"Kenapa harus ketemu dia sih? Di toko miliknya pulak tuh," gerutu Raka dengan kesal.
"Gak bener! Ini pasti rencana Ayah dan sengaja dia menyuruhku ke toko ini karena dia tahu siapa pemiliknya. Pantas dia ngotot nyuruh aku beli bunga di sini. Padahal toko bunga yang lain pun banyak kulewati tadi. Bahkan dia keukeu agar aku ketemu pemiliknya."
Pria berambut klimis itu masih saja misuh-misuh tidak jelas saat memasuki kendaraan roda empatnya.
Setelah keluar dari toko bunga milik gadis yang ia hina karena cacat. Raka Ghifari Adhyaksa langsung melesat meninggalkan pelataran toko.
Di dalam mobil, pria itu terus saja menggerutu dan memaki. Tapi entah siapa yang dia tuju. Yang pasti dia sangat kesal dengan ayahnya.
"Awas saja, Yah. Sesampainya aku di rumah. Aku akan komplain sama Ayah," ucapnya sambil melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata.
Setelah sampai di depan rumah mewah miliknya. Pria tampan itu langsung turun dan mengayunkan langkah ke arah pria paruh baya yang menyambutnya dengan senyum mengembang.
Berbanding terbalik dengan dirinya yang malah memasang wajah masam.Pak Jupri Adhyaksa tercatat sebagai konglomerat nomor tiga di kota tersebut dan perusahaannya bergerak di bidang otomotif yang sekarang dijalankan oleh Raka--putranya.
Usahanya berkembang dengan pesat karena kepintaran Pak Jupri dalam berbisnis dan keahlian itu diturunkan ke putranya, tetapi di balik itu semua, ada campur tangan seseorang yang Raka tidak tahu sama sekali.
Siapa orang itu? Nanti kalian akan tahu jika terus mengikuti cerita ini.
"Apa maksud Ayah menyuruhku membeli bunga di toko gadis cacat itu?" protes Raka to the point.
"Jaga ucapanmu, Raka!" balas Pak Jupri sedikit membentak. "Kafizah gadis baik, nasibnya saja yang kurang beruntung."
"Ayah sudah tahu aku menolak perjodohan ini. Kenapa masih saja memaksaku untuk bertemu dengannya," omelnya lagi.
"Sudah! Jangan dibahas dulu. Sekarang fokus ke acara anniversary Ayah dan ibumu dulu!" ujar Pak Jupri menurunkan sedikit nada bicaranya dan berusaha mengalihkan bahasan.
Raka membuang napas kasar dan membenarkan ucapan ayahnya kalau bukan waktunya untuk berdebat. Sekarang waktunya merayakan hari bahagia ayah dan ibunya yang memperingati usia pernikahan yang memasuki ke-30 tahun.
"Mana bunganya?" tanya sang ayah membuat Raka kembali ke mobilnya dan mengambil bunga yang barusan dia beli di toko.
"Ini." Raka menyerahkan bunga itu lalu memasuki rumah bersama ayahnya. Sedangkan sang Ibu sedang keluar bersama teman-teman sosialitanya.
Dua orang berbeda generasi itu langsung sibuk menyiapkan suprise untuk wanita tercintanya.
Hingga malam tiba. Saat seorang wanita paruh baya membuka pintu, ia sangat terkejut melihat kejutan dari sang suami dan putranya itu.
Ia membekap mulut melihat suasana rumahnya yang penuh dengan hiasan bunga, lampu dan balon seperti acara anak kecil.
Sang suami mendekat sambil membawa buket bunga dan Raka yang membawa kue tar yang di atasnya ada lilin menyala. Setelah meniup lilin. Bu Liana--istri Pak Jupri-ibunya Raka langsung mengucap terima kasih dan mengecup pipi suami lalu putranya.
"Berasa kembali muda lagi," kekeh Bu Liana membuat Raka memutar bola mata malas.
"Apa yang Mama inginkan dari Raka? Ayo sebutkan!" titah Raka sambil memeluk sang ibu setelah mengucapkan doa agar kedua orang tuanya panjang umur.
"Tidak banyak, kok," sahut Bu Liana dengan binar bahagia.
"Apa? Sebutkan saja!"
