"Kamu ...," ucap Kafizah dan pria itu bersamaan sambil sama-sama menunjuk satu sama lain dan keduanya pun tampak sangat terkejut.
"Raka?"
"Kafizah?"
Lagi keduanya berucap bersamaan.
"Kamu karyawan di sini?" tanya pria itu penasaran.
"Tidak penting aku karyawan atau bukan," balas Kafizah mencoba cuek sambil meraih buket bunga dari Salsa.
"Dih ... sombong banget, padahal cuma karyawan tapi berlagak kayak bos," cibir Raka menatap sinis gadis yang duduk di balik meja kasir.
"Sombong teriak sombong," bantin Kafizah.
Kafizah memilih diam tak menanggapi ocehan pria itu, tetapi hatinya mengutuk pria tersebut.
Salsa hanya melongo melihat bos dan pelanggan yang ternyata sudah saling mengenal satu sama lain.
Ia memilih ke depan dan menyiram bunga-bunga hidup agar terlihat semakin segar.
Raka yang merasa dianggurin langsung berucap, "Kamu marah karena aku menolak perjodohan kita, ya?"
Nurul Kafizah tidak menanggapi ucapan pria tersebut.
"Mau bayar kes atau pakai kartu kredit?" tanya Kafizah sambil menulis harga total yang harus Raka bayar di kertas lalu menyerahkan pada pria itu.
"Asal kamu tahu ya, aku dan kamu tidak cocok, tidak serasi. Kita bagaikan langit dan bumi. Aku memiliki segalanya sedangkan kamu cuman karyawan di toko bunga serta ...." Pria berperawakan tinggi itu menatap ke arah Kafizah dengan senyum mengejek
"Kamu cacat. Sungguh tidak bisa kubayangkan jika harus menikah dengan gadis cacat sepertimu," ejeknya.
"Stop!" bentak Kafizah karena tidak tahan mendengar ocehan pria itu.
Pria yang bernama lengkap Raka Ghifari Adhyaksa itu langsung terperanjat.
"Kamu ke sini mau beli karangan bunga atau ke sini untuk menghinaku, hah?" tanya Kafizah yang berusaha menahan gemuruh di dadanya.
"Ya, beli bunga lah! Memangnya kamu merasa terhina? Padahal, apa yang aku ucapkan semuanya benar adanya," ucap Raka enteng tanpa menyadari kalau semua ucapan yang ia lontarkan itu ibarat ribuan jarum yang menancap di hati gadis yang ia sebut cacat.
"Kalau begitu silakan selesaikan pembayaran dan segera angkat kaki dari sini! Kalau perlu, jangan pernah kembali lagi ke sini!" titah gadis bermata bulat itu dengan tegas.
"Kamu mengusir pelanggan itu suatu kesalahan besar. Apa kamu tidak takut dipecat karena telah mengurangi pelanggan toko ini?"
"Aku tidak takut sama sekali. Dengar ...! Aku tidak takut kehilangan pelanggan sombong sepertimu. Insyaallah akan Allah datangkan pelanggan yang lain, tentunya lebih sopan daripada kamu."
"Kamu akan menyesal telah berbuat seperti ini padaku!" geram Raka.
"Ini ambil." Raka meletakkan segepok uang di depan Kafizah. "Ambil sisanya untuk mengobati kakimu agar tidak cacat."
Raka meraih buket bunga pesanannya dan beranjak. Namun, langkahnya terhenti kala ....
"Tunggu!" teriak Kafizah sambil meraih tongkatnya lalu menghampiri pria yang berada di ambang pintu toko.
Kafizah juga membawa uang segepok itu setelah mengambil uang hanya seharga buket bunga, lalu ia meraih tangan pria itu dan meletakkan uang tersebut di tangan Raka.
"Ambil kembali uangmu! Saya tidak butuh uang ini untuk berobat. Sepertinya kamu yang butuh untuk berobat ke psikiater atau psikolog. Mungkin mentalmu sedang bermasalah," ucap gadis itu panjang lebar dan menatap tajam Raka.
