Setelah serangkaian acara pernikahan sederhana Raka dan Kafizah usai. Satu persatu orang-orang pulang termasuk Denis yang harus mengantar penghulu dan rekannya.Emil juga pulang karena harus menghadiri meeting untuk menggantikan Raka di kantor. Pak Jupri dan Bu Liana juga pamit karena tidak ingin mengganggu putra dan menantu barunya.Orang tua Kafizah juga diminta untuk pulang oleh Bu Liana agar kedua pengantin baru tersebut bisa menikmati waktu berduaan. Meski belum bisa melakukan adegan romansa, setidaknya mereka punya waktu untuk lebih mengenal satu sama lain.Sebenarnya ada rasa khawatir jika harus meninggalkan Kafizah, tetapi Bu Liana meyakinkan besannya kalau menantunya akan baik-baik saja karena ada Raka yang akan menemani."Titip, putriku, Nak!" ujar Bu Marni sebelum pulang pada menantunya itu."Iya, Bu. Kafizah aman sama Raka," balas Raka sembari mencium punggung tangan Ibu dan Bapak mertuanya yang menepuk pundaknya pelan.Setelah memberi beberapa nasihat pada kedua pasangan
Semenjak kejadian malam itu, Raka tidak pernah lagi meninggalkan Kafizah terlalu lama. Paling lama lima belas menit dan itu hanya saat dia mandi atau hanya buang hajat, salat ia kerjakan di ruang rawat istrinya.Untuk urusan pakaian, semua diantar oleh Bu Liana, ibunya. Sementara makan siang diantar oleh Bu Marni, mertuanya yang setiap hari memasak untuk putrinya. Kadang juga Bu Marni di larang masak oleh besannya karena sudah memesan makanan jadi di restoran.Sementara untun sarapan dan makan malam, Raka hanya memesan lewat online. Begitu terus hingga waktu semakin bergulir dari hari ke hari, Minggu ketemu Minggu dan akhirnya terhitung sudah empat Minggu Kafizah di rumah sakit sebagai seorang istri.Masalah kerjaan, dia hanya memantau lewat CCTV yang tersambung ke laptopnya. Urusan meeting, ia meminta Emil untuk terus mewakili hingga waktu yang belum ditentukan."Maafkan aku, karena selalu merepotkanmu!" kata Kafizah pada suaminya usai salat Isya berjamaah."Kenapa harus minta maaf!
"To-tolong ... tolong, aku!" Seorang gadis yang sedang terbaring tak berdaya di atas aspal mengulurkan tangan pada seseorang yang terlihat melangkah ke arahnya. Samar-samar ia melihat langkah kaki itu mendekat. Namun, ia tak dapat melihat ke arah wajah karena posisinya yang tidak memungkinkan, tetapi ia sempat melihat pergelangan kaki orang tersebut ada tato bentuk love dengan panah menancap di tengah. Perlahan beberapa langkah kaki itu terdengar menjauh, lalu disusul suara ban yang beradu dengan aspal dan deru mobil yang meninggalkan tempat itu. "Tolong!" desisnya sekali lagi. Kemudian ia pingsan karena tidak kuat menahan beban motor yang menimpa dirinya. Sementara orang yang menabraknya pergi begitu saja menyisakan sebuah misteri. Entah siapa yang menolongnya, saat tersadar, gadis itu sudah berada di ranjang rumah sakit dalam keadaan kaki yang diperban. Saat hendak menggerakkan kakinya yang sebelah kiri dia terkejut mendapati kakinya terasa kaku dan tak bisa digerakkan sama s
"Lalu apa standar wanita yang layak kau jadikan istri?" tanya Pak Rahman menatap Raka, tetapi dengan tangan mengepal dan urat-uratnya yang terlihat jelas. "Saya mau wanita yang cantik, baik seperti yang ayahku bilang, tentunya saja semua anggota tubuhnya sempurna," papar Raka dengan bangganya. "Lalu apa salahnya kalau wanita itu cacat?" tanya Pak Rahman lagi dengan nada berat "Jelas salah. Karena dia tidak bisa apa-apa dan akan menyusahkan. Hidupnya akan selalu bergantung, itu merepotkan sekali." Raka membuang napas kasar "Lagi pula, saya ini pengusaha yang setiap ada pertemuan pasti akan membawa istriku ke manapun sementara gadis itu ... jangankan membawanya ke mana-mana, melihatnya saja aku tak sudi," celoteh pria itu memancing amarah Pak Rahman. "Hentikan, Raka!" bentak pak Jupri tidak menyangka putranya akan bicara seperti itu, "ucapanmu sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang pengusaha." "Pak Rahman! Tolong maafkan putraku." Pak Jupri mengatupkan tangan pada sahabatnya.
