"Asal kamu tahu, ya Raka. Mama itu habis dicopet---"
"Apa? Mama dicopet sama gadis itu," pekiknya langsung menuduh Kafizah.
"Enggaklah. Kamu salah paham," jawab ibunya menahan kesal.
"Gadis itu malah menolong Mama dari pencopet yang sudah merampas tas Mama. Saat orang itu merampas gelang Mama, pisau yang orang itu pakai buat mengancam kena ke tangan Mama," ucap Bu Liana menjelaskan panjang lebar duduk perkaranya.
"Jadi mama kecopetan?" tanya Raka terkejut
"Iya."
"Dan gadis itu menolong Mama?" tanyanya lagi dan langsung membekap mulutnya.
"Iya," jawab Bu Liana dengan kesal dan meraih kain baju milik Kafizah untuk dibungkuskan ke lukanya agar darah berhenti mengalir.
"Asal kamu tahu, gadis itu sangat berani menolong Mama padahal dia sendiri susah berjalan bahkan dia menggunakan tongkatnya untuk memukul pencop*t itu." Bu Liana menunjuk tongkat Kafizah yang berserakan di tanah.
Raka menatap nanar tongkat milik gadis yang ia usir dan maki-maki sekarang sudah patah dan tak berbentuk.
Pantas dia berjalan tidak memakai tongkat, bisik Raka dalam hati.
"Bahkan gadis itu juga merobek baju gamisnya demi menutup luka di lengan Mama."
Raka langsung menatap lengan ibunya yang terbungkus dengan kain yang warna dan coraknya sama dengan baju yang dikenakan Kafizah.
"Kenapa Mama tidak jelaskan dari tadi, sih," omelnya sambil menyugar rambutnya dengan kasar.
"Mama sudah mau jelaskan, tapi kamu selalu memotong penjelasan Mama. Bahkan kamu ngotot pula saat gadis itu mau menjelaskan," balas ibunya tidak mau kalah.
"Mama gak mau tahu ya, sekarang kamu cari gadis itu dan minta maaf sama dia. Kamu harus ganti tongkat miliknya karena itu pasti sangat berguna untuknya."
Bu Liana berusaha berdiri dengan dibantu Raka.
"Mama akan menemui ayahmu dan tugasmu sekarang cari gadis itu sampai dapat!" titah Ibu negara tidak boleh diganggu gugat.
"Oke, Raka akan cari gadis itu. Tapi Mama harus janji satu hal sama aku!" ucap Raka membuat kesepakatan dengan ibunya.
"Janji? Apa itu?"
"Jangan bilang masalah ini sama Ayah!"
Bu Liana menautkan ke dua alisnya karena bingung
"Kenapa? Kalau ayahmu bertanya kenapa Mama terluka, ya ... terpaksa Mama jelaskan semuanya dengan sejelas-jelasnya sampai kelakuanmu yang sok sekali itu," balas ibunya malah menantang membuat Raka memijat pelipisnya karena pusing, sekaligus takut jika ayahnya tahu kalau gadis yang ibunya maksud adalah Nurul Kafizah gadis cacat yang dijodohkan dengannya.
"Raka mohon, Ma. Jangan bilang ke Ayah ya, please!" mohonnya sekali lagi membuat Bu Liana membuang napas berat.
"Kali ini saja, Ma. Raka janji akan mencari gadis itu dan meminta maaf!" ucapan Raka kembali membuang Bu Liana menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan-lahan.
"Oke, tapi cepat kejar gadis itu sebelum kamu terlambat!" pintanya.
Raka mengangguk lalu berlari menuju arah Kafizah berjalan tadi. Akan tetapi ia kebingungan saat ada dua jalan antara ke kanan dan ke kiri.
Ia ke kiri tapi tak menemukan Kafizah. Pria itu kembali dan mengambil jalur kanan dan terus berputar sambil mencari Kafizah yang saat itu sudah jauh.
Saat Raka sampai di tempat Kafizah dan Salsa menggelar karpet, di sana sudah kosong.
