"Bagaimana? Sudah kamu temui gadis itu dan melakukan apa yang Mama suruh?" tanya bu Liana pada putranya saat sarapan pagi.
"Sudah, Ma," sahutnya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat ayahnya. Jangan sampai sang ayah mendengar omelan sang istri pagi-pagi karena kesalahan dirinya.
"Terus?" tanya sang ibu penasaran.
"Maksudnya?" Raka malah bertanya balik.
"Kamu dimaafkan gak? Tongkatnya sudah kamu ganti?"
"Sayangnya enggak," jawabnya cengengesan. "Belum, Mama. Belum sempat."
"Kok, belum, sih. Usahain dong buat ganti. Uang buat beli tongkat kan gak seberapa buatmu, Nak."
"Iyya, nanti Raka beli, Ma."
"Satu lagi ... wajar kalau dia gak mau maafin kamu, karena kamu itu egois, ngegas sama dia yang udah baik mau nolongin Mama. Jadi kamu harus minta maaf lagi sama dia sampai dia maafkan!" titah sang Ibu.
"Iyya, Ma. Nanti Raka temui dia lagi," balas Raka segera menghabiskan roti bakar selai coklat miliknya lalu pamit pada ibunya tanpa pamit pada sang ayah yang belum muncul batang hidungnya.
Sekarang Raka mengambil alih kerjaan ayahnya di perusahaan otomotif, sedangkan Pak Jufri mengelola usaha lain sehingga kekayaannya tidak akan habis sampai tujuh turunan delapan tanjakan.
***Siang harinya, Raka keluar dari kantor dan langsung memesan dua kotak nasi untuk dia berikan ke Kafizah sebagai permintaan maafnya.
Tak lupa juga, pria itu membeli tongkat baru untuk mengganti tongkat gadis itu yang telah patah. Tentu saja ia membeli langsung di tempat yang harganya lumayan.
Setelah sampai di toko bunga milik Nurul Kafizah, pria itu gegas turun dan membawa barangnya masuk ke dalam toko.
Sayangnya, gadis yang ia cari tidak ada di sana. Hanya Salsa yang sedang sibuk menata bunga dan merapikan susunan bunga.
"Selamat datang di toko bunga yang menyediakan aneka macam bunga. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Salsa ramah pada setiap pengunjung.
"Saya mau ketemu sama bosmu," balasnya dengan sedikit angkuh.
"Bos? Kak Nurul?"
"Iya, siapa lagi. Memangnya berapa bos di toko ini?" tanyanya sambil menatap ke semua penjuru ruangan, tetapi perempuan yang ia cari tak juga tampak bulu mata lentiknya.
"Hehehe." Salsa cengengesan. "Sayangnya, Kak Nurul hari ini gak datang ke toko."
"Kenapa?"
"Maaf ya, Pak. Itu privasinya Kak Nurul dan gak boleh sembarangan ngasih info sama orang tidak dikenal," balas Salsa mengatupkan tangan di depan dada.
"Saya kenal sama dia," balas Raka tidak mau kalah.
Salsa menatap pria yang ada di hadapannya dengan penuh selidik. "Semua orang yang pernah pesan bunga di sini pasti kenal dia, Pak. Setahu saya anda pernah pesan bunga di sini dan sempat berdebat sama Kak Nurul kan?"
Raka menjadi salah tingkah dengan ucapan Salsa barusan.
"Tapi saya harus tahu kenapa dia gak ke toko.'
"Situ siapanya Kak Nurul, kok, maksa banget?"
"Saya calon suaminya," ucap Raka cepat membuat Salsa melebarkan mata dan menutup mulutnya yang menganga lebar.
"Anda jangan bercanda, Pak! Gak lucu," cetus Salsa mendelik.
"Saya serius calon suaminya," balas Raka sambil menyerahkan tongkat ke hadapan Salsa. "Kalau kamu gak percaya, silakan tanya bosmu langsung, sekalian aku titip tongkat dan makanan ini untuknya."
"Oke, Terima kasih," ujar Salsa yang langsung menerima tongkat itu karena Kafizah memang membutuhkannya.
"Sampaikan juga permintaan maafku padanya!"
Raka segera berlalu dari tempat itu, meski sempat menoleh ke arah toko karena perasaannya seperti ada yang menarik agar ia terus menoleh.
Berdiri sejenak menatap toko, gadis yang ia harapkan muncul pun tidak juga muncul. Hingga ia pun meninggalkan tempat itu menggunakan kendaraan roda empatnya.
Entah kenapa, belakangan ini pikirannya terpatri pada gadis cacat itu.
Setelah kepergian Raka. Salsa langsung menemui Kafizah yang bersembunyi di ruangannya.