"Anak TK pun tahu, kalau kaki yang cacat mustahil diobati hingga tidak cacat lagi, bukan? Tapi kamu ... seolah tidak memiliki otak di kepalamu."
"Apa kamu bilang?" tanya Raka dengan muka merah padam.
"Kenapa? Sakit bukan kalau orang mengatakan sesuatu yang bikin hati sakit? Begitupun dengan ucapanmu padaku."
"Asal kamu tahu! Aku pun tidak sudi jika harus dijodohkan dan menikah dengan pria sombong sepertimu. Jika di dunia ini hanya sisa kamu yang jomblo lebih baik aku menjadi perawan tua daripada harus bersama pria yang tidak punya hati sepertimu."
Raka tercengang mendengar kata demi kata yang keluar dari bibir gadis cacat itu.
"Salsa! Usir pria ini dari sini! Aku tidak mau melihat wajahnya berada di sini." Kafizah meninggalkan Raka yang mematung dengan bibir menganga.
Gadis itu memilih ke belakang dan masuk ke ruangan khusus miliknya jika ingin istirahat. Dia langsung menangis dan menumpahkan segala kesedihan akan ucapan pahit yang pria sombong dan arogansi itu.
Sementara di luar, Salsa langsung menyuruh Raka untuk pergi.
"Sebaiknya anda pergi, Pak! Jangan bikin keributan di sini," ucap Salsa.
"Kamu akan menyesal telah memperlakukan saya seperti ini. Saya orang paling kaya di kota ini," hardiknya.
"Kalau kamu tidak mau kehilangan banyak pelanggan, sebaiknya pecat gadis cacat itu!" titahnya masih menyebut Kafizah sebagai gadis cacat.
"Hah ... pecat?" tanya Salsa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Iya, pecat saja dia!" geram Raka.
"Sepertinya Anda salah paham, Pak. Pemilik toko bunga ini adalah Kak Nurul Kafizah, saya hanya karyawan di sini," ucap Salsa dengan sopan membuat Raka tambah terkejut dua kali lipat.
"Apa? Gadis itu?"
"Iya, Pak. Sebaiknya anda pergi dari sini. Jangan lupa singgah ke apotek dan beli obat sakit kepala ya, Pak! Biar vertigonya tidak kumat," tambah gadis itu dengan senyum sedikit sinis.
Raka pergi dengan perasaan campur aduk, antara kesal, menyesal dan serba salah.
***
Keesokan harinya, Kafizah tidak membuka toko bunga miliknya karena Salsa memaksa bosnya untuk libur sehari agar bisa menenangkan pikirannya.
Bu Marni juga tidak bisa buka toko karena sedang sibuk di rumah birasnya membantu acara persiapan pernikahan sepupu Kafizah yang akan digelar dua Minggu lagi, tetapi keluarga sudah mulai sibuk menyiapkan tetek bengeknya.
Rencana gadis ber-dagu lancip itu adalah mengajak Kafizah ke wisata terdekat untuk menghibur hati bosnya. Kebetulan tempat wisata alam berada tidak terlalu jauh dari toko bunga milik Kafizah.
Tidak terlalu jauh karena tidak perlu lintas kabupaten apalagi provinsi. Hanya perlu mengendarai motor sekitar tiga puluh menit sudah sampai ke tempat tersebut.
Wisata alam yang memperlihatkan bagaimana kuasa Allah yang menciptakan suatu tempat yang sangat indah. Laut biru membentang luas dan perahu-perahu serta aneka wahana bermain juga ada di sana.
Di sinilah sekarang dua gadis itu berada. Kafizah duduk di tepi pantai sambil menatap dari kejauhan anak-anak yang bermain riang gembira dan didampingi oleh orang dewasa tentunya.
Pikiran Kafizah sudah benar-benar membaik dan merasa segar kembali karena sudah menghabiskan waktu hampir seharian di tempat wisata itu.
"Sa! Aku mau cari toilet dulu," ucap Kafizah meraih tongkat yang ada di sampingnya lalu berdiri dibantu oleh Salsa.
