuk tutup mulut agar orangtuanya tidak tahu tentang Kakinya yang semakin parah."Baiklah, Sa. Ibu akan segera menyusul ke rumah sakit," kata Bu Marni sambil menutup ponselnya, membuat Salsa membuang napas pelan.Di rumah Pak Rahim Bu Marni langsung
"Dok! Beri aku waktu kurang lebih dua Minggu!" ucap Kafizah memohon pada Dokter yang usianya tidak beda jauh dengan ibunya."Aku akan mengumpulkan biayanya sampai waktu yang kuminta," ujar Kafizah lagi.Wanita paruh baya tersebut menarik napas dalam dan mendekat ke arah Kafizah. "Baiklah! Tapi hanya dua Minggu, jika lebih dari itu ... kami tidak bisa memprediksi kemungkinan yang akan terjadi.""Apa saja yang bisa terjadi, Dok?" tanya Bu Liana menatap dokter dengan serius."Kemungkinan terbesar, infeksi yang disebabkan oleh kuman berbahaya bisa menyerang setiap jaringan yang ada dalam tubuhnya," balas sang dokter sambil menatap Bu Liana lalu beralih ke Kafizah.Raka yang masih berdiri di balik tirai hanya bisa menyimak dan memejamkan mata tanpa bisa berbuat apa-apa.Tetap nekat, maka dia harus siap dibenci gadis itu seumur hidupnya dan tiba-tiba ancaman gadis itu membuat nyalinya menciut."Saya akan siapkan dananya sebelum waktu
Setelah beberapa hari berlalu di suatu pagi. "Kafizah!" panggil Pak Rahman dari luar kamar putrinya sambil mengetuk pintu kamar. "Iya, Pak?" sahut gadis itu. "Sudah siap belum?" tanya sang bapak sambil menatap jam yang tergantung di dinding rumah yang sudah menunjuk jam delapan pagi. "Sebentar lagi selesai, Pak," sahut Kafizah dari dalam kamar sambil merapikan kembali jilbabnya, lalu memasang pin bros di jilbabnya. Pak Rahman kembali duduk di kursi ruang tamunya sambil menunggu putri tercintanya bersiap-siap. Hari ini adalah hari pernikahan Azura yang akan mereka hadiri. Bu Marni sudah berangkat lebih dulu karena selalu sibuk membantu memasak di dapur. Meski Bu Reni sering berbicara kelewat pedas padanya, tetap saja dia tidak tega jika tidak membantu tenaga di acara keponakannya. Kafizah sebenarnya tidak ingin hadir di acara tersebut karena sudah diwanti-wanti oleh sepupunya agar tidak menampakkan wajah di hari bahagianya. Akan tetapi, ia harus membawa karangan bunga untuk Azur
"Fizah ...!" pekik Bu Marni dan Pak Rahman bersamaan saat Ayuna terang-terangan mendorong kasar sepupunya.Kedua orang tua Kafizah kaget melihat perlakuan kasar sang ponakan.Akan tetapi, kehadiran Raka yang tiba-tiba menahan tubuh Kafizah membuat Bu Marni dan Pak Rahman menghela napas lega karena melihat putrinya tidak jadi jatuh tersungkur.Jika orang tua Kafizah tampak lega, beda lagi dengan tatapan orang-orang terutama cewek-cewek yang mencibir Kafizah seketika memandang iri kala melihat tubuh Kafizah di rengkuh oleh pria tampan pemilik rahang tegas dengan tampilan yang sempurna dengan tubuh yang dibalut tuxedo hitam dan kacamata yang setia bertengger di hidup mancungnya.Azura dan Ayuna mencebik dengan kesal.Sementara Niko--suami Azura mendadak panik saat melihat Raka hadir di resepsi pernikahannya."Kok, Bos gue bisa dateng ke sini, sih," gumam Niko lirih dan pias, tetapi masih terdengar jelas di telinga Azura."Hah, Bos? K
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Niko membuka surat tersebut dan membaca di dalam hati.Setelah mengetahui tulisan apa dia segera melipat kertas itu agar, Azura tidak ikut membacanya."Pak Raka! Tolong kasi saya kesempatan untuk menjelaskan semuanya," ucapnya penuh permohonan."Ayo jelaskan sekarang juga!" Raka menantang Niko.“Tapi jangan di sini, Pak,” elak Niko sambil melirik istrinya.
"Will you marry me?" Raka mengulang pertanyaannya karena Kafizah masih bergeming dengan mata membulat sempurna dan bibir ternganga sedikit."Terima! Terima! Terima! Terima ...," sorak-sorai para hadirin yang menyaksikan adegan romantis tersebut.Sementara, pria tampan itu masih setia bersimpuh di lantai dengan dua tangan yang memegang buket bunga mawar dan sekotak cincin yang sudah terbuka.Kafizah menelan saliva dengan susah payah, lalu gadis itu menoleh pada Bapak dan ibunya untuk meminta pendapat meski hanya melalui tatapan yang memelas.Seperti ada ilmu telepati antara Pak Rahman, Marni dan Kafizah, akhirnya wanita dan pria paruh baya tersebut mengangguk perlahan pada putrinya sebagai tanda isyarat untuk menerimanya.Kafizah membuang napas berat, kemudian menoleh pada Pak Rahim yang juga mengangguk. Namun, ada yang mengusik pikirannya kala menatap tatapan sepupunya, Ayuna.Adik dari Azura itu menatap tajam Kafizah, memberi isyarat
"Apa kamu sudah menemukan gadis yang tepat untuk jadi calon mantu Mama?" tanya seorang wanita paruh baya yang saat ini tengah menatap putranya."Sudah," jawab sang putra yang sedang berhadapan dengan ibunya di sebuah ruang tamu di rumahnya."Bagus kalau gitu, usiamu sudah sangat dewasa untuk menikah. Azura saja sudah menikah kamu masih betah saja melajang sampai sekarang.""Sebutkan siapa nama gadis itu, Faiz?""Kafizah."Sang Ibu menatap tajam sang putra, " Sampai kapanpun, Ibu tidak akan pernah setuju punya mantu wanita cacat, camkan itu!""Kalau begitu, Faiz juga tidak akan mau menikah sampai kapanpun juga," balas Faiz menantang."Kenapa kamu sangat egois, Faiz? Apa kelebihan gadis itu sehingga kamu tidak bisa melupakan dia?""Ibu yang egois, Ibu selalu mengekang Faiz selama ini. Harusnya Faiz yang bertanya sama Ibu, apa kesalahan Kafizah sehingga Ibu tidak mau menerimanya?" tanya Faiz balik."Tidak, dia tidak salah apa-apa, takdirnya yang salah dan Ibu tidak sudi bermantukan gadis