"Kak Nui! Pria itu ke sini mau bawa ini." Salsa memperlihatkan tongkat dan kantong plastik yang berisikan nasi kotak.
"Kembalikan saja lagi pada orangnya!" titahnya.
"Pria itu sudah pergi, Kak," ujar Salsa membuat Kafizah mengembuskan napas kasar.
Gadis itu merasa bingung antara menolak atau menerima pemberian Raka. Jika ia menerimanya, maka pria itu akan besar kepala dan makin menganggapnya gampangan.
Jika ia menolak, maka barang itu akan tidak berguna dan menjadi sia-sia karena sudah terlanjur dibeli.
Padahal dia butuh tongkat itu untuk menopang bobot tubuhnya karena tidak ingin terus merepotkan Salsa, ibu dan bapaknya yang terus memapah tubuhnya saat ingin ke mana-mana.
"Tongkatmu ke mana, Nak?" tanya ibunya semalam.
Kafizah terpaksa jujur soal tongkat itu patah karena memukul pencopet yang hendak merampas barang ibu-ibu.
Sang ibu hanya bisa menghela napas panjang saat itu.
Kafizah pun memutuskan menerima tongkat itu demi kebaikan dirinya juga. Gadis itu gak mau egois.
***Malam harinya, Bu Liana mendatangi kamar putranya untuk menanyakan lagi pertanyaan yang sama pada Raka. Namun, ia mendapati Raka sedang salat hingga menatap putranya dengan terheran-heran."Salat apa barusan?" tanya Bu Liana saat Raka selesai berdoa.
"Salat istikharah," jawabnya sambil melipat sajadah.
"Apa Mama gak salah denger eh ... lihat?"
"Emang kenapa, Ma? Ada yang salah?"
"Aneh aja. Soalnya Mama gak pernah liat kamu solat, sekali solat eh ... salat istikharah. Emangnya sudah ada calonnya?" tanya ibunya dengan penuh selidik.
"Ada."
"Siapa?" tanya ibunya penasaran.
"Tanya saja sama Ayah?"
"Oh ... gadis yang pernah ayahmu ceritakan ke Mama dan kamu menolaknya?"
"Itu tahu."
"Ya udah, deh. Semoga segera dapat jawaban yang tepat. Saran Mama sih, jangan terlalu tinggi standarmu sama perempuan."
"Satu lagi! Jangan hanya solat istikharah saja. Salat wajib lima waktu juga jangan kamu tinggalkan!"
***"Makin rame aja ya pengunjung ke toko ini," celetuk Azura--sepupu Kafizah. Gadis yang mengenakan dress dia atas lutut itu menatap satu persatu pelanggan yang sedang memesan buket bunga.
"Alhamdulillah lumayan, Ra," balas Kafizah yang duduk di kursi kasir.
"Kamu beruntung, sih, kalau soal berbisnis. Tapi sayangnya kamu kurang beruntung soal nasib." Azura menatap sinis kakak sepupunya.
"Maksud kamu apa, Ra?"
"Pura-pura polos lagi. Kamu gak sadar kalau kamu itu gak laku-laku karena kondisi kamu yang cacat itu," ejeknya sembari tangan dilipat di dada.
"Belum saatnya aku bertemu dengan pria yang tepat yang mau menerima aku apa adanya," jawab Kafizah berusaha optimis.
"Sampai kapan? Sampai tahun monyet sekalipun, kamu gak akan ketemu sama pria yang seperti itu. Sekarang jaman udah berubah, semua orang hanya melihat dari fisik doang." Azura memutar bola mata malas.
"Kamu ada perlu apa ke sini?" tanya Kafizah mengalihkan bahasan.
"Aku mau pesan bunga buat acara pernikahanku nanti dan aku juga mau kamu siapkan beberapa bunga mawar untuk di hias di kamarku," kata Azura menjelaskan.
"Satu lagi! Kamu gak usah hadir ke acara pernikahanku ya! Soalnya aku gak mau keluarga calon suamiku melihat kalau ada keluargaku yang cacat sepertimu." Azura menunjuk Kafizah dengan jijik.
"Apa salahnya kalau aku datang untuk mengucap selamat dan memberikan doa kepada kalian," balas Kafizah dengan mata berkaca-kaca, tetapi ia tahan demi terlihat kuat di hadapan sepupunya.
"Aku gak perlu selamat dan doa darimu. Kalaupun kamu mau, silakan doakan lewat jarak jauh saja!"
"Kenapa kamu bicara seperti itu, Ra? Aku ini sepupumu."
"Aku tau kamu sepupuku dan aku malu punya sepupu cacat sepertimu. Jangankan aku, keluarga yang lain juga malu mengakui kamu."
