"Kafizah ...!" pekik Bu Marni sambil berlari ke arah suara barang yang terjatuh.
Raka juga berdiri hendak menyusul, tetapi Pak Rahman langsung mencegah hingga pria tersebut kembali duduk di tempat semula.
"Kamu tunggu dulu di sini, Nak. Saya lihat putri saya dulu." Pak Rahman segera beranjak dari duduknya dan melihat sang istri kewalahan memapah Kafizah.
Pria paruh baya itu segera membantu sang anak untuk sampai di tempat tidur. Raka diam-diam berdiri di balik sekat pemisah antara ruang tamu dengan ruang tengah.
"Nak Raka kemari untuk melamarmu, Nak," ungkap sang bapak membuat gadis bermata bulat tersebut memalingkan wajah.
"Tolak saja, Pak!" sela Kafizah.
"Apa kamu tidak mau memikirkannya lagi, Nak? Minimal dua tiga hari atau bahkan seminggu untuk kamu mempertimbangkan kembali," usul sang bapak membuat Kafizah mendongak dan memejamkan mata.
Gadis itu masih mengingat dengan jelas bagaimana ekspresi pria bermata elang itu saat pertama kali melihatnya, lalu menolaknya, kemudian menghinanya.
Kenapa mendadak dia datang dan melamar bahkan seorang diri tanpa ditemani keluarga minimal ayah atau ibunya?
Masih terngiang-ngiang dengan jelas ucapan serta makian pria tersebut setiap kali bertemu dengannya. Bahkan tadi sore dengan pongahnya pria itu mengusir dan memarahi dengan kesalahan yang bukan diperbuat olehnya.
Sungguh miris jika harus menerima pria yang setiap ucapannya bagaikan sembilu yang menusuk sampai ke jantung.
"Untuk apa berpikir lagi, Pak. Sudah jelas waktu itu dia menolak dan menghinaku mentah-mentah. Apa Bapak sudah melupakannya?" Kafizah melayangkan pertanyaan pada bapaknya yang langsung menarik napas berat.
"Bapak masih mengingat dengan jelas, Nak. Akan tetapi, Niat baik tidak boleh disia-siakan," terang Pak Rahman tetap bersikap bijaksana.
"Bapakmu memiliki hati yang tulus, Nak. Makanya dia dengan mudah melupakan dan memaafkan. Karena tidak ada gunanya memendam amarah karena ucapan kasar seseorang," timpal sang ibu yang juga duduk di sisi Kafizah.
"Kafizah tau, Bu. Tapi aku tidak bisa menerima pria yang telah menghinaku. Untuk apa aku menerima jika terpaksa dan berakhir dengan kesia-siaan," balas gadis tersebut membuat Pak Rahman mengangguk paham.
"Baiklah, Nak. Jika itu keputusanmu Bapak tidak bisa memaksa, karena yang akan menjalaninya kan kalian berdua bukan kami." Pak Rahman mengecup pucuk kepala sang anak yang tertutup jilbab.
"Kamu benar. Tidak baik menerima hubungan karena terpaksa. Ternyata putri Bapak sudah sangat dewasa. Semoga kamu juga menemukan seorang pria yang matang dan dewasa, bisa jadi imam yang baik untuk keluarga kecilmu kelak," ujar Pak Rahman dan diaminkan oleh anak dan istrinya.
"Bapak akan menemui Nak Raka terlebih dahulu," ujar Pak Rahman.
Raka yang menguping pembicaraan Kafizah dan keluarganya langsung memejamkan mata dengan sedikit penyesalan.
Dia mengaku salah dan keterlaluan dalam berkata selama ini. Ucapan gadis yang selalu ia hina cacat itu benar-benar memberi tamparan telak untuknya.
Terpaksa? Kata itu memang wajib dipertanyakan padanya dan dasar hatinya.
Apa yang membuatnya nekat datang malam-malam ke rumah gadis yang sempat ia tolak habis-habisan bukan karena ketulusan dan keinginan hati ingin mempersunting.
Melainkan dia tidak punya pilihan lain untuk menebus kesalahannya tadi sore sehingga sang ibu terus mendesaknya untuk mencari dan menemui gadis itu.
Pikirannya sangat dangkal sehingga ia tidak bisa mencerna apa yang terjadi. Seolah ia lupa akan hati yang terluka karena ditorehkan olehnya sendiri.
Usianya sudah matang, tetapi pikirannya belum sematang usianya. Sehingga dipikirannya, setelah meminta maaf, terus melamar maka akan kelar permasalahannya dengan gadis tersebut.
Tanpa berpikir panjang akan dampak yang akan dihasilkan oleh hubungan atas dasar rasa bersalah dan terpaksa.
Hingga ucapan Kafizah membuatnya tersadar dari kesombongannya selama ini. Ia ingin menangis, tetapi seorang pria kadang pantang untuk menangis bukan?
