Share

5. Lamaran

"Asal kamu tahu, ya Raka. Mama itu habis dicopet---"

"Apa? Mama dicopet sama gadis itu," pekiknya langsung menuduh Kafizah.

"Enggaklah. Kamu salah paham," jawab ibunya menahan kesal.

"Gadis itu malah menolong Mama dari pencopet yang sudah merampas tas Mama. Saat orang itu merampas gelang Mama, pisau yang orang itu pakai buat mengancam kena ke tangan Mama," ucap Bu Liana menjelaskan panjang lebar duduk perkaranya.

"Jadi mama kecopetan?" tanya Raka terkejut 

"Iya."

"Dan gadis itu menolong Mama?" tanyanya lagi dan langsung membekap mulutnya.

"Iya," jawab Bu Liana dengan kesal dan meraih kain baju milik Kafizah untuk dibungkuskan ke lukanya agar darah berhenti mengalir.

"Asal kamu tahu, gadis itu sangat berani menolong Mama padahal dia sendiri susah berjalan bahkan dia menggunakan tongkatnya untuk memukul pencop*t itu." Bu Liana menunjuk tongkat Kafizah yang berserakan di tanah.

Raka menatap nanar tongkat milik gadis yang ia usir dan maki-maki sekarang sudah patah dan tak berbentuk.

Pantas dia berjalan tidak memakai tongkat, bisik Raka dalam hati.

"Bahkan gadis itu juga merobek baju gamisnya demi menutup luka di lengan Mama."

Raka langsung menatap lengan ibunya yang terbungkus dengan kain yang warna dan coraknya sama dengan baju yang dikenakan Kafizah.

"Kenapa Mama tidak jelaskan dari tadi, sih," omelnya sambil menyugar rambutnya dengan kasar.

"Mama sudah mau jelaskan, tapi kamu selalu memotong penjelasan Mama. Bahkan kamu ngotot pula saat gadis itu mau menjelaskan," balas ibunya tidak mau kalah.

"Mama gak mau tahu ya, sekarang kamu cari gadis itu dan minta maaf sama dia. Kamu harus ganti tongkat miliknya karena itu pasti sangat berguna untuknya."

Bu Liana berusaha berdiri dengan dibantu Raka.

"Mama akan menemui ayahmu dan tugasmu sekarang cari gadis itu sampai dapat!" titah Ibu negara tidak boleh diganggu gugat.

"Oke, Raka akan cari gadis itu. Tapi Mama harus janji satu hal sama aku!" ucap Raka membuat kesepakatan dengan ibunya.

"Janji? Apa itu?"

"Jangan bilang masalah ini sama Ayah!"

Bu Liana menautkan ke dua alisnya karena bingung 

"Kenapa? Kalau ayahmu bertanya kenapa Mama terluka, ya ... terpaksa Mama jelaskan semuanya dengan sejelas-jelasnya sampai kelakuanmu yang sok sekali itu," balas ibunya malah menantang membuat Raka memijat pelipisnya karena pusing, sekaligus takut jika ayahnya tahu kalau gadis yang ibunya maksud adalah Nurul Kafizah gadis cacat yang dijodohkan dengannya.

"Raka mohon, Ma. Jangan bilang ke Ayah ya, please!" mohonnya sekali lagi membuat Bu Liana membuang napas berat.

"Kali ini saja, Ma. Raka janji akan mencari gadis itu dan meminta maaf!" ucapan Raka kembali membuang Bu Liana menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan-lahan.

"Oke, tapi cepat kejar gadis itu sebelum kamu terlambat!" pintanya.

Raka mengangguk lalu berlari menuju arah Kafizah berjalan tadi. Akan tetapi ia kebingungan saat ada dua jalan antara ke kanan dan ke kiri.

Ia ke kiri tapi tak menemukan Kafizah. Pria itu kembali dan mengambil jalur kanan dan terus berputar sambil mencari Kafizah yang saat itu sudah jauh.

Saat Raka sampai di tempat Kafizah dan Salsa menggelar karpet, di sana sudah kosong.

Raka langsung bertanya pada orang yang lewat dan yang ada disekitar situ.

"Maaf, numpang tanya. Apa kalian melihat di sekitaran sini ada seorang gadis yang berjalan sambil memakai tongkat atau jalannya pincang saat tidak memakai tongkat?" tanya Raka membuat orang menganga dan kebingungan.

"Pakai tongkat atau enggak sih, Bang?" tanya orang itu.

"Awalnya pakai tongkat, tapi baru saja dia tidak memakai tongkat. Mana tahu kalian melihatnya?"

"Oh ... iya, aku lihat. Tadi orangnya gelar karpet di situ," celetuk seseorang sambil menunjuk tempat Kafizah bersantai tadi.

"Di sini." Raka melangkah ke tempat yang ditunjuk.

"Iya. Tapi orangnya sudah pergi baru saja," balas orang itu lagi membuat Raka terdiam beberapa saat.

"Oke, terima kasih." Pria itu mengatupkan tangan lalu menatap rumput yang memang seperti bekas ditindis karpet.

Raka mengamati dengan cermat dan ia menyentuh rerumputan yang terdapat darah segar melekat di sana.

"Darah," ucapnya sambil menatap darah itu.