Raka langsung bertanya pada orang yang lewat dan yang ada disekitar situ.
"Maaf, numpang tanya. Apa kalian melihat di sekitaran sini ada seorang gadis yang berjalan sambil memakai tongkat atau jalannya pincang saat tidak memakai tongkat?" tanya Raka membuat orang menganga dan kebingungan.
"Pakai tongkat atau enggak sih, Bang?" tanya orang itu.
"Awalnya pakai tongkat, tapi baru saja dia tidak memakai tongkat. Mana tahu kalian melihatnya?"
"Oh ... iya, aku lihat. Tadi orangnya gelar karpet di situ," celetuk seseorang sambil menunjuk tempat Kafizah bersantai tadi.
"Di sini." Raka melangkah ke tempat yang ditunjuk.
"Iya. Tapi orangnya sudah pergi baru saja," balas orang itu lagi membuat Raka terdiam beberapa saat.
"Oke, terima kasih." Pria itu mengatupkan tangan lalu menatap rumput yang memang seperti bekas ditindis karpet.
Raka mengamati dengan cermat dan ia menyentuh rerumputan yang terdapat darah segar melekat di sana.
"Darah," ucapnya sambil menatap darah itu.
"Apa kakinya berdarah?" tanyanya pada diri sendiri yang langsung diselimuti rasa penyesalan yang tiada terkira.
"Astaga! Sepertinya kakinya terluka," Raka menyugar rambutnya frustrasi.
"Aku sudah salah dan keliru padanya. Kata-kataku juga terlalu kejam. Mungkin dia sangat terluka hati dan perasaannya karena ulahku." Raka mondar-mandir di tempat itu.
Pria itu bingung harus melakukan apa. Sementara Kafizah sudah pergi dari tempat itu.
Jika Raka meminta maaf, kira-kira dia akan semudah itu dimaafkan oleh gadis yang ia sebut-sebut cacat?
Raka kembali menemui orang tuannya yang sudah mengemasi barang-barang dan bersiap untuk pulang.
"Apa kamu sudah menemuinya?" tanya sang ibu menatap penuh selidik.
"Belum, Ma," bisiknya sambil menaruh jari telunjuk di bibirnya sambil memberi kode dengan melirik sang ayah yang sedang sibuk.
"Kok, belum? Kamu 'kan sudah janji sama Mama," ucap Bu Liana dengan suara melengking membuat sang suami langsung menoleh.
"Kenapa, Ma? Raka janji apa sama Mama?" tanya Pak Jufri yang penasaran dengan topik pembahasan antara sang istri dan putranya.
"Eh ... enggak janji apa-apa, kok, Yah. Ini Mama lagi minta dibeliin kue di ujung sana, tapi pas Raka ke sana sudah gak ada," kilahnya sambil menunjuk ke ujung jalan.
"Benar begitu, Ma?" tanya pak Jufri yang kurang percaya dengan ucapan sang anak.
Raka berusaha memberi isyarat pada sang ibu agar mau mendukung kebohongannya kali ini, tetapi bu Liana malah menatap putranya dengan mata memicing
***
"Gimana jalan-jalannya tadi?" tanya Bu Marni pada putrinya yang sejak pulang memilih diam di kamar dan membungkus dirinya dengan selimut.
"Lumayan seru, Bu. Sayangnya Ibu gak ikutan," jawab Kafizah mencoba menyembunyikan kakinya yang berdenyut nyeri.
"Pemandangannya indah dan tempatnya juga rame banget, Bu. Perasaanku juga agak lebih baik dari sebelumnya," jawabnya lagi
"Syukurlah kalau kamu udah lebih tenang dari kemarin-kemarin." Bu Marni membuang napas berat.
Kafizah juga berusaha menahan diri agar tidak meringis karena kakinya tiba-tiba seperti ditusuk dari dalam.
Dia sempat memeriksa kakinya di klinik tadi dan akibat pergerakan yang dipaksakan, tulang kakinya mendadak bereaksi tidak wajar dan tiba-tiba darah menetes sejak tadi.