Maka ia hanya mampu memejamkan mata, mengatur napas saat mengingat kilasan peristiwa saat ia menjadikan gadis itu sebagai objek cibirannya.
Ia kembali duduk saat mendengar Pak Rahman hendak keluar kamar putrinya.
"Mohon maaf, Nak Raka. Bapak belum bisa memberi keputusan saat ini mengingat Nak Raka pernah menolak putri Bapak jadi seolah kayak gimana ya," ucap Pak Rahman sulit untuk menolak secara terang-terangan karena takut melukai hati pria tersebut.
Raka mengangguk dan tersenyum. "Saya mengerti, Pak."
Pak Rahman balas mengangguk.
"Pak Rahman benar-benar baik, pantas Ayah ngotot karena sahabatnya memang memiliki sikap yang bijaksana," pujinya dalam hati karena Pak Rahman tidak langsung mengatakan penolakan yang bisa melukai perasaannya seperti apa yang ia lakukan.
"Saya paham dan sadar betul kalau ini kesalahan saya sepenuhnya." Raka menunduk malu.
"Tidak juga, Nak. Kita sama-sama salah karena tidak pernah mempertemukan kalian lebih dulu."
"Apakah aku bisa menunggu sampai Kafizah mau menerima lamaranku?" tanya Raka membuat Pak Rahman mengerutkan kening.
"Maksudnya, Nak Raka memberi kami waktu untuk memberi keputusan?"
"Iya."
"Tapi saya tidak bisa memberi harapan pada Nak Raka untuk hal serius seperti ini," balas Pak Rahman menatap Raka dengan serius.
"Saya siap menunggu sampai ada jawaban yang pasti dari putri anda, Pak."
"Baiklah, Nak. Saya akan meminta putri saya untuk salat istikharah terlebih dahulu," tuturnya.
"Saya sering mendengar istilah salat istikharah saat kita dihadapkan pada dua pilihan. Namun, belum pernah aku amalkan sama sekali. Mungkin saya juga harus melakukannya," kata Raka mengangguk yakin.
Setelah itu, Raka pamit dan berjanji akan datang jika sudah ada keputusan yang jelas dari Kafizah.
Pak Rahman kembali ke kamar Kafizah dah menyampaikan keinginannya pada sang anak untuk salat istikharah terlebih dahulu.
Walau bagaimanapun, Raka adalah anak dari sahabatnya dan tidak etis jika langsung ditolak begitu saja.
Raka yang sudah sampai di rumah mewahnya langsung disambut dengan berbagai pertanyaan oleh ayahnya.
"Dari mana saja kamu?"
"Dari rumah teman Ayah." Raka langsung mendaratkan bokongnya di sofa dengan malas.
"Siapa? Pak Rahman?"
Raka mengangguk pelan.
"Ngapain ke sana malam-malam?"
"Mewujudkan niat baik Ayah," jawabnya.
"Loh, maksudnya?"
"Maksudnya, aku melamar gadis itu sesuai keinginan Ayah."
"Kok, bisa? Bukannya kamu menolak? Aneh ...," selidik sang ayah.
"Ayah tuh, yang aneh. Anak sudah nurut malah kebingungan. Raka ke kamar dulu, mau istirahat." Raka beranjak ke kamarnya.
"Mencurigakan," gumam pak Jupri menatap punggung Raka.
Di dalam kamar, Raka membuka ponsel dan mencari tahu tentang tata cara salat istikharah karena dia gak tau sama sekali.
Jangankan salat istikharah, salat wajib pun ia tidak terlalu tahu karena jarang salat.
Setelah menemukan apa yang ia cari, pria itu langsung mempraktekkannya.
Berharap ada petunjuk dari sang Maha Kuasa.
Ia sendiri tidak yakin dengan perasaannya.Hingga ia terlelap bayangan gadis yang belakangan ini hadir dalam kehidupannya pun terus menari-nari.
Gadis bermata bulat yang cuek dalam menanggapi hinaannya, gadis yang menangis saat ia tuduh telah melukai ibunya pun muncul di alam mimpinya.
Menjelma sebagai seorang gadis dari kayangan, nan cantik jelita dengan binar mata yang indah hingga tatapannya seolah menyentuh kalbu.
Akan tetapi, anehnya. Gadis yang parasnya sama persis dengan Kafizah berdiri dengan anggunnya, lalu berlari-lari mengibarkan selendang sutra miliknya tanpa bantuan tongkatnya sama sekali.
Senyumnya mengembang dengan indah, membuat sesosok pria yang mematung menatapnya langsung jatuh hati. Tanpa sadar selendang gadis itu terbang, lalu terjatuh menutupi wajah sang pria yang langsung memejamkan mata.
Saat Raka membuka matanya ternyata ....