"Kita beda Kafizah! Aku cantik dan beruntung, sedangkan kamu cacat dan kurang beruntung karena selalu ditolak oleh lelaki. Sementara aku ... semua lelaki berlomba untuk mendapatkan cintaku," ucap Azura dengan bangganya.
"Bunga yang aku pesan tadi gratisin aja, ya! Anggap saja sebagai hadiah di hari pernikahan sepupumu ini." Azura melambaikan tangan hendak pergi, tetapi langkahnya terhenti saat seorang pria menyindirnya.
"Kalau kamu masih butuh bantuan orang lain, setidaknya jangan gunakan mulutmu untuk merendahkan orang lain," ucap Raka membuat wajah Azura langsung merah padam.
Bersambung...
"Kamu ..? kamu siapa berani-beraninya ikut campur urusanku dengan sepupuku," bentak Azura sambil menunjuk Raka yang berdiri tak jauh dari Kafizah. "Saya temannya," jawab Raka asal, membuat Kafizah memutar bola mata malas. Kafizah pun sadar kalau Raka memang tidak benar-benar ingin melamarnya. Jika Raka memang ada perasaan padanya, maka dia akan bilang dengan tegas pada Azura kalau dia adalah calon istrinya. "Apa-apa sih, Kafizah, kamu hanya gadis cacat," bisik Kafizah dalam hati sambil geleng-geleng. Raka tidak memiliki keberanian untuk mengatakan kalau Kafizah calon istrinya di depan sepupu Kafizah yang angkuh karena dia takut ditolak di tempat dan akan membuatnya malu tujuh turunan. Apalagi di depan banyak para pelanggan. Bisa-bisa jatuh tingkat kesombongannya kalau dia ditolak di depan umum oleh gadis cacat. Sementara Salsa yang mendengar ucapan Raka juga ikut geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, kemarin dia datang mengaku-ngaku sebagai calon suami bosnya dan sekarang dia
Setelah pulang dari toko, Kafizah mendapati motor pamannya terparkir di depan rumahnya. Samar-samar ia mendengar suara Reni--istri paman Rahim, "Kami gak mau tahu ya, kalian harus bantu biaya resepsi pernikahan Azura. Dia itu keponakan kalian, jadi sudah sepantasnya kalian mengulurkan dana untuknya!" Kafizah dan Salsa yang hendak masuk langsung berdiri mematung di teras rumah mendengar ucapan tantenya yang lebih mendominasi. "Kami bukannya tidak mau membantu, Ren, Him, tapi kami juga gak punya uang sebanyak itu. Kalau pun kami ada uang segitu, lebih baik uangnya dipakai untuk biaya berobat kaki Kafizah," balas ibunya Kafizah membuat Reni seperti kebakaran jenggot. "Buat apa kalian hambur-hamburkan uang untuk anak cacatmu itu, gak ada gunanya. Toh, dia gak akan laku-laku juga. Jadi biarkan saja dia seperti itu sampai ajal menjemputnya," ocehan Bu Reni membuat Bu Marni naik pitam. "Jaga ucapanmu, Ren! Selama ini saya diam setiap kamu dan anakmu menghina putriku, tapi sekarang tidak
"Jadi ini toko bunga milik calon menantu Mama?" tanya Bu Liana saat berada di depan bangunan kokoh di tepi jalan raya dengan aneka macam bunga-bunga tersusun rapi. Baik bunga hidup maupun bunga hias atau plastik.Pengunjung bebas memilih bunga apa yang mereka sukai."Iya, Ma," sahut Raka saat berdiri di samping mamanya.Hari ini, Bu Liana memaksa Raka untuk membawanya ke toko milik Kafizah, karena ingin berterima kasih sekaligus meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi di tempat wisata waktu itu."Hebat sih ... tokonya juga terlihat sangat ramai pembeli." Bu Liana tampak berdecak kagum sambil melangkah dengan anggun mencari sosok gadis yang pernah menolongnya.Wanita paruh baya yang tengah menenteng tas miliknya itu langsung memandang satu persatu wajah orang-orang yang ada di sana.Hingga tatapannya tertuju pada seorang gadis yang tengah sibuk melayani