Darahnya sudah berhenti karena diobati di klinik dan sudah diperban. Akan tetapi obat itu tidak bisa bertahan lama.
Dokter menyarankan agar kakinya segera diamputasi karena sudah terinfeksi kuman berbahaya. Semua itu demi keselamatan jiwanya dari penyakit mematikan.
Kafizah memejamkan mata mengingat ucapan dokter padanya. Gadis itu belum punya cukup keberanian untuk mengatakan hal sebenar pada kedua orangtuanya.
Takut kabar itu membuat bapak dan ibunya semakin sedih, cemas dan semakin terbebani.
Terbebani karena biaya operasi sudah pasti tidak main-main nominalnya.
"Ibu ke sini mau sampaikan sesuatu sama kamu, Nak," ucap Bu Marni akhirnya.
"Apa itu, Bu? Ayo katakan." Kafizah meraih tangan sang Ibu dan menatap netra yang tampak kelelahan itu.
"Di luar ada Nak Raka yang sedang mengobrol dengan bapakmu," ucap ibunya.
Kafizah menautkan kedua alisnya. "Untuk apa dia ke sini, Bu?"
"Katanya Nak Raka mau bertemu denganmu."
"Suruh saja dia pulang, Bu. Kafizah tidak mau bertemu dengannya!" Kafizah merebahkan dirinya di tempat tidur.
"Temuilah sebentar saja! Kasihan, dia datang sendiri malam-malam begini!"
Kafizah tidak menghiraukan ucapan sang ibu. Dia memilih membelakangi ibunya.
Bu Marni menghela napas berat lalu berdiri dan menemui Raka yang sedang duduk dengan sangat cemas di ruang tamu bersama Pak Rahman.
Kafizah diam-diam keluar kamar dan menguping pembicaraan Raka dan bapaknya.
"Saya ke sini sebenarnya mau meminta maaf atas sikapku yang waktu itu dan harusnya aku juga meminta maaf secara langsung sama putri Pak Rahman karena dia pasti yang paling terluka," ucap Raka menatap Pak Rahman yang mengangguk membenarkan.
"Saya juga ke sini bermaksud untuk melanjutkan perjodohan ini. Maksudnya saya melamar putri pak Rahman untuk menjadi pendamping hidup saya," ucapnya membuat kedua orang tua Kafizah terkejut dan saling adu pandang.
Sementara Kafizah tidak sengaja menyenggol sesuatu karena terkejut.
Bersambung...
"Kafizah ...!" pekik Bu Marni sambil berlari ke arah suara barang yang terjatuh. Raka juga berdiri hendak menyusul, tetapi Pak Rahman langsung mencegah hingga pria tersebut kembali duduk di tempat semula. "Kamu tunggu dulu di sini, Nak. Saya lihat putri saya dulu." Pak Rahman segera beranjak dari duduknya dan melihat sang istri kewalahan memapah Kafizah. Pria paruh baya itu segera membantu sang anak untuk sampai di tempat tidur. Raka diam-diam berdiri di balik sekat pemisah antara ruang tamu dengan ruang tengah. "Nak Raka kemari untuk melamarmu, Nak," ungkap sang bapak membuat gadis bermata bulat tersebut memalingkan wajah. "Tolak saja, Pak!" sela Kafizah. "Apa kamu tidak mau memikirkannya lagi, Nak? Minimal dua tiga hari atau bahkan seminggu untuk kamu mempertimbangkan kembali," usul sang bapak membuat Kafizah mendongak dan memejamkan mata. Gadis itu masih mengingat dengan jelas bagaimana ekspresi pria bermata elang itu saat pertama kali melihatnya, lalu menolaknya, kemudian me