Akankah itu sebuah petunjuk atau hanya sebuah bayangan karena ia selalu dihantui oleh rasa bersalahnya?
Bersambung...
"Bagaimana? Sudah kamu temui gadis itu dan melakukan apa yang Mama suruh?" tanya bu Liana pada putranya saat sarapan pagi. "Sudah, Ma," sahutnya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat ayahnya. Jangan sampai sang ayah mendengar omelan sang istri pagi-pagi karena kesalahan dirinya. "Terus?" tanya sang ibu penasaran. "Maksudnya?" Raka malah bertanya balik. "Kamu dimaafkan gak? Tongkatnya sudah kamu ganti?" "Sayangnya enggak," jawabnya cengengesan. "Belum, Mama. Belum sempat." "Kok, belum, sih. Usahain dong buat ganti. Uang buat beli tongkat kan gak seberapa buatmu, Nak." "Iyya, nanti Raka beli, Ma." "Satu lagi ... wajar kalau dia gak mau maafin kamu, karena kamu itu egois, ngegas sama dia yang udah baik mau nolongin Mama. Jadi kamu harus minta maaf lagi sama dia sampai dia maafkan!" titah sang Ibu. "Iyya, Ma. Nanti Raka temui dia lagi," balas Raka segera menghabiskan roti bakar selai coklat miliknya lalu pamit pada ibunya tanpa pamit pada sang ayah yang belum muncul ba
"Kamu ..? kamu siapa berani-beraninya ikut campur urusanku dengan sepupuku," bentak Azura sambil menunjuk Raka yang berdiri tak jauh dari Kafizah. "Saya temannya," jawab Raka asal, membuat Kafizah memutar bola mata malas. Kafizah pun sadar kalau Raka memang tidak benar-benar ingin melamarnya. Jika Raka memang ada perasaan padanya, maka dia akan bilang dengan tegas pada Azura kalau dia adalah calon istrinya. "Apa-apa sih, Kafizah, kamu hanya gadis cacat," bisik Kafizah dalam hati sambil geleng-geleng. Raka tidak memiliki keberanian untuk mengatakan kalau Kafizah calon istrinya di depan sepupu Kafizah yang angkuh karena dia takut ditolak di tempat dan akan membuatnya malu tujuh turunan. Apalagi di depan banyak para pelanggan. Bisa-bisa jatuh tingkat kesombongannya kalau dia ditolak di depan umum oleh gadis cacat. Sementara Salsa yang mendengar ucapan Raka juga ikut geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, kemarin dia datang mengaku-ngaku sebagai calon suami bosnya dan sekarang dia
Setelah pulang dari toko, Kafizah mendapati motor pamannya terparkir di depan rumahnya. Samar-samar ia mendengar suara Reni--istri paman Rahim, "Kami gak mau tahu ya, kalian harus bantu biaya resepsi pernikahan Azura. Dia itu keponakan kalian, jadi sudah sepantasnya kalian mengulurkan dana untuknya!" Kafizah dan Salsa yang hendak masuk langsung berdiri mematung di teras rumah mendengar ucapan tantenya yang lebih mendominasi. "Kami bukannya tidak mau membantu, Ren, Him, tapi kami juga gak punya uang sebanyak itu. Kalau pun kami ada uang segitu, lebih baik uangnya dipakai untuk biaya berobat kaki Kafizah," balas ibunya Kafizah membuat Reni seperti kebakaran jenggot. "Buat apa kalian hambur-hamburkan uang untuk anak cacatmu itu, gak ada gunanya. Toh, dia gak akan laku-laku juga. Jadi biarkan saja dia seperti itu sampai ajal menjemputnya," ocehan Bu Reni membuat Bu Marni naik pitam. "Jaga ucapanmu, Ren! Selama ini saya diam setiap kamu dan anakmu menghina putriku, tapi sekarang tidak
"Jadi ini toko bunga milik calon menantu Mama?" tanya Bu Liana saat berada di depan bangunan kokoh di tepi jalan raya dengan aneka macam bunga-bunga tersusun rapi. Baik bunga hidup maupun bunga hias atau plastik.Pengunjung bebas memilih bunga apa yang mereka sukai."Iya, Ma," sahut Raka saat berdiri di samping mamanya.Hari ini, Bu Liana memaksa Raka untuk membawanya ke toko milik Kafizah, karena ingin berterima kasih sekaligus meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi di tempat wisata waktu itu."Hebat sih ... tokonya juga terlihat sangat ramai pembeli." Bu Liana tampak berdecak kagum sambil melangkah dengan anggun mencari sosok gadis yang pernah menolongnya.Wanita paruh baya yang tengah menenteng tas miliknya itu langsung memandang satu persatu wajah orang-orang yang ada di sana.Hingga tatapannya tertuju pada seorang gadis yang tengah sibuk melayani