"Mama mau putraku ini segera menikah dan memberiku cucu," balas Bu Liana mengacak rambut Raka yang langsung protes.
"Yang lain deh, Ma! Raka belum siap kalau soal nikah," elaknya.
"Mau sampai kapan baru kamu siap? Umurmu sudah 28 lebih, loh. Bentar lagi 29," timpal sang Ibu.
"Sampai Raka ketemu dengan wanita yang tepat, dong, Ma." Raka langsung mengajak ibunya untuk duduk dan memotong kue cake itu.
"Kalau standarmu soal wanita masih terlalu tinggi, ya sampai kapan pun kamu gak akan siap-siap," omel Bu Liana sambil menyuapi suaminya kue lalu ke Raka.
"Manusia gak ada yang sempurna Raka. Mungkin ada yang fisiknya cacat tapi hatinya baik dan tulus. Ada juga yang fisiknya sempurna tapi akhlaknya nauzubillahi minzalik," oceh Bu Liana membuat Raka terdiam sesaat.
"Ganti topik aja, deh, Ma! Mama ada keinginan lain gak yang minimal bisa Raka penuhi?" tanyanya sekali lagi dan berusaha mengalihkan pembahasan.
"Ada, sih!" sahut Bu Liana terlihat sedang berpikir.
"Apa itu?" Raka menopang dagunya dengan kedua tangan seperti anak kecil. Usianya memang sudah matang tapi tingkahnya masih belum terlalu dewasa karena terbiasa dimanja.
"Mama mau kamu dan ayahmu besok libur kerja," sahutnya.
Pak Jufri dan Raka langsung menautkan kedua alis dan menghentikan aktivitas makan kuenya.
"Karena Mama pengen kalian berdua meluangkan waktu untuk mengajak Mama jalan-jalan. Mama rindu masa-masa dulu, saat kita sering berkunjung ke tempat wisata bertiga," ucapnya seolah menerawang jauh.
"Oke, besok Ayah dan Raka akan libur dan kita akan jalan-jalan demi mamaku tersayang. Bebas tinggal pilih mau ke mana aja!" Pria itu menatap ibunya dengan yakin.
"Mama gak mau jauh-jauh, kok. Cukup wisata yang dekat saja. Yang penting kebersamaannya itu yang penting buat Mama. Selama ini kalian selalu sibuk dengan perusahaan ini dan itu. Sementara Mama sibuk arisan hingga jarang ada waktu untuk bercengkerama kalian."
"Siap. Besok kita ondewei," balas Raka memberi hormat pada sang Ibu.
Saat Bu Liana sudah masuk kamar untuk istirahat. Raka menghampiri sang Ayah yang masih sibuk di ruang kerjanya.
"Ayah! Raka mau bicara." Pria itu mendaratkan bokongnya di sofa yang ada di ruangan itu.
"Silakan, Nak!" balas Pak Juprii singkat.
"Apa sih, kelebihan gadis itu sehingga Ayah sangat ngotot mau menjodohkan aku dengannya?" pertanyaan Raka membuat ayahnya langsung menghentikan aktivitasnya.
"Dia baik, cantik dan yang terpenting Kafizah dari keluarga baik-baik," jawab ayahnya singkat padat dan jelas.
"Hanya itu? Tidak ada alasan lain?" tanyanya lagi membuat pak Jupri langsung memalingkan wajah.
"Itu bukan urusanmu, Nak. Tugasmu hanya perlu setuju dengan perjodohan ini."
"Ayah harus beritahu aku lebih dulu alasan sesungguhnya."
"Sekarang Ayah tidak bisa, Raka! Belum waktunya." Pria paruh baya itu menutup laptop lalu meninggalkan Raka yang mematung.
***Raka, Mama dan ayahnya benar-benar libur dan pergi ke tempat wisata alam yang melewati depan toko bunga milik Kafizah.
Raka sempat menoleh ke toko bunga tersebut karena seolah ada magnet yang menariknya untuk melihat ke toko itu. Akan tetapi ia hanya mendapati toko itu tutup.
Entah kenapa ada gelenyar aneh di hatinya.
Sesampainya di tempat wisata. Ia asyik menikmati momen mesra orangtuanya. Ia bahkan memotret momen tersebut untuk diabadikan lalu meletakkan di setiap ruangan di rumah mewahnya.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Bu Liana pamit ke suami dan putranya untuk ke toilet.