"Bagaimana? Sudah kamu temui gadis itu dan melakukan apa yang Mama suruh?" tanya bu Liana pada putranya saat sarapan pagi. "Sudah, Ma," sahutnya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat ayahnya. Jangan sampai sang ayah mendengar omelan sang istri pagi-pagi karena kesalahan dirinya. "Terus?" tanya sang ibu penasaran. "Maksudnya?" Raka malah bertanya balik. "Kamu dimaafkan gak? Tongkatnya sudah kamu ganti?" "Sayangnya enggak," jawabnya cengengesan. "Belum, Mama. Belum sempat." "Kok, belum, sih. Usahain dong buat ganti. Uang buat beli tongkat kan gak seberapa buatmu, Nak." "Iyya, nanti Raka beli, Ma." "Satu lagi ... wajar kalau dia gak mau maafin kamu, karena kamu itu egois, ngegas sama dia yang udah baik mau nolongin Mama. Jadi kamu harus minta maaf lagi sama dia sampai dia maafkan!" titah sang Ibu. "Iyya, Ma. Nanti Raka temui dia lagi," balas Raka segera menghabiskan roti bakar selai coklat miliknya lalu pamit pada ibunya tanpa pamit pada sang ayah yang belum muncul ba
"Kamu ..? kamu siapa berani-beraninya ikut campur urusanku dengan sepupuku," bentak Azura sambil menunjuk Raka yang berdiri tak jauh dari Kafizah. "Saya temannya," jawab Raka asal, membuat Kafizah memutar bola mata malas. Kafizah pun sadar kalau Raka memang tidak benar-benar ingin melamarnya. Jika Raka memang ada perasaan padanya, maka dia akan bilang dengan tegas pada Azura kalau dia adalah calon istrinya. "Apa-apa sih, Kafizah, kamu hanya gadis cacat," bisik Kafizah dalam hati sambil geleng-geleng. Raka tidak memiliki keberanian untuk mengatakan kalau Kafizah calon istrinya di depan sepupu Kafizah yang angkuh karena dia takut ditolak di tempat dan akan membuatnya malu tujuh turunan. Apalagi di depan banyak para pelanggan. Bisa-bisa jatuh tingkat kesombongannya kalau dia ditolak di depan umum oleh gadis cacat. Sementara Salsa yang mendengar ucapan Raka juga ikut geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, kemarin dia datang mengaku-ngaku sebagai calon suami bosnya dan sekarang dia
Setelah pulang dari toko, Kafizah mendapati motor pamannya terparkir di depan rumahnya. Samar-samar ia mendengar suara Reni--istri paman Rahim, "Kami gak mau tahu ya, kalian harus bantu biaya resepsi pernikahan Azura. Dia itu keponakan kalian, jadi sudah sepantasnya kalian mengulurkan dana untuknya!" Kafizah dan Salsa yang hendak masuk langsung berdiri mematung di teras rumah mendengar ucapan tantenya yang lebih mendominasi. "Kami bukannya tidak mau membantu, Ren, Him, tapi kami juga gak punya uang sebanyak itu. Kalau pun kami ada uang segitu, lebih baik uangnya dipakai untuk biaya berobat kaki Kafizah," balas ibunya Kafizah membuat Reni seperti kebakaran jenggot. "Buat apa kalian hambur-hamburkan uang untuk anak cacatmu itu, gak ada gunanya. Toh, dia gak akan laku-laku juga. Jadi biarkan saja dia seperti itu sampai ajal menjemputnya," ocehan Bu Reni membuat Bu Marni naik pitam. "Jaga ucapanmu, Ren! Selama ini saya diam setiap kamu dan anakmu menghina putriku, tapi sekarang tidak
"Jadi ini toko bunga milik calon menantu Mama?" tanya Bu Liana saat berada di depan bangunan kokoh di tepi jalan raya dengan aneka macam bunga-bunga tersusun rapi. Baik bunga hidup maupun bunga hias atau plastik.Pengunjung bebas memilih bunga apa yang mereka sukai."Iya, Ma," sahut Raka saat berdiri di samping mamanya.Hari ini, Bu Liana memaksa Raka untuk membawanya ke toko milik Kafizah, karena ingin berterima kasih sekaligus meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi di tempat wisata waktu itu."Hebat sih ... tokonya juga terlihat sangat ramai pembeli." Bu Liana tampak berdecak kagum sambil melangkah dengan anggun mencari sosok gadis yang pernah menolongnya.Wanita paruh baya yang tengah menenteng tas miliknya itu langsung memandang satu persatu wajah orang-orang yang ada di sana.Hingga tatapannya tertuju pada seorang gadis yang tengah sibuk melayani