"Apa? Kafizah dibawa ke rumah sakit?" pekik Bu Marni saat menerima sambungan telepon dari Salsa."Iya, Tante," jawab Salsa sedikit gugup."Siapa yang bawa?" tanya Bu Marni memelankan suaranya."I-itu siapa namanya aduh." Salsa menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan berusaha mengingat nama pemuda yang membawa Kafizah. "Namanya Raka dan ibunya Bu Liana.""Kafizah kenapa tiba-tiba sakit, Sa? Apanya yang sakit?" Bu Marni masih memberondong Salsa dengan berbagi pertanyaan."Salsa gak ngerti, Bu. Bu Marni langsung saja ke rumah sakit!" titah Salsa pura-pura tidak tahu tentang penyakit Kafizah. Padahal dia sudah tahu, hanya saja ia tidak berani memberitahu karena ia sudah dipaksa oleh Kafizah untuk tutup mulut agar orangtuanya tidak tahu tentang Kakinya yang semakin parah."Baiklah, Sa. Ibu akan segera menyusul ke rumah sakit," kata Bu Marni sambil menutup ponselnya, membuat Salsa membuang napas pelan.Di rumah Pak Rahim Bu Marni langsung
"Dok! Beri aku waktu kurang lebih dua Minggu!" ucap Kafizah memohon pada Dokter yang usianya tidak beda jauh dengan ibunya."Aku akan mengumpulkan biayanya sampai waktu yang kuminta," ujar Kafizah lagi.Wanita paruh baya tersebut menarik napas dalam dan mendekat ke arah Kafizah. "Baiklah! Tapi hanya dua Minggu, jika lebih dari itu ... kami tidak bisa memprediksi kemungkinan yang akan terjadi.""Apa saja yang bisa terjadi, Dok?" tanya Bu Liana menatap dokter dengan serius."Kemungkinan terbesar, infeksi yang disebabkan oleh kuman berbahaya bisa menyerang setiap jaringan yang ada dalam tubuhnya," balas sang dokter sambil menatap Bu Liana lalu beralih ke Kafizah.Raka yang masih berdiri di balik tirai hanya bisa menyimak dan memejamkan mata tanpa bisa berbuat apa-apa.Tetap nekat, maka dia harus siap dibenci gadis itu seumur hidupnya dan tiba-tiba ancaman gadis itu membuat nyalinya menciut."Saya akan siapkan dananya sebelum waktu
Setelah beberapa hari berlalu di suatu pagi. "Kafizah!" panggil Pak Rahman dari luar kamar putrinya sambil mengetuk pintu kamar. "Iya, Pak?" sahut gadis itu. "Sudah siap belum?" tanya sang bapak sambil menatap jam yang tergantung di dinding rumah yang sudah menunjuk jam delapan pagi. "Sebentar lagi selesai, Pak," sahut Kafizah dari dalam kamar sambil merapikan kembali jilbabnya, lalu memasang pin bros di jilbabnya. Pak Rahman kembali duduk di kursi ruang tamunya sambil menunggu putri tercintanya bersiap-siap. Hari ini adalah hari pernikahan Azura yang akan mereka hadiri. Bu Marni sudah berangkat lebih dulu karena selalu sibuk membantu memasak di dapur. Meski Bu Reni sering berbicara kelewat pedas padanya, tetap saja dia tidak tega jika tidak membantu tenaga di acara keponakannya. Kafizah sebenarnya tidak ingin hadir di acara tersebut karena sudah diwanti-wanti oleh sepupunya agar tidak menampakkan wajah di hari bahagianya. Akan tetapi, ia harus membawa karangan bunga untuk Azur
"Fizah ...!" pekik Bu Marni dan Pak Rahman bersamaan saat Ayuna terang-terangan mendorong kasar sepupunya.Kedua orang tua Kafizah kaget melihat perlakuan kasar sang ponakan.Akan tetapi, kehadiran Raka yang tiba-tiba menahan tubuh Kafizah membuat Bu Marni dan Pak Rahman menghela napas lega karena melihat putrinya tidak jadi jatuh tersungkur.Jika orang tua Kafizah tampak lega, beda lagi dengan tatapan orang-orang terutama cewek-cewek yang mencibir Kafizah seketika memandang iri kala melihat tubuh Kafizah di rengkuh oleh pria tampan pemilik rahang tegas dengan tampilan yang sempurna dengan tubuh yang dibalut tuxedo hitam dan kacamata yang setia bertengger di hidup mancungnya.Azura dan Ayuna mencebik dengan kesal.Sementara Niko--suami Azura mendadak panik saat melihat Raka hadir di resepsi pernikahannya."Kok, Bos gue bisa dateng ke sini, sih," gumam Niko lirih dan pias, tetapi masih terdengar jelas di telinga Azura."Hah, Bos? K