Tanpa ia sadari kalau ternyata dia sedang diikuti oleh seseorang.Saat Kafizah masuk ke toilet sebelah, Bu Liana keluar dari toilet sebelahnya.
Saat Bu Liana meninggalkan toilet, seorang pria menyambar tasnya dan Bu Liana tetap mempertahankan tas itu hingga datang Kafizah membantunya.
Nahasnya, nyawa Kafizah malah terancam hingga di detik terakhir Bu Liana memilih menyerah.
"Ambil ini dan lepaskan gadis itu!" pintanya sambil mengulurkan tas mahal miliknya beserta isinya.
Pria berjaket hitam itu langsung menyambar tas di tangan Bu Liana dengan tangannya yang memegang pisau.
Saat melihat gelang yang melingkar di lengan Bu Liana pun langsung ia tarik hingga pisau miliknya menggores kulit tangan Bu Liana.
Wanita paruh baya itu menjerit, pria itu lari terbirit-birit dan Kafizah langsung panik.
"Bu! tangan Ibu berdarah," ucap Kafizah mendekat lalu berusaha menghentikan darah yang mengalir dari tangan Bu Liana dengan mengoyak ujung gamisnya.
Raka yang berniat mencari ibunya ke toilet melihat dari kejauhan kalau tangan ibunya berdarah.
Saat sampai dia langsung mendorong Kafizah yang belum sempat memasang kain di lengan bu Liana.
"Kamu ...? Kamu apakan Mamaku, hah?!" hardiknya marah karena salah paham.
"Aku tidak melakukan apa-apa," balas Kafizah dengan mata berkaca-kaca.
"Lalu apa ini, hah? Kamu dendam padaku sampai-sampai kamu mau mencelakai ibuku."
"Raka, dengarkan Mama dulu, Nak. Dia---"
"Dia jahat sama Mama. Bukan hanya kakinya yang cacat tapi hatinya juga cacat," kata-kata yang keluar dari mulut pria itu lebih tajam dari pisau yang hampir melukai leher Kafizah.
"Kamu salah paham," ucap Kafizah mencoba menjelaskan, tetapi tidak dihiraukan oleh Raka yang terlanjur emosi.
"Pergi kamu dari sini! Aku tidak mau lihat muka kamu lagi, aku tidak mau bertemu wanita sepertimu lagi!"
"Raka!" teriak sang Ibu
"Cukup, Ma! Biarkan gadis cacat itu pergi."
Kafizah yang terluka hatinya memilih pergi karena merasa tidak ada gunanya dia menjelaskan pada pria sombong itu.
Yang ada lukanya makin menganga karena selalu dihina.Dia berjalan dengan pincang dan menahan sakit karena terpaksa kakinya yang lumpuh harus menyentuh tanah sebab tongkatnya sudah tidak bisa lagi digunakan.
Dia meringis sepanjang jalan. Raka melihat gadis cacat itu melangkah tanpa tongkat tapi berusaha abai karena terlanjur tersulut emosi karena sebuah kesalahpahaman.
"Raka ... Kamu salah besar, Nak. Cepat kejar gadis itu dan bantu dia!"
Apakah Raka akan mengejar Kafizah?
Ikuti bab selanjutnya ya.Bersambung...