"Iya, ayo aku temani, ya, Kak Nui," ucap Salsa.
"Tidak usah, Sa. Aku bukan anak kecil lagi, biar aku sendiri saja. Kamu di sini jaga barang-barang." Kafizah melirik barang bawaan mereka yang berupa tempat bekal dan tas di atas karpet.
"O-oke, tapi hati-hati ya, Kak Nui!"
Kafizah berdeham lalu melangkah perlahan mencari kamar kecil yang biasa tersedia di tempat seperti ini. Setiap berpapasan dengan seseorang makan gadis itu akan bertanya.
Hingga ia menemukan toilet dan masuk untuk menuntaskan hajatnya.
Saat ia keluar toilet matanya tertuju pada seorang ibu di balik pohon besar yang sedang tarik-menarik dengan seorang pria yang tampak ingin merampas tas ibu itu.
Kafizah melirik kanan kiri untuk meminta bantuan. Namun, kondisi sedang sepi sehingga tak ada orang lalu lalang.
Tanpa pikir panjang Kafizah berjalan setengah berlari tanpa menghiraukan kakinya yang sakit gadis itu langsung melayangkan tongkat miliknya di kepala pria berbaju hitam tersebut.
Dengan membabi buta, Kafizah terus memukul pria itu hingga tongkatnya terlepas dari tangannya, lalu dirampas pria itu dan ia patahkan tongkat milik Kafizah hingga gadis itu terkejut.
Dengan sigap pria itu mengeluarkan pisau kecil dari saku celananya dan menarik Kafizah serta mengancam akan menusuk leher gadis itu hingga ibu tersebut membeku di tempat.
"Serahkan tas itu cepat atau leher gadis ini taruhannya!" ancam pria itu dengan tatapan nyalang membuat wanita paruh baya itu gemetaran.
"Jangan, Bu! Cepat pergi dari sini, Bu!" titah Kafizah merasa tidak takut dengan ancaman pria itu
"Tapi, Nak .... nyawamu dalam bahaya," pekik ibu itu mendadak panik dan tidak bisa berpikir jernih.
"Cepat pergi, Bu! Aku tidak akan kenapa-kenapa. Orang ini tidak akan berani melukaiku di tempat umum," ucap Kafizah sekali lagi mencoba menahan rasa takutnya.
"Kamu pikir aku tidak berani melakukannya, hah!" geram pria tersebut sambil mengikis jarak antara pisau dan leher Kafizah. "Serahkan tas dan barang berharga milikmu sebelum kau menyesal karena aku tidak akan main-main dengan ancamanku."
Kafizah memejamkan mata saat ujung pisau itu menyentuh kulit lehernya.
"Kenapa harus ketemu dia sih? Di toko miliknya pulak tuh," gerutu Raka dengan kesal. "Gak bener! Ini pasti rencana Ayah dan sengaja dia menyuruhku ke toko ini karena dia tahu siapa pemiliknya. Pantas dia ngotot nyuruh aku beli bunga di sini. Padahal toko bunga yang lain pun banyak kulewati tadi. Bahkan dia keukeu agar aku ketemu pemiliknya." Pria berambut klimis itu masih saja misuh-misuh tidak jelas saat memasuki kendaraan roda empatnya. Setelah keluar dari toko bunga milik gadis yang ia hina karena cacat. Raka Ghifari Adhyaksa langsung melesat meninggalkan pelataran toko. Di dalam mobil, pria itu terus saja menggerutu dan memaki. Tapi entah siapa yang dia tuju. Yang pasti dia sangat kesal dengan ayahnya. "Awas saja, Yah. Sesampainya aku di rumah. Aku akan komplain sama Ayah," ucapnya sambil melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Setelah sampai di depan rumah mewah miliknya. Pria tampan itu langsung turun dan mengayunkan langkah ke arah pria paruh baya yang menya