"Kamu ...," ucap Kafizah dan pria itu bersamaan sambil sama-sama menunjuk satu sama lain dan keduanya pun tampak sangat terkejut."Raka?" "Kafizah?"Lagi keduanya berucap bersamaan."Kamu karyawan di sini?" tanya pria itu penasaran."Tidak penting aku karyawan atau bukan," balas Kafizah mencoba cuek sambil meraih buket bunga dari Salsa."Dih ... sombong banget, padahal cuma karyawan tapi berlagak kayak bos," cibir Raka menatap sinis gadis yang duduk di balik meja kasir."Sombong teriak sombong," bantin Kafizah.Kafizah memilih diam tak menanggapi ocehan pria itu, tetapi hatinya mengutuk pria tersebut.Salsa hanya melongo melihat bos dan pelanggan yang ternyata sudah saling mengenal satu sama lain.Ia memilih ke depan dan menyiram bunga-bunga hidup agar terlihat semakin segar.Raka yang merasa dianggurin langsung berucap, "Kamu marah karena aku menolak perjodohan kita, ya?"Nurul Kafizah tidak menanggapi ucapan pria tersebut."Mau bayar kes atau pakai kartu kredit?" tanya Kafizah samb
"Kenapa harus ketemu dia sih? Di toko miliknya pulak tuh," gerutu Raka dengan kesal. "Gak bener! Ini pasti rencana Ayah dan sengaja dia menyuruhku ke toko ini karena dia tahu siapa pemiliknya. Pantas dia ngotot nyuruh aku beli bunga di sini. Padahal toko bunga yang lain pun banyak kulewati tadi. Bahkan dia keukeu agar aku ketemu pemiliknya." Pria berambut klimis itu masih saja misuh-misuh tidak jelas saat memasuki kendaraan roda empatnya. Setelah keluar dari toko bunga milik gadis yang ia hina karena cacat. Raka Ghifari Adhyaksa langsung melesat meninggalkan pelataran toko. Di dalam mobil, pria itu terus saja menggerutu dan memaki. Tapi entah siapa yang dia tuju. Yang pasti dia sangat kesal dengan ayahnya. "Awas saja, Yah. Sesampainya aku di rumah. Aku akan komplain sama Ayah," ucapnya sambil melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Setelah sampai di depan rumah mewah miliknya. Pria tampan itu langsung turun dan mengayunkan langkah ke arah pria paruh baya yang menya
"Asal kamu tahu, ya Raka. Mama itu habis dicopet---""Apa? Mama dicopet sama gadis itu," pekiknya langsung menuduh Kafizah."Enggaklah. Kamu salah paham," jawab ibunya menahan kesal."Gadis itu malah menolong Mama dari pencopet yang sudah merampas tas Mama. Saat orang itu merampas gelang Mama, pisau yang orang itu pakai buat mengancam kena ke tangan Mama," ucap Bu Liana menjelaskan panjang lebar duduk perkaranya."Jadi mama kecopetan?" tanya Raka terkejut "Iya.""Dan gadis itu menolong Mama?" tanyanya lagi dan langsung membekap mulutnya."Iya," jawab Bu Liana dengan kesal dan meraih kain baju milik Kafizah untuk dibungkuskan ke lukanya agar darah berhenti mengalir."Asal kamu tahu, gadis itu sangat berani menolong Mama padahal dia sendiri susah berjalan bahkan dia menggunakan tongkatnya untuk memukul pencop*t itu." Bu Liana menunjuk tongkat Kafizah yang berserakan di tanah.Raka menatap nanar tongkat milik gadis yang ia usir dan maki-maki sekarang sudah patah dan tak berbentuk.Panta
"Kafizah ...!" pekik Bu Marni sambil berlari ke arah suara barang yang terjatuh. Raka juga berdiri hendak menyusul, tetapi Pak Rahman langsung mencegah hingga pria tersebut kembali duduk di tempat semula. "Kamu tunggu dulu di sini, Nak. Saya lihat putri saya dulu." Pak Rahman segera beranjak dari duduknya dan melihat sang istri kewalahan memapah Kafizah. Pria paruh baya itu segera membantu sang anak untuk sampai di tempat tidur. Raka diam-diam berdiri di balik sekat pemisah antara ruang tamu dengan ruang tengah. "Nak Raka kemari untuk melamarmu, Nak," ungkap sang bapak membuat gadis bermata bulat tersebut memalingkan wajah. "Tolak saja, Pak!" sela Kafizah. "Apa kamu tidak mau memikirkannya lagi, Nak? Minimal dua tiga hari atau bahkan seminggu untuk kamu mempertimbangkan kembali," usul sang bapak membuat Kafizah mendongak dan memejamkan mata. Gadis itu masih mengingat dengan jelas bagaimana ekspresi pria bermata elang itu saat pertama kali melihatnya, lalu menolaknya, kemudian me