"Asal kamu tahu, ya Raka. Mama itu habis dicopet---""Apa? Mama dicopet sama gadis itu," pekiknya langsung menuduh Kafizah."Enggaklah. Kamu salah paham," jawab ibunya menahan kesal."Gadis itu malah menolong Mama dari pencopet yang sudah merampas tas Mama. Saat orang itu merampas gelang Mama, pisau yang orang itu pakai buat mengancam kena ke tangan Mama," ucap Bu Liana menjelaskan panjang lebar duduk perkaranya."Jadi mama kecopetan?" tanya Raka terkejut "Iya.""Dan gadis itu menolong Mama?" tanyanya lagi dan langsung membekap mulutnya."Iya," jawab Bu Liana dengan kesal dan meraih kain baju milik Kafizah untuk dibungkuskan ke lukanya agar darah berhenti mengalir."Asal kamu tahu, gadis itu sangat berani menolong Mama padahal dia sendiri susah berjalan bahkan dia menggunakan tongkatnya untuk memukul pencop*t itu." Bu Liana menunjuk tongkat Kafizah yang berserakan di tanah.Raka menatap nanar tongkat milik gadis yang ia usir dan maki-maki sekarang sudah patah dan tak berbentuk.Panta
"Kafizah ...!" pekik Bu Marni sambil berlari ke arah suara barang yang terjatuh. Raka juga berdiri hendak menyusul, tetapi Pak Rahman langsung mencegah hingga pria tersebut kembali duduk di tempat semula. "Kamu tunggu dulu di sini, Nak. Saya lihat putri saya dulu." Pak Rahman segera beranjak dari duduknya dan melihat sang istri kewalahan memapah Kafizah. Pria paruh baya itu segera membantu sang anak untuk sampai di tempat tidur. Raka diam-diam berdiri di balik sekat pemisah antara ruang tamu dengan ruang tengah. "Nak Raka kemari untuk melamarmu, Nak," ungkap sang bapak membuat gadis bermata bulat tersebut memalingkan wajah. "Tolak saja, Pak!" sela Kafizah. "Apa kamu tidak mau memikirkannya lagi, Nak? Minimal dua tiga hari atau bahkan seminggu untuk kamu mempertimbangkan kembali," usul sang bapak membuat Kafizah mendongak dan memejamkan mata. Gadis itu masih mengingat dengan jelas bagaimana ekspresi pria bermata elang itu saat pertama kali melihatnya, lalu menolaknya, kemudian me
"Bagaimana? Sudah kamu temui gadis itu dan melakukan apa yang Mama suruh?" tanya bu Liana pada putranya saat sarapan pagi. "Sudah, Ma," sahutnya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat ayahnya. Jangan sampai sang ayah mendengar omelan sang istri pagi-pagi karena kesalahan dirinya. "Terus?" tanya sang ibu penasaran. "Maksudnya?" Raka malah bertanya balik. "Kamu dimaafkan gak? Tongkatnya sudah kamu ganti?" "Sayangnya enggak," jawabnya cengengesan. "Belum, Mama. Belum sempat." "Kok, belum, sih. Usahain dong buat ganti. Uang buat beli tongkat kan gak seberapa buatmu, Nak." "Iyya, nanti Raka beli, Ma." "Satu lagi ... wajar kalau dia gak mau maafin kamu, karena kamu itu egois, ngegas sama dia yang udah baik mau nolongin Mama. Jadi kamu harus minta maaf lagi sama dia sampai dia maafkan!" titah sang Ibu. "Iyya, Ma. Nanti Raka temui dia lagi," balas Raka segera menghabiskan roti bakar selai coklat miliknya lalu pamit pada ibunya tanpa pamit pada sang ayah yang belum muncul ba
"Kamu ..? kamu siapa berani-beraninya ikut campur urusanku dengan sepupuku," bentak Azura sambil menunjuk Raka yang berdiri tak jauh dari Kafizah. "Saya temannya," jawab Raka asal, membuat Kafizah memutar bola mata malas. Kafizah pun sadar kalau Raka memang tidak benar-benar ingin melamarnya. Jika Raka memang ada perasaan padanya, maka dia akan bilang dengan tegas pada Azura kalau dia adalah calon istrinya. "Apa-apa sih, Kafizah, kamu hanya gadis cacat," bisik Kafizah dalam hati sambil geleng-geleng. Raka tidak memiliki keberanian untuk mengatakan kalau Kafizah calon istrinya di depan sepupu Kafizah yang angkuh karena dia takut ditolak di tempat dan akan membuatnya malu tujuh turunan. Apalagi di depan banyak para pelanggan. Bisa-bisa jatuh tingkat kesombongannya kalau dia ditolak di depan umum oleh gadis cacat. Sementara Salsa yang mendengar ucapan Raka juga ikut geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, kemarin dia datang mengaku-ngaku sebagai calon suami bosnya dan sekarang dia