"Asal kamu tahu, ya Raka. Mama itu habis dicopet---""Apa? Mama dicopet sama gadis itu," pekiknya langsung menuduh Kafizah."Enggaklah. Kamu salah paham," jawab ibunya menahan kesal."Gadis itu malah menolong Mama dari pencopet yang sudah merampas tas Mama. Saat orang itu merampas gelang Mama, pisau yang orang itu pakai buat mengancam kena ke tangan Mama," ucap Bu Liana menjelaskan panjang lebar duduk perkaranya."Jadi mama kecopetan?" tanya Raka terkejut "Iya.""Dan gadis itu menolong Mama?" tanyanya lagi dan langsung membekap mulutnya."Iya," jawab Bu Liana dengan kesal dan meraih kain baju milik Kafizah untuk dibungkuskan ke lukanya agar darah berhenti mengalir."Asal kamu tahu, gadis itu sangat berani menolong Mama padahal dia sendiri susah berjalan bahkan dia menggunakan tongkatnya untuk memukul pencop*t itu." Bu Liana menunjuk tongkat Kafizah yang berserakan di tanah.Raka menatap nanar tongkat milik gadis yang ia usir dan maki-maki sekarang sudah patah dan tak berbentuk.Panta
"Kafizah ...!" pekik Bu Marni sambil berlari ke arah suara barang yang terjatuh. Raka juga berdiri hendak menyusul, tetapi Pak Rahman langsung mencegah hingga pria tersebut kembali duduk di tempat semula. "Kamu tunggu dulu di sini, Nak. Saya lihat putri saya dulu." Pak Rahman segera beranjak dari duduknya dan melihat sang istri kewalahan memapah Kafizah. Pria paruh baya itu segera membantu sang anak untuk sampai di tempat tidur. Raka diam-diam berdiri di balik sekat pemisah antara ruang tamu dengan ruang tengah. "Nak Raka kemari untuk melamarmu, Nak," ungkap sang bapak membuat gadis bermata bulat tersebut memalingkan wajah. "Tolak saja, Pak!" sela Kafizah. "Apa kamu tidak mau memikirkannya lagi, Nak? Minimal dua tiga hari atau bahkan seminggu untuk kamu mempertimbangkan kembali," usul sang bapak membuat Kafizah mendongak dan memejamkan mata. Gadis itu masih mengingat dengan jelas bagaimana ekspresi pria bermata elang itu saat pertama kali melihatnya, lalu menolaknya, kemudian me
"Bagaimana? Sudah kamu temui gadis itu dan melakukan apa yang Mama suruh?" tanya bu Liana pada putranya saat sarapan pagi. "Sudah, Ma," sahutnya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat ayahnya. Jangan sampai sang ayah mendengar omelan sang istri pagi-pagi karena kesalahan dirinya. "Terus?" tanya sang ibu penasaran. "Maksudnya?" Raka malah bertanya balik. "Kamu dimaafkan gak? Tongkatnya sudah kamu ganti?" "Sayangnya enggak," jawabnya cengengesan. "Belum, Mama. Belum sempat." "Kok, belum, sih. Usahain dong buat ganti. Uang buat beli tongkat kan gak seberapa buatmu, Nak." "Iyya, nanti Raka beli, Ma." "Satu lagi ... wajar kalau dia gak mau maafin kamu, karena kamu itu egois, ngegas sama dia yang udah baik mau nolongin Mama. Jadi kamu harus minta maaf lagi sama dia sampai dia maafkan!" titah sang Ibu. "Iyya, Ma. Nanti Raka temui dia lagi," balas Raka segera menghabiskan roti bakar selai coklat miliknya lalu pamit pada ibunya tanpa pamit pada sang ayah yang belum muncul ba
"Kamu ..? kamu siapa berani-beraninya ikut campur urusanku dengan sepupuku," bentak Azura sambil menunjuk Raka yang berdiri tak jauh dari Kafizah. "Saya temannya," jawab Raka asal, membuat Kafizah memutar bola mata malas. Kafizah pun sadar kalau Raka memang tidak benar-benar ingin melamarnya. Jika Raka memang ada perasaan padanya, maka dia akan bilang dengan tegas pada Azura kalau dia adalah calon istrinya. "Apa-apa sih, Kafizah, kamu hanya gadis cacat," bisik Kafizah dalam hati sambil geleng-geleng. Raka tidak memiliki keberanian untuk mengatakan kalau Kafizah calon istrinya di depan sepupu Kafizah yang angkuh karena dia takut ditolak di tempat dan akan membuatnya malu tujuh turunan. Apalagi di depan banyak para pelanggan. Bisa-bisa jatuh tingkat kesombongannya kalau dia ditolak di depan umum oleh gadis cacat. Sementara Salsa yang mendengar ucapan Raka juga ikut geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, kemarin dia datang mengaku-ngaku sebagai calon suami bosnya dan sekarang dia