"Apa? Kafizah dibawa ke rumah sakit?" pekik Bu Marni saat menerima sambungan telepon dari Salsa."Iya, Tante," jawab Salsa sedikit gugup."Siapa yang bawa?" tanya Bu Marni memelankan suaranya."I-itu siapa namanya aduh." Salsa menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan berusaha mengingat nama pemuda yang membawa Kafizah. "Namanya Raka dan ibunya Bu Liana.""Kafizah kenapa tiba-tiba sakit, Sa? Apanya yang sakit?" Bu Marni masih memberondong Salsa dengan berbagi pertanyaan."Salsa gak ngerti, Bu. Bu Marni langsung saja ke rumah sakit!" titah Salsa pura-pura tidak tahu tentang penyakit Kafizah. Padahal dia sudah tahu, hanya saja ia tidak berani memberitahu karena ia sudah dipaksa oleh Kafizah untuk tutup mulut agar orangtuanya tidak tahu tentang Kakinya yang semakin parah."Baiklah, Sa. Ibu akan segera menyusul ke rumah sakit," kata Bu Marni sambil menutup ponselnya, membuat Salsa membuang napas pelan.Di rumah Pak Rahim Bu Marni langsung
"Dok! Beri aku waktu kurang lebih dua Minggu!" ucap Kafizah memohon pada Dokter yang usianya tidak beda jauh dengan ibunya."Aku akan mengumpulkan biayanya sampai waktu yang kuminta," ujar Kafizah lagi.Wanita paruh baya tersebut menarik napas dalam dan mendekat ke arah Kafizah. "Baiklah! Tapi hanya dua Minggu, jika lebih dari itu ... kami tidak bisa memprediksi kemungkinan yang akan terjadi.""Apa saja yang bisa terjadi, Dok?" tanya Bu Liana menatap dokter dengan serius."Kemungkinan terbesar, infeksi yang disebabkan oleh kuman berbahaya bisa menyerang setiap jaringan yang ada dalam tubuhnya," balas sang dokter sambil menatap Bu Liana lalu beralih ke Kafizah.Raka yang masih berdiri di balik tirai hanya bisa menyimak dan memejamkan mata tanpa bisa berbuat apa-apa.Tetap nekat, maka dia harus siap dibenci gadis itu seumur hidupnya dan tiba-tiba ancaman gadis itu membuat nyalinya menciut."Saya akan siapkan dananya sebelum waktu
Setelah beberapa hari berlalu di suatu pagi. "Kafizah!" panggil Pak Rahman dari luar kamar putrinya sambil mengetuk pintu kamar. "Iya, Pak?" sahut gadis itu. "Sudah siap belum?" tanya sang bapak sambil menatap jam yang tergantung di dinding rumah yang sudah menunjuk jam delapan pagi. "Sebentar lagi selesai, Pak," sahut Kafizah dari dalam kamar sambil merapikan kembali jilbabnya, lalu memasang pin bros di jilbabnya. Pak Rahman kembali duduk di kursi ruang tamunya sambil menunggu putri tercintanya bersiap-siap. Hari ini adalah hari pernikahan Azura yang akan mereka hadiri. Bu Marni sudah berangkat lebih dulu karena selalu sibuk membantu memasak di dapur. Meski Bu Reni sering berbicara kelewat pedas padanya, tetap saja dia tidak tega jika tidak membantu tenaga di acara keponakannya. Kafizah sebenarnya tidak ingin hadir di acara tersebut karena sudah diwanti-wanti oleh sepupunya agar tidak menampakkan wajah di hari bahagianya. Akan tetapi, ia harus membawa karangan bunga untuk Azur