"Apa? Kafizah dibawa ke rumah sakit?" pekik Bu Marni saat menerima sambungan telepon dari Salsa."Iya, Tante," jawab Salsa sedikit gugup."Siapa yang bawa?" tanya Bu Marni memelankan suaranya."I-itu siapa namanya aduh." Salsa menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan berusaha mengingat nama pemuda yang membawa Kafizah. "Namanya Raka dan ibunya Bu Liana.""Kafizah kenapa tiba-tiba sakit, Sa? Apanya yang sakit?" Bu Marni masih memberondong Salsa dengan berbagi pertanyaan."Salsa gak ngerti, Bu. Bu Marni langsung saja ke rumah sakit!" titah Salsa pura-pura tidak tahu tentang penyakit Kafizah. Padahal dia sudah tahu, hanya saja ia tidak berani memberitahu karena ia sudah dipaksa oleh Kafizah untuk tutup mulut agar orangtuanya tidak tahu tentang Kakinya yang semakin parah."Baiklah, Sa. Ibu akan segera menyusul ke rumah sakit," kata Bu Marni sambil menutup ponselnya, membuat Salsa membuang napas pelan.Di rumah Pak Rahim Bu Marni langsung
"Dok! Beri aku waktu kurang lebih dua Minggu!" ucap Kafizah memohon pada Dokter yang usianya tidak beda jauh dengan ibunya."Aku akan mengumpulkan biayanya sampai waktu yang kuminta," ujar Kafizah lagi.Wanita paruh baya tersebut menarik napas dalam dan mendekat ke arah Kafizah. "Baiklah! Tapi hanya dua Minggu, jika lebih dari itu ... kami tidak bisa memprediksi kemungkinan yang akan terjadi.""Apa saja yang bisa terjadi, Dok?" tanya Bu Liana menatap dokter dengan serius."Kemungkinan terbesar, infeksi yang disebabkan oleh kuman berbahaya bisa menyerang setiap jaringan yang ada dalam tubuhnya," balas sang dokter sambil menatap Bu Liana lalu beralih ke Kafizah.Raka yang masih berdiri di balik tirai hanya bisa menyimak dan memejamkan mata tanpa bisa berbuat apa-apa.Tetap nekat, maka dia harus siap dibenci gadis itu seumur hidupnya dan tiba-tiba ancaman gadis itu membuat nyalinya menciut."Saya akan siapkan dananya sebelum waktu
Setelah beberapa hari berlalu di suatu pagi. "Kafizah!" panggil Pak Rahman dari luar kamar putrinya sambil mengetuk pintu kamar. "Iya, Pak?" sahut gadis itu. "Sudah siap belum?" tanya sang bapak sambil menatap jam yang tergantung di dinding rumah yang sudah menunjuk jam delapan pagi. "Sebentar lagi selesai, Pak," sahut Kafizah dari dalam kamar sambil merapikan kembali jilbabnya, lalu memasang pin bros di jilbabnya. Pak Rahman kembali duduk di kursi ruang tamunya sambil menunggu putri tercintanya bersiap-siap. Hari ini adalah hari pernikahan Azura yang akan mereka hadiri. Bu Marni sudah berangkat lebih dulu karena selalu sibuk membantu memasak di dapur. Meski Bu Reni sering berbicara kelewat pedas padanya, tetap saja dia tidak tega jika tidak membantu tenaga di acara keponakannya. Kafizah sebenarnya tidak ingin hadir di acara tersebut karena sudah diwanti-wanti oleh sepupunya agar tidak menampakkan wajah di hari bahagianya. Akan tetapi, ia harus membawa karangan bunga untuk Azur
"Fizah ...!" pekik Bu Marni dan Pak Rahman bersamaan saat Ayuna terang-terangan mendorong kasar sepupunya.Kedua orang tua Kafizah kaget melihat perlakuan kasar sang ponakan.Akan tetapi, kehadiran Raka yang tiba-tiba menahan tubuh Kafizah membuat Bu Marni dan Pak Rahman menghela napas lega karena melihat putrinya tidak jadi jatuh tersungkur.Jika orang tua Kafizah tampak lega, beda lagi dengan tatapan orang-orang terutama cewek-cewek yang mencibir Kafizah seketika memandang iri kala melihat tubuh Kafizah di rengkuh oleh pria tampan pemilik rahang tegas dengan tampilan yang sempurna dengan tubuh yang dibalut tuxedo hitam dan kacamata yang setia bertengger di hidup mancungnya.Azura dan Ayuna mencebik dengan kesal.Sementara Niko--suami Azura mendadak panik saat melihat Raka hadir di resepsi pernikahannya."Kok, Bos gue bisa dateng ke sini, sih," gumam Niko lirih dan pias, tetapi masih terdengar jelas di telinga Azura."Hah, Bos? K
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Niko membuka surat tersebut dan membaca di dalam hati.Setelah mengetahui tulisan apa dia segera melipat kertas itu agar, Azura tidak ikut membacanya."Pak Raka! Tolong kasi saya kesempatan untuk menjelaskan semuanya," ucapnya penuh permohonan."Ayo jelaskan sekarang juga!" Raka menantang Niko.“Tapi jangan di sini, Pak,” elak Niko sambil melirik istrinya.