"Apa kakinya berdarah?" tanyanya pada diri sendiri yang langsung diselimuti rasa penyesalan yang tiada terkira.

"Astaga! Sepertinya kakinya terluka," Raka menyugar rambutnya frustrasi.

"Aku sudah salah dan keliru padanya. Kata-kataku juga terlalu kejam. Mungkin dia sangat terluka hati dan perasaannya karena ulahku." Raka mondar-mandir di tempat itu.

Pria itu bingung harus melakukan apa. Sementara Kafizah sudah pergi dari tempat itu.

Jika Raka meminta maaf, kira-kira dia akan semudah itu dimaafkan oleh gadis yang ia sebut-sebut cacat?

Raka kembali menemui orang tuannya yang sudah mengemasi barang-barang dan bersiap untuk pulang.

"Apa kamu sudah menemuinya?" tanya sang ibu menatap penuh selidik.

"Belum, Ma," bisiknya sambil menaruh jari telunjuk di bibirnya sambil memberi kode dengan melirik sang ayah yang sedang sibuk.

"Kok, belum? Kamu 'kan sudah janji sama Mama," ucap Bu Liana dengan suara melengking membuat sang suami langsung menoleh.

"Kenapa, Ma? Raka janji apa sama Mama?" tanya Pak Jufri yang penasaran dengan topik pembahasan antara sang istri dan putranya.

"Eh ... enggak janji apa-apa, kok, Yah. Ini Mama lagi minta dibeliin kue di ujung sana, tapi pas Raka ke sana sudah gak ada," kilahnya sambil menunjuk ke ujung jalan.

"Benar begitu, Ma?" tanya pak Jufri yang kurang percaya dengan ucapan sang anak.

Raka berusaha memberi isyarat pada sang ibu agar mau mendukung kebohongannya kali ini, tetapi bu Liana malah menatap putranya dengan mata memicing

***

"Gimana jalan-jalannya tadi?" tanya Bu Marni pada putrinya yang sejak pulang memilih diam di kamar dan membungkus dirinya dengan selimut.

"Lumayan seru, Bu. Sayangnya Ibu gak ikutan," jawab Kafizah mencoba menyembunyikan kakinya yang berdenyut nyeri.

"Pemandangannya indah dan tempatnya juga rame banget, Bu. Perasaanku juga agak lebih baik dari sebelumnya," jawabnya lagi

"Syukurlah kalau kamu udah lebih tenang dari kemarin-kemarin." Bu Marni membuang napas berat.

Kafizah juga berusaha menahan diri agar tidak meringis karena kakinya tiba-tiba seperti ditusuk dari dalam.

Dia sempat memeriksa kakinya di klinik tadi dan akibat pergerakan yang dipaksakan, tulang kakinya mendadak bereaksi tidak wajar dan tiba-tiba darah menetes sejak tadi.

Darahnya sudah berhenti karena diobati di klinik dan sudah diperban. Akan tetapi obat itu tidak bisa bertahan lama.

Dokter menyarankan agar kakinya segera diamputasi karena sudah terinfeksi kuman berbahaya. Semua itu demi keselamatan jiwanya dari penyakit mematikan.

Kafizah memejamkan mata mengingat ucapan dokter padanya. Gadis itu belum punya cukup keberanian untuk mengatakan hal sebenar pada kedua orangtuanya.

Takut kabar itu membuat bapak dan ibunya semakin sedih, cemas dan semakin terbebani.

Terbebani karena biaya operasi sudah pasti tidak main-main nominalnya.

"Ibu ke sini mau sampaikan sesuatu sama kamu, Nak," ucap Bu Marni akhirnya.

"Apa itu, Bu? Ayo katakan." Kafizah meraih tangan sang Ibu dan menatap netra yang tampak kelelahan itu.

"Di luar ada Nak Raka yang sedang mengobrol dengan bapakmu," ucap ibunya.

Kafizah menautkan kedua alisnya. "Untuk apa dia ke sini, Bu?"

"Katanya Nak Raka mau bertemu denganmu."

"Suruh saja dia pulang, Bu. Kafizah tidak mau bertemu dengannya!" Kafizah merebahkan dirinya di tempat tidur.

"Temuilah sebentar saja! Kasihan, dia datang sendiri malam-malam begini!"

Kafizah tidak menghiraukan ucapan sang ibu. Dia memilih membelakangi ibunya.

Bu Marni menghela napas berat lalu berdiri dan menemui Raka yang sedang duduk dengan sangat cemas di ruang tamu bersama Pak Rahman.

Kafizah diam-diam keluar kamar dan menguping pembicaraan Raka dan bapaknya.

"Saya ke sini sebenarnya mau meminta maaf atas sikapku yang waktu itu dan harusnya aku juga meminta maaf secara langsung sama putri Pak Rahman karena dia pasti yang paling terluka," ucap Raka menatap Pak Rahman yang mengangguk membenarkan.

"Saya juga ke sini bermaksud untuk melanjutkan perjodohan ini. Maksudnya saya melamar putri pak Rahman untuk menjadi pendamping hidup saya," ucapnya membuat kedua orang tua Kafizah terkejut dan saling adu pandang.

Sementara Kafizah tidak sengaja menyenggol sesuatu karena terkejut.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status