Setelah pulang dari toko, Kafizah mendapati motor pamannya terparkir di depan rumahnya. Samar-samar ia mendengar suara Reni--istri paman Rahim, "Kami gak mau tahu ya, kalian harus bantu biaya resepsi pernikahan Azura. Dia itu keponakan kalian, jadi sudah sepantasnya kalian mengulurkan dana untuknya!" Kafizah dan Salsa yang hendak masuk langsung berdiri mematung di teras rumah mendengar ucapan tantenya yang lebih mendominasi. "Kami bukannya tidak mau membantu, Ren, Him, tapi kami juga gak punya uang sebanyak itu. Kalau pun kami ada uang segitu, lebih baik uangnya dipakai untuk biaya berobat kaki Kafizah," balas ibunya Kafizah membuat Reni seperti kebakaran jenggot. "Buat apa kalian hambur-hamburkan uang untuk anak cacatmu itu, gak ada gunanya. Toh, dia gak akan laku-laku juga. Jadi biarkan saja dia seperti itu sampai ajal menjemputnya," ocehan Bu Reni membuat Bu Marni naik pitam. "Jaga ucapanmu, Ren! Selama ini saya diam setiap kamu dan anakmu menghina putriku, tapi sekarang tidak
"Jadi ini toko bunga milik calon menantu Mama?" tanya Bu Liana saat berada di depan bangunan kokoh di tepi jalan raya dengan aneka macam bunga-bunga tersusun rapi. Baik bunga hidup maupun bunga hias atau plastik.Pengunjung bebas memilih bunga apa yang mereka sukai."Iya, Ma," sahut Raka saat berdiri di samping mamanya.Hari ini, Bu Liana memaksa Raka untuk membawanya ke toko milik Kafizah, karena ingin berterima kasih sekaligus meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi di tempat wisata waktu itu."Hebat sih ... tokonya juga terlihat sangat ramai pembeli." Bu Liana tampak berdecak kagum sambil melangkah dengan anggun mencari sosok gadis yang pernah menolongnya.Wanita paruh baya yang tengah menenteng tas miliknya itu langsung memandang satu persatu wajah orang-orang yang ada di sana.Hingga tatapannya tertuju pada seorang gadis yang tengah sibuk melayani
"Apa? Kafizah dibawa ke rumah sakit?" pekik Bu Marni saat menerima sambungan telepon dari Salsa."Iya, Tante," jawab Salsa sedikit gugup."Siapa yang bawa?" tanya Bu Marni memelankan suaranya."I-itu siapa namanya aduh." Salsa menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan berusaha mengingat nama pemuda yang membawa Kafizah. "Namanya Raka dan ibunya Bu Liana.""Kafizah kenapa tiba-tiba sakit, Sa? Apanya yang sakit?" Bu Marni masih memberondong Salsa dengan berbagi pertanyaan."Salsa gak ngerti, Bu. Bu Marni langsung saja ke rumah sakit!" titah Salsa pura-pura tidak tahu tentang penyakit Kafizah. Padahal dia sudah tahu, hanya saja ia tidak berani memberitahu karena ia sudah dipaksa oleh Kafizah untuk tutup mulut agar orangtuanya tidak tahu tentang Kakinya yang semakin parah."Baiklah, Sa. Ibu akan segera menyusul ke rumah sakit," kata Bu Marni sambil menutup ponselnya, membuat Salsa membuang napas pelan.Di rumah Pak Rahim Bu Marni langsung