Setelah pulang dari toko, Kafizah mendapati motor pamannya terparkir di depan rumahnya. Samar-samar ia mendengar suara Reni--istri paman Rahim, "Kami gak mau tahu ya, kalian harus bantu biaya resepsi pernikahan Azura. Dia itu keponakan kalian, jadi sudah sepantasnya kalian mengulurkan dana untuknya!" Kafizah dan Salsa yang hendak masuk langsung berdiri mematung di teras rumah mendengar ucapan tantenya yang lebih mendominasi. "Kami bukannya tidak mau membantu, Ren, Him, tapi kami juga gak punya uang sebanyak itu. Kalau pun kami ada uang segitu, lebih baik uangnya dipakai untuk biaya berobat kaki Kafizah," balas ibunya Kafizah membuat Reni seperti kebakaran jenggot. "Buat apa kalian hambur-hamburkan uang untuk anak cacatmu itu, gak ada gunanya. Toh, dia gak akan laku-laku juga. Jadi biarkan saja dia seperti itu sampai ajal menjemputnya," ocehan Bu Reni membuat Bu Marni naik pitam. "Jaga ucapanmu, Ren! Selama ini saya diam setiap kamu dan anakmu menghina putriku, tapi sekarang tidak
"Jadi ini toko bunga milik calon menantu Mama?" tanya Bu Liana saat berada di depan bangunan kokoh di tepi jalan raya dengan aneka macam bunga-bunga tersusun rapi. Baik bunga hidup maupun bunga hias atau plastik.Pengunjung bebas memilih bunga apa yang mereka sukai."Iya, Ma," sahut Raka saat berdiri di samping mamanya.Hari ini, Bu Liana memaksa Raka untuk membawanya ke toko milik Kafizah, karena ingin berterima kasih sekaligus meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi di tempat wisata waktu itu."Hebat sih ... tokonya juga terlihat sangat ramai pembeli." Bu Liana tampak berdecak kagum sambil melangkah dengan anggun mencari sosok gadis yang pernah menolongnya.Wanita paruh baya yang tengah menenteng tas miliknya itu langsung memandang satu persatu wajah orang-orang yang ada di sana.Hingga tatapannya tertuju pada seorang gadis yang tengah sibuk melayani
"Apa? Kafizah dibawa ke rumah sakit?" pekik Bu Marni saat menerima sambungan telepon dari Salsa."Iya, Tante," jawab Salsa sedikit gugup."Siapa yang bawa?" tanya Bu Marni memelankan suaranya."I-itu siapa namanya aduh." Salsa menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan berusaha mengingat nama pemuda yang membawa Kafizah. "Namanya Raka dan ibunya Bu Liana.""Kafizah kenapa tiba-tiba sakit, Sa? Apanya yang sakit?" Bu Marni masih memberondong Salsa dengan berbagi pertanyaan."Salsa gak ngerti, Bu. Bu Marni langsung saja ke rumah sakit!" titah Salsa pura-pura tidak tahu tentang penyakit Kafizah. Padahal dia sudah tahu, hanya saja ia tidak berani memberitahu karena ia sudah dipaksa oleh Kafizah untuk tutup mulut agar orangtuanya tidak tahu tentang Kakinya yang semakin parah."Baiklah, Sa. Ibu akan segera menyusul ke rumah sakit," kata Bu Marni sambil menutup ponselnya, membuat Salsa membuang napas pelan.Di rumah Pak Rahim Bu Marni langsung
"Dok! Beri aku waktu kurang lebih dua Minggu!" ucap Kafizah memohon pada Dokter yang usianya tidak beda jauh dengan ibunya."Aku akan mengumpulkan biayanya sampai waktu yang kuminta," ujar Kafizah lagi.Wanita paruh baya tersebut menarik napas dalam dan mendekat ke arah Kafizah. "Baiklah! Tapi hanya dua Minggu, jika lebih dari itu ... kami tidak bisa memprediksi kemungkinan yang akan terjadi.""Apa saja yang bisa terjadi, Dok?" tanya Bu Liana menatap dokter dengan serius."Kemungkinan terbesar, infeksi yang disebabkan oleh kuman berbahaya bisa menyerang setiap jaringan yang ada dalam tubuhnya," balas sang dokter sambil menatap Bu Liana lalu beralih ke Kafizah.Raka yang masih berdiri di balik tirai hanya bisa menyimak dan memejamkan mata tanpa bisa berbuat apa-apa.Tetap nekat, maka dia harus siap dibenci gadis itu seumur hidupnya dan tiba-tiba ancaman gadis itu membuat nyalinya menciut."Saya akan siapkan dananya sebelum waktu